Tatkala Abu Musa Al-Asy’ariرضي الله عنه kembali dari Yaman yang diutus Nabi ﷺ ke sana, beliau bertanya kepada Nabi tentang hukum minuman penduduk negeri Yaman, seperti al-bit’u dan al-mizru –sebagaimana yang diterangkan oleh Abu Burdah, putra Abu Musa Al-Asy’ari رضي الله عنهما kepada putranya, Sa’id-, beliau berkata, “Al-bit’u adalah nabiz (fermentasi) madu dan al-mizru adalah nabiz gandum.”  Pendapat lain mengatakan, “(al-bit’u adalah) nabiæ ñinþah (jenis gandum lain) dan gandum.”

An-nabiz adalah sesuatu yang dibiarkan di dalam air, baik itu berupa kurma, anggur, atau madu, atau yang lainnya. Direndam di dalam air dan dibiarkan beberapa waktu, kemudian diminum, entah itu memabukkan atau tidak.

2. Nabiﷺ menjawab dengan jawaban yang mencakup semua jenis minuman, tidak hanya berkenaan dengan dua minuman tersebut. Nabiﷺ menjadikan tolok ukurnya adalah sifatnya yang memabukkan. Sehingga segala sesuatu yang memabukkan, baik itu berupa makanan atau minuman, maka hukumnya haram; entah itu terbuat dari madu, kurma, buah anggur, gandum, atau yang lainnya; dan entah itu berbentuk padat, cair, atau bubuk, walaupun nama dan jenisnya berbeda-beda.

Khamar disebut dengan demikian, karena dapat menutup dan menghilangkan akal, sebagaimana khimar (kerudung) yang digunakan untuk menutupi kepala. Maka ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang mengandung ilat yang serupa, maka status hukumnya sama. Ini sesuai dengan sabda beliau ﷺ, “Setiap yang memabukkan hukumnya haram.”

Hadis ini membantah kalangan yang berpendapat bahwa pengharaman khamar hanya berlaku pada khamar yang terbuat dari anggur. Hal itu diperkuat oleh peristiwa pengharaman khamar, yaitu ketika turun ayat pengharamannya. Ketika itu penduduk Madinah tidak ada yang minum khamar yang terbuat dari anggur. Ibnu Umar رضي الله عنهما menuturkan, “Turunnya ayat pengharaman khamar, sedangkan ketika itu di Madinah ada 5 jenis minuman, dan tidak satu pun yang terbuat dari anggur.” [2] 

Tidak ada perbedaan antara jenis yang sangat memabukkan meski diminum sedikit saja atau jenis yang tidak memabukkan kecuali bila diminum dalam jumlah banyak. Beliau ﷺ bersabda, “Sesuatu yang diminum banyak dapat memabukkan, maka yang sedikit pun tetap haram.” [2] Alasan minuman yang sedikit itu tetap diharamkan, meskipun tidak memabukkan; karena hal itu bisa mengantarkannya pada kondisi mabuk. Hal ini termasuk bentuk sikap saddu aæ-æarā`i ‘(antisipasi), serta mencegah segala hal yang bisa mengantarkan pada tujuan, sehingga yang sedikit pun walaupun tidak sampai memabukkan, tetap haram. [3]


1. (1) Setiap Muslim harus menjaga agamanya, ia tidak akan melakukan suatu perkara melainkan telah mengetahui kehalalannya yang tidak akan mendatangkan siksa Allah terhadapnya. Para sahabat رضي الله عنهم  sangat antusias dalam hal itu, karena itulah, Abu Musa رضي الله عنه bergegas bertanya kepada Nabi ﷺ mengenai status hukum minuman tersebut.

2. (1) Orang yang meminta fatwa harus menjelaskan pertanyaannya dengan jelas, agar seorang mufti dapat memahaminya dengan benar, dengan demikian fatwanya dalam masalah itu akan sesuai dengan hukum Allah Ta’ala.

3. (1) Hukum asal pada semua jenis makanan dan minuman adalah halal, sampai ada dalil yang menyatakan keharamannya. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan suatu makanan atau minuman, maka hukumnya halal dan mubah.

4. (2) Menjaga akal termasuk ke dalam maqāÿid asy-syarí’ah al-islamiyyah (tujuan syariat Islam), karena itu Islam mengharamkan segala sesuatu yang mengakibatkan hilang atau tidak berfungsinya akal. Dan yang paling merusak adalah khamar, sebab ia membahayakan tubuh dan akal.

5. (2) Walaupun namanya berubah, namun hukumnya tetap sama, maka khamar, ganja, qat (catha edulis) [4], dan yang sejenis, status hukumnya sama, karena mempunyai ilat yang sama. Janganlah engkau memanipulasi (menyiasati) hukum Allah Ta’ala dengan mengubah nama.

6. (2) Ilat diharamkannya khamar adalah karena khamar dapat menghilangkan akal yang merupakan patokan beban taklif dan untuk berpikir. Jika akal hilang, maka penghalang antara dirinya dan maksiat serta syahwat pun ikut hilang, sehingga seseorang akan berbuat sembarangan yang mengakibatkan permusuhan di antara sesama manusia. [5]

7. (2) Bagaimana engkau tergoda untuk meminum khamar lantas khamar menghilangkan akalmu, sehingga lalai terhadap zikir kepada Allah Ta’ala, serta bertafakur tentang nikmat-nikmat dan ayat-ayat-Nya?! Sebagian salaf pernah menuturkan, “Orang yang minum khamar akan mengalami saat-saat ia tidak mengenal Tuhannya, sementara Allah سبحان وتعالى menciptakan makhluk agar mengenal-Nya, mengingat-Nya, beribadah kepada-Nya, dan mematuhi-Nya. Sehingga segala sesuatu yang menyebabkan semua tujuan itu terhalang maka hukumnya haram, lantaran dapat menghalangi seorang hamba untuk mengenal Tuhannya, berzikir dan bermunajat kepada-Nya. [6]

8. (2) Di antara hukuman terberat yang kelak akan didapat pecandu minuman khamar  adalah ia tidak akan dapat meminum khamar di surga saat masuk ke sana kelak. Beliau ﷺ bersabda, “Barang siapa yang minum khamar di dunia, kemudian ia tidak bertobat darinya, maka ia akan diharamkan meminumnya kelak di akhirat.” [7] 

9. (2) Peminum khamar, jika ia tidak bertoba darinya, niscaya Allah akan memberinya minuman dari perasan keringat dan nanah penghuni neraka. Nabi ﷺ bersabda, “Segala sesuatu yang dapat menutup (akal) adalah khamar, dan segala sesuatu yang memabukkan hukumnya haram. Barang siapa meminum minuman yang memabukkan niscaya (pahala) shalatnya akan berkurang selama empat puluh hari. Apabila ia bertobat, niscaya Allah akan menerima tobatnya, namun bila ia mengulangi sampai keempat kalinya, maka Allah berhak untuk memberinya minuman dari Tinah Al-Khabal.” Ada seseorang yang bertanya, “Apa itu ±inah Al-Khabal, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, “Nanah penghuni neraka, dan barang siapa yang memberi minum khamar kepada anak kecil yang ia belum tahu mana yang halal dan haram, maka Allah berhak memberinya minum dari ±inah Al-Khabal.”[8]

10 (2) Dai dan ahli fikih harus cerdas menjawab pertanyaan penanya agar lebih bermanfaat baginya, saat ia melihat bahwa jawaban ringkas tanpa tambahan itu bermanfaat, maka cukup dengan jawaban tersebut. Namun bila melihat bahwa tambahan itu perlu, maka sebaiknya ditambah.

11. (2) Ada seseorang bertanya kepada Al-Abbas bin Mirdas As-Sulami, –dia tidak pernah meminum khamar dan meninggalkannya sejak masa jahiliah -, “Mengapa engkau tidak pernah meminumnya, padahal ia menambah keberanian dan keramahan?” Beliau menjawab, “Aku tidak ingin di pagi hari aku menjadi pemimpin kaumku, namun di sore hari aku sudah menjadi orang yang bodoh di antara mereka.” [9] 

12. (2) Khamar adalah induk keburukan, jika seseorang meminumnya maka ia akan mengantarkannya pada zina, pencurian, dan pembunuhan, dan bisa juga melontarkan lafaz kekufuran sementara dirinya tidak sadar.

13. (2) Nabi ﷺ bersabda, “Dahulu pada umat sebelum kalian ada seorang laki-laki yang selalu beribadah dan menjauhkan diri dari manusia. Ada seorang wanita yang menyukainya, lantas mengirimkan pelayannya kepada laki-laki tersebut seraya berkata, ‘Kami mengundangmu untuk sebuah persaksian.’ Laki-laki itu masuk, setiap masuk ke dalam pintu, bergegas pintunya ditutup oleh wanita itu, hingga tatkala sampai di hadapan seorang wanita cantik yang sedang duduk, dan di sampingnya ada seorang anak kecil, serta gelas besar berisi khamar, wanita tadi berkata, ‘Sesungguhnya aku mengundangmu bukan untuk sebuah persaksian, tetapi untuk membunuh anak kecil ini, atau berzina denganku, atau minum segelas khamar ini. Jika kau menolak, maka aku akan berteriak dan mempermalukanmu.’ Manakala dirinya sudah tidak bisa berkutik darinya, ia berkata, ‘Berikan aku segelas khamar!’ Wanita itu pun memberinya minuman khamar. Lelaki itu berkata, ‘Tambah lagi!’ Dan terus berlanjut, sampai akhirnya ia pun berzina dengannya dan membunuh (anak kecil tersebut).” [10]

14. (2) Seorang penyair menuturkan,

Kudapati khamar itu liar dan mengandung,

sesuatu yang mempermalukan lelaki terhormat

Demi Allah, ku tak ’kan meminumnya selama hidupku

Tidak pula ku undang kawan ’tuk meminumnya

Ia tak kuhargai sama sekali selama hidupku

Tidak pula kugunakan sebagai obat sakitku

Sungguh khamar mempermalukan peminumnya

Dan membebani mereka dengan urusan yang berat

Jika khamar mulai diminum maka akan muncul 

Kebodohan dari sosok lelaki yang semula dikenal santun



Referensi

1. HR. Al-Bukhari (4616).

2. HR. Ahmad (5648, Abu Daud (3681), At-Tirmiæi (1865), dan Ibnu Majah (3393).

3. Fatñ Al-Qawi Al-Matín karya Al-‘Abbad (hal. 147).

4. Salah satu jenis tanaman narkotika yang tumbuh di Afrika Timur, Yaman, Saudi Arabia dll. (editor).

5. Jāmi’ Al-‘Ulúm wa Al-ôikam karya Ibnu Rajab (2/457).

6. Jāmi’ Al-‘Ulúm wa Al-ôikam karya Ibnu Rajab (2/457).

7. HR. Al-Bukhari (5575) dan Muslim (2003).

8. HR. Abu Daud (3680).

9. Nihayah Al-Arab fi Funun Al-Adab karya Syihab Ad-Din An-Nawiri (4/89).

10. HR. Ibnu Hibban dalam Ÿahih-nya (5348).

1. Nabiﷺ memperingatkan akan bahaya memenuhi perut dengan makanan, karena mayoritas penyakit bersumber dari perut, terlebih jika manusia memenuhi lambungnya dengan makanan. Dampaknya menjadikan malas untuk mengerjakan ketaatan, kurang semangat untuk beramal, dan akalnya lemah untuk berpikir.

2. Karena alasan inilah, Nabiﷺ menganjurkan umatnya untuk mencukupkan beberapa suap saja sekadar menghilangkan rasa laparnya, mencegah mereka agar tidak jatuh dan lemas, dan seorang Muslim bisa memperoleh tenaga darinya untuk mengerjakan berbagai macam ibadah dan ketaatan.

3. Apabila seorang Muslim tidak mampu melakukan hal tersebut, dan ingin menambah porsi makannya, maka hendaknya dia membagi jatah perutnya menjadi tiga bagian: sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, dan membiarkan sepertiga terakhir untuk napasnya. Sebab jika perut terisi penuh dengan makanan dan minuman, napasnya akan sempit, sehingga ia akan kesulitan dan kelelahan membawanya, layaknya seseorang yang membawa beban yang berat.


1. (1) Tibun Nabawi (kedokteran Nabi) sangat perhatian terhadap pencegahan seorang Muslim dari berbagai macam penyakit, bukan sekadar pengobatan saja.

2. (1) Jangan sampai engkau memenuhi lambungmu dengan makanan, karena itu merupakan penyebab segala kehinaan. Luqman Al-Hakim رحمه الله pernah berkata kepada putranya, “Wahai putraku, jika engkau memenuhi lambungmu, pikiranmu akan tertidur (lemah), sikap bijakmu akan berkurang, dan anggota tubuhmu enggan diajak beribadah.”[1]

3. (1) Syahwat perut termasuk syahwat yang bisa menjerumuskan seseorang ke dalam perkara yang terlarang. Karena syahwat tersebut, Iblis yang terlaknat menyesatkan Adam عليه السلام beserta istrinya ketika keduanya makan (buah) dari pohon (yang terlarang).

4. (2) Sedikit makan termasuk perilaku baik kaum laki-laki. Dahulu bangsa Arab memuji laki-laki yang sedikit makannya, lantas bagaimana dengan orang-orang yang beriman?!

