1. Rasulullah mengarahkan kepada kaum Mukminin agar bergegas dalam menjalankan ketaatan dan amalan saleh, sebelum datangnya berbagai fitnah yang dahsyat. Fitnah tersebut digambarkan oleh Nabi datang seperti bagian malam yang gelap gulita, tidak terlihat mana yang hak dan batil. Nabi mengabarkan bahwa fitnah tersebut semakin kuat bersamaan dengan semakin dekatnya waktu dan Kiamat. Nabi bersabda, “Dan sungguh umat kalian ini, kekuatan disematkan pada generasi awal mereka, dan bagian akhir umat ini akan ditimpa bala (fitnah), perkara-perkara yang kalian ingkari, dan fitnah yang datang silih berganti menjadi terasa ringan [1], dan datang satu fitnah, hingga seorang mukmin mengatakan, ‘Tibalah kebinasaanku’, lalu fitnah tersebut berlalu, dan datang fitnah berikutnya, dan seorang mukmin mengatakan, ‘Ini dan ini.’”[2]

Nabi  menganjurkan agar bergegas untuk beramal sebelum terjadinya berbagai fitnah dan tersebar, karena ibadah di zaman fitnah terasa sangat sulit bagi jiwa, lantaran manusia tersibukkan dengan berbagai fitnah yang menghalanginya untuk beramal. Oleh sebab itulah, beliau bersabda, “Beribadah di zaman penuh fitnah seperti berhijrah kepadaku.”[3] Dan beliau bersabda, “Sungguh kelak akan datang suatu masa, orang yang bersabar di antara mereka di atas agamanya layaknya orang yang sedang menggenggam bara api.”[4]

2. Kemudian Nabi mengabarkan bahwa berbagai fitnah yang dahsyat tersebut bisa berakibat fatal bagi seseorang; bisa menimpa seorang muslim sehingga menghalanginya dari agamanya dengan sangat cepat, seolah fitnah itu terjadi di waktu sore dan duha; karena hati itu rawan berbolak-balik dari ikatan kebenaran, sangat cepat masuk ke celah-celah kesesatan, dan jika kesesatan sudah masuk ke dalam hati sedikit saja, maka akan didapati penyakit yang membinasakan dan keburukan yang menyebar. [5]

3. Dan pada kondisi demikian, seseorang bisa saja menjual agamanya dengan harga yang rendah berdasarkan nilai duniawi, entah itu berupa uang, jabatan atau materi duniawi lainnya yang sifatnya fana.

Implementasi

1. Bergegaslah untuk beramal saleh sebelum datangnya fitnah yang akan menghalangi manusia dari agama dan ibadahnya. Hendaknya dia segera memanfaatkan waktu dan kesempatan untuk melakukan ketaatan kepada Allah, bersungguh-sungguh melakukan kebaikan ketika bisa sebelum berbagai penghalang menghadangnya.

2. Ingatlah Allah di kala engkau dalam kelapangan, niscaya Dia akan membantumu dalam kesulitan. Apabila engkau bersegera melakukan amal saleh ketika longgar, sehat, dan penuh kesadaran, maka Maka Allah Ta’ala akan melindungimu dari berbagai fitnah dan bala.

3. Seorang Muslim sebaiknya memperbanyak doa kepada Allah agar diteguhkan di atas agama-Nya, dan menghindarkan hatinya dari bermacam fitnah, terlebih Nabi sering membaca doa, “Yá Muqallibal qulúb šabbit qalbí ‘alá dínik (Wahai Dzat yang maha membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati ini di atas agama-Mu).”[6]

4.Seorang Muslim harus menjaga Allah ketika dia lapang dan aman sehingga Allah pun akan menjaganya ketika sempit dan terjadi fitnah.

5.Agama merupakan harta paling berharga. Rasul, para nabi dan pengikut mereka sangat antusias untuk mendakwahkannya dan berkorban demi agama tersebut. Mereka harus menghadapi pengusiran, pengepungan, pendustaan, dan siksaan dalam mendakwahkannya, maka jangan sampai engkau menjadikannya sebagai alat tukar untuk kesenangan dunia yang fana ini.

6.Seorang penyair menuturkan,

Bersegeralah, selama umur masih ada,

sikap adilmu masih diterima dan sedekahmu sangat berharga

Seriuslah dan lekas manfaatkan waktu mudamu

Di waktu yang masih longgar, berusahalah dan raih keuntungan

Cepatlah bertindak, sebab ajalmu pun bergerak cepat di belakangmu

Tidak mungkin ada yang bisa melarikan diri dan mengalahkannya

 



Referensi

  1.    Karena fitnah yang menimpa orang-orang setelahnya begitu berat sehingga orang-orang sebelumnya menganggap fitnah yang menimpa mereka lebih ringan daripada fitnah yang menimpa orang-orang setelah mereka (penerjemah)
  2. HR. Muslim (1844) dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Aÿ k.
  3. HR. Muslim (2948), dari Ma’qil bin Yasar h
  4.  HR. At-Tirmiæi (226), dari Anas h.
  5.  Al-Ifÿáh ‘an Ma’ání Aÿ-Ÿiññah karya Ibnu Hubairah (8/163).
  6.   HR. Ahmad (12107), At-Tirmiæi (2140), dan Ibnu Majah (3834).

1. Nabi ﷺ menjelaskan dan memperingatkan umatnya dari perkara yang berbahaya yang dapat menghapus sebuah amalan. Nabi ﷺ menyebutnya sebagai syirik kecil, untuk membedakan antara syirik kecil dan syirik besar yang menyebabkan pelakunya keluar dari agama.Di antara contoh dari syirik kecil: bersumpah dengan nama selain Allah; pernyataan seseorang, ‘Karena kehendak Allah dan kehendak fulan’, merasa sial, jampi-jampi yang makruh, dan lain sebagainya yang tidak menyelisihi asas tauhid dalam arti penyelisihan secara total.[1]Semua hal tadi, bisa menyeret seseorang ke dalam perbuatan syirik besar; karena jika seseorang yang bersumpah atas nama selain Allah sambil meyakini akan keagungannya, atau sama halnya dengan seseorang yang mempercayai dukun, yang mengaku mengetahui perkara-perkara gaib, dan ria juga termasuk, jika dilakukan dalam setiap amalnya, atau menyinggung prinsip utama akidah. Begitu pula bagi yang meyakini bahwa jimat dan jampi-jampi mampu mencegah marabahaya dan menyembuhkan penyakit, ini semua termasuk syirik besar.[2]

2. Nabi g menyampaikan bahwa yang paling beliau khawatirkan menimpa mereka adalah ria, yaitu seseorang yang menampakkan ibadahnya agar diketahui banyak orang, supaya mereka memuji dan menyanjungnya dengan baik.

3. Kemudian beliau menyebutkan, bahwa Allah Ta’ala akan berfirman kepada mereka pada hari Kiamat ketika memberikan balasan kepada semua makhluk, “Pergilah kepada orang-orang yang dahulu amal ketaatan kalian persembahkan ke hadapan mereka, dengah harapan mereka akan melihat dan mendengar kalian, maka sekarang lihatlah, apakah kalian mendapati mereka bisa memberi balasan kepada kalian? Ini merupakan bentuk penghinaan dan peremehan atas mereka. Allah menghapus dan membatalkan amal mereka.

Nabi ﷺ bersabda

“Allah f berfirman, ‘Aku tidak butuh sama sekali terhadap sekutu, barang siapa yang melakukan suatu amalan namun menyekutukan-Ku dalam amalnya tersebut, maka Ku-tinggalkan ia bersama apa yang ia sekutukan.’”[3] 

Allah menjadikan balasan orang yang berbuat ria dengan memberikan apa yang diingininya di dunia, yaitu dia bisa menjadi terkenal karena perbuatannya.

Nabi ﷺ bersabda

 “Barang siapa yang ingin dirinya didengar, niscaya Allah akan perdengarkan, dan barang siapa yang ingin diperlihatkan, maka Allah pun akan memperlihatkannya.”[4]

 Maksudnya, barang siapa yang beramal demi meraih pujian manusia, niscaya Allah akan memperdengarkannya di telinga manusia, dan itulah balasan yang didapatkannya dari amalnya.[5] Beliau juga memberitahukan bahwa golongan yang pertama kali dibakar oleh api neraka pada hari kiamat adalah: orang yang bersedekah, membaca Al-Qur`an, dan mujahid. Mereka melakukan amalan itu semua karena ingin dilihat dan terkenal. Oleh sebab itulah, amalan mereka hangus.[6]

Implementasi

1. Nabi ﷺ pernah menggunakan metode ancaman dan memunculkan untaian nasihat dalam mukadimah pembicaraannya, yaitu dalam sabda beliau, “... perkara yang paling aku takutkan atas kalian.” Gaya bahasa semacam ini menarik perhatian pendengarnya serta menstimulus akal dan pendengarannya. Sudah selayaknya bagi orang yang menasihati, menggunakan metode-metode yang menyenangkan sehingga menarik perhatian orang lain.

2. Ria bisa memasuki berbagai amalan manusia. Seseorang terkadang mulai shalat, zikir, membaca Al-Qur`an, bersedekah, dan amalan lainnya, lantas ia melihat banyak orang di sana, lalu ia ingin mereka melihat ibadahnya dan mendengar suaranya. Apabila ia berusaha melawan nafsunya tersebut dan menghilangkan dari hatinya semaksimal mungkin, maka tidak berpengaruh apa pun terhadap amalannya. Ada pun jika ia membiarkannya, sehingga niatnya berubah dari ikhlas menjadi ria, maka amalnya gugur. Jadi, seorang Muslim harus senantiasa mengikhlaskan amalannya karena Allah, melawan kesyirikan dan rasa ria yang berusaha merusak hatinya.

3. Ria tidak hanya terjadi pada shalat, puasa, zakat dan semisalnya. Bahkan bisa jadi seorang siswa mengulangi pelajarannya karena ingin kesungguhannya dan usaha kerasnya dalam mencari ilmu dipuji orang lain; juga seorang pekerja yang melakukan pekerjaannya karena ingin kesungguhannya dipuji orang lain, sehingga dia tidak melakukan kerjanya dengan ikhlas karena Allah Ta'ala.

4. Di antara bahaya terbesar syirik kecil adalah para ulama berbeda pendapat tentang hukum ampunannya ketika tidak dibarengi dengan tobat. Oleh karena itu, waspadalah jangan sampai kamu terjerumus ke dalam posisi yang dikatakan oleh para ulama: Dia tidak akan diampuni sampai dia bertobat.

5. Nabi ﷺ mengabarkan tentang ria bahwa dia sangat tersembunyi. Artinya seseorang bisa jadi akan terjatuh ke dalamnya tanpa disadarinya. Oleh karena itu seorang Mukmin harus berlindung kepada Allah Ta'ala dari ria tersebut dalam setiap waktu dan kesempatan.

6. alñah bin Muÿarrif adalah seorang Qari` Kufah, tatkala ia melihat banyak orang yang belajar kepadanya, ia khawatir dirinya menjadi ria, lalu ia beranjak menuju Al-A’masy dan membaca Al-Qur`an di hadapannya. Akibatnya orang-orang pun condong belajar kepada Al-A’masy dan meninggalkan alñah.[7]

7. Jangan tertipu oleh syetan sehingga dia menghalangimu dari berbagai macam ketaatan atas nama ria. Memperlihatkan syiar-syiar agama dan ketaatan supaya ditiru oleh orang lain tidak termasuk ria. Ria adalah ketika tujuanmu melakukan amalan tersebut supaya manusia melihatmu.

8. Syirik tersembunyi sangat berbahaya. Oleh karena itu Nabi ﷺ telah memperingatkan para sahabatnya dari perbuatan tersebut dan memerintahkan mereka agar memohon perlindungan kepada Allah dari sikap tersebut.

Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari h, beliau mengatakan,

“Pada suatu hari Rasulullah ﷺ berkhotbah di hadapan kami, beliau bersabda, ‘Wahai manusia! takutlah terhadap bentuk kesyirikan ini; karena ia lebih tersembunyi daripada suara langkah semut.’ Lalu ada seseorang yang Allah kehendaki untuk berkata kepada beliau, ‘Bagaimana kami bisa melindungi diri darinya, sedangkan ia lebih tersembunyi daripada langkahnya semut, wahai Rasulullah!’ Beliau menjawab, ‘Ucapkanlah, ‘Alláhumma inná na’uæubika an nusyrika bika syai`an na’lamuhu wanastagfiruka limá lá na’lamuhu. (Ya Allah, sungguh kami memohon perlindungan kepada-Mu dari berbuat syirik kepada-Mu dengan sesuatu, sementara kami tahu, dan kami memohon ampun kepada-Mu dari yang tidak kami ketahui).’”[8]

9. Seorang hamba terkadang melakukan ketaatan niatnya ikhlas karena Allah Ta’ala, kemudian banyak orang yang melihatnya, menyanjungnya dan memujinya dengan baik, lalu ia merasa senang dengan hal itu. Kondisi semacam ini tidak merusak amalnya, bukan pula termasuk kategori ria, selama dirinya tetap ikhlas karena Allah Ta’ala. Diriwayatkan oleh Abu †ar , beliau mengatakan, “Ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah ﷺ, ‘Bagaimana menurutmu, seseorang yang mengerjakan kebaikan lalu ada banyak orang yang memujinya?’ Beliau menjawab, ‘Itu merupakan berita gembira yang disegerakan bagi orang mukmin.’”[9]

10.Seorang penyair menuturkan,

Sungguh rugi orang yang bersusah payah bukan karena Rabbnya

tetapi karena kemunafikan, apakah ada setelah ria selain kemunafikan?

Kelak kau mendapati balasan yang kau kerjakan dan simpan

sesuai, ketahuilah sungguh balasan sesuai dengan perbuatan

11.Penyair lain menuturkan,

Wahai jiwa, janganlah engkau lupakan Allah dengan karunia-Nya

Pertolongan-Nya kemampuanku, dan penelantaran-Nya kehancuranku

Langkah semut kecil di atas bukit Shafa di kegelapan malam tidaklah

lebih tersembunyi daripada ria dan syirik



Referensi

  1. HR. Muslim (2985), dari Abu Hurairah h
  2. . HR. Muslim (2986) dari Ibnu Abbas k
  3. (Lihat: Syarñ Ÿañíh Muslim karya An-Nawawi (18/116
  4. . HR. Muslim (1905) dari Abu Hurairah h
  5. .Lihat: At-Tauñíd karya Ibnu Rajab (hal. 23), Syarñ Kasyf Asy-Syubuhát dan Syarñ Al-Uÿúl As-Sittah karya Ibnu Ušaimin (hal. 115).
  6.  Lihat: Fatñ †il Jalál wa Al-Ikrám bi Syarñ Bulug Al-Marám karya Ibnu Ušaimin (6/357).
  7. HR. Muslim (2642)
  8.  HR. Ahmad (19109).
  9.  Ÿaid Al-Kháþir karya Ibn Al-Jauzi (hal. 292).



Kemunafikan merupakan penyakit paling berbahaya yang dapat menimpa individu dan masyarakat. Oleh karena itu, Islam memberi peringatan keras dari perilaku tersebut. Selain itu, Islam juga menjelaskan sifat-sifat orang-orang munafik supaya seseorang waspada dan menjaga diri agar tidak tersemat satu pun pada dirinya.

1.Nabi menyebutkan di hadapan para sahabat beberapa sifat yang tidak layak bagi seorang muslim memilikinya, bahkan sifat tersebut termasuk sifat orang-orang munafik. Jika semua sifat tersebut tersemat pada diri seseorang, maka ia adalah seorang munafik sejati.

Kemunafikan (nifak) artinya menampakkan sesuatu yang tidak sama dengan batinnya. Ada dua jenis kemunafikan: nifak iktikad, yaitu seseorang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran. Nifak jenis ini mengeluarkan pelakunya dari Islam.

Allah Ta’ala berfirman mengenai mereka,

“Sungguh, orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka, kecuali orang-orang yang bertobat dan memperbaiki diri dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan dengan tulus ikhlas (menjalankan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu bersama-sama orang-orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan pahala yang besar kepada orang-orang yang beriman.” .

(QS. An-Nisá`: 145-146)

Jenis yang kedua: nifak amal, inilah yang dimaksudkan dalam hadis di atas, yaitu ada beberapa sifat orang munafik yang terdapat pada diri seorang mukmin yang lurus akidahnya, seperti berdusta ketika berbicara, melanggar janji, dan khianat terhadap amanah. Orang yang memiliki sifat-sifat seperti itu dan yang semisalnya tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang munafik yang diancam oleh Allah dengan kekekalan di kerak neraka, tetapi pada dirinya tersemat salah satu sifat kemunafikan, dan pemilik sifat tersebut menyerupai orang-orang munafik.[1] 

 Ini bukan berarti bahwa hanya itu saja sifat-sifat orang munafik, karena sifat-sifat orang munafik itu banyak. Dalam hadis lain disebutkan tambahan ingkar janji.

Nabi bersabda

"Tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara dia dusta, jika berjanji dia mungkir, dan jika diberi amahah dia berkhianat. [2]

Tanda-tanda dan sifat-sifat kemunafikan cukup banyak, semuanya terangkum dalam sifat-sifat tersebut. Seorang muslim wajib berusah untuk tidak memiliki satu pun dari sifat-sifat tersebut.


2.Sifat yang pertama, ia tidak bisa menjaga amanah, yaitu berkhianat, maksudnya bertindak pada sesuatu yang diamanahkan tidak sesuai aturan syariat; seperti menjual barang yang diamanahkan, mengingkari amanahnya, menguranginya, atau teledor dalam menjaganya. Amanah di sini mencakup seluruh perkara yang diamanahkan kepada manusia, entah itu berupa harta, kehormatan, atau hak. Amanah secara umum mencakup seluruh syariat yang Allah jadikan sebagai amanah bagi kita, yang harus kita jalankan dan ajarkan kepada manusia; karena itulah, Allah Ta’ala menyebut tindakan yang menyelisihi kitab-Nya dan sunnah Rasul-Nya sebagai pengkhianatan.

Allah Ta’ala berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”

(QS. Al-Anfál: 27).[3]

Khianat sangat bertentangan dengan akhlak Islam. Oleh karena itu Nabi g melarangnya meskipun terhadap orang yang berlaku khianat terhadap kita.

Nabi bersabda,

“Tunaikanlah amanah kepada orang yang telah memberimu amanah, dan janganlah engkau khianati orang yang telah mengkhianatimu.”[4]


3.Sifat yang kedua, berdusta. Allah Ta’ala memerintahkan dan menganjurkan agar seseorang bersikap jujur.

Allah Ta’ala berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.”

(QS. At-Taubah: 119)

. Nabi g memperingatkan dampak negatif dusta

beliau bersabda,

“Dan sungguh kedustaan itu bisa mengantarkan seseorang kepada kejahatan, dan kejahatan mengantarkan seseorang menuju neraka. Dan sungguh seorang laki-laki benar-benar ia berdusta, sampai ia tercatat sebagai pendusta di sisi Allah.”[5]

Nabi pernah bermimpi, melihat seorang laki-laki yang tepi mulutnya disobek sampai ke tengkuknya, kedua lubang hidungnya dan kedua matanya disobek sampai ke tengkuknya, lantas beliau bertanya tentangnya, lalu dijawab, “Seseorang yang berdusta satu kali, lalu dibawa hingga tersebar ke seluruh penjuru.”[6]

4.Sifat yang ketiga, ingkar janji, apabila ia membuat janji atau transaksi dengan orang lain, maka ia akan menipunya dengan cara mengingkari janjinya. Allah Ta’ala mengharamkan ingkar janji dan melarangnya di beberapa tempat dalam kitab-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan tepatilah janji dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu melanggar sumpah setelah diikrarkan, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.”.

(QS. An-Nañl: 91)

Dan Allah berfirman,

“Dan penuhilah janji, karena janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya.”

(QS. Al-Isrá`: 34)


5.Sifatnya yang keempat, saat seseorang menyimpang dari kebenaran ketika berseteru, dan mencari tipu muslihat saat melawannya, berusaha merampas yang bukan haknya, terlebih jika ia memiliki kemampuan dalam menjelaskan dan mengutarakan hujah.

Allah Ta’ala telah memerintahkan para hamba-Nya agar berbuat adil dalam segala perkara, dan melarang mereka berbuat kezaliman terhadap orang lain lantaran permusuhan dan perseteruan yang terjadi.

Allah cberfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa.”.

(QS. Al-Má`idah: 8)

Nabi mengabarkan tentang akibat bagi orang yang mengambil hak orang lain dengan cara yang batil

beliau bersabda

“Sesungguhnya kalian meminta peradilan kepadaku, barangkali salah satu di antara kalian tidak lebih cakap dalam mengutarakan hujahnya daripada lawannya, sehingga aku memenangkan perkaranya sesuai dengan apa yang aku dengar darinya. Barang siapa yang aku putuskan baginya untuk mengambil hak saudaranya, maka janganlah mengambilnya, karena sesungguhnya aku memutuskan baginya, seperti aku memberinya potongan api neraka.”[7]


Implementasi


1.Di antara tanda bagusnya metode pengajaran Nabi g kepada para sahabatnya, yakni menjadikan maknanya mudah untuk dipahami dengan menggunakan beragam wasilah dalam mengajar; di antaranya menggunakan bilangan. Jika seorang muslim mendengar bahwa sifat-sifat yang akan disebutkan sebanyak empat, maka itu akan membuatnya penasaran untuk mendengar dan menghafal apa yang didengarnya. Maka seharusnya para ulama dan dai menggunakan metode-metode semisal itu saat berbincang dengan manusia dan mengajari mereka.

2.Sifat orang Mukmin adalah menyampaikan amanah. Seorang Muslim tidak boleh berkhianat selama-lamanya. Bahkan Nabi g memerintahkan untuk menyerahkan amanah meskipun kepada orang yang sudah berlaku khianat dan menyia-nyiakan amanah yang kita berikan.

Nabi ﷺ bersabda

“Tunaikanlah amanah kepada orang yang telah memberimu amanah, dan janganlah engkau khianati orang yang telah mengkhianatimu.”[8]

3.Orang-orang musyrik di Makkah sebelum Islam datang, mereka memberi lakab Al-Amiin (orang yang tepercaya) untuk Nabi ﷺ. Apakah hal tersebut tidak memotivasi kita untuk meniru akhlak dan perilaku Nabi .

4.Nabi ﷺ melarang kita untuk meniru orang-orang munafik meskipun terkait sifat-sifat penciptaan mereka, padahal hakikat keimanan kedua belah pihak sangat berbeda. Seorang Muslim tidak layak memiliki kemiripan dengan orang musyrik dan munafik. Oleh karena itu maka Nabi g memerintahkan kita untuk menyelisihi orang-orang musyrik dan melarang kita menyerupai mereka.

5.Dusta merupakan sifat yang sangat tercela dimiliki oleh manusia. Nabi ﷺ mengabarkan bahwa dusta merupakan sifat orang-orang munafik, dan seorang Mukmin harus menjauhkan dirinya dari menyerupai mereka.

6.Banyak orang kafir yang lari dari kebohongan, mereka melihatnya merupakan akhlak yang buruk. Abu Sufyan ingin berdusta dalam pembicaraannya dengan Heraklius terkait Nabi g, namun dia enggan melakukannya, padahal ketika itu dia masih kafir. Maka seorang Muslim lebih berhak untuk menjauhi dan lari dari dusta tersebut.

7.Nabi ﷺ memerintahkan untuk menepati janji, meskipun terhadap orang-orang musyrik di saat memerangi mereka. Suatu saat, Huzaifah bin Al-Yaman dan ayahnya menemui Nabi ﷺ ketika perang Badar, keduanya menyampaikan bahwa orang-orang musyrik menangkap mereka berdua dan berkata, “Apakah kalian berdua hendak bergabung dengan Muhammad dan berperang bersamanya?" Lalu keduanya menjawab, "Tidak, kami hanya ingin pergi menuju Madinah." Mereka pun mengambil janji serta membuat sebuah perjanjian bahwa keduanya hanya ingin pergi ke Madinah dan tidak ikut berperang bersama Nabi ﷺ. Lalu Nabi ﷺ bersabda kepada mereka berdua, ‘Pergilah kalian berdua, kita tepati janji kita dengan mereka, dan kita memohon kepada Allah untuk mengalahkan mereka.’”[9]

8.Orang yang berkhiatan akan sangat dipermalukan pada hari Kiamat.

Nabi ﷺ bersabda

“Setiap orang yang berkhianat akan memiliki bendera yang ditancapkan berdasarkan tindakan khiatannya tersebut kelak pada hari kiamat.”[10]

Seorang pengkhianat, sekalipun ia cakap dan rapi dalam mengelola urusannya, yang tidak tercium keburukannya oleh siapa pun, lantas ke manakah ia akan pergi pada hari kiamat?!