5. (2) Cukup bagimu makanan dan minuman yang dapat menegakkan punggungmu dan menghilangkan rasa lapar. Hindari kondisi terlalu kenyang.

6. (2) Nabi ﷺ dan para sahabat رضي الله عنهم terbiasa untuk tidak mengonsumsi makanan melainkan sekadar menjaga kondisi tubuh. Karena itulah, dalam pandangan mereka, orang yang kurus dan orang yang gemuk itu sama saja. Suatu ketika, Abu Hurairah رضي الله عنه melewati suatu kaum, di hadapan mereka ada kambing guling -kambing bakar-, lalu mereka mengundangnya, namun beliau enggan untuk memakannya, dan berkata, “Sampai Rasulullah ﷺ wafat, beliau tidak pernah merasakan kenyang dari roti gandum.”[2]

7. (2) Jadikan keinginanmu pada hal-hal yang berkaitan dengan perkara yang luhur, bukan hanya mengisi perutmu dengan makanan yang menjadi tujuan orang-orang kafir. Sebagaimana disebutkan oleh Allah سبحان وتعالى di dalam firman-Nya, “Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong) mereka, kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatannya).” (QS. Al-Ôijr: 3)

8. (3) Kadar maksimal makanan yang masuk ke dalam lambungmu adalah sepertiga, agar minuman dan napas juga bisa masuk ke dalamnya.

9. (3) Diriwayatkan bahwa tatkala seorang tabib (dokter) bernama Ibnu Masawaih membaca hadis ini di dalam kitab karya Abu Khaišamah, beliau berkata, “Sekiranya orang-orang mengamalkan hadis ini, niscaya mereka akan terbebas dari segala macam penyakit. Banyak rumah sakit dan apotek yang akan tutup.” Beliau mengatakan demikian karena sumber setiap penyakit adalah akibat terlalu kenyang.[3]

10. (3) Seorang Muslim cukup makan hanya untuk menegakkan tubuhnya dan menghilangkan rasa laparnya, sementara orang kafir menikmati makanannya dan tidak pernah merasa kenyang. Nabi ﷺ bersabda, “Seorang mukmin makan untuk satu lambung, sedangkan orang kafir makan untuk tujuh lambung.” [4]

11. Seorang penyair menuturkan,

Tiga perkara yang berbahaya bagi manusia

 menyebabkan orang sehat menjadi sakit

sering minum khamar, sering berhubungan intim,          

Dan terlalu banyak makan

Referensi

1. Iñyá ‘Ulúm Ad-Dín karya Al-Gazálí (3/82).

2. HR. Al-Bukhari (5414).

3. Jámi’ Al-Ulúm wa Al-ôikam karya Ibnu Rajab (2/468).

4. HR. Al-Bukhari (5393) dan Muslim (2060).


Nabi bersungguh-sungguh dalam menyebarkan Islam dan menyampaikan hukum-hukumnya. Oleh karena itu, beliau menyampaikan kepada umatnya sejumlah wasiat yang menyeluruh dalam khotbah Haji Wada’ yang beliau sampaikan pada hari Arafah di hadapan para sahabat yang ikut menunaikan haji bersama beliau. Jumlah mereka kala itu mencapai seratus ribu orang sahabat atau lebih. 

1. Nabi  memulai khotbah beliau, setelah menyampaikan tahmid dan puji-pujian kepada Allah, dengan pengharaman darah dan harta benda kaum Muslimin. Sebab, seorang Muslim tidak boleh membunuh Muslim lainnya secara zalim, juga tidak halal baginya untuk mengambil harta orang lain tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi, “Setiap Muslim diharamkan atas Muslim lainnya: darahnya, harta bendanya, dan kehormatannya.” [1]

Beliau memulai khotbahnya dengan menyebutkan darah karena perkara tersebut lebih besar kehormatannya daripada harta benda. Oleh karena itu, Allah Ta’ala mengancam pembunuh orang mukmin secara sengaja dengan ancaman yang tidak Allah tujukan kepada selainnya. Allah عز وجل berfirman,

“Barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahannam. Ia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, melaknatnya, dan menyediakan untuknya azab yang besar.”

(QS. An-Nisá`:93)

Selain itu, Nabi menjadikannya sebagai salah satu dosa besar yang membinasakan. [2] Beliau juga memberikan penegasan terhadap hal tersebut, beliau bersabda, “Setiap dosa mudah-mudahan Allah mengampuninya, kecuali seseorang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, atau seseorang yang mati dalam keadaan kafir.” [3] Selain itu, Nabi  menegaskan keharaman darah dan harta benda dengan mengumpamakan keduanya dengan keharaman (kesucian) Hari Arafah, keharaman bulan haram, dan keharaman Makkah. Kendati keharaman darah dan harta benda lebih besar ketimbang hal-hal tersebut, namun Nabi berbicara kepada mereka dengan menyebutkan hal demikian. Sebab, kala itu mereka meyakini keagungan bulan-bulan haram, saat yang paling mulia adalah Hari Arafah. Di samping itu, mereka juga meyakini keharaman negeri Makkah. Sebab, dahulunya pada masa jahiliah mereka biasa menghalalkan darah dan harta benda di selain bulan-bulan haram dan di luar negeri Makkah, namun mereka mengharamkan bulan-bulan haram dan negeri Makkah. Maka, seolah-olah Nabi bersabda, “Haramkanlah terhadap diri kalian darah dan harta benda sebagian kalian, sebagaimana kalian mengharamkan bulan haram dan negeri Makkah.” [4]

2. Kemudian beliau menyatakan bahwa semua syariat dan ibadah yang dibuat-buat oleh penduduk jahiliah adalah ibadah yang batil, tertolak, dan tidak dianggap keberadaannya, baik ibadah haji maupun ibadah-ibadah lainnya. Sebab, syariat sejati itu adalah apa yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala dan dijelaskan oleh Rasulullah. Dalam hal ini, Allah عز وجل berfirman,

“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?”

(QS. Al-Má`idah:50) 

3. Kemudian Nabi  memutuskan bahwa darah yang tumpah pada masa jahiliah hukumnya gugur dan tidak dikenakan hukuman. Maka, tidak ada diat, kisas, atau pun kafarat, sehingga siapa pun tidak akan dituntut dengan hal-hal tersebut. Dalam hal ini, beliau memulai dengan dirinya sendiri, dengan menggugurkan diat Ibnu Rabi’ah bin Al-Hariš bin Abdul Muþþalib. Dahulunya ia adalah anak yang disusui orang-orang Bani Sa’ad, lalu ia dibunuh oleh kabilah Huæail secara tidak sengaja ketika berperang melawan Bani Sa’ad.

4. Beliau juga menggugurkan berbagai efek dari transaksi riba yang terjadi pada masa jahiliah. Maka, barang siapa yang melakukan transaksi riba sebelum Islam dan ia belum menerima hartanya, maka ia boleh mengambil modal asal dan meninggalkan tambahannya. Akan tetapi, apabila ia melakukan transaksi riba, menerima uangnya sebelum ia masuk Islam dan kemudian ia masuk agama Islam, maka sesungguhnya Islam memberinya maaf dan menghapuskan yang telah berlalu. [5]

5. Kemudian Nabi menyampaikan wasiat tentang wanita. Beliau memerintahkan untuk bersikap baik kepada mereka, memperlakukan mereka dengan cara yang mulia, memperhatikan tabiat dan perasaan wanita, dan memenuhi kebutuhan mereka. Nabi g bersabda, “Berwasiatlah (berbuat baiklah) kalian kepada kaum wanita. Sebab, sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Tulang rusuk yang paling bengkok ialah yang paling atas. Jika engkau meluruskannya, niscaya engkau akan mematahkannya. Jika engkau biarkan saja, maka ia akan tetap bengkok selama-lamanya. Oleh sebab itu, maka berwasiat baiklah kepada kaum wanita.” Muttafaq ‘Alaih. [6]

6. Kemudian Nabi g menyebutkan di antara hak seorang suami atas istrinya, yaitu tidak mengizinkan seorang pun, siapa pun dia, untuk masuk ke rumahnya tanpa seizinnya langsung atau tidak langsung, yaitu ketika si istri menyangka bahwa orang yang masuk ke dalam rumahnya tidak akan merugikan suaminya. Maka, apabila sang istri melanggar hal tersebut, suami boleh mendidiknya dengan hukuman yang sesuai dengan kondisinya, seperti mengucilkannya, atau memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakiti, yaitu pukulan yang tidak meninggalkan cedera atau mengakibatkan luka

Demikian pula, sebagaimana Allah c menjadikan seorang suami memiliki hak terhadap istrinya, Dia juga menjadikan seorang istri memiliki hak terhadap suaminya. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut.”

(QS. Al-Baqarah: 228)

Bila tidak, maka pengharaman riba telah ditetapkan sebelumnya dan tentu sudah ditinggalkan oleh orang-orang mukmin. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertaubat, maka kamu berhak atas pokok harta kamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).”

(QS. Al-Baqarah: 278-279)

Selain itu, memakan riba termasuk dosa besar, dan Nabimenyebutkannya termasuk salah satu dosa yang membinasakan. [7]Jabir  mengatakan, “Rasulullah  melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberi makan hasil riba, penulis transaksi riba, dua saksi yang menyaksikan transaksi riba. Beliau bersabda, ‘Mereka semuanya sama saja.’” [8]

Selanjutnya, beliau mulai menggugurkan riba atas nama paman beliau Al-Abbas رضي الله عنه. Dahulunya, Al-Abbas pernah meminjamkan uang pada masa jahiliah dengan cara riba. Ketika Islam datang, ia memiliki kekayaan besar dari hasil riba, ditambah lagi dengan uang yang masih ada ditanggungan orang lain. Maka, Nabi  menggugurkan uang ribanya  yang masih ditangan orang lain dan membolehkan apa yang ia terima sebelum itu. [9] 

Selain itu, Nabi  juga mendorong untuk mempergauli wanita dengan baik melalui sabda beliau, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah orang terbaik dari kalian kepada keluargaku.” [10] Sampai-sampai Nabi g menjadikan nafkah yang diberikan kepada keluarga sebagai amal ibadah yang menjadi pahala bagi seorang Muslim. Nabi  bersabda, “Sesungguhnya engkau tidaklah sekali-kali memberikan nafkah yang dengannya engkau mencari rida Allah, melainkan engkau akan diberikan pahalanya karenanya, bahkan pada makanan yang engkau suapkan pada mulut istrimu.” [11]

Nabi  mengemukakan alasan dalam wasiat tersebut bahwa seorang Muslim menikahi seorang wanita dan menghalalkan farjinya dengan perjanjian dan hukum Allah dalam pernikahan, sehingga barang siapa yang melanggar perjanjian Allah Ta’ala berkaitan dengan wanita, ia layak mendapatkan hukuman dan murka-Nya.

Di antara hak istri terhadap suami adalah nafkah berupa makan, minum, tempat tinggal, dan pakaian, dan tentunya itu sesuai dengan kemampuan suami. Allah عز وجل berfirman,

“Bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya.”

(QS. Al-Baqarah: 236)

7. Kemudian Nabi  menyebutkan bahwa beliau meninggalkan sesuatu bagi orang-orang mukmin yang apabila mereka berpegang teguh dengannya, mengamalkan hukum-hukum dan syariatnya, maka sejatinya mereka telah menempuh jalan petunjuk dan hidayah, dan mereka tidak akan pernah tersesat selama-lamanya, yaitu Al-Qur`an

“(Yang) tidak akan didatangi oleh kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang (pada masa lalu dan yang akan datang), yang diturunkan dari Tuhan Yang Mahabijaksana, Maha Terpuji.”

(QS. Fuÿÿilat: 42)

7. Kemudian Nabi  memberitahu para sahabat رضي الله عنه bahwa mereka kelak akan ditanya tentang beliau. Sebab, mereka adalah saksi bahwa.  beliau telah menyampaikan seruan dari Allah. Lalu, apa yang mereka katakan saat itu? Mereka mengatakan kepada beliau bahwa mereka bersaksi bahwa beliau telah menyampaikan risalah Allah, menunaikan amanah dari-Nya, dan menyampaikan nasihat kepada umat. Lantas, Nabi  menunjuk ke langit dengan tangan beliau, lalu mengarahkannya kepada para sahabatnya seraya berkata, “Ya Allah, saksikanlah kaumku. Sebab, sesungguhnya mereka mengakui bahwa aku telah menunaikan dan menyampaikan risalah ini.”

Selain itu, Allah سبحان الله وتعالى juga menyatakan dengan firman-Nya,

“Dan ini (Al-Qur`an), Kitab yang telah Kami turunkan dengan penuh berkah; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar engkau memberi peringatan kepada (penduduk) Ummulqurā (Makkah) dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Orang-orang yang beriman kepada (kehidupan) akhirat tentu beriman kepadanya (Al-Qur`an), dan mereka selalu memelihara shalatnya.”

(QS. Al-An’ám: 92)

Dalam hadis tersebut, beliau tidak menyebutkan As-Sunnah, karena Al-Qur`an sudah mencakup pengamalan As-Sunnah. Artinya, adalah wajib mengamalkan Al-Qur`an dan As-Sunnah.

8. Kemudian Nabi  memberitahu para sahabat رضي الله عنهم bahwa mereka kelak akan ditanya tentang beliau. Sebab, mereka adalah saksi bahwa beliau telah menyampaikan seruan dari Allah. Lalu, apa yang mereka katakan saat itu? Mereka mengatakan kepada beliau bahwa mereka bersaksi bahwa beliau telah menyampaikan risalah Allah, menunaikan amanah dari-Nya, dan menyampaikan nasihat kepada umat. Lantas, Nabi  menunjuk ke langit dengan tangan beliau, lalu mengarahkannya kepada para sahabatnya seraya berkata, “Ya Allah, saksikanlah kaumku. Sebab, sesungguhnya mereka mengakui bahwa aku telah menunaikan dan menyampaikan risalah ini.



1. (1) Keharaman (kesucian) darah seorang Muslim sangat agung di sisi Allah Ta’ala. Nabi  bersabda, “Sungguh, lenyapnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada membunuh seorang mukmin tanpa hak.”[12] Maka, seorang Muslim tidak boleh untuk menumpahkan darah tanpa alasan yang dapat dibenarkan.

2. (1) Nabi g sangat menekankan pentingnya menjaga darah, sampai-sampai beliau menyebutkan bahwa menumpahkan darah tidak diampuni. Rasulullah  bersabda, “Setiap dosa semoga diampuni oleh Allah, kecuali seseorang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, atau seseorang yang mati dalam keadaan kafir.” [13] Padahal dosa pembunuhan sama seperti dosa-dosa lainnya berada di bawah kehendak Allah Ta’ala; bila menghendaki, Allah mengampuni pelakunya; dan bila tidak, maka Allah mengazabnya. Hal ini untuk menakut-nakuti seseorang terhadap dosa dan untuk menjelaskan sejauh mana pelakunya berhak mendapatkan azab yang pedih.

3. (2) Seorang Muslim tidak boleh berkeyakinan dan berhukum kepada perkara-perkara jahiliah, menghalalkan apa yang dihalalkan pada masa jahiliah, dan mengharamkan apa yang diharamkan pada masa jahiliah.

4. (2) Hadis di atas menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh seseorang sebelum masuk Islam diampuni dan dimaafkan. Artinya, apabila ia mengambil harta dari sesuatu yang haram sebelum masuk Islam, maka menjadi halal baginya setelah masuk Islam. Apabila ia meminjamkan uang dengan riba, menjual minuman keras, babi, bangkai, dan sebagainya, dan ia belum menerima uangnya hingga ia masuk Islam, maka ia tidak boleh lagi untuk mengambil riba atau menerima uang dari hal yang diharamkan tersebut.

5. (3, 4) Seorang imam, dai, dan pendidik harus menjadi teladan dengan dirinya dalam perintah dan larangan. Apabila ia menyuruh untuk melakukan suatu kebaikan, maka ia adalah orang pertama yang melakukannya. Demikian pula apabila ia melarang dari suatu keburukan, maka ia adalah orang pertama yang menjauhinya. Sebab, hal tersebut membuat ucapannya lebih mudah diterima dan dilaksanakan.

6. (5) Seorang Muslim harus berbuat baik kepada istrinya, bertakwa kepada Allah سبحان وتعالى pada istrinya, mempergaulinya dengan baik, bersabar dengannya, dan mengabaikan kekurangan-kekurangannya.

7. (5) Nabi  adalah sebaik-baik teladan dalam memperlakukan istri dan bersikap baik kepadanya. Dahulu, apabila Aisyahرضي الله عنهما  menginginkan sesuatu yang tidak dilarang, beliau akan mengikutinya. Apabila Aisyah minum dari suatu bejana, maka beliau akan mengambil bejana tersebut, meletakkan mulut beliau di tempat Aisyah meletakkan mulutnya, dan minum dari situ. Apabila Aisyah رضي الله عنهما memakan daging dari tulang yang ada dagingnya, maka beliau akan mengambilnya dan meletakkan mulut beliau di tempat Aisyah meletakkan mulutnya. Selain itu, beliau suka bersandar di pangkuan Aisyah. Beliau membaca Al-Qur`an, sedangkan kepala beliau berada di pangkuannya. [14]

8. (6) Seorang istri harus memperhatikan hak-hak suaminya, sehingga ia tidak boleh memasukkan orang yang tidak disukai oleh suaminya ke dalam rumahnya kecuali dengan seizinnya, bahkan sekalipun itu adalah ayah atau ibunya. Ketika Abu Sufyan رضي الله عنه sebelum masuk Islam menemui putrinya, Ummu Habibah رضي الله عنهما ketika kaum Quraisy melanggar Perjanjian Hudaibiyyahرضي الله عنهما, ia ingin duduk di tempat tidur Nabi . Maka, Ummu Habibah i menarik tempat tidur tersebut dari bawahnya dan berkata, “Engkau ini seorang musyrik yang najis, dan ini adalah tempat tidur Nabi . Aku tidak suka engkau duduk di atasnya.” [15]

9. (6) Apabila seorang wanita tidak boleh memasukkan siapa pun ke dalam rumah suaminya kecuali dengan seizinnya, maka suami tidak boleh memanfaatkan hak tersebut untuk melarang istri untuk berkunjung dan mendatangi keluarganya.

10. (6) Apabila seorang istri tidak patuh kepada suaminya, maka suami boleh memukulnya. Akan tetapi, pukulan tersebut adalah pukulan mendidik, bukan hukuman. Maka, seorang suami tidak boleh memukul istrinya dengan pukulan yang menyakitkan. Ia memukul istrinya dengan siwak dan sejenisnya. Tujuannya bukan untuk menyakiti atau menghinakan istri, namun untuk memberitahukan kepadanya bahwa ia telah berbuat salah pada suaminya. Dalam hal ini, sang suami memiliki hak untuk memperbaiki dan meluruskan kesalahannya.

11. (6) Apabila istri tidak juga berhenti setelah suami memukulnya, maka jangan sampai suami terus memukul, akan tetapi ia mengutus kepada keluarga sang istri seseorang yang akan menasihati dan membimbingnya untuk taat kepada suami.

12. (6) Suami memiliki kewajiban memberi nafkah untuk istri dan mencukupi berbagai kebutuhannya, seperti makan, tempat tinggal, dan pakaian sesuai dengan kemampuan suami. Maka, dalam hal ini, jangan sampai istri memberatkan suami dengan sesuatu yang tidak ia sanggup.

13. (6) Apabila suami menolak untuk menafkahi istrinya, atau pelit dalam memberikan nafkah meskipun ia mampu, maka istri boleh mengambil uang suami yang dapat mencukupi kebutuhannya secara diam-diam. Hal ini berdasarkan sabda Nabi g kepada Hindun i ketika ia mengeluhkan sifat pelit Abu Sufyan رضي الله عنه, “Ambillah hartanya yang cukup untukmu dan anakmu.” [16]

14. (7) Barang siapa yang menginginkan petunjuk, hidayah, dan kebaikan, maka hendaklah ia senantiasa berpegang teguh kepada Kitabullah Ta’ala (Al-Qur`an). Sebab, Al-Qur`an adalah penuntun bagi orang-orang yang bingung dan cahaya bagi orang-orang yang tengah menempuh perjalanan.

15. (7) Sebagaimana halnya Al-Qur`an membimbing umat manusia kepada kebenaran dan petunjuk, sesungguhnya Al-Qur`an juga meninggikan derajat orang-orang yang mempelajarinya di dunia dan di akhirat. Maka, barang siapa yang menginginkan derajat yang tinggi, maka ia harus mempelajari Al-Qur`an dan mengamalkannya. Dalam hal ini, Rasulullah  bersabda, “Sesungguhnya Allah meninggikan derajat beberapa kaum dengan Al-Qur`an ini, dan menghinakan dengannya kaum-kaum lainnya.” [17] 

16. (8) Lalai dalam menyampaikan ajaran agama ini adalah dosa besar. Oleh karena inilah, Nabi  sangat gembira dengan kesaksian para sahabat bahwa beliau telah menyampaikan, dan beliau menjadikan Allah Ta’ala sebagai saksi tentang hal tersebut. Kemudian umat beliau memikul tugas tersebut.

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan

Allah Ta’ala berfirman,untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”

(QS. Āli Imrán: 110)

 Maka, hendaklah kita waspada dari sikap lalai dalam melaksanakan tugas tersebut.

Referensi

1. HR. Muslim (2564).

2.  HR. Al-Bukhari (6857) dan Muslim (89).

3. HR. An-Nasa`í (3984).

4. Al-Kāsyif ‘an Haqāiq As-Sunan karya Aþ-±ibí (6/1964, 1965).

5. Lihat: Ma’ālim As-Sunan karya Al-Khaþþabí (3/59).

6. HR. Al-Bukhari (6857) dan Muslim (89).

7. HR. Muslim (1598).

8. Lihat: Zād Al-Masīr fī ‘Ilmi At-Tafsīr karya Ibn Al-Jauzí (1/248).

9. HR. Al-Bukhari (3331) dan Muslim (1468).

10. HR. At-Tirmizi (3895) dan Ibnu Majah (1977).

11. HR. Al-Bukhari (1295) dan Muslim (1628).

12. HR. Ibnu Majah (2619).

13. HR. An-Nasai (3984).

14. Zād Al-Ma’ād fī Hadyi Khair Al-‘Ibād karya Ibn Al-Qayyim (1/146).

15. Lihat: As-Sīrah An-Nabawiyyah wa Akhbār Al-Khulafā’ karya Ibnu Hibban (1/322) dan Subul Al-Hudā karya Aÿ-Ÿalihí (5/206).

16. HR. Al-Bukhari (5364) dan Muslim (1714).

17. HR. Muslim (817).


1. Seorang Muslim sejati ialah orang yang menahan keburukannya dari orang lain, sehingga Muslim lainnya selamat dari bahaya ucapan dan perbuatannya. Dalam hal ini, Allah mengancam orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin melalui firman-Nya,

“Sesungguhnya (terhadap) orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya, Allah akan melaknatnya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan azab yang menghinakan bagi mereka. Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan, tanpa ada kesalahan yang mereka perbuat, maka sungguh, mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.”

(QS. Al-Añzáb: 57-58)

Makna hadis tersebut bukanlah menafikan Islam dari orang-orang yang menyakiti kaum Muslimin, akan tetapi maksudnya ialah menafikan kesempurnaan Islam. Barang siapa yang tidak menjaga kaum Muslimin dari lisan dan tangannya, maka dinafikan kesempurnaan Islam darinya. Sebab, menjaga keselamatan kaum Muslimin dari lisan dan tangan adalah sebuah kewajiban. Demikian pula sebaliknya, menyakiti Muslim dengan lisan dan tangan hukumnya haram. Menyakiti dengan tangan artinya dalam bentuk perbuatan, sedangkan menyakiti dengan lisan artinya dalam bentuk ucapan. [1]

Sejatinya, perbuatan jahat tidak terbatas pada tangan dan lisan saja, akan tetapi juga bisa terjadi dengan seluruh anggota tubuh. Hanya saja, yang dominan dalam hal ini ialah dari lisan dan tangan. Sebab, lisan biasanya menggibah orang lain, mencela, menyampaikan kesaksian palsu, dan melemparkan tuduhan keji, sedangkan tangan biasanya melakukan kekerasan, mencuri, membunuh, dan sebagainya.

Akan tetapi, Nabi memulai dengan menyebutkan lisan karena lisan lebih mampu memperlihatkan kedengkian. Demikian pula, menyakiti orang lain dengan lisan lebih mudah dan kerap terjadi. Lisan juga dapat memperpanjang pembicaraan orang yang sudah mati dan orang yang masih hidup. Atas dasar inilah, ketika Mu’aæرضي الله عنه berkata, “Wahai Rasulullah, apakah kami akan disiksa dengan apa yang kami katakan?” Maka, Rasulullah bersabda, “Celaka engkau, wahai Mu’aæ. Bukankah yang membuat manusia tersungkur di dalam neraka di atas wajah mereka –riwayat lain: di atas batang hidungnya- melainkan karena ucapan lisan mereka?!” [2]

2.  Hijrah yang sesungguhnya tidaklah sekadar berpindah dari negeri kesyirikan menuju negeri keimanan. Akan tetapi, hijrah juga berarti ketika seseorang meninggalkan semua perkara yang dilarang oleh Allah Ta’ala. Meninggalkan negeri kekafiran namun tetap melakukan perbuatan maksiat, itu tidak dikatakan hijrah yang sempurna. Sebab, dasar dari hijrah adalah meninggalkan dan menjauhi keburukan untuk mencari dan mencintai kebaikan. Hal ini berlaku umum dalam upaya meninggalkan perbuatan maksiat dan dosa, termasuk di dalamnya meninggalkan negeri kesyirikan menuju negeri Islam. [3]


1. (1) Bersungguh-sungguhlah untuk menerapkan perilaku islami secara sempurna, sehingga engkau benar-benar berhak memperoleh pahala yang diberikan kepada seorang Muslim. Hindarilah bersikap zalim kepada orang lain, baik dengan ucapan maupun perbuatan.