9.Seorang penyair menuturkan,

Tinggalkanlah perangai buruk kaum yang tidak berakhlak

Berperilakulah sebagaimana orang-orang mulia dan beradab

Jika dirimu diseru atau diperintah untuk melanggar janji

Kaburlah darinya bersama jiwamu sejauh mungkin


10.Penyair lain menuturkan,

Kejujuran biasa dilakukan orang terhormat yang sukses

Sedangkan, dusta biasa dilakukan oleh orang rendahan yang gagal

Tinggalkan seorang pendusta, jangan kau jadikan kawan

Sungguh pendusta, seburuk-buruk orang yang dijadikan kawan

 



Referensi

  1.  Syarñ Ÿañiñ Muslim karya An-Nawawí (2/47)
  2.  HR. Al-Bukhari (33) dan Muslim (59), dari Abu Hurairah h
  3.  Al- Ádáb An-Nabawí karya Muhammad Abdul Aziz Al-Khaulí (hal. 18)
  4.  HR. Abu Daud (3534)
  5.  HR. Al-Bukhari (6094) dan Muslim (2607), dari Ibnu Mas’ud h.
  6. HR. Al-Bukhari (6096) dari Samurah bin Jundab h.
  7.  HR. Al-Bukhari (2680) dan Muslim (1713) dari Ummu Salamah i
  8. . HR. Abu Daud (3534).
  9.  HR. Muslim (1787)
  10.  HR. Al-Bukhari (3188) dan Muslim (1735).








Hadis ini termasuk yang paling penting di dalam syariat, yang di bangun di atasnya banyak hukum dan kaidah yang berlaku umum, karenanya Imam Ahmad r berkata, “Sesungguhnya pokok Islam itu ada pada tiga hadis: hadis, “Sesungguhnya semua amalan itu tergantung niatnya”, hadis, “Siapa yang mengada-ada di dalam urusan kami yang tidak termasuk di dalamnya, maka ia tertolak”, dan hadis, “Sesungguhnya perkara yang halal sudah jelas, dan perkara yang haram sudah jelas”.[1]

Di dalam hadis ini, Nabi menyebutkan bahwa itibak merupakan syarat diterimanya amalan. Siapa yang mengada-ada sesuatu dan mendatangkan sesuatu yang baru tidak ada sumbernya di dalam agama Allah Ta’ala dan sunnah Rasulullah , maka amalan itu tertolak kepada pelakunya dan dia tidak mendapatkan pahala apa pun, bahkan pelakunya berdosa karena telah menyelisihi petunjuk Nabi .

Membuat bidah yakni mendatangkan sesuatu yang baru tanpa ada dalil syar’i, entah itu dalam hal akidah –seperti menafikan takdir dan meyakini bahwa orang mati bisa memberi manfaat-; atau suatu amalan, yaitu beribadah dengan peribadatan yang tidak pernah dilakukan oleh beliau . Sebagai contoh: merayakan maulid Nabi, membuat zikir dan wirid baru yang tidak ada sumbernya di dalam kitab dan sunnah, mengkhususkan malam tertentu untuk mengerjakan amalan; seperti shalat di malam Nisfu Sya’ban, dan lain sebagainya yang penyebabnya adalah ketidaktahuan terhadap syariat, mengikuti hawa nafsu, taklid terhadap orang-orang non muslim, serta mengedepankan akal daripada syariat.

Allah Ta’ala telah memperingatkan agar tidak mengikuti hawa nafsu dan membuat bidah di dalam agama.

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat.”.

(QS. Áli Imrán: 105)

Qatadah r berkata, “Orang-orang yang berpecah belah dan berselisih: ahli bidah.” Ibnu Abbas k berkata, “Wajah ahli sunnah berwarna putih sementara ahli bidah wajahnya menghitam.”[2]

Allah mencela kaum musyrik yang menghalalkan dan mengharamkan tanpa perintah dari-Nya.

Allah  berfirman,

“Katakanlah (Muhammad), ‘Terangkanlah kepadaku tentang rezeki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan sebagiannya halal. ’ Katakanlah, ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini), ataukah kamu mengada-ada atas nama Allah? ’” .

(QS. Yúnus: 59)

Rasulullah pernah bersabda di dalam mukadimah khotbahnya, “Dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad, dan seburuk-buruknya perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap bidah sesat.”[3] Beliau juga berwasiat kepada para sahabatnya dengan sabdanya,

“Hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah para khulafaurrasyidin, peganglah kuat-kuat dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Jauhilah perkara-perkara yang baru, karena setiap perkara yang baru adalah bidah dan setiap bidah adalah sesat.”[4]

Dan sesungguhnya Nabi memperingatkan dari perbuatan bidah di dalam agama, karena kehancuran umat-umat terdahulu disebabkan oleh hal tersebut. Sebagai contoh, kaum Yahudi dan Nasrani, mereka mengubah syariat dan mereka mengklaim bahwa Uzair dan Al-Masih adalah putra Allah. Mereka mengatakan, “Kami adalah anak-anak Allah dan orang-orang dicintai-Nya,” namun mereka menyelewengkan kitab Taurat dan Injil, meremehkan batasan-batasan Allah, dan memanipulasi syariat dengan akal mereka.

Hadis ini membantah orang yang mengaku bahwa sebagian bidah ada yang baik. Sesungguhnya beliau memutuskan bahwa setiap amalan yang baru (bidah) tertolak, dan ini mencakup semua jenis bidah dan amalan-amalan yang diada-adakan. Adapun pernyataan Umar h, “Sesungguhnya sebaik-baik bidah adalah ini,” ketika beliau mengumpulkan manusia dalam shalat malam di bulan Ramadan di belakang satu imam, yaitu Ubay bin Kaab h,[5] maka maksudnya adalah bidah dalam konteks secara bahasa, yaitu setiap perkara yang baru, entah itu ada sumbernya di dalam agama atau tidak. Karena apa yang Umar lakukan bukanlah suatu bidah, karena Nabi g pernah mengerjakan shalat seperti itu dengan manusia beberapa hari. Kemudian beliau tinggalkan karena khawatir akan diwajibkan bagi kaum Muslimin. Ketika Nabi g telah wafat, dan wahyu pun terputus, hilanglah apa yang dikhawatirkan oleh beliau g, sehingga perbuatan Umar h merupakan itibak kepada sunnah beliau g.[6]

Nabi mengkhususkan perkara yang diada-ada dengan sabdanya, “Di dalam urusan kami” maksudnya di dalam urusan agama. Ini menunjukkan bahwa membuat-buat dan mengada-ada di dalam urusan dunia tidaklah tercela dan tidak pula terlarang. Penemuan peralatan dan mengembangkannya semakin canggih merupakan hal yang terpuji, memudahkan manusia dalam menunaikan kemaslahatan mereka.

 

Implementasi

1.Hadis ini merupakan asas yang agung dalam Islam. Kedudukannya layaknya timbangan bagi amalan lahiriah, sebagaimana hadis “Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya” sebagai timbangan amalan batin. Seperti halnya setiap amalan yang ditujukan tidak untuk mencari wajah Allah Ta’ala maka pelakunya tidak akan mendapatkan pahala, maka demikian pula setiap amalan yang tidak pernah diperintah oleh Allah dan Rasul-Nya maka amalannya pun tertolak. Setiap orang yang mengada-adakan perkara baru di dalam agama yang tidak diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya maka perkara tersebut tidak termasuk dalam agama Islam.[7] Seorang muslim harus menjadikan dua hadis ini sebagai tolok ukur dalam seluruh amalannya; melihat secara fisik, apakah sesuai dengan syariat? Dan melihat batinnya, apakah ikhlas karena Allah atau tidak?

2.Di dalam hadis ini terdapat isyarat bahwa semua amalan yang dilakukan oleh seseorang harus di bawah kendali hukum syariat. Sehingga hukum syariat ini menjadi penentu sebuah amalan dengan perintah atau larangan. Siapa saja yang amalannya sah berdasarkan hukum syariat dan sesuai dengannya maka diterima, namun jika di luar dari itu, maka amalannya tertolak.[8]

3.Seorang muslim jangan mengukur syariat dengan akalnya, tidak boleh menghalalkan perkara yang haram atau mengharamkan perkara yang halal sesuai dengan hawa nafsunya. Syariat itu kitabullah Ta’ala dan sunnah Nabi .

4.Menghidupkan sunnah merupakan ketaatan yang luar biasa. Seorang muslim berhak mendapatkan tambahan kebaikan pahala dari seluruh orang yang mengikutinya saat melakukan ketaatan tersebut. Demikian pula sebaliknya, perbuatan bidah di dalam agama serta mengajak manusia untuk berbagai macam bidah, termasuk dosa yang sangat besar, dan pelakunya akan menanggung dosa yang berlipat ganda, termasuk dosa para pengikutnya dalam bidah tersebut.

Dari Abu Hurairah h, bahwasanya Rasulullah bersabda,

“Siapa yang menyeru kepada hidayah, maka ia mendapatkan pahala sama seperti pahala orang yang mengikutinya, tidak mengurangi sedikit pun pahala mereka. Dan siapa yang menyeru kepada kesesatan, maka ia mendapatkan dosa sama seperti dosa orang yang mengikutinya, tidak mengurangi sedikit pun mengurangi dosa mereka.”[9]

5.Fuðail r menuturkan, “Amal yang paling baik ialah amalan yang paling ikhlas dan paling benar.” Beliau juga mengatakan, “Sesungguhnya jika amalan itu ikhlas namun tidak benar, maka tidak diterima, dan jika amalan itu benar tetapi tidak ikhlas maka tidak diterima, sampai ia ikhlas dan benar.” Beliau melanjutkan, “Amalan yang ikhlas adalah amalan yang dipersembahkan untuk Allah e, dan [10]amala yang benar adalah amalan yang sesuai dengan sunnah.

6. Tidak ada suatu permasalahan di dalam agama melainkan ada dalilnya dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, keduanya menjadi standar dan mengambil kesimpulan hukum. Seharusnya seseorang bertanya kepada para ulama, bukan melakukan bidah di dalam agama, Abdullah bin Mas’ud h berkata, “Ikutilah (Rasulullah), jangan melakukan bidah, karena apa yang ada sekarang sudah cukup, sesungguhnya setiap yang diada-ada itu bidah dan setiap bidah itu sesat.”[11]


7.Para salaf dahulu merupakan manusia yang paling semangat dalam mengikuti sunnah Nabi g dan para sahabatnya. Ibrahim An-Nakha’í mengatakan, “Sekiranya ada sebuah kabar dari mereka –yakni para sahabat- bahwa mereka tidak melampaui kuku saat berwudu, niscaya aku pun tidak akan melampauinya juga, dan cukuplah bagi suatu kaum mendapat dosa, jika amalan mereka menyelisihi amalan para sahabat Nabi mereka .[12]

8.Umar bin Abdul Aziz r berkata, “Berhentilah ketika kaum tersebut (Nabi dan para sahabat) berhenti, berucaplah sebagaimana yang mereka ucapkan, dan diamlah sebagaimana mereka diam. Sesungguhnya mereka berhenti atas dasar ilmu, mereka mencukupkan diri dengan basirah. Mereka lebih mampu untuk menyingkapnya, dan untuk sebuah keutamaan bersegera melakukannya.[13]

9.Tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan diri dari berbagai fitnah kecuali dengan berpegang teguh kepada kitabullah dan sunnah Rasul-Nya. Siapa yang berpegang teguh kepada kitabullah maka akan dicukupkan, diberi hidayah, dan dilindungi. Sunnah Nabi-Nya  menjadi lentera baginya di jalan yang penuh dengan gelapnya fitnah-fitnah yang sangat mengerikan bagi umat.

Di dalam sebuah hadis dari Rasulullah ﷺ disebutkan

“Sepeninggalku kelak, kalian akan melihat perselisihan yang sangat keras, maka hendaknya kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafaurasyidin yang diberi petunjuk. Gigitlah dengan gigi geraham, dan jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan; karena setiap bidah itu sesat.”[14]

10.Seorang penyair menuturkan 

Semua makhluk hidup dan kesesatan menyeretnya

Menuju kesesatan yang buruk dan rusak

Para penipu berusaha mengelabui

untuk menjauhkan mereka dari jalan yang benar

Mereka tidak patah semangat dengan segala cara dan ambisi

Meski mereka melihatnya kuat dan keras kepala

Mereka membawa jiwa menuju kesesatan dan penyakit

Dan larut ke dalam kesesatan dan kerusakan



Referensi

  1.  Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-ôikam karya Ibnu Rajab (1/71-72).
  2.  Al-I’tiÿám (1/75)
  3.  HR. Muslim (867).
  4.  HR. Abu Daud (4607), At-Tirmiæí (2676, dan Ibnu Majah (42)
  5. . HR. Al-Bukhari (2010)
  6.  Lihat: Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-ôikam karya Ibnu Rajab (2/128)
  7.  Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-ôikam karya Ibnu Rajab (1/176).
  8.  Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-ôikam karya Ibnu Rajab (1/177)
  9.  HR. Muslim (2674).
  10.  Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-ôikam karya Ibnu Rajab (1/71-72)
  11. .I’lám Al-Muwaqqi’ín ‘an Rabb Al-‘Álamín karya Ibn Al-Qayyim (4/115)
  12.  I’lám Al-Muwaqqi’ín ‘an Rabb Al-‘Álamín karya Ibn Al-Qayyim (4/115)
  13. . I’lám Al-Muwaqqi’ín ‘an Rabb Al-‘Álamín karya Ibn Al-Qayyim (4/115)
  14. HR. Abu Daud (4607), At-Tirmiæí (2676), dan Ibnu Majah (42).


1.Nabi menyebutkan bahwa agama Islam yang lurus ini memiliki keistimewaan berupa hukum-hukumnya yang mudah dan kewajiban-kewajibannya yang ringan, tidak melebihi batas kemampuan manusia. Kewajibannya tidak mengandung perkara yang memberatkan sebagaimana berlaku pada syariat-syariat umat terdahulu. Dahulu ada seorang lelaki dari kaum Bani Israil, jika ia melakukan sebuah dosa, maka tobatnya tidak akan diterima kecuali harus dibunuh. Apabila pakaiannya terkena najis, maka tidak bisa disucikan kecuali dengan memotong bagian yang terkena najis

karena itu Allah  menyebutkan tentang Nabi  

“Dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” .

(QS. Al-A’ráf: 157)

Di antara bentuk kemudahan agama Islam juga adalah adanya syarat mampu dalam menjalankan kewajibannya.

Nabi ﷺ bersabda

“Apa saja yang aku larang bagi kalian, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan, maka kerjakanlah semampu kalian.” [1]

Zakat tidak wajib bagi orang fakir lagi membutuhkan, tetapi diwajibkan bagi orang kaya yang sudah mempunyai nisab tertentu. Ibadah haji tidak wajib kecuali jika sudah memenuhi syarat mampu dari sisi materi, kesehatan, dan perjalanan. Sama halnya dengan shalat; orang yang tidak mampu mengerjakannya dengan berdiri, maka boleh sambil duduk, berbaring, atau bagaimana pun kondisi semampunya. Seorang musafir boleh tidak berpuasa, dan orang sakit yang kemungkinan masih bisa sembuh, kemudian ia mengqada puasanya sejumlah hari yang ia tidak berpuasa. Orang yang sakit serta sama sekali tidak bisa berpuasa, maka ia wajib memberi makan setiap harinya satu orang miskin, dan seterusnya berlaku pada semua hukum-hukum syariat lainnya.

Dan di antara kemudahan Islam, ia juga memberlakukan rukhsah bagi kalangan yang beruzur, sebagai contoh disyariatkannya shalat Khauf, bagi yang sedang dalam kondisi berperang, mengqasar shalat dan menjamaknya antara dua jenis shalat bagi seorang musafir, mengusap khuf (sepatu), bagi yang bermukim sehari semalam, sementara bagi musafir tiga hari tiga malam, dan contoh-contoh lainnya. [2]




2.Tidaklah seseorang memaksakan diri dalam hukum-hukum agama, tidak berlemah lembut dalam menerapkannya, membebani dan mewajibkan diri sendiri di luar batas kemampuannya, melainkan dia akan lemah dan berhenti mengerjakanannya. Meskipun ia mampu mengendalikan nafsunya dan kekuatannya membantunya untuk bersabar mengerjakan apa yang ia wajibkan terhadap dirinya sendiri, suatu saat ia akan bosan dan kembali kepada kondisi yang mudah karena capek. Maka sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Nabi ﷺ. Oleh karena itu, tatkala Abdullah bin Amr bin Al-Aÿ k berkata, “Sungguh aku akan shalat sepanjang malam dan puasa siang hari seumur hidup.” Ucapannya ini sampai ke telinga Nabi ﷺ, maka beliau melarangnya dan memerintahkannya agar berpuasa tiga hari setiap bulannya, dan sebaiknya ia shalat malam dan tetap tidur setelahnya. Lalu Abdullah h enggan karena merasa ia kuat dan mampu melakukan lebih dari itu, lantas beliau g bersabda, “Puasalah sehari dan berbuka dua hari.” Ia berkata, “Sungguh aku masih mampu mengerjakan lebih dari itu.” Lalu beliau bersabda, “Puasalah sehari dan berbukalah sehari.” Lalu ketika sudah renta dan tidak sanggup lagi menjaga komitmennya untuk berpuasa, Abdullah bin Amr k berkata, “Sungguh, jika aku menerima saran untuk berpuasa tiga hari yang pernah disabdakan oleh Rasulullah g maka itu lebih aku cintai daripada keluarga dan hartaku.”[3]


3.Oleh karena itulah, seseorang harus benar dalam beramal, yaitu pertengahan antara berlebihan dan meremehkan, dan berusaha untuk sempurna dalam beramal, yaitu ketika kita belum mampu untuk mengerjakan secara sempurna, maka kita harus berusaha mengerjakan yang mendekati sempurna.[4] Ini merupakan perintah Nabi ﷺ agar bersikap sederhana dan moderat dalam beribadah, tidak berlebihan atau meremehkan. Jika seseorang tidak mampu untuk mengerjakan amalan sunnah dan ketaatan dengan sempurna, maka sebaiknya mengerjakan yang mendekati sempurna; sebab jika tidak bisa mengerjakan secara utuh maka tidak lantas meninggalkannya seluruhnya.[5]


4.Lalu Nabi ﷺ menyampaikan sebuah kabar gembira guna menghibur umatnya. Karena sekalipun mereka kurang sempurna dalam beramal dan tidak mampu untuk mengerjakan ibadah secara sempurna, namun Allah c tetap menyiapkan bagi mereka pahala yang besar, tidak menguranginya sedikit pun.


5.Tatkala Nabi ﷺ mengetahui bahwa manusia tidak akan mampu mengerjakan ibadah sepanjang waktu, maka beliau mengarahkan mereka agar memanfaatkan waktu-waktu giat mereka dalam beribadah kepada Allah dan semangat menjalankan ketaatan kepada-Nya, yaitu di pagi hari, di sore hari. Beliau juga memotivasi mereka agar beribadah di waktu yang paling disukai dan paling utama, yaitu beribadah di akhir malam.[6]


Implementasi


  1. (1) Nabi ﷺ menggunakan huruf “InnaAn-Nasikhah, fungsinya sebagai penegasan dan membenarkan sebuah pernyataan. Ini merupakan gaya bahasa para ahli balagah (ilmu retorika) dan orator yang sangat bagus dipakai oleh para dai.

2.(1) Apabila seseorang berpikir mengenai kewajiban-kewajiban syariat dan ia melihat di dalamnya ada kemudahan dan keringanan, dan di dalamnya terdapat rukhsah (keringanan) dan kemudahan bagi orang-orang yang sakit dan lemah; maka ia akan mengetahui betapa luasnya kasih sayang dan kelembutan Allah terhadap hamba-hamba-Nya, sehingga ia pun semakin cinta kepada-Nya dan semangat dalam meraih rida-Nya dengan menjalankan berbagai macam ketaatan.

3.(2) Hadis ini memberikan faedah bahwa meninggalkan rukhsah dalam kondisi darurat merupakan sikap membebani dan merugikan diri sendiri. Manakala seorang hamba membutuhkan suatu keringanan dan sudah mantap, maka disunnahkan mengambil keringanan tersebut dan tidak memberatkan diri sendiri. Ketika seorang musafir merasa berat jika harus berpuasa, maka sebaiknya berbuka. Jika orang yang sedang sakit merasa lemah untuk berdiri ketika shalat, maka sebaiknya dia duduk. Jika seorang hamba dalam kondisi fakir, kelaparan dan kondisi memaksanya untuk makan bangkai dan yang semisal guna menyambung hidup maka dia harus melakukannya, dan dia tidak boleh membiarkan dirinya binasa.[7]


4.(2) Seseorang tidak boleh memberatkan diri dalam menjalankan agama Allah dan mewajibkan kepada diri sendiri sebuah amalan yang sebenarnya tidak diwajibkan oleh Allah kepadanya. Membebani diri dengan sebuah ketaatan termasuk sikap berlebih-lebihan.

5.(2) Makna hadis ini bukan berarti orang yang bersungguh-sungguh dalam sebuah ketaatan tidak baik, tetapi maknanya betapa buruk seseorang yang membebani dirinya di luar batas kemampuannya.

6.(2) Berpegang teguh dengan sunnah Nabi ﷺ lebih baik daripada menambahnya. Sehari berpuasa sehari tidak berpuasa, shalat kemudian tidur, itu lebih baik daripada berpuasa sepanjang masa dan shalat sepanjang malam. Oleh karena itu, beliau bersabda kepada beberapa orang yang menganggap ibadahnya sedikit dibandingkan Nabi ﷺ dan mereka hendak mengerjakan lebih dari itu

“Demi Allah, adapun aku adalah orang yang paling takut kepada Allah daripada kalian dan paling bertakwa kepada-Nya daripada kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku tidur, dan aku menikahi wanita, maka barang siapa yang tidak menyukai sunnahku, ia tidak termasuk golonganku.”[8]


7.(2) Hadis ini merupakan dalil bahwa yang disyariatkan ialah bersikap moderat dalam mengerjakan ketaatan; karena melelahkan dan memberatkan diri dalam beribadah justru bisa membuat seseorang meninggalkannya secara total. Sedangkan agama ini sifatnya mudah, dan tidaklah seseorang membebani dirinya melainkan akan terkalahkan, dan syariat nan suci ini dibangun di atas kemudahan dan bukan untuk membuat orang lari darinya.[9]


8.(2) Orang yang sedang beramal sebaiknya tidak membebani dirinya dengan hal yang bisa mengakibatkannya lemah dan putus dari ketaatan. Akan tetapi hendaknya beramal dengan lembut agar amalnya kontinu tidak terputus, disebutkan dalam sebuah hadis

“Amalan yang paling dicintai Allah Ta’ala ialah yang paling kontinu meskipun sedikit.”[10]


9.(3) Perkara yang dituntut dari seorang hamba ialah mencurahkan semua upaya untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan semangat dalam meraih kesempurnaan semampunya. Ia tetap bersungguh-sungguh untuk bisa khusyuk secara sempurna di dalam shalatnya, dan mengerjakan amalannya secara lengkap dan tepat. Bersungguh-sungguh dalam memahami dan menelaah pelajaran. Bersungguh-sungguh dalam menjauhi semua jenis maksiat, dan semangat dalam menjalankan semua perintah. Apabila setelah bersungguh-sungguh ia meraih semua itu, maka ia layak diberi apresiasi dan mendapat pahala.

10.(3) Sunnah berada di pertengahan antara dua hal yang bertentangan; berlebihan dan meremehkan. Seseorang tidak boleh berlebihan dan memberatkan dirinya dalam beribadah, dan tidak pula ia meremehkan dan bermudah-mudahan meninggalkan perintah dan melanggar larangan.

11.(4) Di antara bentuk sunnah adalah ketika seorang dai dan orang yang fakih memberi kabar gembira kepada hamba dengan karunia Allah Ta’ala serta pahala-Nya lantaran ketaatannya, dan janganlah membuatnya putus asa dari kasih sayang Allah.


12.(5) Seseorang seharusnya memilih waktu-waktu giatnya dalam beribadah kepada Allah dan menjalankan ketaatan kepada-Nya. Jika ia merasa dirinya malas atau kurang semangat, sebaiknya ia tidur dan beristirahat, kemudian memulai kembali saat dirasa sudah fit dan kuat. Hal ini berlaku pada amalan ibadah, ketaatan, amalan duniawi, menuntut ilmu, dan lain sebagainya.

13.(5) Membagi-bagi waktu beramal dalam sehari. Seseorang mempunyai bagian untuk mengerjakan sebuah ketaatan pada waktu tertentu, itu lebih baik daripada mengerjakan sekaligus semua jenis ketaatan dalam satu waktu yang melelahkan diri dan tubuh.

14.(5) Di antara bentuk kasih sayang Allah Ta’ala kepada kita, Dia tidak mewajibkan kepada kita shalat malam, dan tidak menganjurkan untuk mengerjakannya semalam suntuk

bahkan beliau g bersabda di dalam sebuah hadis,

“Dan sedikit dari waktu malam,” sebagai bentuk keringanan dan kemudahan, karena beratnya beramal di malam hari. Jika tidak demikian niscaya beliau akan bersabda, “Di waktu malam.”[11]

15.Dari Aisyah , bahwasanya Nabi ﷺ biasanya di malam hari menyiapkan tikar untuk shalat, dan menggelarnya di siang hari untuk duduk di atasnya. Orang-orang serentak menghampiri Nabi ﷺ mereka shalat mengikuti beliau sampai jumlahnya bertambah banyak, lalu beliau menoleh ke arah mereka lalu bersabda

“Wahai manusia, kerjakanlah amalan sesuai dengan kemampuan kalian, karena sesungguhnya Allah tidak akan bosan sampai kalian sendiri yang bosan, dan sungguh amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang kontinu walaupun sedikit.”[12]

16.Suatu hari Nabi ﷺ masuk masjid, ternyata ada seikat tali membentang antara dua tiang, lalu beliau bersabda

“Tali apa ini?” Mereka menjawab, “Ini tali milik Zainab, saat ia kurang semangat, ia berpegangan padanya.” Lalu Nabi g bersabda, “Tidak boleh, lepaskan talinya, shalatlah kalian ketika bersemangat, dan ketika lemah semangat maka duduklah.”[13]

 

Referensi

  1. HR. Muslim (1337).
  2.  Manár Al-Qári Syarñ Mukhtaÿar Ÿañiñ Al-Bukhári karya Hamzah Muhammad Qadim (1/121-122)
  3. HR. Al-Bukhari (1131) dan Muslim (1159)
  4.  Fatñ Al-Bari karya Ibnu Ôajar (1/95).
  5.  Manár Al-Qári Syarñ Mukhtaÿar Ÿañiñ Al-Bukhári karya Hamzah Muhammad Qasim (1/123)
  6.  Fatñ Al-Bárí karya Ibnu Ôajar (1/95)
  7.  Lihat: Fatñ Al-Bári karya Ibnu Ôajar (1/94-95)
  8. HR. Al-Bukhari (5063) dan Muslim (1401) dari Anas h
  9.  Nail Al-Auþár karya Asy-Syaukaní (6/123)
  10.  HR. Al-Bukhari (6464) dan Muslim (783) dari Ummul Mukminin Aisyah 
  11. At-Tauðíñ Li Syarñ Al-Jami’ Aÿ-Ÿañiñ karya Ibn Al-Mulaqqin (3/87)
  12. . HR. Al-Bukhari (5861) dan Muslim (782)
  13. .HR. Al-Bukhari (1150) dan Muslim (784)) dari Anas h.


1.Seorang Arab Badui dari dataran Najed, yaitu dataran yang membentang dari Hijaz di timur ke Yamamah di barat, dan sekarang ini mencakup wilayah Riyadh, Qasim, dan Aflaj[1], datang menemui Nabi ﷺ ketika beliau sedang duduk-duduk bersama para sahabat. Rambut orang Badui tersebut acak-acakan dan dia tidak peduli dengan penampilannya. Ia kemudian memanggil dari jauh dan berbicara dengan suara tinggi, sehingga suaranya terdengar menggema, dan apa yang ia katakan tidak bisa dipahami. Ketika ia mendekati tempat duduk Nabi dan para sahabat, mereka baru memahami apa yang ia ucapkan. Rupa-rupanya ia bertanya tentang syariat Islam.[2]

2.Lantas Nabi ﷺ memberitahukan kepadanya kewajiban shalat, yang merupakan rukun Islam kedua setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. Nabi juga menyatakan bahwa ia wajib menjalankan lima kali shalat dalam sehari semalam, yaitu shalat Subuh, Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya. Lalu orang Badui itu bertanya kepada Nabi, “Apakah ada shalat wajib lainnya jika aku sudah mendirikan shalat-shalat tersebut dengan menunaikan semua rukun, kewajiban, dan sunnahnya dengan sempurna?” Lantas, Nabi ﷺ menjawab bahwa ia tidak wajib menjalankan selain dari shalat-shalat tersebut, kecuali hanya shalat sunnah saja.

Yang dimaksud dengan amalan sunnah (taþawwu’) adalah seseorang mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan ibadah-ibadah yang tidak diwajibkan­-Nya. Hal itu dilakukan karena ingin mendapatkan derajat yang tinggi pada hari kiamat. Amalan-amalan tersebut disunnahkan, pelakunya diberi pahala, dan yang meninggalkannya tidak mendapatkan hukuman.[3]

3.Kemudian Nabi ﷺ menyebutkan puasa, yang merupakan rukun Islam yang keempat. Puasa ialah menahan diri dari makan, minum, dan segala sesuatu yang membatalkan, mulai dari terbit fajar sadik sampai matahari terbenam, sembari berniat untuk mendapatkan pahala.[4] Kemudian Nabi ﷺ memberitahukan bahwa ia wajib menjalankan puasa di bulan Ramadan. Lalu, orang Badui itu bertanya kepada Nabi ﷺ, “Apakah aku juga wajib berpuasa di luar bulan ini?” Maka Nabi ﷺ menjawab bahwa ia tidak wajib berpuasa selain di bulan Ramadhan, kecuali bila ia berpuasa sunnah di hari-hari yang disunnahkan berpuasa.


4.Selanjutnya Nabi ﷺ menjelaskan zakat kepada orang Arab Badui tersebut. Zakat merupakan rukun Islam yang ketiga setelah mengucapkan dua kalimat syahadat dan shalat. Beliau memberitahukan kepadanya tentang kewajiban zakat tersebut dan menjelaskan hukum-hukumnya.

Zakat adalah ibadah kepada Allah Ta’ala dengan mengeluarkan bagian yang wajib secara syariat dari harta benda tertentu kepada golongan atau pihak tertentu.[5] Dia dinamakan dengan zakat karena ibadah tersebut dapat menyucikan dan membersihkan jiwa dari berbagai dosa.

Allah Ta’ala berfirman,

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka.”

(QS. At-Taubah: 103)

Kemudian laki-laki tersebut bertanya kepada Nabi ﷺ, “Apakah ada kewajiban lain dalam hartaku selain zakat wajib tersebut?” Lalu Nabi ﷺ menjawab, “Tidak, kecuali bila engkau melakukan amalan sunnah lalu bersedekah dengan hartamu di jalan- jalan kebaikan.”

5.Kemudian laki-laki tersebut pergi seraya berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menambah atau menguranginya.” Artinya, ia akan melakukannya dengan sebaik-baiknya sebagaimana mestinya tanpa menambah-nambah, sebagaimana engkau mengatakan kepada orang yang menyuruhmu untuk melakukan suatu pekerjaan, “Aku tidak akan menambah dan tidak pula menguranginya.”

Laki-laki itu tidak bermaksud bahwa ia hanya akan melakukan amalan-amalan tersebut tanpa melakukan amalan-amalan lain yang tidak disebutkan oleh Nabi ﷺ seperti menundukkan pandangan, menjaga kemaluan, menjalankan amanah, berbicara dengan jujur, dan sebagainya. Sebab, hal-hal semacam itu merupakan kemungkaran yang laki-laki tidak boleh mengucapkannya, dan Nabi ﷺ juga tidak akan menyetujui perbuatan itu dilakukan oleh orang-orang seperti dia. Jadi, laki-laki tersebut sedang bertanya kepada Nabi ﷺ tentang amalan-amalan dan kewajiban-kewajiban yang dapat memasukkannya ke dalam surga. Oleh karena itu, Nabi ﷺ tidak memberitahukan kepadanya untuk meninggalkan hal-hal yang dilarang atau semisalnya.

Orang yang senantiasa menjaga apa yang diperintahkan, dengan kedudukannya seperti itu, akan bersegera menjalankan perintah Allah atau Rasul-Nya, dan tidak berhenti melakukannya, baik yang diperintahkan itu bersifat wajib maupun sunnah.[6]

6.Kemudian Nabi ﷺ memberitahukan bahwa jika laki-laki tersebut menjalankan hal tersebut dan jujur dengan apa yang dikatakannya, maka sungguh ia telah beruntung, selamat, dan memperoleh semua kebaikan.

Nabi ﷺ tidak menyebutkan dua kalimat syahadat, karena Nabi tahu bahwa laki-laki itu mengetahuinya, atau karena ia datang untuk bertanya kepada Nabi tentang syariat Islam yang bersifat praktis. Demikian juga, beliau tidak memberitahukan kepadanya tentang haji, karena ketika itu haji belum wajib, atau belum wajib atas laki-laki tersebut, atau sudah disebutkan oleh Nabi ﷺ namun diringkas oleh perawi hadis.[7]

Implementasi


1.(1) Nabi g bersikap sabar terhadap sikap keras orang Badui yang meninggikan suaranya kepada beliau. Ini menjadi penjelasan bagi dai, guru, dan pendidik bahwa ia harus menjadi sosok yang sabar dan kuat terhadap kesulitan-kesulitan dakwah. Sebab, terkadang dia harus berhadapan dengan penentangan dan bahaya, maka sudah sepatutnya ia bersabar, tabah, dan meneladan Nabi ﷺ.

2.(1) Seorang dai, waliyul amri, fakih, dan pendidik harus memperhatikan perbedaan tingkat intelektual di tengah masyarakat. Jangan sampai ia memperlakukan semua orang dengan cara yang sama. Nabi ﷺ tidak mencela laki-laki Arab Badui yang meninggikan suaranya dan tidak menghukumnya lantaran hal tersebut.

3.(2) Laki-laki tersebut antusias bertanya kepada Nabi ﷺ tentang apa yang bermanfaat baginya tanpa ada rasa malu. Sehingga setiap kali Nabi g memerintahkan sesuatu kepadanya, ia berkata, “Apakah ada kewajiban lain bagiku?” Oleh karena itu, sudah sepatutnya seseorang bersemangat untuk menuntut ilmu, dan jangan sampai ia terhalang oleh rasa malu ataupun sombong untuk bertanya.

4.(2) Dalam hadis tersebut terdapat indikasi bahwa amalan-amalan wajib saja jika senantiasa dilakukan oleh pelakunya dengan cara yang diridai oleh Allah , maka kelak di hari kiamat ia akan termasuk ke dalam golongan orang-orang yang selamat, kendati ia tidak melakukan amalan-amalan sunnah. Sebab, Allah c telah menjelaskan bahwa tidaklah seorang hamba mendekatkan diri kepada-Nya dengan sesuatu yang lebih Dia sukai ketimbang apa yang Dia wajibkan kepadanya. Hanya saja, meninggalkan amalan-amalan sunnah menjadikan seseorang tidak mendapatkan berbagai kebaikan. Sebab, seorang hamba jika ia menjadi orang yang beruntung dan selamat dengan hanya menjalankan amalan-amalan wajib saja, maka tidak diragukan lagi bahwa dengan mengerjakan amalan-amalan sunnah akan memperkuat keberuntungan, ditinggikan derajatnya, dan diangkat kedudukannya di sisi Allah.

5.(2) Shalat sunnah banyak jenisnya. Yang utama dan paling tinggi nilainya adalah shalat sunnah muakadah yang dilakukan mengiringi shalat lima waktu, yaitu dua rakaat sebelum shalat Fajar, empat rakaat sebelum shalat Zuhur, dua rakaat setelah shalat Zuhur, dua rakaat setelah shalat Magrib, dan dua rakaat setelah shalat Isya. Berkaitan dengan hal ini

Nabi ﷺ bersabda

“Barang siapa yang shalat dua belas rakaat dalam sehari semalam, maka  dibangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga.”[8]

Di antara shalat sunnah lainnya adalah shalat Duha, shalat malam, shalat Witir, dan shalat sunnah lainnya yang difirmankan oleh Allah Ta’ala pada hadis Qudsi,

“Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan shalat-shalat sunnah hingga Aku mencintainya. Apabila Aku mencintainya, maka Aku menjadi pendengaran yang dengannya ia mendengar; menjadi mata yang dengannya ia melihat; menjadi tangan yang dengannya ia bertindak; dan menjadi kaki yang dengannya ia berjalan. Apabila ia meminta kepada-Ku, maka Aku akan benar-benar memberinya. Apabila ia memohon perlindungan kepada-Ku, maka Aku akan benar-benar memberinya perlindungan.”[9]


6.(3) Puasa sunnah merupakan salah satu amal ibadah sunnah yang paling baik. Allah Ta’ala telah menyediakan balasan yang besar untuk ibadah tersebut. Puasa Arafah misalnya, dapat menghapus dosa satu tahun yang telah lalu dan satu tahun yang akan datang.[10] Puasa Asyura dapat menghapus dosa satu tahun yang lalu.[11] Selain itu, siapa yang mengiringi puasa Ramadan dengan puasa enam hari di bulan Syawal, maka seakan-akan ia berpuasa sepanjang tahun.[12]

7.(4) Nabi ﷺ menyebutkan zakat karena ibadah tersebut merupakan bukti keimanan seorang hamba. Sebab, hanya orang mukmin yang menunaikan zakat hartanya dengan senang hati. Karena pada dasarnya jiwa manusia menyukai harta benda dan kikir dengannya. Apabila seorang hamba rela mengeluarkannya karena Allah b, maka hal tersebut mengindikasikan kebenaran imannya kepada Allah Ta’ala, membenarkan janji dan ancaman-Nya. Oleh karena itu, seorang hamba harus menguji keimanannya dengan mengeluarkan zakat dan sedekah serta melatihnya melakukan perbuatan tersebut, karena apa yang ada di sisi Allah jauh lebih baik dan lebih kekal.

8.(5) Orang Badui tersebut berkata, “Demi Allah, aku tidak akan menambah dan menguranginya.” Hal tersebut diucapkannya ketika ia mengetahui bahwa mengerjakan amalan-amalan wajib sudah cukup untuk mengantarkannya masuk ke dalam surga. Oleh karena itu, seseorang harus penuh tekad dan semangat dalam setiap kebaikan yang ia lakukan dan mengharapkan balasannya. Ia tidak boleh kendur atau semangatnya melemah setelah memulainya, baik hal itu terkait amal akhirat maupun pekerjaan duniawi. Seorang penuntut ilmu tidak boleh bermalas-malasan dalam mengulang-ulang pelajarannya; seorang prajurit tidak boleh lengah dalam menjaga pertahanannya; seorang pegawai dan pekerja tidak boleh lepas dari sikap profesionalismenya hingga ia menyelesaikan pekerjaannya.


9.(6) Tanggapan Nabi ﷺ terhadap ucapan laki-laki itu adalah bukti bahwa hal tersebut tidak terbatas untuk laki-laki tersebut saja, akan tetapi berlaku secara umum untuk setiap Muslim. Oleh karena itu, barang siapa yang benar-benar melaksanakan amalan-amalan wajib dan menahan diri dari hal-hal yang dilarang dan perbuatan-perbuatan haram, maka itu sudah cukup baginya untuk selamat dari neraka dan masuk surga. Hanya saja surga memiliki derajat dan tingkatan. Tingkatan yang paling tinggi dan paling utama adalah ketika seorang hamba berada dalam golongan para nabi dan rasul, orang-orang yang senantiasa jujur, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Tidak diragukan lagi bahwa kedudukan ini tidak cukup hanya dengan melakukan ibadah-ibadah wajib semata. Maka, setiap orang harus memperhatikan amal perbuatannya. Setiap manusia harus memperhatikan kedudukan yang ia inginkan di akhirat!


10.Pada hadis di atas, Nabi ﷺ memperhatikan kondisi orang yang didakwahi dan yang bertanya. Nabi ﷺ tidak berbicara kepadanya melebihi kewajiban-kewajiban dan rukun-rukun Islam yang menjadi sandaran utama beragama seseorang. Oleh karena itu, seorang dai, orang yang alim, dan fakih harus cerdas dalam memberikan jawaban yang tepat kepada penanya dan mengajak orang yang didakwahi dengan cara yang sesuai dengan kondisinya. 

11.Seorang penyair menuturkan,

Azan dari atas menara berkumandang

di pagi hari yang cerah dan malam yang tenang

Seruan yang membawa kehidupan kepada alam semesta

dan para penduduknya di desa dan kota

Seruan dari atas langit kepada bumi,

yang terlihat di atasnya maupun yang tersembunyi

Pertemuan antara malaikat, keimanan,

dan orang-orang beriman tanpa ada yang memisahkan

Bergerak untuk memperoleh kebajikan menuju kebenaran, petunjuk, dan beragam kebaikan

12.Penyair lain menuturkan,

Wahai orang yang bersedekah, harta Allah yang engkau berikan

pada jalan kebaikan, harta tersebut tidak akan berkurang

Betapa Allah melipatgandakan harta yang pemiliknya dermawan

Sesungguhnya kemurahan dengan hukum Allah adalah suatu keridaan

Sedangkan sifat pelit itu membawa penyakit yang tidak ada obatnya

Harta orang pelit menjadi warisan bagi yang mengeluh kekurangan

Sesungguhnya bersedekah adalah membahagiakan orang yang tidak berpunya

jika engkau membutuhkan, orang yang dermawan akan terlihat nyata

 

Referensi

  1. Lihat: Aþlas Al-Hadíš An-Nabawí karya Syauqí Abu Khalil (halaman 365)
  2.  Lihat: Fatñ Al-Bárí karya Ibnu ôajar (1/106)
  3.  Lihat: Mugnī Al-Muñtáj karya Al-Khaþib Asy-Syirbíní (2/182)
  4.  Lihat: Asy-Syarñ Al-Mumti’ alá Zád Al-Mustaqni’ karya Ibnu Ušaimin (3/5).
  5.  Syarñ Ÿahīh Al-Bukhárí karya Ibnu Baþþal (1/104-105)
  6.  Syarñ Ṣahīh Al-Bukhárí karya Ibnu Baþþal (1/104-105)
  7.  Lihat: Fatñ Al-Bárí karya Ibnu ôajar  (1/107)
  8.  HR. Muslim (728)
  9.  HR. Al-Bukhari (6502).
  10.  HR. Muslim (1162)
  11.  HR. Muslim (1162)
  12.  HR. Muslim (1164).


1. Islam memberikan perhatian terhadap seluruh urusan manusia, baik yang lahir maupun batin. Oleh karena itu, Islam menaruh perhatian terhadap penampilan seorang Muslim. Dalam hadis ini, Nabi ﷺ memberitahukan sejumlah perkara fitrah, yaitu perkara-perkara sunnah yang menjadi fitrah manusia dan Allah mensyariatkannya bagi mereka. Dengan perkara-perkara tersebut, seseorang akan terlihat indah dan elok yang manusia diciptakan di atasnya, serta hal tersebut dikuatkan oleh akal yang sehat. Hanya saja, sejumlah fitrah tersebut berbalik dan menyimpang dari asalnya.

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ

“Setiap anak dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.” 


Perkara-perkara fitrah tidak hanya terbatas pada sepuluh perkara yang dikabarkan oleh Nabi ﷺ pada hadis ini. Akan tetapi, fitrah-fitrah lainnya terdapat pada hadis-hadis lain, sehingga maksud penyebutan bilangan pada hadis ini bukan untuk membatasi. 


2. Sunnah yang pertama, mencukur kumis, yaitu rambut yang tumbuh di atas bibir bagian atas. Kumis diperintahkan untuk dicukur karena jika dibiarkan panjang maka kotoran dari hidung akan menempel. Di samping akan bersentuhan dengan air ketika minum, yang bisa saja mengandung mikroba-mikroba yang berbahaya. [2]
Mencukur kumis hukumnya sunnah, dan cara terbaik ketika mencukurnya adalah dengan memendekkannya hingga bibir terlihat, bukan dengan mengerik habis kumis tersebut. 


3. Kedua, memanjangkan jenggot, yaitu rambut yang tumbuh di dagu laki-laki dan kedua pipinya. Maksud dari memanjangkannya adalah membiarkannya menjadi lebat, tidak mencukurnya ataupun memendekkannya. 
Membiarkan jenggot hukumnya wajib bagi setiap Muslim. Ada sejumlah hadis yang menjelaskannya dengan beberapa redaksi, seperti: أَعْفُوْا، أَوْفُوْا، أَرْخُوْا، أَرْجُوْا dan وَفِّرُوْا. Sehingga dari beberapa riwayat yang digabungkan tersebut bisa disimpulkan adanya perintah untuk membiarkan jenggot dan tidak mencukur, mengerik, ataupun mencabutnya. 


4. Ketiga, menggunakan siwak, yaitu sejenis kayu yang diambil dari pohon arak untuk membersihkan gigi dan memberi aroma wangi pada mulut, serta menghilangkan bau mulut yang tidak sedap. 
Menggunakan siwak disyariatkan dan disunnahkan setiap waktu. Sunnahnya menjadi lebih ditekankan ketika akan shalat, bangun tidur, ketika bau mulut berubah, dan munculnya warna kuning di gigi.

Rasulullah ﷺ bersabda

“Siwak itu menyucikan mulut dan mendatangkan keridaan Tuhan.” [3]


5. Keempat, istinsyaq, yaitu seseorang menghirup air ke dalam hidung kemudian mengeluarkannya dengan kuat, agar kotoran dan gangguan yang ada di dalamnya keluar. 


6. Kelima, memotong kuku. Maksudnya memotong kukunya yang panjang, supaya kotoran dan mikroba yang berbahaya tidak berkumpul di dalamnya. 


7. Keenam, membasuh lipatan-lipatan jari dan semua persendiannya. Sebab, di bagian tersebut besar kemungkinan terdapat tanah, najis, dan kuman-kuman. Termasuk dalam hal itu adalah membersihkan lipatan-lipatan tubuh, sehingga perlu dibersihkan dan dihilangkan. 


8. Ketujuh, membuang rambut yang tumbuh di bawah ketiak, tempat berkumpulnya keringat dan kotoran, sehingga bisa menyebabkan bau badan.
Mengerjakan sunnah dengan menghilangkan rambut tersebut bisa dengan cara apa pun, baik dengan mengerik ataupun mencabutnya. Sebab, tujuannya adalah menghilangkan rambut tersebut, dan tujuan tersebut tercapai. Namun demikian mencabut lebih utama dan lebih baik bagi orang yang mampu melakukannya. [4]


9. Kedelapan, mencukur bulu kemaluan yang tumbuh di sekitar kubul laki-laki maupun perempuan. Tumbuhnya rambut tersebut sejatinya adalah pertanda balig. Selain itu, proses menghilangkan rambut tersebut dinamakan dengan istihdad (menggunakan alat yang tajam) karena ketika mencukur biasanya menggunakan pisau cukur. 


10. Kesembilan, istinja, yaitu menggunakan air setelah buang hajat. Disebutkan bahwa makna istinja adalah seseorang memercikkan air ke kemaluan atau pakaiannya setelah berwudu, untuk menghilangkan waswas yang muncul bahwa tetesan kencing menempel di pakaiannya. [5]


11. Salah seorang perawi lupa perilaku yang kesepuluh. Kendati demikian, ia yakin bahwa yang kesepuluh itu adalah berkumur-kumur, yaitu seseorang menggerak-gerakkan air di dalam mulutnya kemudian ia semburkan.
Ada yang berpendapat bahwa yang kesepuluh itu adalah khitan, dengan dalil hadis Muttafaq ‘Alaihi dari Abu Hurairah 

dari Nabi ﷺ beliau bersabda

, “Fitrah itu ada lima. Atau lima hal yang merupakan fitrah yaitu: berkhitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan mencukur kumis.”  [6]


Khitan bagi laki-laki hukumnya wajib. Khitan adalah memotong kulit yang menutupi ujung zakar sehingga semua bagian ujung zakar tersebut terbuka. Sebab, kulit tersebut dapat menghalangi air kencing dan menjadi penyebab najis.
Adapun bagi wanita, khitan hukumnya baik dan sunnah. Khitan dilakukan dengan memotong bagian paling bawah dari kulit yang berada di bagian atas kemaluan. [7]
Pada dasarnya, memotong kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan dilakukan ketika dia sudah mulai panjang. Hanya saja, tidak dianjurkan untuk dibiarkan sampai berlalu empat puluh hari. Anas bin Malik  dalam hal ini menyatakan, “Kami diberikan waktu untuk memotong kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan memotong bulu kemaluan tidak lebih dari empat puluh malam.” [8]


Implementasi

1. Islam memberikan perhatian pada kesucian manusia baik lahir maupun batin. Selain itu, Islam juga berusaha agar seseorang memiliki penampilan yang baik.

Allah berfirman

“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan mencintai orang-orang yang menyucikan diri.”

(QS. Al-Baqarah: 222)

dan menjadikan “Kesucian adalah sebagian dari iman” [9] Maka, seorang Muslim harus bersungguh-sungguh untuk menjaga kebersihan tubuh dan keelokan penampilannya, sebagaimana ia berupaya untuk menjaga kebersihan akidah dan kesucian hatinya. 

2. (1) Allah  mewajibkan seorang yang hamba yang bersimpuh di hadapan-Nya agar berada dalam kondisi suci yang sempurna, bersih pakaian dan badan, siap untuk bersimpuh di hadapan-Nya dengan kondisi batin yang sehat dengan bertobat, kondisi lahiriah yang elok dengan bersuci dan mengenakan perhiasan. Oleh karena itulah, orang yang selesai berwudu mengucapkan doa: Alláhummaj’alnī minattawwábīna waj’alnī minal mutaþahhirīna. (Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertobat dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang menyucikan diri).


3. (2) Manusia dianjurkan untuk mengikuti sunnah Nabi ﷺ dan memendekkan kumisnya. Di samping itu, disunnahkan untuk memulai memotongnya dari sebelah kanan.


4. (3) Seseorang tidak boleh menggunting jenggot atau mengeriknya. Namun ia boleh merapikan jenggot yang tidak beraturan demi menjaga keindahan.


5. (3) Ada beberapa perkara yang disebutkan oleh ulama makruh dilakukkan oleh seseorang terkait jenggot, di antaranya: mewarnainya dengan warna hitam bukan karena untuk berjihad; mewarnainya dengan warna kuning agar penampilannya seperti orang-orang zuhud; mewarnainya dengan warna putih agar terlihat seperti seorang syekh, ahli hikmah, dan ulama. Juga tidak diperbolehkan untuk mengerik dan mencabutnya. Selain itu, tidak diperbolehkan untuk mencabut uban, menyisir dan merapikannya untuk menarik perhatian wanita; dan membiarkannya kusut dan acak-acakan untuk memperlihatkan sikap zuhud dan tidak memperhatikan dirinya sendiri. [10]


6. (4) Manusia disunnahkan menggunakan siwak untuk membersihkan mulutnya, memberikan aroma wangi, dan menghilangkan bau tidak sedap dari mulut. Hal tersebut dapat digantikan dengan menggunakan sikat gigi, pasta gigi, dan sejenisnya yang dapat memberikan manfaat yang sama.