2. (1) Hindarilah berbuat zalim kepada orang lain dengan lisan dan tangan. Sebab, hal tersebut merupakan sebab kebangkrutan yang sesungguhnya dan sebab hilangnya pahala berbagai ibadah yang engkau lakukan dengan susah payah. Nabi  pernah bersabda, “Apakah kalian tahu siapakah orang yang bangkrut itu?” Para sahabat menjawab, “Orang yang bangkrut di antara kami adalah orang yang tidak memiliki dirham atau pun harta kekayaan.” Lantas, beliau bersabda, “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun, ia mencaci-maki orang ini, menuduh orang itu, memakan harta orang ini, menumpahkan darah orang itu, dan menyakiti orang lain. Setelah itu, pahalanya diambil untuk diberikan kepada orang ini, lalu pahalanya yang lain diberikan kepada orang itu. Jika pahalanya habis sebelum kesalahannya terbayarkan, maka kesalahan orang-orang yang ia sakiti itu akan diambil lalu dilemparkan kepadanya, hingga akhirnya ia dilemparkan ke dalam neraka.” [4] Maka, hindarilah kerugian semacam itu.

3. (1) Akhlak menjadi tolok ukur kebaikan bagi orang-orang mukmin. Agama Islam ini seluruhnya adalah akhlak. Maka, barang siapa yang akhlaknya mengunggulimu, maka ia telah mengungguli agamamu.[5]

4. (1) Seorang penyair menuturkan,

Jangan tergesa-gesa berbuat zalim kepada seseorang

Sebab, kezaliman itu akibatnya mengerikan

Pun jangan berkata-kata keji, sekalipun amarahmu sedang meluap-luap 

terhadap seorang pun, karena kata-kata keji itu adalah celaan

5. (2) Jika orang-orang yang lebih dahulu beriman itu telah mendapatkan keutamaan hijrah dari negeri mereka ke Madinah, maka keutamaan tersebut juga diperoleh oleh mereka yang meninggalkan perbuatan maksiat dan dosa.

6. (2) Jangan sekali-kali engkau bersandar kepada amal ketaatan dan perkara yang mendekatkan dirimu kepada Allah Ta’ala. Engkau menjadikannya sebagai sandaran namun engkau meninggalkan ibadah dan menyangka engkau akan selamat. Sebab, hijrah yang merupakan sebaik-baik amal ibadah itu, sekali-kali tidak dapat memberikan manfaat kepada pelakunya jika mereka lalai dalam menjalankan hak Allah Ta’ala. 

7. Seorang dai dan pendidik harus bersungguh-sungguh untuk mengajarkan akhlak yang mulia kepada orang lain yang dapat menguatkan ikatan persaudaraan antara kaum Muslimin.


Referensi

1. Fatñ Al-Bākarya Ibnu Rajab (1/37, 38).

2. HR. Ahmad (22665), Ibnu Majah (3973), dan At-Tirmizi (2616).

3. Fatñ Al-Bākarya Ibnu Rajab (1/39).

4. HR. Muslim (2581).

5. Madārij As-Sālikīn karya Ibn Al-Qayyim (2/307).

1.  Seorang laki-laki bertanya kepada Nabiﷺ tentang manusia yang paling berhak mendapatkan perlakuan paling baik, berbuat baik kepadanya, dan menunaikan haknya, serta tindakan semisal seperti menyambung silaturahmi dengannya, memberinya nafkah, dan memenuhi kebutuhannya.

2. Lantas Nabiﷺ menjawab bahwa ibumu adalah manusia yang paling utama untuk diperlakukan dengan paling baik. Lantas laki-laki tadi bertanya, “Kemudian siapa lagi setelah ibuku?” Beliau g menjawab dengan jawaban yang sama, sebagai penegas dan menempatkan kedudukan ibu sesuai dengan kedudukannya yang pantas baginya. Kemudian laki-laki tadi pun mengulanginya hingga yang ketiga kalinya, dan beliau ﷺ juga menjawabnya dengan jawaban yang sama.

Nabiﷺ mengulanginya dengan menyebut ibu sampai tiga kali untuk menunaikan haknya, karena ia telah mengalami beratnya kondisi saat hamil, kemudian harus merasakan beratnya proses melahirkan, lalu mengalami betapa beratnya saat menyusui dan mengasuh anaknya. Dari itulah, ibu memiliki keutamaan yang lebih daripada ayahnya dan seluruh manusia. Sehingga, hal itu mewajibkan hak-hak tersebut atas anaknya, dan haknya bertingkat-tingkat di atas hak ayah. [1]

3- Kemudian laki-laki tersebut bertanya lagi kepada Nabiﷺ mengenai manusia yang paling berhak setelah ibu, lalu beliau menjawab bahwa orang tersebut adalah ayah. Beliau menyebut ayah setelah ibu sebagai untuk memenuhi hak ayah, sebagai balasan baginya atas pendidikan dan nafkah yang sudah dicurahkan, meskipun tidak sampai pada kedudukan ibu. Nabi ﷺ pernah bersabda, “Ayah adalah pintu surga yang paling tengah, maka sia-siakanlah atau jagalah pintu tersebut. [2] Urutan ini memiliki faedah, ketika hak-hak keduanya harus ditunaikan berbarengan namun tidak memungkinkan ditunaikan sekaligus, maka hak ibulah yang harus dikedepankan [3]

4- Berikutnya adalah hak kerabat setelah kedua orang tua. Ketika hak-hak kerabat yang harus ditunaikan secara bersamaan tidak memungkinkan, maka kerabat terdekatlah yang dikedepankan, sebagaimana berlaku pada hukum warisan. Allah سبحان الله ةتعالىmemberikan jatah warisan dari pemilik hubungan yang terdekat dengan mayit. Ini juga berlaku ketika banyak hak yang harus ditunaikan namun tidak mungkin ditunaikan semuanya seperti: hak kerabat dekat dan kerabat jauh, kawan-kawan, dan yang lainnya. Jika ternyata mampu, maka harus menunaikan semua hak mereka [4]

Hadis ini mengandung beberapa faedah, di antaranya memperlakukan manusia sesuai dengan kedudukannya masing-masing, dan memberikan hak kepada pemiliknya sesuai dengan kedekatan dan hubungan kekerabatannya.


1- Mendahulukan dan mengakhirkan hak orang lain bukan didasarkan pada hawa nafsu dan kecondongan, namun harus berlandaskan nas, firman Allah Ta’ala dan sunnah Rasul-Nya ﷺ.

2- (1) Janganlah engkau mendahulukan atau mengakhirkan hak seseorang, melainkan setelah datang penjelasan hukum syariat, siapa yang pantas didahulukan, jika ada, maka lakukan. Sahabat tersebut bertanya kepada Nabi ﷺ mengenai siapakah sosok manusia yang pantas ia perlakukan dengan baik dan paling dicintai, meskipun perkara tersebut maklum secara fitrah, bahwa kedua orang tua dan kaum kerabat lebih layak untuk diperlakukan dengan baik.

3- (2) Jangan sampai engkau bersikap durhaka dan tidak berbuat baik kepada ibu, karena ibu adalah sosok manusia yang paling pantas untuk mendapatkan perlakuan kasih sayang, kelembutan, dan penghormatan darimu.

4- (2) Seorang dai, guru, dan pengasuh dianjurkan agar mengulang-ulang jawaban suatu pertanyaan, untuk lebih menegaskan dan memberikan perhatian lebih. 

5- (2) Ada seseorang berkata kepada Al-Hasan رحمه الله, “Bagaimana cara berbakti kepada kedua orang tua?” Ia menjawab, “Engkau curahkan semua yang engkau miliki untuk mereka berdua, dan mematuhi perintah keduanya, selama bukan dalam hal kemaksiatan.” [5]

6- (2) Terjadi pembicaraan antara Abu Al-Aswad Ad-Du`aliرحمه الله dan istrinya, ia hendak mengambil anaknya dari istrinya, lantas ia , mendatangi Ziyad bin Abih, gubernur Basrah. Istrinya berkata kepada gubernur tersebut, “Semoga Allah menjaga gubernur, dahulu perutku adalah tempat bagi anakku, pangkuanku tempat mainya, kedua susuku sebagai minumnya, aku mengeloninya saat ia tidur, aku menjaganya saat ia terjaga, dan itu kulakukan selama tujuh tahun, sampai ia benar-benar bisa berpisah dan memiliki etika yang sempurna. Aku berharap ia bermanfaat dan dapat melindungiku, namun ia (Abu Al-Aswad) hendak mengambilnya dariku secara paksa!” Abu Al-Aswad berkata, “Semoga Allah menjagamu, ini adalah anakku, ia sudah aku bawa sebelum engkau hamil, aku letakkan ia, sebelum engkau melahirkannya, aku yang mendidiknya, dan menjadikan baik kondisinya.” Lalu istrinya berkata, “Memang benar, semoga Allah menjagamu, ia (Abu Al-Aswad) membawanya dalam kondisi ringan, sementara diriku dalam kondisi berat, ia meletakkannya dengan syahwatnya, sedangkan aku melahirkannya dalam kondisi menyakitkan.” Lalu Ziyad berkata kepada Abu Al-Aswad, “Kembalikan anak itu kepada ibunya, karena ia lebih berhak darimu, dan berhentilah bersajak.” [6]

7- (2) Tidak ada kebaikan pada seseorang yang telah diasuh dan dirawat oleh ibunya, kemudian ia mengingkari kebaikannya dan memungkiri haknya, dan orang tersebut tidak bisa diharapkan manfaatnya.

8- (2) Dari Aisyah i, beliau berkata, “Aku bertanya kepada Nabi ﷺ, ‘Siapakah sosok manusia yang paling besar haknya bagi seorang wanita?’ Beliau menjawab, ‘Suaminya.’ Aku berkata, ‘Lalu siapakah sosok manusia yang paling besar haknya bagi seorang lelaki?’ Beliau menjawab, ‘Ibunya.’ [7]

9- (3) Berbakti kepada ayah lebih diutamakan daripada istri, anak-anak, dan seluruh manusia. Maka jangan sampai engkau menyia-nyiakan hak ayahmu.

10- (3) Jika engkau mampu menunaikan hak ayah dan ibu secara bersamaan, maka hukumnya wajib. Dan hak ibu lebih diutamakan ketika kondisi tidak mungkin untuk menunaikan kedua hak tersebut secara bersamaan.

11- (2, 3) Berbakti dan berbuat baik kepada kedua orang tua tidak terputus dengan kematian mereka berdua. Dari Abu Usaid رضي الله عنه, beliau berkata, “Tatkala kami sedang duduk bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba ada seorang lelaki dari kalangan Anÿár datang seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah aku masih tetap harus berbakti kepada kedua orang tuaku sepeninggal mereka berdua?’ Beliau menjawab, ‘Iya, melalui empat perkara: mendoakan keduanya, memohonkan ampunan untuk keduanya, menunaikan janji keduanya, menghormati sahabat keduanya, dan menyambung hubungan yang engkau tidak ada hubungan kerabat kecuali melalui mereka berdua. Itulah perkara yang masih harus kamu lakukan sebagai bakti kepada keduanya sepeninggal mereka berdua.’” [8]

12. (4) Hubungan kerabat yang lainnya, entah itu anak, istri, saudara laki-laki, saudara perempuan, dan yang semisalnya, kedudukannya berada di bawah kedudukan kedua orang tua, jangan samakan perhatian dan perlakuan baik di antara mereka.

13. (4) Jika semua hak harus ditunaikan, tetapi tidak memungkinkan untuk memenuhi semua hak keluarga dan kerabat, maka mulailah dengan menunaikan hak orang yang paling dekat hubungannya denganmu, sesuai dengan urutan dalam pewarisan. Setelah kedua orang tua, anak, lalu istri, lalu saudara laki-laki dan saudara perempuan, dan seterusnya.

14. Seorang penyair menuturkan,

Hidup terus berjalan, muliakanlah kedua orang tuamu

Ibu lebih pantas dimuliakan dan diperlakukan dengan baik

Cukuplah ibu hamil dan menyusui yang pasti 

  keduanya dengan anugerah dirasakan setiap orang



Referensi

1. Lihat: Ikmál Al-Mu’lim bi Fawá`id Muslim karya Al-Qaði Iyað (8/5) dan Syarñ An-Nawawi ‘alá Muslim (16/102). 

2. HR. Ahmad (28061), Ibnu Majah (3663), dan At-Tirmiæi (1900).

3. Lihat: Al-Mufhim Limá Asykala min Talkhíÿ Kitáb Muslim karya Al-Qurþubí (6/508).

4. Lihat: Al-Ifÿáh ‘an Ma’áni Aÿ-Ÿiññah karya Ibnu Hubairah (6/450) dan Al-Mufhim Limá Asykala min Talkhíÿ Kitáb Muslim karya Al-Qurþubí (6/509).

5. At-Tauðíñ li Syarñ Al-Jámi’ Aÿ-Ÿañiñ karya Ibn Al-Mulaqqin (28/241).

6. At-Tauðíh Li Syarñ Al-Jámi’ Aÿ-Ÿañiñ karya Ibn Al-Mulaqqin (28/240). 

7. HR. An-Nasa`í (9103) dan Al-Hakim (7244), beliau menyatakan sahih

8- HR. Ahmad (16156), Al-Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad (35), Abu Dawud (5142), Ibnu Majah (3664), Al-Hakim (4/154), dinyatakan sahih oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Aæ-†ahabí, namun dinyatakan daif oleh Al-Albani di dalam Dha’íf At-Targíb wa At-Tarhíb (1482). 


Jibrilعليه السلام sering berwasiat untuk berbuat baik terhadap tetangga saat turun membawa wahyu kepada Nabi, ﷺmenjaga hak-haknya, melindunginya dari marabahaya, ikut berbahagia bersamanya, menghiburnya saat ia bersedih, dan menjaga dengan tetap memberinya hadiah serta sedekah, berlemah lembut dalam tutur kata dan perbuatan, dan berbagai bentuk sikap memuliakan tetangga, sampai-sampai Nabiﷺ mengira bahwa kelak akan turun wahyu bahwa tetangga mendapatkan hak warisan dari tetangganya, entah itu kadar jatah yang pasti atau sisa, layaknya kerabat.

Beberapa ayat Al-Qur`an juga berisi wasiat terhadap hak tetangga, Allah Ta’ala berfirman,

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.”.

(QS. An-Nisá`: 36)

Nabiﷺ mengabarkan bahwa berbuat baik kepada tetangga termasuk di antara tanda-tanda keimanan, beliau bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah ia menyakiti tetangganya.” [1] Beliau pernah bersumpah sebanyak tiga kali bahwa seseorang yang menyakiti tetangganya bukanlah seorang mukmin sejati, beliau ﷺ bersabda, “Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah gerangan, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Seseorang, yang tetangganya merasa tidak nyaman dari gangguannya.”[2]  Bahkan seseorang terancam tidak masuk surga berdasarkan sabda Nabi,ﷺ “Tidak akan masuk surga, seseorang yang tetangganya merasa tidak nyaman dengan gangguannya.” [3] 

Tetangga itu bermacam-macam: tetangga Muslim yang masih kerabat, ia memiliki hak sebagai tetangga, hak persaudaraan seislam, dan hak kerabat; tetangga Muslim namun bukan kerabat, maka ia mempunyai hak sebagai tetangga, hak persaudaraan seislam; dan ada tetangga kafir, ia hanya memiliki hak sebagai tetangga. [4]

 


1. Banyak menyinggung satu masalah tertentu dapat menyebabkan pendengarnya menyadari betapa penting masalah tersebut dan mendorongnya untuk menunaikannya. Oleh karena itulah, beliau biasa mengulang sabdanya sebanyak tiga kali. Maka seorang dai, pendidik, khatib, dan orang yang fakih hendaknya semangat dalam memaparkan permasalahan terpenting kepada umat serta sering menyinggungnya dalam berbagai pertemuan dan kajiannya.

2. Seorang tetangga mempunyai hak yang besar, banyak disebutkan di dalam Al-Qur`an Al-Karim dan As-Sunnah An-Nabawiyah nan suci. Dengan demikian, seorang Muslim harus menunaikan hak tersebut serta jangan sampai melalaikannya.

3. Mengganggu tetangga menunjukkan kurangnya keimanan, sementara memuliakan tetangga bagian dari keimanan. Maka lihatlah dirimu sendiri dan keimananmu; apakah bertambah atau berkurang?

4. Abu Al-Jahm Al-‘Adawí menjual rumahnya seharga seratus ribu dirham. Tatkala pembelinya datang untuk menempatinya, Abu Al-Jahm bertanya, “Ini merupakan harga rumahnya, lantas berapa kalian akan membayar harga untuk bertetangga dengan Sa’id bin Al-‘Aÿ?” Ia bertanya balik, “Apakah status bertetangga dapat dibeli?” Abu Al-Jahm menjawab, “Kembalikan rumahku, dan silakan ambil kembali uangmu, sungguh aku tidak akan meninggalkan bertetangga dengan sosok orang, yang jika aku duduk, ia menanyakan kabarku; jika melihatku, ia akan menyambutku; jika aku sedang pergi, ia menjaga rumahku; jika aku melihatnya, ia akan mendekatiku; jika aku meminta tolong, ia akan memenuhi keperluanku; jika aku tidak meminta, maka justru ia yang bertanya kebutuhanku; jika aku tertimpa musibah, maka ia membantuku dengan memberi solusi.” Lantas kabar tersebut terdengar oleh Sa’id, hingga akhirnya ia membayar rumahnya seharga seratus ribu dirham, seraya berkata kepadanya, “Uang ini untuk harga rumahmu, dan rumah itu tetap menjadi milikmu.” [5]

5. Di antara bentuk hak sesama tetangga adalah bersabar menghadapi beberapa hal yang kurang disukai darinya, tidak lekas mengadu atas tindakannya. Al-Ôasan Al-Baÿri menuturkan, “Bertetangga yang baik itu bukan sekadar berusaha untuk tidak mengganggunya, tetapi bertetangga yang baik ialah bersabar menghadapi gangguannya.” [6] 

6. Seorang penyair menuturkan,

Kami memuliakan tetangga selama bersanding dengan kami

Dan tetap memuliakannya walau bagaimanapun sikapnya

Demi Allah, tak kan kubiarkan tetangga kami bermalam

Dalam kondisi ketakutan dan khawatir tiba-tiba dicuri

7. Penyair lain menuturkan,

Mereka mencelaku sebab kujual rumahku dengan harga murah

Mereka tidak tahu, kupunya tetangga yang suka mengganggu

Kukatakan kepada mereka, jangan kalian mencelaku, karena 

rumah akan mahal dan murah dilihat dari tetangganya

Referensi

1. HR. Al-Bukhari (6018) dan Muslim (47).

2. HR. Al-Bukhari (6016).

3. HR. Muslim (46).

4. Al-Mufhim Limá Asykala min Talkhíÿ Kitáb Muslim karya Abu Al-Abbás Al-Qurþubí (1/228) dan At-Ta’yín fí Syarñ Al-Arba’ín karya Sulaiman bin Abdul Qawi (1/136) dengan perubahan redaksi.

5. Rabi’ Al-Abrár karya Az-Zamakhsyarí (1/393).

6. Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab Al-Hanbali (1/353).

Agama Islam menyatukan hati kaum Mukminin, sehingga mereka menjadi saudara yang saling mencintai, berbahagia atas kebahagiaan saudaranya, merasakan sakit seperti yang dialami saudaranya, hal ini sebagaimana sabda Nabi, “Kamu melihat kasih sayang, rasa cinta, dan kelembutan di antara kaum Mukminin ibarat satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh jasad akan ikut serta bergadang dan merasa demam.” [1]

Nabi  mengabarkan bahwa keimanan seorang hamba tidak akan sempurna sampai ia menyukai ketaatan dan kebaikan dilakukan oleh saudaranya sebagaimana dirinya pun menyukai hal tersebut. Apabila ia mendapati suatu pintu kebaikan, maka ia tunjukkan kepada saudaranya. Apabila merasa menzalimi saudaranya, maka ia bergegas untuk berlaku adil pada diri sendiri dengan memberikan hak saudaranya tersebut.

Hadis ini bukan berarti menghilangkan tabiat seseorang menyukai kebaikan bagi dirinya sendiri, karena hal itu tidak akan mungkin bisa dilakukan oleh siapa pun, tetapi maksudnya, sebaiknya seseorang berharap saudaranya dalam kebaikan tanpa menyakitinya, dan ini mudah dilakukan bagi yang memiliki hati yang bersih. [2]

Ini bukan berarti seorang Muslim tidak lagi berlomba-lomba dalam mencapai kedudukan yang tinggi, sebab Abu Bakar dan Umar رضي الله عنه keduanya saling berkompetisi dalam mengerjakan berbagai macam kebaikan, dan itu tidak menunjukkan kurangnya iman mereka berdua. Secara umum yang dituntut adalah berharap kebaikan dan menghilangkan keburukan. Adapun untuk meraih keutamaan yang tinggi serta kepribadian yang luhur, maka tidak masalah jika seseorang lebih mengedepankan dirinya daripada orang lain dalam mengamalkan kebaikan.[3]

Para ulama telah menaruh perhatian besar terhadap hadis ini, sampai-sampai mereka mengatakan, “Sesungguhnya agama itu berdiri di atas empat hadis. Hadis ini salah satunya, dengan demikian hadis ini adalah seperempat dari Islam.” [4]

 


 1. Menyukai kebaikan untuk kaum Muslimin merupakan perkara yang dapat mengantarkan seseorang menuju derajat kesempurnaan akhlak; derajatnya naik menjadi sosok yang terbebas dari sifat hasad, dengki, iri, dendam, dan sombong. Semoga Allah memberikan kita sifat yang mulia tersebut.

2. Seorang Muslim dituntut agar menyukai saudaranya mengerjakan kebaikan. Apabila ia menyukai dirinya meraih sebuah kebaikan agama atau kecukupan, atau yang semisal, maka ia suka bila saudaranya pun meraih hal yang sama. Oleh karena itulah, Ibnu Abbas رضي الله عنهما pernah mengatakan, “Sungguh saat aku membaca ayat Al-Qur`an dan aku memahaminya; aku ingin sekali seluruh manusia pun bisa memahami apa yang aku pahami.”  [5]

3. Setiap Muslim hendaknya memeriksa sifat tersebut pada dirinya; mencintai kebaikan pada saudaranya sesama Muslim, karena bagi yang tidak memilikinya, berarti imannya tidak sempurna.

4. Seorang mukmin memosisikan dirinya sebagai saudaranya sesama Muslim. Jika ia sedang berbahagia terhadap sesuatu, maka berharap saudaranya pun merasakannya. Jika ia tidak menyukai sesuatu, maka ia juga tidak rela jika menimpa saudaranya. Al-Añnaf bin Qais رحمه الله pernah mengatakan, “Jika aku diperlakukan orang lain dengan apa yang tidak suka, maka aku tidak akan memperlakukannya terhadap orang lain. [6]

5. Allah Ta’ala menyanjung kaum Anÿár, sebagaimana yang tertera di dalam kitab-Nya yang mulia, tatkala mereka lebih mengutamakan saudaranya dari kalangan Muhajirin daripada diri mereka sendiri. Mereka pun membagi harta mereka, sampai Sa’ad bin Ar-Rabi’ رضي الله عنه menawarkan kepada saudaranya, Abdurrahman bin Auf , ingin membagi separuh dari hartanya, serta akan menceraikan salah satu dari dua istrinya agar ia bisa menikahinya setelah masa idahnya selesai. [7] Abdurrahman bin Auf رضي الله عنهtidak bermaksud mengecilkan niat baik saudaranya, Sa’ad bin Ar-Rabi’رضي الله عنه yang mengutamakannya. Beliau tidak menerima tawaran setengah dari hartanya serta hendak menceraikan istrinya agar dinikahinya, dengan kondisi yang sebenarnya memang butuh; yang beliau telah meninggalkan hartanya, rumahnya, dan semuanya demi Allah. Hanya saja ia mengucapkan terima kasih kepada saudaranya Sa’ad dan beranjak menuju pasar untuk memenuhi kebutuhan pokoknya dengan jerih payahnya sendiri.

6. Seorang dai dan pendidik harus semangat untuk memperbaiki dan memperkuat interaksi sosial antar kaum Muslimin.

7. Tidak ada kontradiksi antara cinta kebaikan bagi orang lain dan kompetisi untuk meraih kedudukan di dunia dan akhirat; mencintai kebaikan untuk mereka dan bahagia mereka bisa meraihnya itu sudah cukup.

8. Seorang pelajar mukmin berharap semua kawannya lulus dan berhasil, tidak masalah jika ia tetap semangat ingin menjadi rangking pertama, sama halnya dengan seorang pengusaha, ia berharap kebaikan bagi seluruh pedagang, dan berharap mereka mendapatkan rezeki yang baik dari Allah Ta’ala, namun tidak menghalanginya untuk berharap menjadi kaya raya, dan begitu juga seorang dokter, teknisi, pegawai, dan lain sebagainya.