7. (4) Disunnahkan menggunakan siwak setiap kali hendak mengerjakan shalat sebagai bentuk menjalankan sunnah Rasulullah ﷺ

“Sekiranya tidak memberatkan umatku –atau manusia-, niscaya aku memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak shalat.” [11]


8. (4) Siwak tidak makruh digunakan kapan saja, bahkan juga disunnahkan untuk menggunakannya bagi orang yang berpuasa. Diriwayatkan dari 'Amir bin Rabi’ah ], beliau mengatakan, “Aku melihat Nabi ﷺ sering sekali bersiwak padahal beliau sedang berpuasa.” [12]


9. Istinsyaq (memasukkan air ke dalam hidung) termasuk perbuatan yang dapat membersihkan hidung. Oleh karena itu,

Nabi ﷺ memerintahkan orang yang berwudu dengan sabdanya,

“Bersungguh-sungguhlah dalam melakukan istinsyaq kecuali ketika engkau sedang berpuasa.” [13]


10. (6) Seorang Muslim hendaknya senantiasa memotong dan menggunting kukunya, sebagaimana ia juga memperhatikan tanah atau kotoran yang ada di bawah kuku tersebut dengan membersihkannya.


11. (7) Termasuk dalam kategori membersihkan sela-sela jari adalah membersihkan tempat-tempat yang menjadi area berkumpulnya kotoran, seperti lipatan-lipatan daun telinga, di bawah lipatan-lipatan kulit, sela-sela jari-jari kaki, dan setiap titik yang menjadi tempat berkumpulnya keringat, tanah, dan sebagainya. [14]


12. (9) Manusia disunnahkan untuk mencukur bulu kemaluannya, membasuh tempat tumbuhnya bulu kemaluan, membersihkan area antara kedua paha, dan memastikan air telah mengenai kulit pada area tersebut, karena area tersebut merupakan tempat sumber penyakit dan radang. 


13. (10) Tidak diragukan lagi bahwa bersuci menggunakan air setelah buang hajat lebih baik daripada bersuci dengan menggunakan batu atau semisalnya (istijmar) ketika ada air, karena pada saat itu najis bisa hilang secara sempurna, membersihkan bekasnya, dan menghilangkan bau yang tidak sedap dari tempat keluar najis tersebut. 


14. (11) Seorang Muslim tidak boleh menolak kebenaran atau mengatakan kebenaran karena rasa sombong dan sikap berbangga diri. Ketika perawi hadis ini dihinggapi keraguan karena lupa dengan salah satu perkara tersebut, dengan jujur ia menyatakan hal tersebut. Sebab jujur dengan mengakui kesalahan, lupa, dan tidak tahu, itu lebih baik daripada membuat dusta terhadap Allah  dan Rasulullah ﷺ.


15. (11) Berkumur-kumur merupakan salah satu sunnah fitrah yang harus diperhatikan oleh seorang Muslim dan dilakukan dengan rutin, agar dengan hal itu ia mendapatkan rida Allah Ta’ala dan pahala karena mengikuti Rasulullah ﷺ, agar ia mendapatkan kesucian yang sempurna. 


16. (11) Bersegera melakukan khitan sesuai kemampuan itu lebih utama. Khitan pada waktu kecil itu lebih utama, karena pertumbuhan daging pada fase tersebut lebih cepat. Di samping itu, anak kecil tidak merasakan sakit secara psikologis seperti yang dirasakan oleh orang dewasa. 


17. Seorang penyair menuturkan,
Engkau dilahirkan dalam keadaan suci dengan fitrahmu yang 
hanya wajib bagimu untuk membenarkan dan mengimaninya 
Engkau diuji dengan perintah, yang engkau bisa memilih 
di hadapanmu ada dua jalan yang terbentang
Engkau melakukan apa yang engkau sangat inginkan, sedangkan engkau diawasi 
Engkau sekali-kali tidak akan terhijab dari †at Yang Maha Kuasa

  

Referensi

  1. HR. Al-Bukhari (1385) dan Muslim (2658) dari Abu Hurairah
  2.  h Syarñ Riyáḍ Aṣ-Ṣálihîn karya Ibnu Ušaimin (5/230)
  3. HR. An-Nasa`í (5) dan Al-Bukhari dengan menjelaskan kata yang mengandung penegasan sebelum hadis (1953)
  4. Syarñ Ÿañiñ Muslim karya An-Nawawí (3/149)
  5.  Syarñ An-Nawawi 'ala Muslim (3/150
  6.  HR. Al-Bukhari (5889) dan Muslim (257)
  7.  Syarñ Riyáð Aÿ-Ÿalihîn karya Ibnu Ušaimin (5/229)
  8.  HR. Muslim (258)
  9. HR. Muslim (223)
  10.  Syarñ Ÿañiñ Muslim karya An-Nawawí (3/149, 150)
  11.  HR. Al-Bukhari (887) dan Muslim (252)
  12.  HR. At-Tirmizi (725). Beliau mengatakan, “Hadis hasan.” Al-Bukhari memberi penjelasan dengan ungkapan penegasan sebelum hadis (1934)
  13.  HR. Abu Daud (142), At-Tirmizi (788), An-Nasa`í (114), dan Ibnu Majah (448)
  14.  Lihat: Syarñ Ÿañiñ Muslim karya An-Nawawí (3/150).


  1. Seorang sahabat bertanya kepada Nabi ﷺ tentang berwudu dengan air laut, karena mereka melakukan perjalanan dengan melintasi laut dan hanya membawa sedikit air. Bila mereka berwudu dengan air yang sedikit tersebut, tentu mereka akan kehausan. Maka, apakah mereka boleh berwudu dalam kondisi ini dengan air laut?

  2. Lantas, Nabi ﷺ menjawab bahwa air laut itu suci zatnya dan menyucikan yang lain, kendati warna dan rasanya berbeda dari air tawar. 

  3. Nabi ﷺ juga menambahkan keterangan bahwa bangkai hewan-hewan yang hidup di laut, hukumnya halal dan boleh dimakan. Ini sebagai pengecualian dari firman Allah Ta’ala

    “Diharamkan bagi kalian bangkai.”

    (QS. Al-Má`idah: 3)

Rasulullah ﷺ juga bersabda,

“Dihalalkan bagi kalian dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Dua jenis bangkai tersebut adalah ikan dan belalang, sedangkan dua jenis darah adalah hati dan limpa.[1]”

Implementasi:

  1. (1) Pertanyaan sahabat tersebut sudah jelas, sahabat tersebut menjelaskan keadaannya dengan utuh. Sebab, terkadang fatwa menjadi berbeda lantaran perbedaan kondisi dan situasi. Oleh karena itu, seorang penanya wajib menjelaskan masalah kepada seorang mufti dengan lengkap, sedangkan mufti tidak boleh tergesa-gesa menjawabnya sampai ia paham masalahnya dengan utuh hingga ke detail-detailnya. 

  2. (1) Sahabat tersebut sangat perhatian terhadap urusan agama. Meskipun dia seorang musafir yang boleh menjamak shalat atau menundanya hingga ke akhir waktu sampai ia tiba di tujuan jika perjalanannya singkat, namun tetap memperhatikan masalah semacam ini, yaitu menjaga shalat tepat pada waktunya. Maka, tidak sepatutnya kita tenggelam dalam urusan dunia dengan melupakan ibadah kepada Allah Ta’ala.

  3. (2) Nabi ﷺ menjawab dengan sabdanya, “Laut itu suci airnya.” Beliau tidak menjawab dengan, “Ya,” misalnya, agar tidak dipahami bahwa boleh bagi seseorang untuk berwudu dengan air laut ketika darurat saja, yaitu ketika ia sedang berada di atas kapal dan hanya membawa sedikit air; juga supaya tidak dipahami bahwa tidak boleh membasuh najis dengan air laut. Akan tetapi beliau bersabda, “Laut itu suci airnya.” Hal ini untuk menjelaskan hukum umum bahwa air laut itu suci dan menyucikan, baik ketika ada air tawar atau tidak, baik jika seseorang berada dalam perjalanan atau menetap[2]. Hal ini merupakan jawaban yang bijak dari orang yang fakih. Sebab, seharusnya jawabannya itu jelas dan tidak mengandung berbagai kemungkinan lain. 

  4. (2) Sabda Rasulullah ﷺ, “Suci airnya (aþ-þahuru ma`uhu),” dengan menyebutkan dua lafaz pada hadis tersebut dengan bentuk makrifah[3] sebagai penegasan hukumnya. Sebab, bisa saja beliau mengatakan, “Air laut itu suci (ma`u al-bañri þahur),” Akan tetapi, beliau menguatkan hal tersebut dengan menyebutkan mubtada` (kata yang diterangkan) dan khabar (kata yang menerangkan) dengan bentuk makrifah[4]. Maka, seorang alim dan fakih, ketika memberikan jawaban hendaknya dengan jawaban yang kuat dan tidak mengandung keraguan. Bila tidak demikian, maka penanya akan kebingungan menjalankan fatwa yang diberikan.

  5.  (3) Pada hadis tersebut terdapat kebolehan menambah jawaban terhadap si penanya dengan sesuatu yang tidak ia tanyakan, bila yang ditanya melihat adanya suatu kebutuhan si penanya pada apa yang tidak ia tanyakan. Ketika si penanya melakukan perjalanan dalam waktu lama di laut, tentu kondisi semacam itu memungkinkan si penanya mendapati bangkai ikan yang mengambang di atas air. Sehingga beliau menjelaskan bahwa hukumnya halal dan boleh dimakan. Maka, sepantasnya seorang dai, guru, dan fakih untuk tidak hanya memberikan jawaban dari apa yang ditanyakan saja. Apabila ia melihat ada hal lain yang berhubungan dengan pertanyaan tersebut, namun tidak ditanyakan oleh si penanya, maka hendaknya ia memberikan jawaban yang sesuai.[5] 

Referensi

  1. HR. Ibnu Majah (3314).
  2. Nail Al-Auṭár karya Asy-Syaukání (1/29, 30).
  3. Kata makrifah dalam bahasa Arab memberikan faedah secara spesifik dan itu bisa dalam bentuk tambahan huruf alif lam di awal kata atau menambah kata ganti (dhamir muttaÿil) di akhir kata, editor.
  4. Hal ini dikarenakan pada umumnya mubtada` bersifat makrifah dan khabar bersifat nakirah, editor.
  5. Nail Al-Auṭár karya Asy-Syaukání (1/30, 31).


  1. Ušman bin Affan berdiri di hadapan banyak orang mengajarkan tata cara berwudu. Beliau meminta diambilkan air wudu, ia memulainya dengan membasuh kedua telapak tangannya sebanyak tiga kali. Kemudian mengambil air menggunakan telapak tangannya untuk berkumur sekaligus memasukkan air ke dalam hidungnya kemudian mengeluarkannya untuk membersihkan bagian dalamnya, dilakukan sebanyak tiga kali. Lalu membasuh wajah sebanyak tiga kali. Batasan wajah dari bagian atas adalah tempat tumbuh rambut sampai ke bawah bagian dagu, dan melebar dari dua cuping telinga. Lantas beliau membasuh kedua tangannya sampai kedua sikunya -yaitu dua persendian antara hasta dan lengan- dimulai tangan kanan terlebih dahulu sebanyak tiga kali, lalu tangan kirinya pun sebanyak tiga kali. Kemudian mengusap kepala dengan tangannya yang sudah dibasahi sekali, dan yang wajib ialah mengusapnya bukan membasuhnya, sebagai bentuk keringanan dan kemudahan. Kemudian membasuh kedua kakinya sampai kedua mata kakinya -mata kaki ialah tulang yang terlihat pada bagi bawah betis- sebanyak tiga kali, dimulai dari sebelah kanan lalu sebelah kirinya.

Perawi tidak menyebutkan bahwa beliau membasuh kedua telinganya, karena ia sudah dibasuh -bagian dalam atau luar- bersamaan dengan mengusap kepalanya, sebagaimana yang disebutkan secara valid dari beliau.[1]

Dalam hadis ini, Ušman meriwayatkan bahwa wudu Nabi adalah dengan membasuh masing-masing sebanyak tiga kali. Namun di dalam hadis-hadis lainnya, diriwayatkan bahwa beliau berwudu dengan membasuh masing-masing sebanyak satu kali. Ada pula yang menyebutkan bahwa basuhannya masing-masing dua kali. Dalil yang terkumpul menunjukkan bahwa basuhan yang menyucikan yang wajib adalah satu kali, dan selebihnya hukumnya sunnah, hanya saja beliau tidak pernah membasuh lebih dari tiga kali setiap anggota tubuhnya, dan beliau bersabda, “Barang siapa yang lebih dari bilangan ini, maka ia telah berbuat buruk, berlebihan, dan zalim.[2]” Membasuh satu kali sudah cukup, dua kali hukumnya sunnah, dan membasuh tiga kali maka itu sempurna, sedangkan lebih dari itu, maka telah berbuat zalim. 

2.  Kemudian Ušman mengabarkan bahwa beliau pernah melihat Nabi ﷺ berwudu seperti itu. Beliau hendak mengajarkan orang-orang tata cara wudu Nabi ﷺ sebagaimana yang pernah beliau lihat.

3.  Lalu Ušman menyebutkan bahwasanya Nabi ﷺ memberitahukan kepada mereka, siapa saja yang berwudu seperti wudu beliau tersebut, kemudian shalat dua rakaat dengan khusyuk, ikhlas, dan hatinya tidak disibukkan dengan pembicaraan duniawi; jika muncul sesuatu yang mengganggu pikiran seorang Muslim pada shalatnya, ia menepisnya dan tidak membiarkannya terus berlanjut, maka balasannya adalah dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.

Teks hadis tersebut mengandung faedah bahwa ampunan tersebut mencakup semua jenis dosa: dosa kecil maupun dosa besar, hanya saja ada hadis-hadis semisal yang mengkhususkan bahwa yang dimaksud adalah dosa-dosa kecil bukan dosa-dosa besar sebagaimana sabda beliau

“Shalat lima waktu, shalat Jumat hingga shalat Jumat berikutnya, dan puasa di bulan Ramaðan sampai bulan Ramaðan selanjutnya, dapat menghapus dosa-dosa yang dilakukan antara dua waktu-waktu tersebut, selama ia menjauhi dosa-dosa besar.[3]”

Para ulama menjadikan batasan pada hadis ini sebagai syarat khusus untuk riwayat yang masih bersifat umum pada hadis yang lain.[4]

4.  Manakala ampunan terhadap dosa dapat diraih dengan wudu, maka shalat dan berjalan menuju masjid merupakan tambahan pahala selain penghapusan dosa, sehingga melalui wudu dan shalat dosa-dosanya akan dihapus. Selain itu, ia juga mendapatkan pahala shalat dan langkah kaki berjalan menuju masjid, tidak akan berkurang sedikit pun. Rabb tidak hanya memberikan balasan berupa ampunan dosa-dosa baginya, namun Dia tetap memberikan ganjaran berupa pahala atas shalat dan langkah kakinya menuju masjid.

Implementasi:

  1. (1) Ušman yang dikenal sangat pemalu, namun rasa malunya tidak menghalanginya untuk berwudu di hadapan banyak orang guna mengajari mereka tata cara berwudu. Maka, jangan sampai engkau merasa malu untuk menimba ilmu, menyebarkannya, memperbaiki kesalahan, atau berbuat kebaikan serta mencegah kemungkaran.

  2. (1) Pelajarilah tata cara wudu yang disunnahkan beliau melalui hadis ini, dan bersemangatlah untuk bisa mengikutinya.

  3. (1) Cara membasuh (anggota badan) ketika wudu yang paling baik adalah sebanyak tiga kali, maka ikutilah tata cara tersebut dan jangan melebihi jumlah itu.

  4. (1) Membasuh kedua telapak tangan termasuk sunnah wudu yang sangat dijaga oleh Nabi ﷺ, meskipun tidak disebutkan di dalam Al-Qur`an. Maka, bersemangatlah dalam menggabungkan dan mengikuti antara sunnah-sunnah wudu dan amalan yang dianjurkan.

  5. Berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung, serta mengusap kedua telinga hukumnya wajib saat mandi besar dan wudu, karena hidung dan mulut termasuk bagian dari wajah, sementara membasuh wajah hukumnya wajib, dan kedua telinga merupakan bagian dari kepala, maka wajib diusap juga.

  6. (1) Berurutan dalam mengerjakan hal yang wajib dan sunnah, hukumnya wajib, sehingga wajib diperhatikan.

  7. (1) Berusahalah untuk berwudu secara berkelanjutan, jangan engkau memutus wudu untuk hal tertentu, lalu melanjutkannya. Jika engkau berhenti wudu agak lama, sampai anggota yang telah dibasuh kering lagi, maka harus mengulang memulainya dari awal lagi.

  8. (1) Kedua siku dan kedua mata kaki termasuk anggota wudu, maka harus dibasuh ketika berwudu.

  9. (1) Mata kaki ialah dua tulang yang menonjol di bawah betis, bukan ujung belakang telapak kaki sebagaimana yang disebutkan oleh sebagian orang, yang itu adalah tumit, bukan mata kaki.

  10. (1) Ušman tidak melafazkan niat, sebab tempat niat di dalam hati, sedangkan mengucapkannya merupakan bidah.

  11. (1) Faedah yang bisa diambil dari apa yang dilakukan Ušman, bahwasanya Nabi ﷺ tidak membaca doa apa pun saat berwudu seperti yang biasanya dilakukan oleh orang-orang. Tidak ada hadis yang valid dari Nabi bahwa beliau pernah mengucapkannya, selain membaca bismillah. Semua hadis yang menyebutkan zikir wudu yang diucapkan saat mengerjakannya, merupakan kedustaan belaka, tidak pernah diucapkan oleh Rasulullah sama sekali, tidak pula diajarkan kepada umatnya, atau valid dari beliau, selain membaca bismillah di awal saja, sementara ucapan beliau, “Asyhadu an lá iláha illalláh wañdahu lá syaríka lahu wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu warasuluhu. Alláhumaj ‘alní min at-tawwábina waj’alní min al-mutathahhirín. (Aku bersaksi tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah diriku termasuk orang-orang yang bertobat, dan jadikanlah diriku termasuk orang-orang bersuci.” Ini dibaca di akhir wudu.[5]

  12. (2) Sebaiknya pengajaran seorang guru, pendidik, dan dai lebih kepada praktik yang akan melekat kuat di akal dan lebih bisa dipahami, sebagaimana yang dilakukan oleh Ušman .

  13. (3) Seharusnya orang yang sedang beribadah menepis pikiran-pikiran duniawi yang menyibukkan dan berusaha melawannya, karena seseorang bisa teringat sesuatu yang disukai justru ketika sedang shalat.

  14. (3) Hal yang dimaksud bisikan hati adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara duniawi. Adapun pikiran mengenai akhirat, entah itu siksaannya, kenikmatannya, hisabnya, ÿirat, dan yang semisal, maka tidaklah termasuk hal yang dilarang.[6]

  15. (3) Apabila tebersit sesuatu terkait urusan duniawi dalam pikiranmu, sementara engkau sedang shalat, maka segera hilangkan pikiran terebut. Fokuslah dengan shalatmu, renungi makna-makna ayat yang dibaca atau terdengar dari imam. Jika engkau sudah melakukan itu, maka tidak masalah dan tidak berpengaruh terhadap shalatmu.

  16. (3) Kesempatan yang besar untuk mendapatkan ampunan dosa, yaitu hanya dengan berwudu lalu mengerjakan shalat dua rakaat ringan! Adakah yang mau bersungguh-sungguh melakukannya?

  17. (3) Bersegeralah untuk menyempurnakan wudu karena Nabi ﷺ pernah bersabda

    “Maukah kalian aku tunjukkan amalan yang dengannya Allah menghapus dosa dan mengangkat derajat kalian?” Mereka berkata, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Menyempurnakan wudu pada waktu yang dibenci, banyak berjalan ke masjid, dan menunggu waktu shalat berikutnya setelah shalat, itulah yang disebut dengan ribaþ’ (berjaga-jaga di wilayah perbatasan).”[7]

  18. (3) Sesungguhnya Islam adalah agama yang suci, bersih, dan indah. Hingga bersuci dijadikan sebagai salah satu amalan yang paling mulia, dan ketaatan agung yang dapat dikerjakan oleh seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Sang Khalik, dan menjadi syarat keabsahan bagi banyak ragam ibadah.

  19. (4) Surga tidak akan dimasuki oleh orang yang kotor, atau orang yang ada yang kotoran padanya. Barang siapa yang bersuci di dunia dan bertemu Allah dalam keadaan suci dari najis, maka akan masuk dengan mudah. Barang siapa yang tidak bersuci di dunia, maka jika najisnya dari asalnya seperti orang kafir, maka ia tidak dapat masuk ke dalam surga sama sekali. Jika najisnya sementara, maka ia akan masuk surga setelah disucikan di neraka dari najis tersebut, kemudian keluar darinya. Bahkan orang-orang yang beriman telah berhasil melewati ÿiraþ, dan masih membawa najis (dosa) maka mereka tertahan di atas jembatan antara surga dan neraka. Mereka pun dibersihkan dan disucikan dari sisa-sisa najis yang masih melekat. Mereka belum dapat masuk ke dalam surga, namun tidak pula layak masuk ke dalam neraka. Apabila mereka sudah dibersihkan dan disucikan, mereka diizinkan masuk ke dalam surga.[8]

  20. (4) Allah memberikan karunia ampunan dosa kepada hamba-hamba-Nya serta memberikan balasan atas shalat mereka dan langkah kaki mereka menuju shalat. Lantas bagaimana orang berakal menolak karunia tersebut?!

Referensi

  1. Zád Al-Ma’ád karya Ibn Al-Qayyim (1/187, 188).
  2. HR. Abu Daud (135), An-Nasa`í (140), dan Ibnu Majah (422).
  3. HR. Muslim (233).
  4. Ihkam Al-Ahkam Syarh ‘Umdah Al-Ahkam karya Ibnu Daqiq Al-‘Id (1/87).
  5. Zád Al-Ma’ád karya Ibn Al-Qayyim (1/187-188).
  6. ‘Umdah Al-Qári Syarñ Ÿañiñ Al-Bukhárí karya Badruddin Al-‘Ainí (3/7)
  7. HR. Muslim (251).
  8. Ighašah Al-Lahfan min Maÿáyid Asy-Syaiþán karya Ibn Al-Qayyim (1/56).

Tayamum adalah rukhsah (keringanan) yang disyariatkan oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya ketika mereka tidak menemukan air atau tidak bisa menggunakan air, sebagai kemudahan bagi mereka.

Rasulullah bersabda

“Sesungguhnya Allah suka ketika keringanannya dilakukan, demikian pula Dia benci ketika perbuatan dosa dikerjakan.[1]”

Para ulama mendefinisikan tayamum yaitu menyengaja menggunakan tanah (debu) untuk diusapkan ke wajah dan kedua telapak tangan dengan niat supaya dibolehkan shalat dan yang semisalnya.[2] Tayamum adalah perkara yang disyariatkan dan disebutkan dalam Al-Qur`an, Sunnah, dan ijmak. Tayamum merupakan keistimewaan yang diberikan khusus oleh Allah kepada umat ini.[3] Dalam hadis ini terdapat penjelasan tata caranya.

  1. 'Ammár menuturkan bahwa Nabi ﷺ mengutusnya untuk melakukan sejumlah tugas. Kemudian beliau mengalami mimpi basah dan junub. Lantas, beliau berguling-guling ke tanah suci yang berdebu dan bisa menempel di tangan dan badan, hingga tanah tersebut mengenai seluruh badannya. Hal itu beliau lakukan agar bisa melakukan shalat, membaca Al-Qur`an, dan sebagainya. Ketika kembali kepada Nabi ﷺ, beliau memberitahukan hal tersebut kepada Nabi ﷺ, supaya tahu apakah yang beliau lakukan tersebut benar atau salah. 

'Ammár melakukan hal tersebut hanya karena beliau menganggap bahwa tanah dapat menggantikan fungsi air. Sebagaimana ketika menggunakan air harus mengenai seluruh anggota badan ketika mandi maka demikian pula menurut persangkaan dan ijtihadnya, tanah juga harus mengenai seluruh anggota badannya.

2.  Maka, Nabi ﷺ memberitahukan kepadanya bahwa ia cukup menepukkan kedua tangannya di atas tanah sebanyak satu kali, lalu mengusapkannya kepada kedua telapak tangan dan wajahnya, sebagaimana firman Allah Ta’ala

“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu.”

(QS. Al-Má`idah: 6)

Sabda Rasulullah ﷺ , “Engkau mengatakan dengan kedua tanganmu.” Artinya, engkau melakukan dengan kedua tanganmu.

Implementasi:

  1. (1) Perbuatan 'Ammár menunjukkan bahwa adalah jika seorang Muslim  buta tentang hukum suatu masalah, tidak mengetahui hukumnya dan tidak mengetahui ucapan para ulama tentang masalah tersebut, dan tidak cukup waktu untuk bertanya kepada orang lain, atau ia tengah berada dalam suatu perjalanan yang tidak memungkinkan untuk mencari fatwa, maka ia boleh berijtihad semampunya. Kemudian bila ia punya kesempatan bertanya, maka harus ia bertanya untuk mengetahui hukum syar’i yang benar terkait permasalahannya tersebut. 