9. Seorang penyair menuturkan, 

Saudara sejatimu yang sungguh-sungguh melindungimu saat kau tak ada

Ia menutupi apa yang menjadi keburukan dan kejelekanmu

Ia menyebarkan sesuatu yang membuatmu disenangi manusia

Ia mengabaikan aibmu, tak henti berbuat baik dan tulus kepadamu


Referensi

1. HR. Al-Bukhari (6011) dan Muslim (2586).

2. Syarñ Šañíñ Muslim karya An-Nawawí (2/17).

3. Kasyf Al-Musykil min Ôadíš Aÿ-Ÿañíñain (3/232).

4. Lihat: Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawí (11/27).

5. HR. Aþ-±abaráni (10621).

6. Syarñ Ÿañiñ Al-Bukhári karya Ibnu Baþþál (1/65).

7. Muttafaq ‘Alaihi, HR. Al-Bukhari (2049) dan Muslim (1427).

Islam memberikan perhatian dalam membangun tatanan masyarakat yang saling menguatkan, diliputi rasa cinta, persatuan, dan saling bahu-membahu, dan berdiri di atas sebuah kaidah, ““Salah seorang di antara kalian tidak beriman hingga ia menyukai untuk saudaranya apa yang ia sukai untuk dirinya.” [1]

antara kaum Mukminin dengan saling menguatkan dan gotong-royong. Beliau رضي الله عنهmenggambarkan kelembutan dan kasih sayang, serta rasa cinta dan kedekatan di antara mereka ibarat satu tubuh yang jika salah satu anggota tubuhnya sakit, maka seluruh anggota tubuhnya terpanggil untuk ikut merasakan dengan rintihan dan rasa  letih lantaran anggota tubuh yang sakit tadi. Sehingga ia bergadang dan merasa demam disebabkan satu anggota tubuh tersebut. Seperti inilah seharusnya kepekaan dan kasih sayang seorang Muslim terhadap saudaranya. Merasa sakit karena saudaranya sakit, dan berbahagia ketika saudaranya berbahagia, membantu mengatasi masalahnya dengan berbagai cara yang ia mampu. Nabiﷺ bersabda, “Sesungguhnya seorang mukmin terhadap Muslim lainnya itu layaknya bangunan-bangunan yang saling menguatkan satu sama lain,” lantas beliau menggenggamkan jemari kedua tangannya. [2]

Beliauﷺ mewajibkan seorang mukmin agar menaruh perhatian besar pada urusan kaum Mukminin, terutama para tetangga yang merupakan orang yang paling dekat. Nabi ﷺ bersabda, “Bukanlah seorang mukmin, jika ia merasa kenyang, sementara tetangganya yang terdekat dalam kondisi kelaparan.” [3]

Nabiﷺ menganjurkan kaum Mukminin agar saling membantu sesama saudaranya, berusaha memenuhi keperluannya. Beliau bersabda, “Barang siapa yang membantu seorang mukmin dari kesulitan dunia, niscaya Allah membantu kesulitannya kelak di hari kiamat. Barang siapa yang mempermudah orang yang belum mampu melunasi utangnya, niscaya Allah akan memudahkannya di dunia dan akhirat. Barang siapa yang menutupi aib sesama Muslim, niscaya Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan senantiasa membantu seorang hamba, selama hamba tersebut juga membantu sesamanya.” [4]   


1. Memberikan contoh dan menggunakan ilustrasi merupakan metode yang paling efektif dalam menjelaskan suatu makna. Sebaiknya seorang dai, khatib, dan pendidik sering menggunakan contoh-contoh dan memahamkan makna.

2. Di antara bukti kesempurnaan iman ialah seorang Muslim peduli dengan urusan kaum Muslimin, ia merasa bahagia di saat mereka bahagia serta bersedih di saat mereka sedang tertimpa musibah.

3. Berusaha untuk memenuhi kebutuhan orang lain dan bersikap ramah kepada mereka termasuk ibadah terbaik yang mendekatkan seorang hamba kepada Tuhannya. Rasulullahﷺ pernah bersabda, “Manusia yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia, dan amalan yang paling dicintai Allah عز وجل adalah kebahagiaan yang engkau berikan kepada seorang Muslim. Engkau mengatasi kesulitannya, melunasi utangnya, atau membuatnya kenyang. Dan sungguh, aku berjalan bersama seseorang guna memenuhi kebutuhannya lebih aku sukai daripada beriktikaf di masjid ini -yakni masjid Madinah- selama sebulan. Barang siapa yang mampu menahan emosinya, jika ia mau, sebenarnya bisa melampiaskannya, niscaya Allah akan memenuhi hatinya pada hari kiamat dengan keridaan. Dan barang siapa yang berjalan bersama saudaranya untuk memenuhi kebutuhannya, sampai terpenuhi keperluannya, niscaya Allah akan meneguhkan kedua kakinya kelak pada hari semua kaki akan bergeser.”  [2] 

4. Di antara bentuk saling kasih sayang dan bahu-membahu di antara kaum Muslimin, bahwasanya Nabi ﷺ, tatkala Ja’far bin Abu Talib رضي الله عنه mati syahid, bersabda, “Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, karena mereka sedang mengalami perkara yang menyibukkan, atau urusan yang menyibukkan mereka.” [6] 

5. Di antara bentuk kasih sayang antar kaum mukminin ialah seorang Muslim menjenguk orang yang sakit, membantu orang miskin, menyambung silaturahim, memuliakan tamu, mengiringi jenazah, dan tidak menampakkan kebahagiaan di depan orang yang tengah bersedih.

6. Seorang penyair menuturkan,

Bersatulah kalian anak-anakku tatkala mengalami

kesusahan, janganlah bercerai-berai terpisah

Kumpulan anak panah jika menyatu, susah dipatahkan 

Namun jika terpisah satu persatu, akan mudah dipatahkan

Referensi

1. HR. Al-Bukhari (13) dan Muslim (45).

2. HR. Al-Bukhari (481) dan Muslim (2585).

3. HR. Abu Ya’la di dalam Musnad-nya (2699).

4. HR. Muslim (2699).

5. HR. Aþ-±abaráni di dalam Al-Mu’jam Al-Ausaþ (6026).

6. HR. Abu Daud (3132), At-Tirmiæi (998), dan Ibnu Majah (1610).

Kasih sayang Allah Ta’ala sangat luas tak terhingga. Allahسبحان الله وتعالى berfirman,

“Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu.”

(QS. Al-A’ráf: 156)

Dengan satu bagian dari seratus bagian rahmat-Nyaسبحان الله وتعالى , makhluk saling menyayangi; sampai kuda pun mengangkat kakinya dari anaknya; khawatir akan menginjaknya. [1]

Allah Ta’ala telah mengutus para nabi dan rasul-Nya sebagai bentuk kasih sayang terhadap hamba-hamba-Nya. Dia memberikan hidayah kepada mereka ke arah kebenaran, dan memberikan nikmat kepada mereka berupa keimanan, serta memberikan rezeki kepada mereka berupa hidayah dan taufik-Nya. Allah menempatkan mereka di negeri yang mulia di akhirat. Dia سبحان الله وتعالى berfirman,

“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” .

(QS. Al-Anbiyá`: 107)

Karena itulah, rahmat-Nya terbatas hanya untuk hamba-hamba-Nya yang memiliki kasih sayang. Barang siapa yang tidak mengikuti-Nya سبحلن الله وتعالىdalam mengasihi sesama makhluk, maka ia telah diharamkan dari rahmat Allah Ta’ala. Nabi  bersabda, “Sesungguhnya Allah hanya merahmati hamba-hamba-Nya yang penuh kasih sayang.” [2]

Penyebab hal tersebut ialah bahwa seorang mukmin itu sudah seharusnya sangat sayang kepada makhluk Allah Ta’ala, hatinya iba saat melihat orang lemah, menghibur orang yang sedih nan terluka, empati terhadap orang yang sedang mengalami musibah, sayang terhadap orang-orang lemah dan miskin. Allah سبحان الله وتعالى berfirman,

“Kemudian dia termasuk orang-orang yang beriman, dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.”

(QS. Al-Balad: 17)

. Nabi   bersabda, “Tidaklah rasa sayang itu dicabut, melainkan dari orang yang sengsara.” [3]

Kasih sayang yang dimaksud di sini bukan berarti bahwa seorang Muslim hanya menyayangi sesamanya, keluarganya, tidak terhadap yang lainnya, tetapi kasih sayangnya mencakup seluruh makhluk. Rasulullah g bersabda, “Demi †at yang jiwaku berada di tangan-Nya, Allah tidak meletakkan rahmat-Nya kecuali pada orang yang penyayang.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, setiap individu dari kita memberi kasih sayang.” Beliau bersabda, “Bukan kasih sayang salah seorang di antara kalian kepada kawannya saja; namun ia menyayangi semua manusia.” [4]

Nabi merupakan manusia yang paling besar kasih sayangnya. Allahسبحان الله وتعالى berfirman mengenai beliau,

“Maka berkat rahmat Allah, engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu, maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.”

(QS. Áli Imrán: 159)

Kasih sayang dan kelembutan beliau g begitu total, di antara buktinya, sabda beliau, “Aku sedang shalat, ingin kupanjangkan shalatku, namun aku mendengar tangisan seorang bayi, maka kupercepat shalatku, karena tidak ingin memberatkan ibunya.” [5]

Kasih sayang beliau tidak terbatas pada sesama manusia saja, akan tetapi terhadap hewan-hewan dan burung. Dari Abdullah bin Mas’ud, beliau berkata, “Dahulu kami pernah bersama Rasulullah  dalam perjalanan, beliau beranjak hendak menunaikan hajatnya. Lantas kami melihat burung kecil bersama kedua anaknya, kami pun mengambil dua anak burung tadi, lantas datanglah burung kecil sambil terbang tak beraturan. lalu Nabi  datang dan bersabda, “Siapakah yang menyakiti burung ini karena anaknya? Kembalikan anaknya kepada induknya.”


 1. Kasih sayang terhadap makhluk termasuk tanda kebahagiaan, karena orang yang sengsara diharamkan dari rasa kasih sayang. Maka waspadalah terhadap tabiat orang-orang yang sengsara.

2. Rahmat (kasih sayang) termasuk dari sifat-sifat Allah Ta’ala yang dianjurkan agar hamba-hamba-Nya meneladan sifat tersebut. Dia ingin melihat hamba-Nya menjadi sosok yang penuh kasih, lembut, sayang terhadap sesama makhluk, seperti mengampuni, berlapang dada, dan memaafkan serta dermawan.

3. Nabi adalah suri teladan yang baik, beliau  bersikap sayang terhadap orang-orang dewasa dan anak-anak. Beliau g pernah mencium Al-Hasan bin Ali رضي الله عنه, dan kala itu ada Al-Aqra’ bin Ôabis At-Tamimi رضي الله عنهsedang duduk, lalu Al-Aqra’ berkata, “Aku punya sepuluh anak, tidak pernah satu pun yang kucium.” lalu Rasulullah  melihat ke arahnya kemudian bersabda, “Barang siapa yang tidak menyayangi orang lain, maka tidak akan disayang.” [6] 

4. Tidak ada seorang pun yang tidak membutuhkan rahmat Allah Ta’ala. Setiap individu dari kita memiliki aib, dosa, dan kesalahan. Kalaulah bukan karena rahmat-Nyaسبحان الله وتعالى, maka semua makhluk akan binasa. Barang siapa yang ingin dilimpahi rahmat oleh Allah Ta’ala, maka hendaknya dia menyayangi makhluk-Nya. Sebagai contoh: seorang wanita pelacur dari kalangan Bani Israil melihat seekor anjing yang terengah-engah menjilat-jilat tanah karena kehausan, lantas ia memberinya minum, dan Allahسبحان الله وتعالى pun mengampuninya lantaran rasa sayangnya kepada seekor binatang. [7]

5. Balasan setimpal dengan jenis amalan, barang siapa yang menyayangi, maka akan disayangi. Barang siapa yang menyiksa, maka akan disiksa. Barang siapa yang mempermudah orang lain, maka akan Allah memudahkannya.

6. Tidak menyayangi sesama makhluk termasuk sebab masuk ke dalam neraka, kita berlindung kepada Allah. Dari Abu Mas’ud Al-Anÿárí, beliau berkata, “Aku pernah memukul budakku, lantas aku mendengar suara dari arah belakangku, ‘Ketahuilah wahai Abu Mas’úd, sungguh Allah Mahamampu untuk menyiksamu daripada siksaanmu terhadap budakmu.’ Aku pun menoleh, dan ternyata itu adalah Rasulullah , lalu aku berkata kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, ia aku merdekakan karena mengharap wajah Allah.’ Lalu beliau bersabda, ‘Sungguh, jika engkau tidak melakukannya, maka neraka akan menghanguskanmu.’ -atau beliau bersabda-, ‘Sungguh dirimu akan disentuh oleh neraka.’” [8] 

7. Seorang penyair menuturkan,

Jika kau tidak menyayangi orang miskin papa

Tidak pula fakir, saat mengadu kepadamu ketidakmampuannya

Lantas bagaimana dirimu berharap rahmat dari Sang Maha Pengasih

Karena Sang Maha Pengasih hanya menyayangi orang yang sayang

8. Penyair lain menuturkan,

Bila dirimu berharap kasih sayang dari Sang Maha Pengasih

Maka kasihanilah orang-orang lemah dengan sepenuh hati

Niatkan itu karena mengharap wajah Allah sang pencipta kita

Maha suci Tuhan sang pencipta manusia

Mintalah balasan itu berupa rahmat dari sang maha penolongmu Karena Sang Maha Pengasih akan mengasihi orang yang sayang


Referensi

1. HR. Al-Bukhari (6000) dan Muslim (2752).

2. HR. Al-Bukhari (7448) dan Muslim (923).

3. HR. Ahmad (9700), Abu Daud (4942), dan At-Tirmiæi (1923).

4. HR. Abu Ya’la (4258).

5. HR. Al-Bukhari (707).

6. HR. Al-Bukhari (5997) dan Muslim (2318).

7. HR. Al-Bukhari (3467) dan Muslim (2245).

8. HR. Muslim (1659).

Pada dasarnya, seseorang boleh mengelola sebagian dari harta yang akan ditinggalkannya dan menjadikan sebagiannya sebagai wasiat, dengan syarat tidak melebihi sepertiga bagian dan wasiat tersebut tidak diperuntukkan bagi ahli waris. Hal ini berdasarkan sabda Nabi “Sesungguhnya Allah telah bersedekah kepada kalian ketika kalian wafat dengan sepertiga harta benda kalian sebagai tambahan terhadap amal perbuatan kalian.” [1] Demikian juga sabda Nabi “Sesungguhnya Allah f telah memberikan kepada setiap yang berhak apa yang menjadi haknya. Tidak ada wasiat bagi ahli waris.” [2] Sebab, barangkali seseorang ingin mewasiatkan sebagian dari harta bendanya kepada karib kerabat yang tidak menjadi ahli warisnya, atau ingin bersedekah dari hartanya.

Oleh karena itu, Nabi menganjurkan setiap orang yang ingin mewasiatkan sebagian dari harta bendanya agar segera menuliskan wasiat tersebut. Maka, jangan sampai satu atau dua malam berlalu, kecuali wasiat itu telah tertulis di sisinya. Sebab, ia tidak tahu, bisa saja kematian datang secara tiba-tiba, sehingga menghalangi antara dirinya dengan kehendaknya tersebut. Dalam hal ini, para salaf telah mengkhususkan anjuran tersebut dengan bersegera mendatangi orang yang tengah sakit atau orang yang ajalnya sudah dekat. Pengkhususan itu tidak disebutkan di dalam hadis karena kebiasaan semacam itu sudah umum. [3]

Hanya saja, hukum wasiat ini pada dasarnya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang yang diberi wasiat. Sebab, terkadang wasiat menjadi wajib ketika si pemberi wasiat mempunyai utang yang tidak diketahui oleh ahli waris, terlebih lagi ketika orang yang memberi piutang tidak memiliki bukti terhadap hal tersebut. Karena jika dia tidak mewasiatkan hal tersebut, maka akan hilang hak si pemberi piutang. Di samping itu, terkadang wasiat ini hukumnya menjadi haram jika wasiat tersebut berupa sesuatu yang diharamkan, seperti wasiat untuk melakukan perbuatan dosa dan memberi wasiat kepada ahli waris. Adakalanya wasiat ini menjadi sunnah jika dilakukan untuk hal-hal yang bersifat kebaikan dan berinfak di jalan Allah atau kepada karib kerabat yang bukan ahli waris.


 1. Seorang Muslim harus senantiasa mengingat kematian dan menjadikannya sebagai sesuatu yang ia tempatkan di depan matanya, sehingga ia akan beramal demi kematian waktu tersebut dan tidak dilalaikan dengan kenikmatan dan kesenangan dunia. Al-Hasan Al-Baÿri pernah mengatakan, “Kematian itu diikat di ubun-ubun kalian, sedangkan dunia dilipat di belakang kalian.” [4]

2. Allahسبحان الله وتعالى sendiri yang mengatur pembagian harta warisan. Maka, seorang Muslim tidak boleh menentang Allah dalam hal pembagian tersebut, atau mengira bahwa pembagian yang ia lakukan lebih baik daripada pembagian †at Yang Maha Bijaksana.

3. Allah سبحان الله وتعالى memberikan karunia kepada hamba-hamba-Nya dengan sepertiga harta mereka yang bisa dikelola dengan wasiat sebagaimana yang mereka kehendaki. Maka, orang yang cerdas adalah orang yang memanfaatkan keutamaan tersebut demi mencari rida Allah dan dalam ketaatan kepada-Nya, serta menggunakan bagian tersebut di jalan-Nya.

4. Seorang Muslim harus bersegera menuliskan wasiatnya bila ia memiliki sesuatu yang wajib ia wasiatkan sebelum ia dilupakan oleh dunia, diserang oleh penyakit, atau dijemput oleh kematian secara mendadak. Para sahabat رضي الله عنه dahulu segera melakukan hal tersebut, Ibnu Umar رضي الله عنه perawi hadis ini pernah mengatakan, “Tidaklah berlalu suatu malam bagiku sejak aku mendengar Rasulullah 

 mengatakan hal tersebut kecuali aku sudah menuliskan wasiatku.” [5]

5. Bolehnya bersedekah dan berwasiat dengan sepertiga harta bukan berarti tidak boleh bersedekah dengan yang lain, atau sebaik-baik wasiat adalah wasiat dengan sepertiga harta. Akan tetapi, yang lebih utama bagi seorang Muslim adalah meninggalkan ahli warisnya dalam keadaan berkecukupan dan tidak membutuhkan apa pun dari orang lain. Oleh karena inilah, Nabi  bersabda kepada Sa’ad bin Abi Waqqas رضي الله عنه ketika beliau ingin berwasiat dengan setengah hartanya, “Sepertiga saja, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya jika engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan, itu lebih baik ketimbang engkau meninggalkan mereka dalam keadaan kesusahan dan meminta-minta kepada orang lain.” [6] Oleh karena itu, Ibnu Abbas رضي الله عنه pernah mengatakan, “Andai saja orang-orang berpindah dari sepertiga ke seperempat (maka itu lebih baik). Abu Bakar berwasiat dengan seperlima hartanya, dan beliau mengatakan, ‘Aku rida untuk diriku apa yang diridai oleh Allah untuk Diri-Nya. Yang beliau maksudkan adalah firman Allah Ta’ala,

 “Dan ketahuilah, sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil.”

(QS. Al-Anfál: 41)

6. Para penuntut ilmu dan penulis wasiat harus menjelaskan kepada mereka bahwa wasiat ini sifatnya berbeda-beda. Apabila ahli waris ternyata adalah fakir dan membutuhkan harta benda, maka yang lebih utama adalah tidak memberikan wasiat. Namun jika mereka hidup berkecukupan, maka disunnahkan untuk berwasiat dengan sepertiga harta atau kurang, sesuai dengan kondisi ahli waris.

7. Seorang penyair menuturkan,

Kita berjalan menuju ajal di setiap setiap detik

Hari-hari kita dilipat dan itu ada beberap fase

Aku tak pernah melihat sesuatu yang lebih pasti daripada kematian

Jika sesuatu dilampaui angan-angan, maka ia menjadi sia-sia

Sungguh betapa jelek kelalaian di waktu muda

Lalu bagaimana jika uban telah memenuhi kepala?

Ia berjalan dari dunia dengan bekal takwa

Umurmu adalah kumpulan hari, dan hari-hari itu amatlah sedikit

8. Penyair lainnya menuturkan,

Harta yang kita kumpulkan adalah milik ahli waris kita

dan rumah yang kita bangun akan hancur dimakan waktu

Tidak ada rumah untuk ditempati orang setelah mati

Kecuali rumah yang ia bangun sebelum mati

siapa yang membangunnya dengan baik, baik pula tempat tinggalnya        

siapa yang membangunnya dengan buruk, sengsaralah yang membangunnya

Referensi

1. HR. Ibnu Majah (2709).

2. HR. Abu Daud (2870), At-Tirmizi (2120), dan Ibnu Majah (2713).

3.  Fatñ Al-Bārí karya Ibnu ôajar (5/360).

4. Jāmi’ Al-‘Ulūm wa Al-Hikam karya Ibnu Rajab (2/382).

5. HR. Muslim (1627).

6. HR. Al-Bukhari (2742) dan Muslim (1628).


1. Nabi ﷺ melarang seseorang untuk meminta jabatan memimpin urusan kaum Muslimin, –seperti jabatan sebagai pemimpin, menteri, atau yang semisal- karena itu merupakan tanggung jawab yang besar serta amanah yang berat di pundak pengampunya.

Nabi ﷺ pernah bersabda kepada Abu Zar رضي الله عنه tatkala beliau bertanya tentang jabatan kepemimpinan,

“Wahai Abu Zar رضي الله عنه, dirimu lemah, dan jabatan adalah amanah, dan kelak pada hari kiamat menjadi sebuah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi yang mengampunya dengan hak, dan menunaikan amanah yang diembannya.”[1] 

2. Kemudian beliau ﷺ mengabarkan bahwa jika seorang laki-laki meminta jabatan untuk dirinya sendiri lalu diserahkan kepadanya, niscaya akan dibiarkan mengembannya dan tidak akan ditolong oleh Allah سبحانه وتعالى dalam mengemban kesulitannya, maka kerap kali tujuannya tidak tercapai.

Karena itulah, beliau ﷺ bersabda,

 “Sesungguhnya kami, demi Allah, tidak akan menyerahkan tugas kepemimpinan ini kepada seseorang yang memintanya, tidak pula kepada seseorang yang berambisi mendapatkannya.”[2] 


Namun dikecualikan dalam hal itu adalah para nabi; mereka sosok yang maksum dari dosa, tidak berambisi terhadap tampuk kepemimpinan atau jabatan.

Oleh sebab itu, Yusuf  عليه السلام berkata,

 “Dia (Yusuf) berkata, ‘Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan.’”[1]

(QS. Yúsuf: 55)

3. Adapun jika jabatan kepemimpinan itu didapat tanpa diminta, lantas ia memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala, kemudian bersungguh-sungguh dalam menunaikan tanggung jawabnya, maka sungguh Allah Ta’ala akan menolongnya dalam kesulitan-kesulitan yang dihadapi, dan taufik-Nya akan menyertainya.

4. Kemudian, Nabi ﷺ mengabarkan bahwa seorang Muslim tidak dibenarkan menjadikan sumpahnya sebagai penghalang dirinya untuk berbuat kebaikan. Jika ia bersumpah atas sesuatu kemudian ia melihat ada perkara lain yang lebih baik daripada sumpahnya, hendaklah ia menebus sumpahnya, dan mengerjakan yang lebih baik.

Jika seseorang bersumpah untuk melakukan sebuah maksiat, seperti memutus tali silaturahim, menelantarkan istri, memperkarakan orang yang berutang, atau hal yang semisal, maka sebaiknya ia menebus sumpahnya, lalu tetap menyambung silaturahim kerabatnya, memperhatikan istrinya, memberi tempo kepada yang berutang, karena semua itu lebih baik daripada sumpahnya.

Implementasi

1. (1) Jangan sampai engkau meminta tampuk kepemimpinan atau jabatan, dan mohonlah kepada Allah keselamatan dan kebaikan, karena terkadang engkau diserahi jabatan tersebut namun tidak mampu menjalankannya.

2. (1) Tidak layak bagi seseorang yang antusias untuk meraih akhirat, namun ia masih berambisi terhadap jabatan.

Allah Ta’ala berfirman

“Negeri akhirat itu Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu bagi orang-orang yang bertakwa.”

(QS. Al-Qaÿaÿ: 83)

3. (1) Waspadalah terhadap efek buruk dari jabatan,

karena Nabi ﷺ pernah bersabda

“Sungguh (pada hari kiamat) seseorang akan berangan-angan memilih untuk dijatuhkan dari bintang šurayya (bintang Kejora), dan ia tidak mengampu jabatan urusan manusia sedikit pun.”[3] 


4. (1)

Nabi ﷺ bersabda

“Tidaklah seorang laki-laki yang memimpin urusan sepuluh orang atau lebih dari itu, melainkan kelak Allah akan mendatangkan dirinya terbelenggu pada hari kiamat, tangannya pada lehernya, yang dapat melepaskan belenggu tersebut adalah amalan kebajikannya, atau justru dosanya akan membinasakannya. Awalnya celaan, pertengahannya penyesalan, dan yang akhirnya kehinaan pada hari kiamat.”[4] 

5. (1) Sa’ad bin Abi Waqas  رضي الله عنه  sedang berada di antara unta-untanya, lalu datang putranya yang bernama Umar رضي الله عنهما, tatkala Sa’ad melihatnya, beliau berdoa, “Aku berlindung kepada Allah dari keburukan penunggang kendaraan ini.’[5]  Lantas Umar pun turun, lalu berkata kepada Sa’ad, “Apakah engkau lebih nyaman berada di antara unta-unta dan kambing-kambingmu, membiarkan manusia saling berebut kekuasaan di antara mereka?” Kemudian Sa’ad menepuk dada putranya tersebut seraya berkata, “Diamlah, 

aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda

‘Sesungguhnya Allah menyukai hamba yang bertakwa, merasa cukup, dan enggan populer.’”[6] 

6. (2) Manusia hendaknya takut kepada Allah dalam hal meminta jabatan dan berambisi untuk mengampu tampuk kepemimpinan kaum Muslimin karena menuruti hawa nafsunya yang hina, serta tujuan-tujuan duniawi yang palsu nan rendah, karena Allah akan membiarkan mereka menanggung beban, mereka pun berbuat sia-sia dan menyia-nyiakan, dan mengalami kerugian di dunia dan akhirat.
7. (2) Para pemegang kekuasaan janganlah mempekerjakan orang yang meminta jabatan atau tampuk kepemimpinan, karena sungguh akibatnya adalah kehinaan.

Nabi ﷺ pernah bersabda

“Sesungguhnya kami, demi Allah, tidak akan menyerahkan tugas kepemimpinan ini kepada seseorang yang memintanya, tidak pula kepada seseorang yang berambisi mendapatkannya.” [7]

8. (3) Apabila engkau ditawari jabatan sukarela tanpa memintanya, jika engkau melihat dirimu mampu dan bisa mengemban amanah sehingga bisa menunaikan kepentingan manusia, hendaknya engkau menerimanya sambil berharap pahala, maka Allah akan menolongmu.

9. (3) Seorang pemimpin harus cakap dalam memilih para wakilnya dan petugasnya, karena ia akan dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka.

10. (4) Sumpah yang tidak serius tidak berakibat dosa, maka engkau tidak perlu menghiraukan sumpah yang tidak sengaja terucap.