  2. (1) Pada hadis tersebut dijelaskan bahwa seorang mujtahid yang melakukan sesuatu karena menganggap itu benar, jika ia termasuk ahli ijtihad kemudian menganggap suatu masalah sudah benar, maka ia tidak perlu mengulang perbuatannya apabila ia telah sesuai dengan yang benar walaupun hanya dari satu sisi. Sebab, Nabi ﷺ  tidak memerintahkan 'Ammár untuk mengulang lantaran beliau salah ketika bersuci tidak sebagaimana semestinya, namun beliau bersuci dengan cara yang berbeda dari cara yang berlaku pada umumnya.[4]

  3. (2) Hadis di atas menunjukkan bahwa syariat Islam mengandung kebaikan dan kemudahan. Islam tidak membebani seseorang dengan sesuatu yang ia tidak mampu melakukannya, sehingga diberikanlah keringanan berupa tayamum yang dapat dilakukan dengan mudah, yaitu dengan hanya mengusap kedua telapak tangan dan wajah.

references

  1. HR. Ahmad (5866).
  2. Nail Al-Auṭár karya Asy-Syaukání (1/319).
  3. Idem.
  4. Ikmál Al-Mu’allim bi Fawáid Muslim karya Al-Qaði Iyað (2/223).

Shalat adalah rukun Islam kedua setelah mengucapkan dua kalimat syahadat. Shalat adalah tonggak yang menjadi fondasi Islam.

Rasulullah ﷺ bersabda,

“Pokok segala urusan adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncak tertingginya adalah jihad.”[1]

  Selain itu, shalat adalah amal yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala.

Dari Ibnu Mas’ud , beliau menuturkan,

“Aku pernah bertanya kepada Nabi ﷺ, ‘Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?’ Beliau menjawab, ‘Shalat pada waktunya.’” [2]


Oleh karena itulah, shalat menjadi tanda pembeda kaum Muslimin. Sebab, orang munafik merasa berat untuk melakukan shalat.

Ia tidak mengerjakannya kecuali sebagaimana firman Allah,

“Sesungguhnya orang munafik itu hendak menipu Allah, tetapi Allah-lah yang menipu mereka. Apabila mereka berdiri untuk shalat mereka lakukan dengan malas.”

(QS. An-Nisá’: 142)


Sedangkan orang kafir menentang kewajiban shalat dan meninggalkannya secara total.

Oleh karena inilah, Allah  mengancam orang yang meninggalkan shalat dengan firman-Nya,

“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya. Kecuali golongan kanan. Berada di dalam surga, mereka saling menanyakan. Tentang (keadaan) orang-orang yang berdosa, ‘Apa yang menyebabkan kamu masuk ke dalam (neraka) Saqar?’ Mereka menjawab, ‘Dahulu kami tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan shalat’.” 

(QS. Al-Muddaššir: 38-43)

Allah  juga berfirman,

“Kelak, Aku akan memasukkannya ke dalam (neraka) Saqar. Dan tahukah kamu apa (neraka) Saqar itu? Ia (Saqar itu) tidak meninggalkan dan tidak membiarkan. Yang menghanguskan kulit manusia. Di atasnya ada sembilan belas (malaikat penjaga).”  

(QS. Al-Muddaššir: 26-30)


Pada hadis ini, Nabi ﷺ memberitahukan tentang hukum orang yang meninggalkan shalat. Kemudian beliau menyebutkan bahwa shalat merupakan pembeda antara Muslim dan kafir. Batas pemisah antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat,

sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ,

“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat. Barang siapa yang meninggalkan shalat, maka sungguh ia telah kafir.”[3]

  Selain itu, Umar  pernah menuturkan, “Tidak ada bagian di dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.”[4]  Abdullah bin Syaqiq  juga mengatakan, “Para sahabat Nabi ﷺ tidak menganggap suatu amal yang meninggalkannya berakibat kafir selain shalat.” [5]

Implementasi

1. Para fukaha berijmak bahwa orang yang meninggalkan shalat karena mengingkarinya maka ia telah jatuh ke dalam kekafiran dan keluar dari Islam. Namun mereka berselisih pendapat tentang orang yang meninggalkan shalat karena bermalas-malasan dan menyepelekannya. Ada yang berpendapat bahwa ia telah jatuh dalam kekafiran. Ada pula yang berpendapat bahwa ia telah jatuh dalam kefasikan dan diminta untuk bertobat. Jika tidak mau bertobat, maka ia dijatuhi hukuman mati. Ada yang berpendapat bahwa ia fasik dan tidak dijatuhi hukuman mati.  Seorang Muslim sejati, yang mengenal hak Allah Ta’ala dan beriman kepada Nabi-Nya ﷺ, tidak akan berada di posisi yang diperdebatkan oleh para fukaha antara kekafiran atau kefasikan. Akan tetapi, ia akan bersegera untuk memperoleh rida Allah  dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan berbagai amalan sunnah setelah mengerjakan amalan-amalan wajib. 


2. Ketika Umar bin Al-Khaþþab  ditikam dan orang-orang memasukkannya ke dalam rumahnya, mereka berusaha untuk menyadarkannya dari pingsannya. Mereka mengatakan, “Tidak ada yang bisa menyadarkannya selain shalat.” Maka, mereka berseru, “Shalat, wahai Amirul Mukminin!” Lantas beliau menjawab, “Ya, dan tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang meninggalkan shalat.” Lalu beliau shalat, sementara darahnya mengalir dari lukanya. Maka, sampai sejauh mana dahulu perhatian para sahabat terhadap shalat?! [6]


3.

Dari Abdullah bin Amr bin Al-Aÿ  dari Nabi ﷺ bahwa suatu hari beliau menyebutkan shalat, lalu Nabi ﷺ bersabda

“Barang siapa yang menjaganya, maka shalat tersebut akan menjadi cahaya, hujah, dan keselamatan baginya pada hari kiamat. Barang siapa yang tidak menjaganya, maka ia tidak memiliki cahaya, hujah, dan keselamatan, sementara pada hari kiamat ia akan bersama Qarun, Firaun, Haman, dan Ubay bin Khalaf.” [7]


Ibn Al-Qayyim  mengatakan, “Beliau khusus menyebutkan empat orang tersebut, karena mereka merupakan pemuka-pemuka kaum kafir. Dalam hal ini ada poin yang menarik, yaitu orang yang tidak menjaga shalat, bisa karena dilalaikan oleh harta benda, kekuasaan, jabatan, atau perniagaan. Jadi, barang siapa yang dilalaikan dari shalat oleh hartanya, maka ia bersama Qarun; barang siapa yang dilalaikan dari shalat oleh kekuasaannya, maka ia bersama Firaun; barang siapa yang dilalaikan dari shalat oleh jabatannya, maka ia bersama Haman; dan barang siapa yang dilalaikan dari shalat oleh perniagaannya, maka ia bersama Ubay bin Khalaf.” [8]


4. Bagaimana mungkin seseorang bisa meninggalkan shalat, padahal shalat tersebut dijadikan oleh Allah sebagai penghapus dosa-dosa dan kesalahan seorang hamba? Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah ﷺ bersabda, “Bagaimana pendapat kalian sekiranya ada sebuah sungai di pintu rumah salah seorang dari kalian, yang ia bisa mandi di sana lima kali setiap hari. Apakah masih akan tersisa kotoran dari dirinya? Para sahabat menjawab, “Tidak akan ada kotoran yang tersisa.” Beliau melanjutkan, “Maka, seperti itulah perumpamaan shalat, yang dengannya Allah akan menghapus dosa-dosa.” [9]


5. Ibnu Mas’ud  menuturkan tentang shalat berjemaah, “Aku berpendapat bahwa tidak ada orang yang meninggalkan shalat berjemaah, kecuali orang munafik yang jelas kemunafikannya. Pada zaman Rasulullah, seseorang sampai dibawa dan dipapah oleh dua orang, hingga diletakkan di dalam saf.”[10]  Maka, bagaimana mungkin seorang Muslim meninggalkan shalat dengan keinginan dan pilihannya?


6. Seorang penyair menuturkan,
Azan dari atas menara berkumandang 
di pagi hari yang cerah dan malam yang tenang
Seruan yang membawa kehidupan kepada alam semesta 
dan para penduduknya di desa dan kota
Seruan dari atas langit kepada bumi,
yang terlihat di atasnya maupun yang tersembunyi 
Pertemuan antara malaikat, keimanan, 
dan orang-orang beriman tanpa ada yang memisahkan
Bergerak untuk memperoleh kebajikan 
menuju kebenaran, petunjuk, dan beragam kebaikan


7. Penyair lainnya menuturkan, 
Dengan shalat ia melupakan dunia, kala ia bertakbir 
dan ia melihat hakikat dirinya yang sesungguhnya
Lambung orang-orang saleh jauh dari tempat tidur 
Mereka menghabiskan malam dengan berdiri dan sujud
Mereka mendirikan shalat dalam kegelapan, karena didorong 
rasa rindu yang mengguncang orang kuat dan lemah dari mereka
Mereka membaca ayat-ayat Allah dalam mihrab 
Sedangkan cahaya fajar menyingsing hampir tiba
Hingga ketika azan dikumandangkan, mereka bertakbir 
dan menghadap kepada Allah Tuhan Yang Esa
Engkau melihat suasana paling indah dalam sekejap 
engkau berdiri memberikan penghormatan pada pemandangan
Engkau melihat mereka berada dalam satu barisan dan hati 
Sementara lisan cinta kepada kedamaian berkomat-kamit

المراجع

  1. HR. At-Tirmizi (2626) dan An-Nasa`í (11330).
  2. HR. Al-Bukhari (527) dan Muslim (85).
  3. HR. At-Tirmizi (2621), An-Nasa`í (463), dan Ibnu Majah (1079).
  4. HR. Malik dalam Al-Muwaṭṭa’ (1/39) dan Ad-Daruquþní (1750).
  5. HR. At-Tirmizi (2622).
  6. HR. Malik dalam Al-Muwaþþa’ (1/39) dan Ad-Daruquþni (1750).
  7. HR. Ahmad (6576). Syu’aib Al-Arnuþ mengatakan, “Sanadnya hasan.”
  8. Aÿ-Ÿalah wa Ahkam Tárikihá karya Ibn Al-Qayyim (halaman 51).
  9. HR. Al-Bukhari (528) dan Muslim (667). 
  10. HR. Muslim (653).


  1. Malik bin Al-ôuwairiš datang kepada Nabi  sebagai utusan bersama sekelompok pemuda dari Bani Al-Laiš. Mereka semua adalah para pemuda yang sebaya usianya. Mereka tinggal bersama Nabi  selama 20 malam untuk belajar dan mendalami agama Allah Ta’ala. Ketika Nabi merasa mereka telah rindu kepada keluarga mereka, beliau bertanya apakah mereka mempunyai keluarga yang mereka tinggalkan. Mereka pun memberitahukan kepada Nabi siapa saja keluarga yang mereka tinggalkan. 

  2. Setelah diberitahu, Nabi memerintahkan mereka untuk pulang. Ini adalah bentuk kasih sayang Nabi kepada kaum mukminin. Allah telah berfirman dalam Al-Qur`an,

    “Sungguh, telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan yang kamu alami, (dia) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, penyantun dan penyayang terhadap orang-orang yang beriman.”

    (QS. At-Taubah: 128)

Nabi memerintahkan mereka pulang kepada keluarga mereka karena peristiwa ini terjadi setelah Fatñu Makkah,[1] dan kewajiban hijrah ke Madinah telah dihapuskan setelah Fatñu Makkah, sesuai sabda Nabi , “Tidak ada lagi hijrah (ke Madinah) setelah Fatñu Makkah.[2]” Maka, tinggal di Madinah bukan menjadi kewajiban, tetapi hanya menjadi sebuah pilihan. Siapa yang ingin menetap maka dipersilakan tinggal; siapa ingin kembali kepada keluarganya dan mengajarkan kepada mereka apa yang dipelajarinya dalam masalah agama juga dibolehkan. 

Maka Nabi pun membolehkan bahkan memerintahkan sekelompok pemuda tersebut untuk kembali. Karena Nabi tahu, mereka telah cukup belajar masalah agama, baik masalah fikih maupun tauhid. Seandainya mereka belum cukup belajar, pasti Nabi tidak akan memerintahkan mereka untuk pulang, apalagi mengajari kaumnya.

3.  Nabi  memerintahkan untuk mengajarkan masalah agama yang mereka ketahui kepada kaum mereka. Nabi bahkan memberitahukan kepada mereka, bahwa mengajar saja tidak cukup. Setiap mereka harus memerintahkan dan mengawasi keluarganya, karena ia akan ditanya dan dihisab mengenai hal itu di Hari Kiamat.

Allah berfirman ,

“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan shalat dan sabarlah dalam mengerjakannya.”

(QS. ±áhá: 132).

Nabi  juga bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dipertanggungjawabkan tentang kepemimpinannya.”[3] Sebagaimana mengajar adalah kewajiban, demikian juga memerintahkan dan mengawasi.[4]

4.  Setelah itu, Nabi meletakkan sebuah kaidah yang penting dalam masalah agama dan hukum-hukum agama, yaitu mengikuti dan meniru Nabi , seperti dalam shalat, gerakan-gerakannya, tata caranya, bacaannya, hal-hal yang membatalkannya dan apa yang mewajibkan sujud sahwi dalam shalat. Karena perbuatan Nabi merupakan penjelasan untuk perkara-perkara yang disebutkan secara global dalam Al-Qur`an Al-Karím. Tidak ada satu ayat pun yang menjelaskan secara detail mengenai tata cara shalat, jumlah rakaatnya, waktu pelaksanaannya, rukun-rukunnya, sunnah-sunnahnya dan gerakannya. Al-Qur`an hanya menjelaskan mengenai perintah untuk menjaga shalat pada waktunya dan kemudian meninggalkan penjelasannya pada sunnah-sunnah Nabi, baik berupa ucapan maupun perbuatan beliau. Oleh karena itu Nabi bersabda, “Shalatlah seperti kalian melihatku shalat.” 

Demikian juga dalam semua syariat dan hukum Islam. Dalam masalah haji misalnya, Nabibersabda, “Hendaklah kalian mengambil manasik kalian dariku, karena aku tidak tahu, barangkali aku tidak bisa berhaji lagi setelah tahun ini.”[5]  Para ulama sepakat bahwa apabila perbuatan Nabi berupa penjelasan detail tentang sesuatu yang masih umum seperti shalat, puasa dan haji, maka hukumnya wajib untuk diikuti, kecuali jika ada dalil khusus yang menjelaskan bahwa hal itu tidak wajib.[6] Kewajiban ini berlaku untuk semua umat Islam dengan syarat ada dalil yang menunjukkan bahwa beliau terus-menerus melakukannya. Sedangkan jika tidak ada dalil mengenai hal itu, maka perbuatan tersebut tidak menjadi kewajiban untuk dilakukan oleh umat Islam.[7]

5.  Kemudian Nabi memberikan arahan kepada mereka. Jika telah masuk waktu shalat, hendaknya salah seorang dari mereka mengumandangkan azan. Kemudian yang tertua dari mereka menjadi imam.

Hukum asal terkait masalah imam adalah bahwa yang paling baik bacaan Al-Qur`annya yang menjadi imam, sebagaimana dalam hadis riwayat Abu Mas’ud Al-Anÿári , bahwa Nabi  bersabda, “Hendaklah menjadi imam bagi suatu kaum orang yang paling baik dalam membaca kitab Allah. Jika mereka sama kemampuannya dalam membaca Al-Qur`an, maka hendaknya yang menjadi imam adalah yang paling memahami sunnah Nabi. Jika mereka sama kemampuannya dalam memahami sunnah Nabi, maka hendaknya yang menjadi imam adalah yang dahulu hijrahnya. Dan jika mereka sama hijrahnya, maka hendaknya yang menjadi imam adalah yang paling tua di antara mereka.[8]” ‘Amru bin Salamah pernah menjadi imam untuk kaumnya pada zaman Nabi , padahal saat itu ia baru berumur 6 tahun, karena ia yang paling baik bacaan Al-Qur`annya.[9] 

Nabi memerintahkan mereka untuk menjadikan yang paling tua sebagai imam karena beliau mengetahui bahwa kemampuan bacaan Al-Qur`an mereka hampir sama. Hal ini dibuktikan dengan hadis riwayat Muslim, “Keduanya hampir sama kemampuannya dalam membaca Al-Qur`an.[10]” Mereka semua masuk Islam dalam waktu bersamaan. Maka sangat wajar jika kemampuan dan pengetahuan mereka tentang Al-Qur`an dan As-Sunnah sama. Oleh karena itu, Nabi memilih yang paling tua untuk menjadi imam. 

Implementasi:

  1. (1) Pada hadis ini terdapat penjelasan mengenai perhatian para sahabat terhadap masalah menuntut ilmu dan mengetahui hukum syariat. Bahkan mereka rela meninggalkan keluarga dan negerinya. Jika keutamaan menuntut ilmu dan kedudukannya yang tinggi telah diyakini oleh para sahabat dalam hati mereka, maka hendaknya seorang Muslim tidak melewatkan pahala menuntut ilmu. Apalagi menuntut ilmu telah menjadi hal mudah dan tidak memerlukan kesusahan dan perjalanan jauh. 

  2. (1) Nabi sangat memperhatikan para pemuda, bersemangat untuk mengajari mereka dan mengirimkan mereka sebagai duta dan dai kepada kaumnya. Karena pemuda adalah tiang penyangga umat dan pemangku kebangkitannya. Maka menjadi keharusan untuk mengarahkan perhatian mereka kepada aktivitas yang positif, berdakwah, dan melakukan perbaikan.

  3. (1) Nabi memahami karakter psikis para pemuda dan kebutuhan mereka terhadap kasih sayang. Maka beliau memperbolehkan mereka pulang menemui keluarganya. Hendaknya kita memberikan perhatian khusus terhadap kebutuhan para pemuda serta situasi dan kondisi mereka.

  4. (2) Seorang dai, pendidik, dan pengajar hendaklah menjadi seorang yang lemah lembut dan berkasih sayang. Dakwahnya jangan sampai bertabrakan dengan kebutuhan primer manusia. Hendaknya ia bersikap lemah lembut sebisa mungkin dan fokus berdakwah pada saat manusia sedang bersemangat, bukan pada waktu istirahat mereka. Hendaknya ia memberikan kepada mereka waktu yang cukup untuk beristirahat guna memenuhi kebutuhan jasad dan roh mereka. 

  5. (2) Di antara bentuk pemahaman seorang dai dan pendidik yang bagus adalah tidak membebani seseorang melebihi kemampuannya. Hendaknya ia memperhatikan kekuatan dan kemampuan setiap orang untuk melaksanakan suatu perintah tahap demi tahap. 

  6. (2) Seorang Muslim hendaklah tinggal bersama keluarganya sebisa mungkin. Jangan sampai ia tinggal di tempat yang jauh dari mereka. Bahkan Nabi pun memerintahkan seseorang yang melakukan perjalanan jauh untuk segera pulang kepada keluarganya jika sudah selesai kebutuhannya.[11]   

  7. (3) Nabi memberikan wasiat pada hadis ini dan hadis-hadis lain agar kita menyampaikan dan menyebarkan dakwah Islam. Di antaranya sabda beliau, “Sampaikan dariku walaupun satu ayat.”[12] Seorang dai bertugas menyampaikan ajaran Islam dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya . Dia berdiri di tengah-tengah manusia sebagaimana kedudukan Nabi dalam mengajak manusia menuju kebaikan, melarang mereka dari keburukan, serta menjelaskan syariat dan hukum Islam. Adakah orang yang tidak menginginkan kedudukan tersebut?

  8. (3) Nabi menjelaskan bahwa dalam berdakwah kita perlu untuk memerintah dan perlu bersabar dalam melaksanakan hal tersebut. Dakwah bukan sekadar menjelaskan apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang. Nabi sendiri menanggung beban yang berat dalam menyampaikan syariat Allah Ta’ala. Maka hendaklah para dai dan ulama bersabar dalam rangka mewujudkan syariat Allah Ta’ala.  

  9. (4) Penjelasan tentang syariat Islam dibebankan kepada Nabi saja. Bukan kepada setiap pendapat manusia, tidak pada akal semata, dan tidak pada hawa nafsu manusia. Sehingga menyembah Allah itu harus sesuai dengan ucapan dan perbuatan Nabi . Kita tidak boleh menambah ataupun mengurangi apa yang beliau syariatkan. 

  10. (4) Mengikuti sunnah Nabi adalah jalan hidup dan petunjuk. Dengan sunnah Nabi , seorang Muslim bisa mengetahui tata cara shalat, waktunya, hukum-hukumnya, rukun-rukunnya, dan gerakan-gerakannya. Dengan sunnah juga, ia mengetahui seluruh ibadah, baik puasa, zakat, haji dan lain sebagainya. Seandainya seorang Muslim tidak mau mengikuti sunnah Nabi , pastilah ia akan tersesat dan tidak mendapatkan petunjuk.

  11. (4) Termasuk dalam mengikuti sunnah Nabi adalah mengikutinya dalam mengambil rukhsah. Sehingga termasuk dalam itibak kepada Nabi, jika seorang yang sakit shalat dengan duduk atau berbaring sesuai dengan kondisinya; seorang yang sakit atau melakukan perjalanan tidak berpuasa jika puasanya menimbulkan mudarat baginya; seorang yang safar melakukan shalat dengan jamak dan qasar; dan rukhsah-rukhsah yang lain yang telah diambil oleh Nabi semasa hidupnya. Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah suka ketika keringanan-Nya dilakukan sebagaimana Dia benci ketika perbuatan dosa  dilakukan.[13]” 

  12. (5) Hadis ini memberikan arahan agar kita menghormati orang yang lebih tua dan menempatkannya pada kedudukan yang selayaknya terkait perkara yang diperbolehkan oleh syariat. Artinya, hal itu diperintahkan jika tidak bertentangan dengan syariat Islam. Nabi menjadikan umur sebagai kriteria dalam memilih imam shalat jika mereka semua sama dari sisi kemampuan bacaan Al-Qur`an, pemahaman fikih, dan waktu memeluk Islam.

Referensi

  1. Yaitu ditaklukkannya kota Makkah dan masuknya sebagian besar penduduk dan pemimpin Quraisy ke dalam agama Islam. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke 8 H (penerjemah).
  2. HR. Al-Bukhari (2783) dan Muslim (1353).
  3. HR. Al-Bukhari (2409) dan Muslim (1829).
  4. Lihat: Syarñ Riyáð Aÿ-Ÿáliñín karya Ibnu Ušaimin (4/148).
  5. HR. Muslim (1297).
  6. Lihat: Syarñ Sañíñ Al-Bukhári karya Ibnu Baþþal (10/345) dan Riyáð Al-Afhám fí Syarñ ‘Umdah Al-Añkam karya Al-Fakahani (2/167).
  7. Lihat: Fatñ Al-Bárí karya Ibnu ôajar (13/237).
  8. HR. Muslim (673).
  9. HR. Al-Bukhari (4302).
  10. HR. Muslim (674).
  11. Syarñ Riyáð Aÿ-Ÿáliñín karya Ibnu Ušaimin (4/147).
  12. HR. Al-Bukhari (3461).
  13. HR. Ahmad (5866).

Hadis ini termasuk di antara hadis yang paling penting mengenai fikih shalat, karena mengandung rukun dan wajib shalat yang paling penting. Para ahli fikih sangat memperhatikan hadis ini dan menjadikannya sebagai dalil dalam banyak masalah fikih. Hadis ini masyhur di kalangan ulama dengan sebutan, ‘hadis orang yang buruk shalatnya’.

  1. Seorang laki-laki masuk ke dalam masjid kemudian melakukan shalat. Nabi  memperhatikan cara shalatnya. Selesai shalat, laki-laki itu mendatangi Nabi dan mengucapkan salam. Nabi menjawab salamnya dan menyuruhnya untuk mengulangi shalat. Nabi memberitahunya bahwa shalatnya tidak diterima dan tidak menggugurkan kewajibannya. 

Kalaulah seandainya shalatnya telah menggugurkan kewajibannya, pastilah Nabi tidak menyuruhnya untuk mengulanginya. Atau Nabi cukup menyebutkan beberapa kesalahan yang dilakukan dalam shalatnya agar diperbaiki di lain waktu. 

2.   Kemudian lelaki itu pun melakukan shalat kembali seperti yang dilakukan sebelumnya. Sehingga ketika ia mendatangi Nabi lagi, beliau menyuruhnya untuk mengulangi shalatnya kembali.  Ia pun shalat lagi seperti yang dilakukannya pertama kali. Nabi kemudian menyuruhnya mengulangi shalatnya lagi. Lelaki itu kemudian menyampaikan kepada Nabi bahwa ia tidak mengetahui cara shalat selain yang dilakukannya tersebut. Ia memohon kepada Nabi untuk mengajarinya tata cara shalat dan kesalahan apa saja yang dilakukannya hingga shalat itu dianggap salah. 

Nabi tidak langsung menjelaskan tata cara shalat yang benar pada kali pertama dia melakukan kesalahan karena beliau menyangka bahwa orang tersebut sebenarnya mengetahui rukun dan wajibnya shalat, akan tetapi ia tidak melakukan seperti yang ia ketahui. Oleh karena itulah, Nabi menyuruhnya untuk mengulanginya. Setelah orang itu mengatakan bahwa ia tidak tahu tata cara shalat yang benar, barulah Nabi mengajarkan cara shalat yang benar. Atau bisa jadi Nabi menyuruhnya untuk mengulangi shalatnya beberapa kali dan menjelaskan alasannya agar hal itu lebih tertanam dalam ingatannya sehinga ia tidak melakukan kesalahan lagi sesudahnya.[1]

3.   Maka Nabi pun mengajarkan kepadanya jika hendak melakukan shalat maka ia memulainya dengan takbiratulihram. Ini berarti, takbiratulihram merupakan rukun shalat yang tidak sah shalat tanpanya, karena Nabi menjelaskan hal minimal yang harus dilakukan agar shalatnya dianggap sah. Kesempatan sekarang ada waktu untuk mengajarkan, jadi tidak pas kalau dijelaskan juga sunnah lainnya selain rukun shalat.[2]

Nabi juga tidak menyebutkan niat, karena orang tersebut sudah mengetahuinya. Karena niat merupakan salah satu prinsip dalam agama yang diketahui oleh semua orang, bahwa semua amalan harus disertai dengan niat, baik shalat, zakat dan semua ibadah yang lain. 

4.   Kemudian Nabi menyuruhnya untuk membaca Al-Qur`an yang mudah baginya. Hal ini tidak bermakna ia boleh membaca apapun yang disukainya. Yang dimaksud -sesuai dengan penjelasan detailnya pada hadis yang lain- yaitu membaca Surah Al-Fátiñah. Karena Nabi bersabda, “Tidak sah shalat orang yang tidak membaca Surah Al-Fátiñah.[3]” Maka sabda Nabi pada hadis ini, “Bacalah Al-Qur`an yang mudah bagimu,” yang dimaksud adalah Surah Al-Fátiñah. Al-Fátiñah disebut sebagai Al-Qur`an yang mudah karena Allah telah memudahkannya untuk dihafal oleh semua orang, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak.

Bisa juga yang dimaksud oleh Nabi dengan Al-Qur`an yang mudah adalah surah lain yang dibaca setelah Al-Fátiñah. Barangkali karena orang tersebut sudah mengetahui bahwa membaca Al-Fátiñah dalam shalat merupakan rukun yang tidak bisa ditinggalkan. Maka Nabi mengajarkannya untuk membaca surah yang mudah setelah membaca Al-Fátiñah.[4]

5.   Setelah itu Nabi  menyuruhnya untuk rukuk dengan tumakninah. Kemudian melakukan iktidal dengan meluruskan punggung ketika mengangkatnya dari rukuk. Setelah itu melakukan sujud dengan tumakninah. Ini menunjukkan bahwa tumakninah dalam shalat merupakan rukun, shalat tidak akan sah tanpa tumakninah. Inilah sebabnya mengapa Nabi menyuruhnya untuk mengulang shalatnya. Pada hadis lain, Nabi mencela shalat yang dilakukan tanpa tumakninah. Nabi bersabda, “Itu adalah shalatnya orang munafik. Ia duduk mengamati matahari. Hingga ketika matahari telah berada di antara dua tanduk setan, ia berdiri dan mematuk empat kali. Ia tidak mengingat Allah kecuali hanya sedikit.[5]” Nabi menggunakan kata mematuk untuk menunjukkan cepatnya shalat yang dilakukannya tanpa tumakninah seperti ayam yang mematuk. 

Dalam hadis ini, Nabi menyebutkan beberapa rukun shalat yang harus dilakukan agar shalatnya sah. Rasulullah tidak menyebutkan beberapa rukun yang lain seperti niat, duduk tasyahud akhir dan salam. Ini karena orang tersebut sudah mengetahuinya dan Nabi  melihat laki-laki tersebut telah menunaikannya. Nabi hanya menjelaskan hal-hal yang tidak diketahuinya agar ia melakukan shalatnya dengan benar pada kesempatan yang lain.[6]

Implementasi :

  1. (1) Hadis ini menunjukkan apabila seorang Muslim memasuki masjid dan ada sekelompok orang yang sedang duduk, maka disunnahkan baginya untuk melakukan shalat Tahiyyatul Masjid terlebih dahulu, kemudian baru mengucapkan salam kepada orang-orang tersebut.

  2. (1) Seorang Muslim wajib mempelajari ilmu agama untuk mengoreksi ibadahnya, agar ibadahnya tidak batal dan tertolak. 

  3. (1) Seorang ulama, ahli fikih, dan pendakwah disunnahkan untuk duduk di masjid bersama orang-orang yang belajar kepadanya. Ia memberi wejangan, nasihat, dan motivasi kepada mereka untuk melakukan kebaikan. Juga mengajarkan cara shalat Nabi yang benar. 

  4. (1) Ada dua syarat yang harus terpenuhi agar suatu amalan diterima, yaitu ikhlas dan sesuai sunnah Nabi . Ketika syarat ikhlas hilang maka itu akan menggugurkan suatu amalan, demikian juga amalan yang menyelisihi sunnah Nabi tidak akan menjadi baik karena niat yang baik saja. 

  5. (1) Seorang dai atau fakih boleh menangguhkan penjelasan suatu masalah dalam suatu majelis karena adanya kebutuhan untuk hal itu. Misalnya dengan tujuan agar orang yang mendengarkan menjadi penasaran hingga lebih bersemangat untuk mendengarkan penjelasan yang akan disampaikan. Atau dengan tujuan menunggu lebih banyak orang yang datang agar lebih banyak yang memahami masalah yang akan disampaikan, dan lain sebagainya.

  6. (2) Hadis ini menunjukkan sunnah menyebarkan salam dan wajib menjawabnya. Juga disunnahkan untuk mengulang salam setiap kali bertemu walaupun jarak antara satu pertemuan dengan pertemuan berikutnya dekat. Dan orang yang disalami wajib untuk menjawab salam tersebut setiap kali bertemu. 

  7. (2) Hadis ini menunjukkan perlunya bersikap lemah lembut kepada pelajar dan orang yang lemah pemahamannya. Yaitu dengan berbicara yang lembut, menjelaskan sejelas-jelasnya dan meringkaskan poin utama masalah tersebut. Juga berusaha untuk menyampaikan hal yang paling penting saja agar mudah diingat dan dilaksanakan.[7] 

  8. (3) Pembukaan shalat adalah takbir. Ini menunjukkan bahwa apabila engkau memulai shalat dengan melafazkan, “Allahu Akbar,” maka engkau harus mengagungkan Allah dan menjadikannya lebih besar dari dunia dan semua isinya. Jangan sampai ada perkara dunia yang memalingkanmu dari khusyuk dan tumakninah.  

  9. (4) Hadis ini menunjukkan perlunya memberi solusi yang mudah bagi kaum Muslimin dan tidak membebani mereka dengan hal yang berada di luar batas kemampuan. Perintah Nabi kepada orang tersebut untuk membaca ayat Al-Qur`an yang mudah sangat kontras dengan kebiasaan sebagian imam shalat yang selalu membaca surah-surah yang panjang hingga membebani makmumnya. Padahal Rasulullah pernah bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian mengimami orang lain, hendaklah ia meringankan shalatnya. Karena di antara mereka ada yang lemah, sakit dan tua renta. Sedangkan apabila salah seorang di antara kalian shalat sendirian, maka silakan ia memanjangkannya sesuai kehendaknya.[8]”

  10. (5) Tumakninah adalah rukun shalat. Shalat tidak akan sah tanpa tumakninah. Tujuannya agar orang yang shalat menyadari dan memahami makna zikir dan doa yang dibacanya dalam shalat. Bukan sekadar gerakan duduk dan berdiri tanpa penghayatan.

  11. Di antara bentuk berwasiat dalam kebenaran dan amar makruf nahi munkar adalah mengingatkan orang yang tidak tahu dan mengajari mereka. Dari Zaid bin Wahab, beliau berkata, “Huæaifah  melihat seorang laki-laki tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya, maka beliau berkata, ‘Engkau belum shalat. Jika engkau mati, engkau mati bukan dalam keadaan fitrah Allah yang Dia telah menciptakan Nabi Muhammad menurut fitrah itu.’ Ini termasuk peringatan yang keras.[9]”

  12. Seorang penyair menuturkan,

Engkau shalat tanpa hati, shalat seperti itulah

yang menyebabkan seorang pemuda layak mendapat siksa

Celaka engkau, tahukah engkau siapa yang kau ajak bicara sambil berpaling 

dan kepada siapakah engkau membungkuk tanpa merendahkan diri

Engkau berkata kepada-Nya, “Hanya kepada-Mu aku menyembah,” 

akan tetapi kepada selain-Nya engkau menghadap tanpa kepentingan

Jika †at yang engkau pinta memalingkan pandangan-Nya kepada yang lain

Engkau pasti akan marah dan cemburu kepadanya

Referensi

  1. Lihat: Syarñ Al-Misykáh Al-Kásyif ‘An Ôaqá`iq As-Sunan (3/977), At-Tauðíñ Lisyarñ Al-Jámi’ Aÿ-Ÿañíh karya Ibn Al-Mulaqqin (30/313) dan Fatñ Al-Bárí karya Ibnu ôajar (2/281).
  2. Lihat: Ikmál Al-Mu’lim bi Fawá`id Muslim karya Al-Qáðí ‘Iyáð (2/282).
  3. HR. Al-Bukhari (756) dan Muslim (394).
  4. Lihat: Ma’álim As-Sunan karya Al-Khaþþabi (1/210), Ikmál Al-Mu’lim bi Fawá`id Muslim karya Al-Qáðí ‘Iyáð (2/282), dan Al-Mufhim Limá Asykal Min Talkhís Kitáb Muslim karya Al-Qurþubí (2/29)
  5. HR. Muslim (622).
  6. Lihat: Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawí (4/107).
  7. Lihat: Syarñ Ÿañiñ Muslim karya An-Nawawí (4/108,109).
  8. HR. Al-Bukhari (703) dan Muslim (467).
  9. HR. Al-Bukhari (791).

  1. Nabi menyebutkan bahwa orang yang shalat tanpa membaca Surah Al-Fátiñah maka shalatnya kurang dan tidak sempurna. Kekurangan di sini bermakna shalatnya tidak sah sehingga tidak diterima oleh Allah . Karena Rasulullah bersabda, “Tidak sah shalat orang yang tidak membaca Surah Al-Fátiñah di dalamnya.[1]”

Al-Fátiñah disebut Ummul Qur’an (induk Al-Qur`an) karena Al-Fátiñah merupakan pokok dari Al-Qur`an. Semua makna surah dalam Al-Qur`an berupa pujian kepada Allah , beribadah kepada-Nya, kabar gembira dan ancaman, dan kisah-kisah umat terdahulu semuanya kembali kepada Al-Fátiñah. Demikian juga Makkah disebut dengan Ummul Qura (induk semua kota) karena Makkah merupakan pokok semua kota.[2]

2.   Abu Hurairah  –perawi hadis ini- kemudian ditanya tentang membaca Surah Al-Fátiñah bagi makmum dalam shalat jemaah. Beliau mengatakan bahwa makmum tersebut harus membaca Al-Fátiñah juga dengan tanpa mengeluarkan suara. Walaupun ucapan ini keluar dari mulut Abu Hurairah  (maukuf),[3] akan tetapi dihukumi sebagai ucapan Nabi  (marfuk),[4] karena sebagaimana pada hadis yang diriwayatkan oleh ‘Ubádah bin Aÿ-Ÿámit  , beliau berkata, “Kami dahulu shalat Subuh di belakang Nabi . Nabi kemudian membaca (Al-Qur`an), dan beliau merasa berat (susah) dengan bacaannya. Setelah selesai shalat, beliau bersabda, ‘Barangkali kalian membaca di belakang imam kalian?’ Kami menjawab, ‘Benar wahai Rasulullah, kami membacanya dengan cepat.’ Nabi bersabda, ‘Jangan kalian lakukan, kecuali membaca Surah Al-Fátiñah. Karena tidak sah shalat yang tidak dibacakan Al-Fátiñah di dalamnya.’[5]” 

3.   Kemudian Abu Hurairah menjelaskan sebab dari ucapannya tersebut, yaitu bahwa Allah Ta’alaberfirman dallam hadis Qudsi bahwa Dia membagi bacaan Al-Fátiñah antara diri-Nya dan hamba-Nya masing-masing separuhnya.

Yang dimaksud dengan membagi adalah membagi maknanya. Yaitu bahwa Allah membandingkan lafaznya dengan yang setara. Jika hamba tersebut membaca, “Alñamdu Lilláhi Rabbil 'Álamín (Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam),“Allah berfirman, “Hamba-Ku telah memuji-Ku.”

Bisa juga yang dimaksud dengan membagi separuh adalah bahwa Surah Al-Fátiñah separuhnya berisi pujian dan pengagungan kepada Allah Ta’ala, dan separuh yang lain berisi doa dan permohonan, dan Allah Ta’ala telah berjanji untuk mengabulkannya. Bagian tengah surah ini dimulai dari: Iyyáka Na'budu Wa Iyyáka Nasta'ín (Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan). Separuh yang pertama dari ayat ini beserta ayat-ayat sebelumnya berisi pujian, sanjungan, pengagungan dan penyembahan kepada Allah . Dan separuh terakhir dari ayat ini beserta ayat-ayat sesudahnya berisi permintaan tolong dan permohonan mendapatkan hidayah dari Allah . [6]

Dalam Al-Qur`an, terdapat penggunaan diksi ‘shalat’, akan tetapi yang dimaksud adalah bacaan Surah Al-Fátiñah. Ini termasuk menyebut sesuatu dengan menyebutkan hal terpenting yang ada padanya. Seperti pada firman Allah Ta’ala,

“Dan janganlah engkau mengeraskan shalatmu dan janganlah (pula) merendahkannya dan usahakan jalan tengah di antara kedua itu.”

(QS. Al-Isrá`: 110).

Arti, jangan mengeraskan shalatmu adalah jangan mengeraskan bacaanmu.[7]

4.   Kemudian Nabi menjelaskan bahwa jika seorang hamba membaca, “Alñamdu Lilláhi Rabbil ‘Álamín (Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam).” Allah berfirman, “Hamba-Ku memuji-Ku.” Jika hamba tersebut membaca, “Ar-Rahmánir Rahím (Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang).” Allah berfirman, “Hamba-Ku menyanjung-Ku.” Jika hamba tersebut membaca, “Máliki Yaumiddín (Pemilik hari pembalasan),” Allah berfirman, “Hamba-Ku mengagungkanku.”

Pujian, sanjungan, dan pengagungan adalah kata-kata yang maknanya berdekatan. Semuanya mengandung makna pemujaan dan menyebutkan kebaikan. Akan tetapi, Al-Ôamdu (pujian) tidak khusus untuk perbuatan. Oleh karena itu,

Allah  berfirman,

“Alñamdu Lilláhi Rabbil ‘Álamín (Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam).“

(QS. Al-Fátiñah: 2)

Kita memuji Allah karena Dia Tuhan semesta alam. Sedangkan Aš-Šana’ (sanjungan) adalah menyebutkan sifat sesuatu yang disanjung yang berhak mendapatkannya. Oleh karena itu, Allah  menyebutnya ketika hamba membaca, “Ar-Rahmánir Rahím (Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang),” yang ketika hamba itu menyebutkan sifat kasih sayang Allah , maka Allah mengatakan hamba-Ku menyanjung-Ku. Dan ketika hamba mengatakan bahwa Allah penguasa dan penentu Hari Akhir, Allah menyesuaikannya dengan mengatakan bahwa hamba-Ku mengagungkan-Ku. Pengagungan itu berisi penjelasan sifat tinggi dan agung yang dimiliki oleh Allah . [8]

7.   Jika hamba tersebut membaca, “Iyyáka Na'budu Wa Iyyáka Nasta'ín (Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan),” Allah berfirman,  “Ini antara Aku dengan hamba-Ku, dan untuknya apa yang dia minta.” Karena ayat ini adalah ungkapan untuk merendahkan diri dan menunjukkan ia membutuhkan Allah Ta’ala. Juga berisi keikhlasan beribadah kepada-Nya dan memohon pertolongan-Nya. Ibadah adalah kata umum dan menyeluruh yang mengandung segala sesuatu yang dicintai oleh Allah dan diridai-Nya berupa ucapan dan perbuatan yang tampak maupun yang tersembunyi. Ini berisi pengagungan kepada Allah dan menjelaskan bahwa Allah mampu mewujudkan permohonannya.[9]

8.   Jika hamba tersebut membaca,

“Ihdinaÿ Ÿiráþal Mustaqím, Ÿiráþal Laæína An’amta ‘Alaihim Gairil Magðúbi ‘Alaihim Walað Ðállín (Tunjukilah kami jalan yang lurus, (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya; bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.)”

(QS. Al-Fátiñah: 7-8),

maka Allah berfirman, “Ini untuk hamba-Ku dan baginya apa yang dia minta.” Maksudnya, Allah mengabulkan doanya dan memberikan apa yang diinginkannya. 

Yang dimaksud dengan orang yang dimurkai adalah orang-orang Yahudi. Allah Ta’ala murka kepada mereka karena mereka mengetahui kebenaran namun berpaling darinya. Sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani, karena mereka tersesat dalam kebodohan dan membuat hal baru dalam agama tanpa dilandasi dengan ilmu.[10]

Implementasi:


  1. (1) Al-Fátiñah adalah induk dan pokok dari Al-Qur`an. Seluruh makna yang terkandung dalam surah-surah Al-Qur`an kembali kepada Al-Fátiñah. Maka orang yang cerdas adalah yang memahami maknanya, menggali hukum yang terkandung di dalamnya dan mengetahui rahasia keutamaan dan keistimewaannya. 

  2. (1) Kita bisa menyimpulkan berbagai macam ilmu dunia dan akhirat dari Surah Al-Fátiñah. Yaitu dengan mengatakan, “Dalam surah ini terdapat ilmu memuji, ilmu Uluhiyah, ilmu Rububiyah, ilmu alam semesta, ilmu kasih sayang, ilmu penguasa, ilmu Hari Akhir, ilmu ibadah, ilmu memohon pertolongan, ilmu hidayah, ilmu jalan (hidup), ilmu istikamah, ilmu nikmat, ilmu menjauhi yang menyebabkan kemurkaan Allah  dan ilmu menjauhi kesesatan.[11]

  3. (1) Hadis ini menunjukkan kewajiban membaca Surah Al-Fátiñah dalam setiap rakaat shalat. Tidak boleh seorang Muslim shalat tanpa membaca Surah Al-Fátiñah.

  4. (1) Nabi mengulang ucapannya, “Shalatnya cacat,” sebanyak tiga kali agar dipahami dan dihafal oleh para sahabat. Juga untuk menguatkan penjelasan hukum tersebut bagi orang yang mendengar.

Mengulang ucapan merupakan salah satu metode yang sering digunakan oleh Nabi. Maka selayaknya para dai, guru dan pendidik meniru hal ini dan sering menggunakan metode tersebut dalam mengajar.

5.   (2) Orang-orang bertanya kepada Abu Hurairah mengenai hukum membaca Surah Al-Fátiñah bagi makmum, karena mungkin ada hukum khusus bagi makmum dalam membaca Surah Al-Fátiñah. Oleh karena itu, Abu Hurairah  tidak menyangkal pertanyaan mereka tersebut. Hendaknya seorang  Muslim tidak malu untuk bertanya hal yang tidak diketahuinya. Dan para ulama dan dai hendaknya tidak merasa bosan menjawab pertanyaan para murid walaupun terulang atau sudah terjawab dalam pertanyaan sebelumnya.

6.   (3) Allah menyebut Surah Al-Fátiñah dengan nama shalat karena Al-Fátiñah merupakan bagian terpenting dalam shalat. Maka jangan sampai seorang Muslim melupakannya atau membacanya dengan tergesa-gesa tanpa memikirkan dan merenungi maknanya.   

7.   (3) Ketika sedang membaca Surah Al-Fátiñah dalam shalat, renungkan komunikasi dan percakapan yang terjadi antara hamba dan Tuhannya. Kewajiban kita untuk menghadirkan hati ketika shalat agar tanggungjawab kita terkait shalat tersebut bisa selesai dan kita bisa mendapatkan manfaatnya. Karena dampak positif shalat hanya akan didapatkan dari shalat yang sempurna dan dilakukan dengan khusyuk.[12]

8.   (4) Allah membanggakan hamba-hamba-Nya yang beriman dan merasa gembira dengan mereka. Jika mereka membaca, “Alñamdu Lilláhi Rabbil ‘Álamín (Segala puji bagi Allah, Tuhan seluruh alam).” Allah berfirman dengan bangga dan gembira, “Hamba-Ku telah memuji-Ku.” Adakah amalan yang lebih agung dan lebih diharapkan memberikan pahala dan manfaat yang agung daripada amalan yang membuat Allah Ta’alagembira?

9.   (5) Alangkah baiknya jika seorang Muslim merenungkan ayat: Iyyáka Na'budu Wa Iyyáka Nasta'ín (Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan). Ada sebuah pendapat yang mengatakan bahwa ayat ini merangkum rahasia semua kitab-kitab suci yang diturunkan dari langit. Karena tujuan diciptakannya makhluk adalah untuk beribadah kepada Allah , sebagaimana firman Allah,

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”

(QS. Aæ-†áriyát: 56).

Ibadah adalah hak Allah yang harus ditunaikan oleh hamba. Tidak ada kekuatan dari seorang hamba untuk mewujudkannya kecuali dengan pertolongan dari Allah . Oleh karena itulah, ayat ini dibagi antara Allah dan hamba-Nya. Karena ibadah adalah kewajiban atas hamba, dan pertolongan untuk melakukannya karunia dari Allah kepada hamba-Nya. [13]

10.   (6) Allah memerintahkan para hamba-Nya untuk memohon ditunjukkan jalan yang lurus, jalan para nabi, orang-orang yang jujur dan para syuhada. Barang siapa yang konsisten meniti jalan ini pasti akan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Ia akan teguh meniti jembatan yang membentang di atas neraka Jahanam pada hari kiamat. Sedangkan orang yang keluar dari jalan itu akan mendapatkan murka dari Allah. Seperti kaum Yahudi yang mengetahui kebenaran tapi tidak mau mengikutinya. Atau akan tersesat seperti orang-orang Nasrani dan orang-orang musyrik.[14]

11.   (6) Allah Ta’ala membimbing hamba-Nya untuk memohon petunjuk menuju jalan yang lurus dan menjauhkannya dari jalan orang Yahudi dan Nasrani. Ini menuntut kita untuk tidak mengikuti dan mengekor kepada mereka. Kita harus berusaha  semampu kita untuk berbeda dari mereka. 

12.   (6) Ketika seorang hamba dalam shalatnya telah selesai membaca Al-Fátiñah, maka Allah mengabulkan doanya dan mengatakan, “Ini untuk hamba-Ku, dan baginya apa yang ia minta.” Pada saat itu, para malaikat ikut mengaminkan doa orang-orang yang shalat berjemaah. Maka disyariatkan untuk membaca amin tepat bersama para malaikat. Karena membaca amin menjadi salah satu sebab dikabulkannya doa.[15]

13.   Seorang penyair menuturkan,

Engkau shalat tanpa hati, shalat seperti itulah

yang menyebabkan seorang pemuda layak mendapat siksa

Celaka engkau, tahukah engkau siapa yang kau ajak bicara sambil berpaling 

dan kepada siapakah engkau membungkuk tanpa merendahkan diri

Engkau berkata kepada-Nya, “Hanya kepada-Mu aku menyembah,” 

akan tetapi kepada selain-Nya engkau menghadap tanpa kepentingan

Jika †at yang engkau pinta memalingkan pandangan-Nya kepada yang lain 

Engkau pasti akan marah dan cemburu kepadanya

Referensi

  1. HR. Al-Bukhari (756) dan Muslim (394).
  2. Lihat: Ikmál Al-Mu’lim bi Fawá`id Muslim karya Al-Qáðí ‘Iyáð (2/272), Al-Mufhim Limá Asykal Min Talkhís Kitáb Muslim karya Al-Qurþubí (2/25) dan Tuñfah Al-Abrár Syarñ Maÿábíñ As-Sunnah karya Al-Baiðawi (1/286).
  3. Maukuf adalah hadis yang dinisbahkan kepada sahabat, tidak ditegaskan bahwa itu merupakan ucapan atau perbuatan Nabi . (penerjemah).
  4. Marfuk adalah ucapan, perbuatan dan ketetapan yang dinisbahkan kepada Nabi (penerjemah).
  5. HR. Abu Dawud (823) dan At-Tirmizi (311).
  6. Lihat: Ma’álim As-Sunan karya Al-Khaþþabi (1/204) dan Al-Masálik fí Syarñ Muwaþþa’ Málik karya Ibn Al-‘Arabi (2/375).
  7. Ma’álim As-Sunan karya Al-Khaþþabi (1/204) dan Al-Muyassar fí Maÿábíñ As-Sunnah karya At-Turibisyti (1/239).
  8. Lihat: Al-Masálik fí Syarñ Muwaþþa’ Málik karya Ibn Al-‘Arabi (2/376) dan Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawí (4/104).
  9. Al-Mufhim Limá Asykal Min Talkhís Kitáb Muslim karya Al-Qurþubí (2/27) dan Majmú’ Al-Fatáwá karya Ibnu Taimiyah (10/149).
  10. Lihat: Tafsír Ibn Kašír (1/140).
  11. Al-Ifÿáh ‘An Ma’áni Aÿ-Ÿiñáh karya Ibnu Hubairah (8/157).
  12. Syarñ Riyáð Aÿ-Ÿálihín karya Ibnu Ušaimin (1/355).
  13. Fatñ Al-Bárí karya Ibnu Rajab (7/102,103).
  14. Fatñ Al-Bárí karya Ibnu Rajab (7/102,103).
  15. Fatñ Al-Bárí karya Ibnu Rajab (7/102,103).

Dalam hadis ini terdapat penjelasan mengenai kewajiban shalat Jumat bagi kaum Muslimin dan peringatan bagi yang meninggalkannya. Juga menjelaskan siksa yang pedih yang layak diterima seorang hamba karena meninggalkan shalat Jumat.

Makna hadis ini adalah bahwa salah satu dari dua hal tersebut pasti akan terjadi. Yaitu, orang-orang berhenti dari kebiasaan meninggalkan shalat Jumat; atau Allah menutup dan mengunci hati mereka, sehingga mereka tidak mendapatkan petunjuk, tidak mengetahui perkara yang makruf, tidak mengingkari perkara yang munkar dan menjadi orang-orang yang lalai.

Seperti dalam firman Allah ,

“Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah ditutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat.”

(QS. Al-Baqarah: 7)

Hadis ini dikuatkan dengan hadis yang lain yaitu, “Barang siapa yang meninggalkan tiga kali shalat Jumat karena meremehkannya, maka Allah akan menutup hatinya.[1]”

Shalat Jumat hukumnya fardu ‘ain bagi setiap Muslim, laki-laki, dan merdeka.

Allah  berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari Jumat, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

(QS. Al-Jumu’ah: 9).

Nabi bersabda, “Setiap laki-laki yang telah balig wajib mendatangi shalat Jumat, dan wajib bagi orang yang berangkat shalat Jumat untuk mandi.[2]”

Implementasi:

  1. Seorang  Muslim  yang selalu berdoa kepada Allah agar mendapatkan hidayah dan bimbingan tidak selayaknya meletakkan dirinya pada kemurkaan dan siksa Allah . Sehingga Allah mengunci hatinya dan dia menjadi orang yang lalai dari ketaatan kepada Allah . 

  2. Urusan-urusan yang penting menuntut adanya perintah dan larangannya kepada khalayak ramai. Oleh karena itu, larangan meninggalkan shalat berjemaah dan shalat Jumat disampaikan oleh Rasulullah di atas mimbar ketika para sahabat berkumpul agar dipahami urgensinya. Maka hendaknya para dai, pengajar, orang yang fakih, dan pendidik menempatkan semua masalah pada tempatnya. Hal yang layak disampaikan dalam kajian-kajian yang berisi nasihat dan wejangan tentunya berbeda dengan yang disampaikan dalam khutbah Jumat, dan lain sebagainya.

  3. Sikap tegas yang diambil oleh seorang dai, pengajar, dan pendidik berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi. Sebagian kondisi memerlukan sindiran yang lembut, sebagian dengan nasihat, sebagian lebih sesuai dengan teguran yang ringan dan sebagian yang lain memerlukan sikap keras dan kemarahan.

  4. Dalam menyampaikan nasihat tidak diperbolehkan menyebutkan nama orang-orang yang diberi peringatan di depan khalayak dengan maksud mempermalukannya. Kalau itu dilakukan, berarti termasuk dalam kategori menghilangkan kemungkaran dengan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar. Pada hadis ini, Rasulullah bersabda, “Hendaknya sekelompok orang berhenti...” Beliau tidak menyebut nama seorang pun dari mereka. 

  5. Shalat Jumat hukumnya wajib berdasarkan kesepakatan para ulama. Allah mengancam orang yang meninggalkan shalat Jumat dengan berbagai sanksi dan siksa. Oleh karena itu, hendaklah kita berhati-hati jangan sampai kita menjadi termasuk orang yang mendapatkan murka dan siksa dari Allah Ta’ala.

  6. Hari Jumat adalah hari terbaik. Rasulullah bersabda, “Hari terbaik yang matahari terbit padanya adalah hari Jumat. Pada hari itu, Adam diciptakan, dimasukkan ke dalam surga, dan dikeluarkan dari surga.[3]” Jangan sampai hari Jumat menjadi saksi yang memberatkanmu, dan bukan yang meringankanmu di hari kiamat.

  7. Seorang Muslim hendaklah bersemangat untuk berangkat shalat Jumat lebih awal. Juga berusaha untuk mandi dan memakai pakaian yang paling baik. Karena ada balasan yang agung untuk hal tersebut. Nabi bersabda, “Barang siapa yang mandi pada hari Jumat sebagaimana mandi junub kemudian dia pergi ke masjid pada awal waktu, maka dia mendapat ganjaran seperti pahala berkurban satu ekor unta. Barang siapa berangkat ke masjid pada saat yang kedua, maka dia mendapat ganjaran seperti pahala berkurban seekor sapi. Barang siapa yang berangkat ke masjid pada saat yang ketiga, maka dia mendapat ganjaran seperti pahala berkurban seekor kambing jantan. Barang siapa yang berangkat ke masjid pada saat yang keempat, maka dia mendapat ganjaran seperti pahala berkurban seekor ayam. Dan barang siapa yang berangkat ke masjid pada saat yang kelima, maka dia mendapat ganjaran seperti pahala berkurban sebutir telur. Apabila imam telah datang (untuk menyampaikan khotbah) maka para malaikat juga turut hadir untuk mendengarkan khotbah.” Muttafaq ‘Alaihi[4].

  8. Seorang penyair menuturkan, 

Alangkah elok hari yang keindahannya sangat menawan 

alangkah banyak cahaya-cahaya petunjuknya

Itu adalah hari yang Allah pilih 

dengan rencana yang bijak dan terperinci

Allah jadikan hari itu sebagai sarana persatuan kita 

dalam sebuah perkumpulan merata, alangkah indahnya

Dilakukan setiap pekan, di dalamnya terdapat nasihat 

dari imam, betapa banyak orang yang mendengar mendapat petunjuk 

Itu adalah hari yang seluruhnya merupakan kebaikan 

ia adalah hari berkumpulnya umat Islam 

Tidak ada hari yang lebih mulia darinya 

sebaik-baik hari adalah hari Jumat

Persatuan umat adalah tanda bahwa 

ia berada di puncak yang tertinggi.

Referensi

  1. HR. Abu Daud (1052), Ati-Tirmizi (500), An-Nasa`í (1668), dan Ibnu Majah (1125).
  2. HR. Abu Daud (342) dan An-Nasa`í (1371).
  3. HR. Muslim (854).
  4. HR. Al-Bukhari (881) dan Muslim (850).

Ketika Nabi berhijrah ke Madinah, beliau mendapati kaum Ansar berkumpul dan bermain pada dua hari tertentu di setiap tahunnya, yaitu: hari Nairuz dan hari Mahrajan[1]. Nabi  mengingkari perayaan pada dua hari tersebut. Lantas mereka memberitahukan kepada beliau bahwa dua hari ini termasuk hari-hari perayaan mereka pada masa jahiliah yang sudah biasa mereka rayakan dengan berpesta dan bermain-main. Nabi melarang mereka, dan memberitahukan bahwa Allah telah mengganti dua hari itu dengan yang lebih baik: Idul Fitri dan Idul Adha.

Hadis ini menunjukkan haramnya berkumpul merayakan hari-hari kaum kafir dan musyrik dari kalangan ahli kitab. Ini termasuk kaidah dalam wala dan bara[2]. Beliau menyebutkan bahwa Allah telah mengganti bagi mereka dengan yang lebih baik dari dua hari tersebut. Mengganti sesuatu tidak akan sempurna jika tidak dibarengi dengan meninggalkan sesuatu yang digantikan.

Pengharaman dua hari raya tersebut dikuatkan dengan dihapusnya pengaruh dua hari raya tersebut secara total di dalam Islam. Sama sekali tidak pernah disinggung, baik pada masa Nabi atau masa khulafaurasyidin. Kalau bukan karena beliau telah melarang orang-orang yang bermain-main pada dua hari tersebut atau semisalnya yang biasanya mereka lakukan, niscaya mereka akan tetap mempertahankan kebiasaan itu. Hal itu karena suatu adat istiadat tidak akan diubah melainkan dengan suatu adat yang menghapusnya, terlebih bahwa tabiat kaum wanita dan anak-anak serta kebanyakan manusia sangat menyukai hari yang biasanya mereka jadikan sebagai hari raya untuk bersantai-santai dan bermain-main.[3]

Implementasi:

  1. Hadis ini mengandung faedah bahwa berkumpul makan-makan pada hari raya kaum kafir dan hari-hari kebiasaan mereka dilarang secara syariat. Seorang Muslim tidak boleh berkumpul merayakan hari raya mereka, dan dilarang menyerupai orang-orang kafir dalam makanan dan minuman pada hari tersebut.

  2. Apabila larangan merayakan hari raya kaum kafir yang syiarnya telah hilang dan tidak akan muncul lagi, kecuali di akhir masa, ini saja haram, maka merayakan hari raya kaum Yahudi dan Nasrani lebih diharamkan lagi, karena itu menyerupai mereka dan Nabi telah melarang dan memperingatkannya dari perbuatan tersebut. 

  3. Hadis ini menunjukkan bolehnya bersantai dan bermain pada hari raya. Nabi menjadikannya sebagai pengganti hari-hari yang biasa mereka rayakan pada masa jahiliah dengan bermain-main di hari itu. Nabi pernah membiarkan kaum Habasyah bermain dengan tombak mereka di dalam masjid pada hari raya, dan Ummul Mukminin Aisyah menyaksikan mereka sampai beliau merasa puas.[4]

  4. Seorang Muslim boleh bersenang-senang dan bermain di hari-hari raya, dengan syarat tidak dalam permainan yang haram, seperti: bermain judi, permainan menggunakan dadu, atau bercampur baur antara laki-laki dan perempuan, dan tidak menyibukkannya dari zikir kepada Allah Ta’ala.

  5. Menampakkan kebahagiaan dan kesenangan saat hari raya termasuk syiar Islam dengan bermain, bersenda gurau, saling mengunjungi, menyambung silaturahmi, memberikan sesuatu yang lebih kepada keluarga, dengan demikian jiwanya terasa lapang dan nyaman.

  6. Seorang Muslim harus menghadirkan niat ingin menghidupkan salah satu syiar kebahagiaan pada hari raya, sehingga ia akan tetap mendapatkan pahala pada permainannya, kesenangannya, makan, dan minumnya.

  7. Seorang imam dan dai hendaknya memperhatikan keadaan orang-orang di sekitarnya dan kebiasaan mereka, serta melihat muamalah mereka, menjelaskan perkara yang halal dan haram. Barangkali ada sebuah kebiasaan yang biasa dilakukan oleh manusia selama ini, yang ternyata hukum asalnya diharamkan atau makruh menurut Islam, sementara mereka tidak mengetahuinya. Apabila seorang imam, dai, dan seorang alim menyadari hal itu, maka sebaiknya ia segera memberitahukan kepada masyarakat terkait hukum Allah Ta’ala dan hukum rasul-Nya, agar mereka langsung patuh terhadap perintah-Nya.

  8. Memberikan alternatif sangat efektif bagi manusia saat harus meninggalkan hal yang dilarang. Jika seorang pengasuh ingin menghentikan beberapa kebiasaan atau perbuatan buruk pada anak atau muridnya, maka seharusnya ia mencarikan baginya pengganti yang baik dan menyenangkan baginya. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh-Nya manakala mengganti hari raya mereka dengan hari raya Idul Fitri dan Idul Aðña.

  9. Tindakan preventif merupakan salah satu landasan syariat. Oleh karena itu, Nabi melarang bermain pada hari raya kaum musyrikin. Hal itu dikhawatirkan akan mengarahkan pada tingkatan sikap ikut serta dalam ritual dan peribadatan mereka. Oleh sebab itu, orang yang fakih dan alim ulama, hendaknya konsisten menerapkan landasan ini dalam putusan hukum dan fatwa-fatwa mereka. Bisa jadi ia melihat ada maslahat dalam mengharamkan suatu perkara padahal sama sekali tidak ada kaitannya dengan sesuatu tersebut, tetapi perkara tersebut diharamkan karena perkara tersebut mengantarkan kepada kemaksiatan dan kekafiran.

  10. Seorang penyair menuturkan,Inilah hari raya, hendaklah engkau bersihkanlah jiwa dengannya Banyak berbuat kebajikan di hari ini merupakan hal terbaik Hari-harinya merupakan musim kebajikan yang kau tanamkan Dan pahala seseorang atas amalannya tersimpan di sisi Tuhan Jagalah jangan sampai ada yang merasa terancam Oleh beragam peristiwa serta kesusahan dan orang terdekatmu Hilangkan kesedihan dari karib kerabatmu Tuhan dan Rasul-Nya telah memerintahkan hal itu Tolonglah orang lain dan simpatilah Jadilah purnama yang menyingkap gelapnya malam

Referensi

  1. Lihat: Al-Mafátíh fí Syarñ Al-Maÿábih karya Al-MuÈhirí (2/342).
  2. Wala adalah loyalitas terhadap Islam dan kaum Muslimin; bara` berlepas diri dari kesyirikan dan pelakunya (editor)
  3. Lihat: Iqtiða` Aÿ-Ÿiraþ Al-Mustaqím li Mukhalafah Aÿñab Al-Jahím karya Ibnu Taimiyah (1/488)
  4. HR. Al-Bukhari (949, 950) dan Muslim (829).


Dalam hadis ini terdapat penjelasan mengenai keutamaan dan pahala yang agung dari shalat berjemaah, yaitu lebih utama daripada shalat sendirian dua puluh tujuh derajat.

Ada hadis-hadis lain yang menyebutkan jumlah pahala yang berbeda, di antaranya sabda Nabi , “Shalat seseorang dengan berjemaah akan dilipatgandakan (pahalanya) daripada shalatnya di rumahnya dan di pasarnya sebesar dua puluh lima kali lipat. Demikian itu bila dia berwudu lalu menyempurnakan wudunya, kemudian keluar menuju masjid, ia tidak keluar dari rumah kecuali hanya untuk shalat, maka tidaklah ia melangkah satu langkah pun kecuali diangkat satu derajat untuknya dan dihapus darinya satu kesalahan. Jika dia shalat, maka malaikat pun terus-menerus mendoakannya selama ia berada di tempat shalatnya, ‘Ya Allah, sejahterakan dia. Ya Allah, rahmatilah dia.’ Dan ia dianggap terus-menerus shalat selama ia menunggu shalat.” Muttafaq ‘Alaihi.[1]Tidak ada kontradiksi antara dua bilangan tersebut. Karena yang sedikit tidak bertentangan dengan yang banyak. Bisa diartikan, pahala yang lebih kecil didapatkan pada permulaannya. Kemudian Allah melebihkan karunianya dan menambah dari dua puluh lima menjadi dua puluh tujuh. Atau bisa juga perbedaan jumlah tersebut berdasarkan perbedaan kesempurnaan shalatnya, khusyuknya, menjaga gerakan-gerakannya, jumlah orang yang shalat berjemaah, kemuliaan tempat shalat dan lain sebagainya.[2]Para ulama telah meneliti sebab keutamaan shalat jemaah. Sebagian sudah disebutkan pada hadis di atas. Sebab yang lain ialah menjawab lafal azan yang dikumandangkan muazin dengan niat shalat berjemaah, bersegera datang ke masjid di awal waktu, berjalan ke masjid dengan tenang, masuk masjid dengan berdoa, shalat Tahiyatul Masjid setelah masuk masjid, menunggu shalat jemaah, doa para malaikat, permintaan ampun serta kesaksian para malaikat untuk orang yang shalat berjemaah, menjawab iqamat, selamat dari setan karena ia kabur ketika iqamat dikumandangkan , berdiri menunggu imam melakukan takbiratulihram, atau jika ia masbuk, ia mengikuti imam dalam gerakan apapun yang sedang dilakukannya, mendapatkan takbiratulihram bersama imam dan meluruskan saf serta merapatkannya.[3]

Implementasi:

  1. Seorang  Muslim hendaknya bersemangat untuk melaksanakan shalat berjemaah, karena itu lebih baik daripada shalat sendiri dan mempunyai pahala dan keutamaan yang banyak hingga tidak layak untuk ditinggalkan.

  2. Setiap Muslim hendaknya berusaha melaksanakan shalat dengan berjemaah, supaya mendapatkan apa yang telah Allah siapkan bagi orang-orang yang shalat berjemaah. Allah telah menyiapkan tempat yang tinggi di surga bagi orang yang selalu pergi ke masjid pada pagi dan petang. Dari Abu Hurairah , dari Nabi , beliau bersabda, “Barang siapa yang pergi ke masjid setiap pagi dan petang, maka Allah menyediakan untuknya tempatnya di surga setiap kali ia berangkat ke masjid pada pagi atau petang.[4]”

  3. Barang siapa yang ingin dihapuskan kesalahannya, diampuni dosanya dan ditinggikan derajatnya di surga, maka hendaklah ia melakukan shalat berjemaah. Rasulullah bersabda, “Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang dengannya Allah menghapuskan dosa dan meninggikan derajat?” Para sahabat menjawab, “Tentu mau wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda, “Menyempurnakan wudu pada waktu-waktu yang tidak disenangi[5], banyak melangkahkan kaki ke masjid, dan menantikan shalat sesudah melakukan shalat. Itulah yang dapat disebut ribaþ, itulah yang disebut ribaþ.[6][7]

  4. Orang yang bahagia adalah mereka yang mampu mengambil pahala shalat berjemaah di masjid. Di antara pahala yang disediakan oleh Allah bagi orang yang melakukan shalat berjemaah adalah mendapatkan pahala berhaji. Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaan telah bersuci untuk melakukan shalat fardu, maka pahalanya seperti orang yang berhaji dengan ihram. Barang siapa yang keluar untuk shalat Duha, ia tidak keluar kecuali untuk hal itu, maka pahalanya seperti orang yang umrah. Dan shalat yang dilakukan setelah shalat tanpa ada kelalaian antara keduanya akan ditulis para malaikat di ‘Illiyyin.[8]”

  5. Shalat berjemaah disaksikan oleh para malaikat. Tidakkah engkau ingin menjadi orang yang dipuji dan disaksikan oleh malaikat dengan mendoakannya di hadapan Tuhan semesta alam? Rasullah bersabda, “Di antara kalian ada malaikat yang bergantian pada waktu malam dan siang, mereka berkumpul ketika shalat fajar (Subuh) dan shalat Asar. Lantas malaikat yang bermalam naik dan Tuhan mereka menanyai mereka (meskipun Allah lebih tahu tentang mereka), ‘Bagaimana kalian tinggalkan hamba-hamba-Ku?’ Para malaikat menjawab, ‘Kami tinggalkan mereka dalam keadaan shalat, dan kami datangi mereka juga dalam keadaan shalat.’[9]”

  6. Ibnu Mas’ud berkata, “Barang siapa yang senang untuk bertemu dengan Allah esok dalam keadaan muslim, maka jagalah shalat-shalat ini di saat ia dipanggil untuk melaksanakannya. Karena Allah  mensyariatkan untuk Nabi kalian jalan petunjuk. Shalat jemaah termasuk bagian dari petunjuk yang baik. Seandainya kalian tetap shalat di rumah-rumah kalian seperti shalat orang yang tertinggal ini di rumahnya, kalian berarti telah meninggalkan ajaran Nabi kalian. Seandainya kalian meninggalkan ajaran Nabi kalian, kalian tentu akan tersesat. Tidaklah seorang laki-laki melakukan taharah dengan sebaik-baiknya kemudian sengaja menuju salah satu masjid (untuk shalat berjemaah) melainkan Allah menuliskan baginya sebuah kebaikan pada setiap langkah kaki yang diayunkan, dengannya diangkat derajatnya, dihapuskan dengannya kesalahannya. Aku telah melihat bahwa tidak ada yang tertinggal dari shalat berjemaah melainkan seorang munafik yang jelas kemunafikannya. Sungguh dahulu ada seseorang dipapah oleh dua orang sampai ia berdiri (bersandar kepada dua orang tersebut) di dalam saf.[10]”

  7. Abdullah bin Umar Al-Qawarírí berkata, “Aku tidak pernah tertinggal shalat Isya secara berjemaah. Suatu hari, seseorang bertamu ke rumahku hingga aku disibukkan dengannya. Kemudian aku keluar untuk mencari shalat berjemaah di kabilah-kabilah Basrah. Ternyata orang-orang telah shalat dan masjid-masjid mereka kosong. Aku berkata dalam hati, telah diriwayatkan dari Rasulullah , ‘Shalat jemaah lebih utama dari shalat sendirian dua puluh lima kali.’ Dalam riwayat yang lain, ‘... dua puluh tujuh.’ Maka aku pun kembali ke rumah dan melakukan shalat Isya dua puluh tujuh kali. Kemudian aku tidur. Aku melihat dalam mimpi, aku sedang bersama sekelompok orang yang menunggang kuda. Aku juga menunggang kuda dan kami berlomba. Aku menoleh kepada salah seorang di antara mereka kemudian ia berkata, ‘Jangan kau paksa kudamu! Engkau tetap tidak akan mampu mengejar kami.’ Aku bertanya, ‘Mengapa?’ Ia menjawab, ‘Sesungguhnya kami telah shalat Isya berjemaah.[11]’”

  8. Hadis ini menunjukkan bahwa mengakhirkan shalat dengan tujuan menunggu shalat berjemaah lebih baik daripada melaksanakannya di awal sendirian. Kecuali jika ia khawatir waktu shalat akan habis, maka hendaknya ia shalat sendirian.

  9. Seorang penyair menuturkan,Azan dari atas menara berkumandang di pagi hari yang cerah dan malam yang tenang Seruan yang membawa kehidupan kepada alam semesta dan para penduduknya di desa dan kota Seruan dari atas langit kepada bumi,yang terlihat di atasnya maupun yang tersembunyi Pertemuan antara malaikat, keimanan, dan orang-orang beriman tanpa ada yang memisahkan Bergerak untuk memperoleh kebajikan menuju kebenaran, petunjuk, dan beragam kebaikan

Referensi

  1. HR. Al-Bukhari (647) dan Muslim (649).
  2. Dalíl Al-Fáliñín Liþuruq Riyáð Aÿ-Ÿáliñín karya ‘Allan Aÿ-Ÿiddiqi (6/548).
  3. Fatñ Al-Bárí karya Ibnu Rajab (2/133, 134).
  4. HR. Al-Bukhari (662) dan Muslim (669).
  5. Misalnya pada saat cuaca sangat dingin dan lain sebagainya. (penerjemah).
  6. Yaitu perjuangan menahan nafsu untuk memperbanyak ketaatan pada Tuhan.
  7. HR. Muslim (251).
  8. HR. Ahmad (22304) dan Abu Daud (558).
  9. HR. Al-Bukhari (555) dan Muslim (632).
  10. HR. Al-Bukhari (555) dan Muslim (632).
  11. At-Tabÿirah karya Ibn Al-Jauzi (2/221).


  1. Nabi memberitahukan bahwa masjid-masjid merupakan tempat yang paling dicintai Allah Ta’ala, rumah ketaatan, asas ketakwaan, tempat berzikir, tempat menimba ilmu, dan tempat menyiarkan dakwah kepada Allah Ta’ala.Karenanya, Nabi sangat antusias membangun masjid pertama kali beliau sampai di Madinah Munawarah. Beliau membawa batu sendiri bersama para sahabatnya ketika membangunnya.Masjid merupakan batu bata pertama untuk membentuk negeri Islam, dari sana dakwah tersebar, di dalamnya diajarkan hukum-hukum dan syariat Islam. Nabi juga pernah mengatur urusan negara di dalamnya; berdiskusi terkait rencana perang dan pertempuran dengan para sahabatnya. Beliau juga menerima para duta dan utusan di masjid; memberangkatkan bala tentara dan utusan, serta memutuskan perkara antar dua pihak yang berseteru, dan lain sebagainya.Barang siapa yang sering ke masjid, berarti ia termasuk orang-orang yang beriman dan takut kepada Allah, yaitu orang-orang yang Allah berfirman mengenai mereka

“(Cahaya itu) di rumah-rumah yang di sana telah diperintahkan Allah untuk memuliakan dan menyebut nama-Nya, di sana bertasbih (menyucikan) nama-Nya pada waktu pagi dan petang, orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat).”

(QS. An-Núr: 36-37) 

Dia menyifati mereka dengan keimanan dalam firman-Nya 

“Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta (tetap) melaksanakan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada apa pun) kecuali kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.”

(QS. At-Taubah: 18)

Maka dari itu, infak untuk membangun rumah-rumah Allah Ta’ala termasuk infak yang paling besar pahalanya, beliau bersabda, “Barang siapa yang membangun masjid karena mengharap wajah Allah (ikhlas), niscaya Allah akan membangun baginya yang sepadan dengannya di surga.[1]” 

2.  Nabi mengabarkan bahwa tempat yang paling dibenci di muka bumi ini adalah pasar-pasar. Di dalam pasar terjadi hiruk pikuk, kegaduhan, kesia-siaan, kecurangan, penipuan, sumpah palsu, transaksi-transaksi riba, pelanggaran janji, lalai dari zikir kepada Allah, dan yang semisal. Oleh karena itu, Salman Al-Farisi menuturkan bahwa pasar adalah medan perang setan di situ ia menancapkan benderanya.[2]

Implementasi:

  1. (1) Nabi memberitahukan bahwa masjid merupakan tempat yang paling dicintai Allah. Sehingga ibadah yang dilakukan di dalam masjid lebih baik daripada ibadah yang dilakukan di tempat lain. Mendirikan shalat di masjid lebih baik daripada shalat di rumah atau di pasar. Mengadakan majelis ilmu di masjid lebih baik daripada di tempat lain, berinfak untuk membangun masjid lebih utama dan lebih banyak pahalanya daripada berinfak pada ladang kebaikan lainnya.

  2. (1) Kunci kebangkitan dan kemajuan Islam dahulu ialah mengaktifkan peran masjid sebagai tempat pendidikan, dakwah, dan pengajaran. Ketika perannya dihilangkan, menyebarlah kebodohan dan kelalaian di kalangan pemuda kaum Muslimin, hingga kebanyakan dari mereka tidak mengetahui rukun dan hukum-hukum Islam. Apabila kita menginginkan kembali kejayaan peradaban Islam, maka kita harus memperhatikan regenerasi dengan benar dan mengaktifkan peran masjid pada bidang tersebut.

  3. (1) Jika masjid merupakan tempat yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala, maka tidak diragukan lagi, bahwa menetap di dalamnya dengan niat beribadah dan menunggu shalat memiliki pahala yang besar. Sebisa mungkin seorang Muslim tidak selayak melewatkannya begitu saja.

  4. Allah menjadikan rutinitas pergi ke masjid termasuk amalan mulia yang dapat mendekatkan seorang hamba kepada Tuhannya, sampai-sampai Nabi mengategorikannya ke dalam tujuh golongan yang akan Allah berikan naungan kepada mereka pada hari yang tidak ada naungan selain naungan-Nya, “Dan seorang laki-laki yang hatinya selalu terpaut ke masjid.[3]”

  5. (1) Masjid adalah rumah Allah Ta’ala, ada etika-etika yang berlaku di sana yang harus diterapkan seorang Muslim, sebagai contoh: mengenakan pakaian terbaik, berpenampilan yang baik, bagi kaum laki-laki memakai minyak wangi, tidak makan makanan yang beraroma tidak sedap, seperti bawang putih, bawang merah, dan sejenisnya yang dapat mengganggu para malaikat dan manusia.

  6. (1) Seorang Muslim sebaiknya berdoa terlebih dahulu sebelum masuk masjid dengan doa-doa yang diriwayatkan dari Nabi, sebagaimana sabda beliau, “Apabila salah seorang di antara kalian hendak masuk masjid, ucapkanlah, ‘Alláhumma iftah lí abwába rahmatika (Ya Allah, bukakanlah pintu-pintu rahmat-Mu untukku),’ dan ketika keluar darinya, ‘Ucapkanlah, ‘Alláhumma inní as`aluka min faðlika (Ya Allah, aku memohon kepada-Mu karunia-Mu).[4]’” 

  7. (1) Seseorang yang masuk masjid sebaiknya tidak langsung duduk, disunnahkan agar mengerjakan shalat dua rakaat sebagai penghormatan terhadap masjid (tahiyatul masjid). Nabi bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian masuk ke masjid, maka jangan langsung duduk sampai ia shalat dua rakaat.[5]”

  8. (2) Pasar-pasar merupakan tempat yang paling buruk, lantaran di sana terdapat beragam kemaksiatan, keburukan, perdebatan, dan lain sebagainya. Tempat apa pun yang ada di dalamnya hal tersebut, maka statusnya sama. Jika di dalam rumah atau tempat kerja seseorang terdapat sumpah palsu, kejahatan, celaan, makian, dan yang sejenis, maka itu termasuk tempat terburuk di sisi Allah Ta’ala.

  9. (2) Seseorang tidak dianjurkan untuk pergi ke pasar, tanpa ada keperluan. Adapun jika ia pergi karena memang ada kebutuhan, seperti jual-beli, maka tidak masalah, berdasarkan firman-Nya Ta’ala,

    “Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu (Muhammad), melainkan mereka pasti memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar.”

    (QS. Al-Furqán: 20). 

  10. (2) Seseorang yang harus pergi ke pasar untuk suatu keperluan, seyogyanya mengusahakan untuk tidak menjadi orang pertama yang masuk ke sana, tidak pula menjadi orang yang terakhir keluar darinya. Hal ini berdasarkan perkataan Salman Al-Farisi, “Jangan sekali-kali kalian –jika memungkinkan- menjadi orang pertama yang masuk ke dalam pasar, jangan pula menjadi orang terakhir yang keluar darinya, karena pasar merupakan medan perang setan, dan di sana benderanya ditancapkan.[6]”

  11. Seorang penyair menuturkan,Barang siapa menggantungkan hatinya di rumah Tuhan dan tidak meminta kecuali pada Yang Mahamulia lagi Maha Pemberi nikmat Itulah sosok yang mendapat naungan dari Allah, tatkala kita sama sekali tidak mendapat naungan kecuali dari-Nya Betapa banyak orang yang takut karena dosa-dosa sambil gemetar Ia tidak mendapat tempat berlindung, selain rumah Allah Ia pun menyucikan Allah dan shalat berdiri penuh ketidakberdayaan Di rumah yang tidak ada yang berhak disembah dengan hak kecuali Dia Hingga rohnya bersih dan jiwanya baik Sehingga, tidak ada lagi kegelapan di hati atau rasa iri Dan betapa banyak orang yang sesat datang, dirundung kegelisahan Dan ia kembali semangat dan mendapat bimbingan Betapa banyak orang bodoh datang dalam kegelapan menjadi bersinar bak purnama dengan ilmu yang diraihnyareferences

Referensi

  1. HR. Al-Bukhari (439) dan Muslim (533).
  2. HR. Muslim (2451).
  3. HR. Al-Bukhari (660) dan Muslim (1031).
  4. HR. Muslim (713).
  5. HR. Al-Bukhari (444 dan Muslim (714).
  6. HR. Muslim (2451).


  1. Nabi memberitahukan tentang tiga jenis ibadah, siapa yang mengerjakannya maka ia akan mengetahui keimanannya, dapat meraihnya dan kokoh di dalamnya. Beliau menggunakan kata ‘rasa’ padahal yang dibahas adalah perkara maknawi yang tidak bisa diindra atau dirasa dengan jelas. Diumpamakan dengan makanan yang lezat, dan sisi kesamaannya adalah sama-sama terasa nikmat dan hati cenderung terhadapnya.

Al-Qur`an Al-Karim menggunakan gaya bahasa semacam itu dengan lafaz rasa pada azab dan siksa, sebagaimana firman-Nya,

“Sungguh, orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti dengan kulit yang lain, agar mereka merasakan azab. Sungguh, Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.”

(QS. An-Nisá`: 56) 

Selain itu, Nabi juga menggunakannya dalam sabda beliau, “Akan merasakan rasanya keimanan: orang yang rida dengan Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai Rasulnya.[1]”Rasa keimanan yang dirasakan oleh seorang hamba yaitu beban berat yang dirasakan karena berharap rida Allah Ta’ala, rida kepada qada dan takdir-Nya, lebih memilih akhirat daripada dunia, berlapang dada terhadap semua hal tersebut.

2.  Perkara pertama adalah tauhid, yaitu beribadah hanya kepada Allah Ta’ala yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Ibadah mencakup segala sesuatu yang dicintai dan diridai oleh Allah, baik itu berupa perkataan dan perbuatan yang lahir dan batin, seperti: rasa cinta, berharap, takut, berdoa, meminta pertolongan, menyembelih, bernazar, dan beribadah dengan segala jenis ibadah yang sunnah dan ketaatan. Tidak boleh menjadikan salah satu darinya ditujukan kepada selain Allah.

Perkara inilah yang menjadi tujuan Allah mengutus para nabi dan rasul.

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka sembahlah Aku.”

(QS. Al-Anbiyá`: 25). 

Oleh karena itu, Allah memberikan ancaman kepada siapa pun yang meninggalkan tauhid dengan neraka yang abadi dan menghapuskan amalannya, apapun statusnya. Allah berfirman kepada Nabi-Nya ,

“Dan sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, ‘Sungguh jika engkau menyekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah engkau termasuk orang yang rugi. Karena itu, hendaklah Allah saja yang engkau sembah dan hendaklah engkau termasuk orang yang bersyukur.’”

3.  Perkara kedua, seseorang harus membayar zakat hartanya secara tunduk dan suka rela, dirinya senang dengannya dan berusaha membayarkannya setiap tahun.

Beliau menyebutkan zakat, tidak menyebutkan lainnya, karena harta disukai jiwa manusia dan biasanya manusia bakhil dengannya. Apabila jiwanya mulia, suka rela dan patuh, maka ini tanda keabsahan keimanannya, sebab orang-orang munafik menginfakkan hartanya sambil berwajah masam dan benci. Dia berfirman,

“Dan tidak ada yang menghalang infak mereka untuk diterima selain karena mereka kafir (ingkar) kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka tidak melaksanakan salat melainkan dengan malas, dan tidak (pula) menginfakkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan (terpaksa).”

(QS. At-Taubah: 54)

4.  Perkara terakhir berkaitan dengan perkara yang sebelumnya, yaitu jika seorang hamba hendak membayarkan zakatnya, maka ia tidak mengeluarkan kualitas yang paling jelek atau yang paling buruk. Apabila zakat ternaknya sudah harus ditunaikan, maka ia tidak akan mengeluarkan hewan yang sudah tua dan lemah, tidak pula yang berpenyakit kudis, atau mengidap penyakit yang menyebabkannya dilarang untuk disembelih dan dimakan, dan tidak cacat seperti kakinya pincang, atau sangat kurus lagi kecil, dan yang semisal.Hal ini bukan berarti bahwa saat seorang Muslim memiliki hewan ternak yang semuanya berpenyakit, ia tidak wajib lagi mengeluarkan zakat sama sekali, tetapi maksudnya, peringatan keras terhadap seseorang yang memilih hewan ternak yang paling buruk untuk dikeluarkan sebagai zakat, sebagai bentuk penerapan firman Allah,

“Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Mahakaya, Maha Terpuji.”

(QS. Al-Baqarah: 267)

Seorang mukmin sejati yang dapat merasakan manisnya keimanan di dalam jiwanya akan mengimplementasikan firman Allah,

“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai.”

(QS. Áli 'Imrán: 92)

5.  Kemudian Nabi menjelaskan bahwa yang dituntut dalam zakat ialah mengeluarkan kualitas pertengahan, yakni tidak mengeluarkan harta yang paling baik, dan tidak pula mengeluarkan harta yang paling buruk. Abu Bakar Aÿ-Ÿiddiq pernah menulis surat kepada Anas bin Malik, “Janganlah seseorang mengeluarkan zakatnya berupa hewan yang sudah tua, atau matanya buta sebelah, jangan pula kambing jantan kecuali jika orang yang berzakat tersebut berkenan.[2]” yakni orang yang membayar zakat menghendakinya. Nabi pernah bersabda kepada Muaæ bin Jabal tatkala mengutusnya ke negeri Yaman, “Hindari mengambil (zakat) dari harta terbaik manusia.[3]” yakni jauhilah dan jangan kau pilih itu.

Implementasi:

  1. (1) Seorang dai dan pendidik seharusnya menggunakan lafaz-lafaz serta gaya bahasa yang menarik perhatian pendengar, dan mendorong mereka untuk diam dan berusaha memahami apa yang disampaikan. Nabi menggunakan kalimat yang global. Beliau mengabarkan bahwa ada tiga perkara yang jika terkumpul pada orang, maka dia mendapatakan keimanan yang sempurna. Kalimat semacam ini bisa menarik perhatian pendengar untuk menyimak, lalu beliau memaparkan perkara tersebut satu persatu, agar tidak ada satu perkara pun yang terlewatkan.

  2. (2) Perkara pertama yaitu pokok dari semua perkara yang tertera dalam hadis ini dan yang lainnya: apabila seseorang merealisasikan tauhid secara benar, maka jiwanya akan baik dan berlapang dada untuk mengerjakan ibadah, dan ia akan yakin bahwa apa yang ada di sisi Allah lebih baik dan abadi, sehingga segala beban syariat dan kesusahan yang ia alami akan terasa lebih ringan karena †at Allah Ta’ala.

  3. (3) Di antara tanda keimanan yang bisa diwujudkan oleh seorang Muslim pada dirinya sendiri, gemar membayar zakat dan sedekah, karena harta itu dicintai jiwa. Jika seorang hamba berusaha keras untuk mengeluarkannya dengan rasa patuh, rida, dan berharap pahala dari-Nya, maka itu salah satu ciri kebenaran imannya.

  4. (4) Bagaimana seorang mukmin bersedekah dengan sesuatu yang buruk, sementara dirinya mengetahui bahwa itu akan dipersembahkan kepada Allah sebelum sampai ke tangan orang fakir?!

  5. (5) Para ulama salaf bersemangat untuk berinfak dengan harta terbaik yang mereka miliki. Tatkala Abu ±alñah Al-Anÿárí mendengar firman-Nya Ta’ala,

    “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai.”

    (QS. Áli 'Imrán: 92)

    maka ia bersedekah dengan harta yang paling dicintainya, yaitu kebun Bairuha` yang Nabi pernah masuk dan minum di sana.[4] 

Ar-Rabi’ bin Khušaim suka dengan gula, dan ia pun menyedekahkannya kepada orang lain sebagai penerapan firman-Nya Ta’ala,

“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai.”

(QS. Áli 'Imrán: 92).[5]

6.  Seorang penyair menuturkan, 

Wahai yang bersedekah dengan harta Allah, engkau curahkan

di ladang-ladang kebaikan, harta tidaklah berkurang

Berapa banyak Allah lipatgandakan harta yang didermakan seseorang

Sungguh orang dermawan diridai oleh Allah

Sifat kikir menimbulkan penyakit yang tidak ada obatnya

Harta orang bakhil esok menjadi warisan keluarganya

Sesungguhnya bersedekah akan menyenangkan orang yang belum mampu

Para dermawan jika kau membutuhkan mereka baru terasa

Referensi

  1. HR. Muslim (34).
  2. HR. Al-Bukhari (1455).
  3. HR. Al-Bukhari (1458) dan Muslim (19), dari Ibnu Abbas.
  4. HR. Al-Bukhari (1461) dan Muslim (998).
  5. Az-Zuhd karya Ahmad bin Hanbal (hal. 267).

  1. Nabi  memberitahukan bahwa Allah Ta’ala Mahabaik dan Mahasuci dari segala bentuk kekurangan dan aib. Makna dasar dari kata baik adalah suci, bersih, dan terhindar dari segala jenis benda kotor.[1]

Oleh karena itu, Allah Ta’ala tidak akan menerima apa pun kecuali dari amal dan jiwa yang baik. Tidak akan mendekatkan diri kepada-Nya orang memiliki jiwa yang buruk penuh kebencian dan dengki terhadap manusia, orang yang berperilaku terhadap manusia dengan perangai yang menyakitkan, dan orang yang jasadnya tumbuh dari makanan yang haram.

Demikian juga, Allah tidak menerima amalan apa pun kecuali yang baik. Dia tidak menerima amalan yang disisipi kesyirikan dan ria, tidak menerima sedekah dari hasil yang tidak dibenarkan. Rasulullah bersabda, “Siapa pun yang bersedekah dengan sesuatu yang baik -dan Allah tidak akan menerima kecuali yang baik- niscaya Sang Maha Pengasih mengambilnya dengan tangan kanan-Nya. Jika sedekahnya berupa kurma, maka akan berkembang di tangan Sang Maha Pengasih sampai melebihi besarnya gunung, sebagaimana di antara kalian yang memelihara anak kuda atau anak unta.[2]” Beliau juga bersabda, “Tidak diterima shalat yang dikerjakan tanpa berwudu, dan tidak diterima sedekah dari harta haram.[3]”

Termasuk di antara perkara kotor yang tidak Allah terima, yaitu seorang laki-laki sengaja mengeluarkan zakatnya yang berkualitas buruk.

Allah Ta’ala berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usaha kamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Janganlah kamu memilih yang buruk untuk kamu keluarkan, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata (enggan) terhadapnya.”

(QS. Al-Baqarah: 267)

2.  Lalu Nabi  menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan antara para nabi, para rasul dan para pengikutnya yang beriman terkait perintah untuk mengambil yang baik berupa makanan, minuman, dan pakaian. Sebagaimana Allah Ta’ala memerintahkan seluruh manusia agar memakan makanan yang baik dan beramal saleh, maka demikian pula Allah Ta’ala memerintahkan para nabi dan para rasul. Setiap individu diperintahkan agar mencari yang halal dan meninggalkan yang haram.

3.  Kemudian beliau memberitahukan bahwa memakan makanan yang haram termasuk salah satu faktor yang menghalangi terkabulnya doa meskipun faktor lainnya terpenuhi. Bisa saja seseorang sedang safar untuk mengerjakan ketaatan: seperti pergi haji, jihad, dakwah, dan lain sebagainya, pada dirinya terlihat bekas perjalanan dan kelelahan, rambutnya acak-acakan tidak rapi, di wajah dan pakaiannya banyak debu, ia mengangkat kedua tangannya ke arah langit terus-menerus berdoa kepada Allah agar mengabulkannya, hanya saja, ia masih mengerjakan yang haram; makanan, minuman, pakaian, dan santapannya berasal dari yang haram; bagaimana mungkin doanya dikabulkan dengan kondisi seperti ini?!

4.  Sabda beliau, “Bagaimana mungkin doanya terkabul?” merupakan bentuk kalimat tanya yang menunjukkan rasa heran dan merasa tidak mungkin, tidak menunjukkan bahwa doanya mustahil atau sama sekali ditolak. Karena Allah bisa saja mengabulkannya berkat karunia dan kedermawanan-Nya. Bisa saja Allah Ta’ala mengabulkan doanya untuk menelantarkannya dan sebagai hujah atasnya di hadapan Allah kelak. Sehingga, kesimpulannya bahwa bermudah-mudahan dalam mengonsumsi yang haram termasuk penyebab doa tertolak.[4]

Implementasi:

  1. (1) Seorang mukmin secara umum baik, hatinya, lisannya, dan tubuhnya, karena di dalam hatinya ada keimanan. Dari lisannya terucap zikir, anggota tubuhnya beramal saleh, yang merupakan buah, dan termasuk bagian dari keimanan. Semua hal baik ini diterima oleh Allah Ta’ala.[5] Sehingga seorang Muslim hendaknya selalu menambah keimanannya supaya bertambah kebaikan dan kesuciannya.

  2. (1) Allah Ta’ala senang melihat hamba-Nya menerapkan makna dari sebagian sifat-Nya yang bukan sifat khusus bagi-Nya, seperti kasih sayang, kelembutan, memaafkan, dan yang semisal. Allah Ta’ala senang melihat hamba-Nya bersikap kasih sayang, bersikap lembut, dan memaafkan. Demikian pula, Allah Ta’ala senang hamba-Nya menjadi baik jauh dari kerendahan dan kehinaan.

  3. (1) Seorang hamba harus antusias menjaga makanan, diri, dan amalnya untuk tetap berada di atas kebaikan, agar Allah mencintainya dan menerima amalnya. Wahb bin Al-Ward menuturkan, “Sekiranya engkau berdiri menggantikan tiang (di masjid ini) tidak akan bermanfaat bagimu sama sekali, hingga engkau memperhatikan apa yang masuk ke dalam perutmu; apakah halal atau haram.[6]”

  4. (2) Apabila seorang guru atau pendidik menginginkan muridnya melakukan sesuatu, maka ia harus menjadi teladan terlebih dahulu. Sebagai contoh: ia memerintahkan muridnya agar semangat shalat berjamaah, maka orang yang pertama kali hadir di sana adalah gurunya. Jika ia menganjurkan untuk mengamalkan amalan sunnah, maka muridnya harus melihat orang yang pertama kali mengerjakan adalah gurunya. Karena itulah, beliau memberitahukan bahwa para rasul diperintahkan agar memakan yang halal dan meninggalkan yang haram, kedudukan mereka seperti halnya kaum mukminin secara keseluruhan, tidak ada perbedaan di antara mereka.

  5. (2) Hadis ini berisi pemuliaan kedudukan seorang mukmin. Allah Ta’ala mengarahkan perintah kepada kaum mukminin yang juga diperintahkan kepada para rasul-Nya. Mereka layak untuk mendapat pemuliaan tersebut, lantaran keimanan dan tingginya derajat mereka.[7]

  6. (3) Nabi mengabarkan bahwa safar termasuk aktivitas yang menjadi faktor dikabulkannya doa, sebab kondisinya menyebabkan dirinya lemah, lantaran jauh dari kampungnya, merasa kelelahan, dan merasa tidak berdaya yang merupakan faktor terbesar dikabulkannya doa.[8] Beliau bersabda, “Ada tiga jenis doa yang mustajab, tidak diragukan lagi: dua orang tua, doa musafir, dan doa orang yang dizalimi.[9]” Apabila seorang Muslim sedang safar, maka sebaiknya dia memperbanyak doa, karena sangat besar kemungkinan dikabulkan.

  7. (3) Di antara faktor terkabulnya doa ialah mengangkat kedua tangan saat berdoa dengan rasa tunduk dan khusyuk. Nabi bersabda, “Sesungguhnya Tuhan kalian †at Yang Mahahidup lagi Mahamulia, Dia malu terhadap hamba-Nya jika kedua tangannya sudah diangkat kepada-Nya dan dibiarkan hampa.[10]” Seorang Muslim seharusnya mengangkat kedua tangannya ketika berdoa pada momen-momen yang memang pernah dilakukan oleh Nabi.

  8. (3) Terus-menerus meminta kepada Allah termasuk penyebab dikabulkannya doa. Jangan sampai seorang Muslim ingin segera dikabulkan doanya, ia berdoa sekali, kemudian meninggalkan doa. Namun, seharusnya dia memperbanyak doa dan terus-menerus meminta kepada Tuhannya Yang Mahamulia. Beliau bersabda, “Doa salah seorang di antara kalian akan dikabulkan selama dia tidak tergesa-gesa; ia berkata, ‘Aku sudah berdoa tapi belum dikabulkan.’” Muttafaq ‘Alaihi.[11]

  9. (3) Memakan makanan yang halal merupakan faktor terbesar dikabulkannya doa, sementara memakan makanan yang haram merupakan faktor penghalangnya. Karenanya, Wahb bin Munabbih mengatakan, “Barang siapa yang ingin doanya dikabulkan oleh Allah, maka makanlah yang halal.” Yusuf bin Asbaþ mengatakan, “Sampai kepada kami sebuah kabar bahwa doa seorang hamba akan tertahan di langit lantaran makanannya yang haram.[12]”

  10. (3) Apabila seorang laki-laki sedang bersafar untuk suatu ketaatan, kontinu dalam hal itu, namun doanya tidak dikabulkan hanya sebab makanannya yang haram, lantas bagaimana dengan orang yang terlena dalam urusan duniawi dan menzalimi orang lain, atau termasuk kalangan orang yang lalai dari berbagai ibadah dan kebaikan?!.[13]

  11. Para ulama salaf sangat perhatian terhadap kehalalan makanan mereka, menjauhkan diri dari hal yang mengakibatkan keraguan terkait kehalalan dan keharamannya. Dari Ummul Mukminin Aisyah, beliau mengatakan, “Abu Bakar memiliki seorang budak yang ia harus membayar upeti kepada Abu Bakar [yakni sejumlah uang yang disepakati, disetorkan setiap hari kepada tuannya, hasil kerja budaknya]. Abu Bakar biasa makan dari hasil setoran budaknya tersebut. Hingga suatu hari ia datang membawa sesuatu, dan Abu Bakar pun memakannya, lalu budaknya berkata kepadanya, ‘Apakah engkau tahu apa ini?’ Abu Bakar menjawab, ‘Apa itu?’ Ia berkata, ‘Dahulu aku pernah menjadi seorang dukun pada masa jahiliah mengobati seseorang, padahal aku tidak menguasai ilmu dukun apa pun, hanya saja aku menipu mereka, lantas ia bertemu denganku dan memberikan itu, dan apa yang Anda makan itu termasuk hasilnya. Lantas Abu Bakar memasukkan tangannya (ke mulut) sampai ia memuntahkan semua yang ada di perutnya.[14]”

  12. Seorang penyair menuturkan,

Kita berdoa kepada Tuhan dalam setiap kesusahan

Kemudian melupakan-Nya tatkala kesusahan sirna

Bagaimana kita berharap doa dikabulkan

Sedang kita menutup jalannya dengan dosa

Referensi

  1. Lihat: Ikmál Al-Mu’lim bi Fawá`id Muslim karya Al-Qáði Iyáð (3/535) dan Al-Muyassar fí Syarñ Maÿábiñ As-Sunnah karya At-Turibisyti (2/655).
  2. HR. Al-Bukhari (1410) dan Muslim (1014).
  3. HR. Muslim (224).
  4. Lihat: Al-Mufhim limá Asykala min Talkhíÿ Kitáb Muslim karya Al-Qurþubí (3/60) dan Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam karya Ibnu Rajab (1/260).
  5. Jami’ Ulum wa Al-Hikam karya Ibnu Rajab (1/260).
  6. Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam karya Ibnu Rajab (1/263).
  7. Lihat: Syarñ Al-Arba’in An-Nawawiyah karya Ibnu Ušaimin (hal. 142).
  8. Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam karya Ibnu Rajab (1/269).
  9. HR. Abu Daud (1536), At-Tirmizi (1905), dan Ibnu Majah (3862).
  10. HR. Abu Daud (1488), At-Tirmizi (3556), dan Ibnu Majah (3865).
  11. HR. Al-Bukhari (6340) dan Muslim (2735).
  12. Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam karya Ibnu Rajab (1/275).
  13. Syarñ Al-Arba’in An-Nawawiyah karya Ibnu Ušaimin (hal. 41-42).
  14. HR. Al-Bukhari (3842).