11. (4) Apabila engkau bersumpah terkait suatu amalan ketaatan atau kemaksiatan atau hal-hal yang mubah, kemudian engkau melihat justru sumpah tersebut menghalangi dirimu untuk berbuat kebaikan, seperti engkau bersumpah tidak akan berbicara seharian, kemudian engkau melihat bahwa manusia membutuhkan fatwa serta nasihatmu, maka tebuslah sumpahmu, dan kedepankan kepentingan yang lebih besar.

12. (4) Hukum asal dalam sumpah adalah wajib ditunaikan sesuai dengan sumpahnya, tidak boleh melanggarnya kecuali jika ada sebab yang mengharuskannya. Jika ada seseorang bersumpah tidak akan mengenakan pakaian ini, maka menunaikan sumpah di sini lebih utama daripada menebus dan melanggarnya.

Dia  berfirman

“Dan jagalah sumpah kamu.”

(QS. Al-Má`idah: 89)

Referensi

  1. HR. Muslim (1825).
  2. HR. Muslim (1733).
  3.   HR. Ahmad (10940).
  4.   HR. Ahmad (22656).
  5. Kalimat tersebut diucapkannya karena waktu itu terjadinya berbagai fitnah kekuasaan setelah terbunuhnya khalifah Usman bin Affan, dan putranya tersebut termasuk orang yang turut serta dalam peperangan dan fitnah tersebut. (editor)
  6. HR. Muslim (2965).
  7. HR. Muslim (1733).


1. Nabi ﷺ memerintahkan umatnya untuk wajib mendengar dan patuh kepada pemimpin seperti raja, penguasa, dan wakil-wakil mereka. Sebab, dengan adanya mereka maka kehidupan akan stabil, Allah akan memudahkan penyebaran agama, dan penerapan hukum-hukumnya. Sekiranya manusia terbiasa menyalahi aturan yang ada, maka niscaya akan timbul kegaduhan dan persatuan kaum Muslimin akan terpecah-belah, sehingga mudah bagi pihak musuh untuk menghancurkan mereka. 

2. Ketaatan tersebut berlaku umum, baik ketika jiwa menyukai hukum-hukum dan orang-orangnya, ataupun ketika jiwa membencinya, maka semua wajib untuk bersabar.

Nabi ﷺ bersabda

“Barang siapa yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang tidak ia sukai, maka hendaklah ia bersabar. Sebab, tidaklah seseorang meninggalkan jemaah sejengkal lalu ia mati, melaikankan ia mati dengan mati jahiliah.” [1]

3. Akan tetapi, ketaatan tersebut tidak bersifat mutlak, namun terikat dengan sesuatu yang bukan maksiat. Apabila pemimpin memerintahkan untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh didengar atau ditaati. Nabi ﷺ bersabda, “Sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam kebaikan.”[2]  Oleh karena itu

Allah  berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.”

(QS. Al-Anfál: 59)

Allah tidak mengatakan, “Taatlah kepada Ulil Amri di antara kalian.” Akan tetapi, Allah menjadikan taat kepada pemimpin hanya dalam mengikuti ketaatan kepada Allah Ta’ala dan ketaatan kepada Rasulullahﷺ .

Jadi, apabila seorang pemimpin menyuruh untuk berbuat maksiat kepada Allah Ta’ala, maka tidak boleh taat kepadanya pada perbuatan maksiat ini saja, bukan pada perintah dan larangannya secara mutlak. Selain itu, tidak boleh memberontak kepada pemimpin karena hal tersebut. Bahkan, seorang Muslim dianjurkan untuk mengevaluasi dan menyampaikan nasihat kepada pemimpin dengan bijak dan cara yang baik. 

Implementasi

1. Seorang Muslim yang cerdas akan melihat kepada perintah syariat sebelum dia melihat keinginan hawa nafsu dan kemaslahatan pribadinya.

2. Kewajiban taat kepada pemimpin harus sesuai dengan koridor yang diatur dalam ayat-ayat Al-Qur`an dan hadis-hadis Nabi, karena itu semua mengandung kemaslahatan agama dan dunia. Kalau seandainya seseorang memikirkan aturan rumahnya sendiri, aturan pekerjaannya, atau aturan masyarakatnya, maka dia akan melihat semua itu tidak akan bisa lurus kecuali ada pemimpinnya.

3. Seyogianya seorang Muslim ketika melihat sesuatu yang tidak ia sukai dari pemimpinnya, maka ia segera mendatangi ulama, lalu bertanya dan meminta nasihat dari mereka. Sebab, barang kali ia menganggap ketaatan itu sebagai maksiat, kemaksiatan itu sebagai ketaatan, dan bisa jadi dia tidak bisa menanganinya dengan baik. 

4. Apabila seorang Muslim telah yakin bahwa pemimpin memerintahkannya untuk berbuat maksiat, maka ia tidak boleh taat pada apa yang ia perintahkan tersebut. Bahkan, jika memungkinkan untuk menyampaikan nasihat kepada pemimpin itu tanpa menimbulkan fitnah maka hendaknya dia menasihatinya, maka hal tersebut wajib ia lakukan. Namun bila tidak, maka jangan sampai dia melakukan kemaksiatan. 

5. Tidak boleh taat kepada seorang pun untuk bermaksiat kepada Allah. Sebab, Nabi ﷺ telah mengambil baiat dari orang banyak untuk taat kepada beliau dalam hal kebaikan. Nabi ﷺ saja tidak pernah menyuruh untuk berbuat maksiat dan tidak akan meridainya, maka bagaimana dengan orang lain?

6. Apabila pemimpin memerintahkan untuk melakukan perbuatan dosa, maka hal tersebut tidak berarti harus meninggalkan kepatuhan kepadanya secara mutlak. Namun kita tetap taat kepadanya di luar perintah tersebut. 

Referensi

  1. HR. ABukhari (7143). 
  2.  HR. ABukhari (7145) dan Muslim (1840).


1. Ubadah bin Aÿ-ÿamit  memberitahukan tentang baiat yang dilakukan oleh Nabi ﷺ terhadap para pemuka suku Aus dan Khazraj dari kalangan Ansar pada malam Baiat Aqabah yang kedua di Mina. Ketika itu ada dua belas orang tokoh keluar untuk mewakili orang-orang yang beriman dari penduduk Yašrib. Ubadah menyebutkan bahwa beliau berbaiat setia kepada Nabi ﷺ secara berjemaah. Maka, Nabi mengambil janji setia mereka untuk menauhidkan Allah, menolak perbuatan syirik, tidak mencuri, tidak melakukan perzinaan, tidak membunuh anak-anak mereka, membuat desas-desus dan kebohongan, dan senantiasa taat kepada Rasulullah ﷺ.

Nabi ﷺ memulai dengan tauhid dan menolak perbuatan syirik. Sebab, hal tersebut adalah pokok dari iman dan Islam. Rukun Islam yang pertama adalah lá iláha illalláh (tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah) adalah kalimat tauhid. Sedangkan perbuatan syirik merupakan dosa besar yang paling besar. Ibnu Mas’ud رضي الله عنه pernah mengatakan, “Aku pernah bertanya kepada Nabi ﷺ, ‘Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?’ Beliau menjawab, ‘Engkau menyekutukan Allah , padahal Dialah yang menciptakanmu.’”[1]  Selain itu, Allah سبحانه وتعالى memberitahukan bahwa semua perbuatan maksiat maka (ampunannya) berada di bawah kehendak Allah kecuali perbuatan syirik.

Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar.”

(QS. An-Nisá`: 48)

Kemudian, beliau melarang mereka dari mencuri dan berzina, karena Islam menjaga kehormatan dan harta benda manusia. Sekiranya manusia menganggap perbuatan zina dan mencuri sebagai sesuatu yang halal, niscaya manusia akan saling berbuat zalim dan sewenang-wenang, orang yang kuat akan memakan hak orang yang lemah, garis keturunan menjadi kacau, dan tersebar luasnya anak hasil perzinaan. Oleh karena itulah, Nabi ﷺ menafikan keimanan dari pencuri dan pezina, beliau bersabda, “Seseorang tidak akan berzina sedangkan dia dalam keadaan beriman, seseorang tidak akan mencuri sedangkan dia dalam keadaan beriman, dan seseorang tidak akan minum khamar sedangkan dia dalam keadaan beriman.”[2] 
Dahulu orang-orang Arab biasa membunuh anak-anak mereka karena kemiskinan yang mereka alami, atau takut miskin karena keberadaan anak-anak mereka. Maka, Allah melarang mereka melakukan hal tersebut dengan berfirman

“Janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.”

(QS. Al-An’ám: 151)

Hal ini berkaitan dengan orang miskin yang membunuh anaknya karena kemiskinan yang dialaminya.

Allah عز وجل juga berfirman,

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami-lah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar.”

(QS. Al-Isrá`: 31)

Sedangkan ayat ini berlaku bagi seseorang yang membunuh anaknya karena takut ditimpa kemiskinan. Di samping itu, di antara mereka ada yang biasa mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup karena takut dengan aib,

sehingga Allah عز وجل berfirman

“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya. Karena dosa apa dia dibunuh?”

(QS. At-Takwír: 8-9)

Rasulullah ﷺ melarang mereka membuat-buat kedustaan dan menuduh orang lain dengan tuduhan-tuduhan keji. Hal ini mencakup bersumpah palsu, melakukan qaæaf (tuduhan berzina) kepada orang mukmin laki-laki dan perempuan, dan membicarakan orang lain dengan sesuatu yang tidak ada pada diri mereka.

Nabi ﷺ bersabda

“Apakah kalian tahu apakah gibah itu?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau melanjutkan, “Engkau membicarakan tentang saudaramu tentang sesuatu yang tidak ia sukai.” Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana menurutmu jika apa yang aku bicarakan tersebut ada pada saudaraku itu?” Nabi menjawab, “Jika apa yang engkau bicarakan tentang dirinya itu benar, maka engkau telah menggibahnya. Namun jika tidak, maka engkau telah memfitnahnya.” [3] 


2. Kemudian Nabi ﷺ memberitahukan kepada mereka bahwa barang siapa di antara mereka yang teguh di atas baiat tersebut, maka ia akan mendapatkan pahala dari Allah Ta’ala, yaitu keridaan-Nya dan masuk surga.

Allah عز وجل  berfirman

“Bahwa orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya, maka sesungguhnya dia melanggar atas (janji) sendiri; dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan memberinya pahala yang besar.”  

(QS. Al-Fatñ: 10)

Barang siapa yang mendapatkan hukuman had karena perkara yang dilarang oleh Allah, kemudian ia dihukum di dunia dan dijatuhi hukuman had, maka hal itu menjadi pembersih bagi dirinya dari dosa dan penggugur hukuman di akhirat. Barang siapa yang dikenakan hukuman had karena zina, mencuri, minum minuman keras, melakukan qaæaf, dan sebagainya di dunia, maka ia tidak akan dihukum di akhirat. Barang siapa yang aibnya ditutup oleh Allah  عز وجل dan tidak dihukum atas perbuatan dosanya itu di dunia, maka urusannya kembali kepada Allah عز وجل. Bila berkehendak, Allah akan menghukumnya karena dosanya itu kemudian memasukkannya ke dalam surga. Namun jika berkehendak, Dia akan mengampuninya.

Implementasi

1. (1) Tauhid adalah ketaatan yang paling agung yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah. Oleh karena itu, “Sebaik-baik zikir adalah ucapan lā ilāha illallāh (tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah).”[4]  Sedangkan perbuatan syirik merupakan dosa besar yang paling besar. Syirik adalah kezaliman besar yang tidak akan diampuni oleh Allah عز وجل. Maka, setiap Muslim harus meluruskan tauhidnya kepada Allah dan membersihkannya dari setiap seluk-beluk kesyirikan.

2. (1) Pada hadis di atas, Nabi ﷺ memulai dengan yang paling penting, kemudian dengan yang penting. Beliau memulai baiat dengan tauhid dan menolak kesyirikan, kemudian beliau melanjutkan dengan larangan berbuat zina, mencuri, membunuh, dan sebagainya. Oleh karena itu, seorang dai, ulama, dan pendidik harus bersungguh-sungguh terhadap hal yang paling penting, lalu memprioritaskannya daripada yang lain.

3. (1) Sesungguhnya seorang mukmin (yang sempurna keimanannya) tidak akan pernah mencuri, juga tidak akan mencari-cari apa yang tidak ia miliki. Karena ia mengetahui bahwa Allah Ta’ala telah membagi rezeki dengan kebijaksanaan-Nya, dan ia meyakini bahwa rezekinya telah tertulis dalam Lauhulmahfuz sebelum Allah Ta’ala menciptakan langit dan bumi.

4. (1) Seorang mukmin mengetahui bahwa Allah Ta’ala akan meminta pertanggungjawaban atas harta bendanya; dari mana ia memperolehnya, dan bagaimana ia membelanjakannya? Oleh karena itu, ia adalah orang yang paling mustahil mengambil harta orang lain tanpa alasan yang dapat dibenarkan.

5. (1) Seorang mukmin menghindari perbuatan zina. Sebab, ia mengetahui bahwa Allah Ta’ala mengharamkan zina dan menekankan pengharamannya, sampai-sampai Allah menjadikannya sebagai dosa besar.

Dari Abdullah bin Mas’ud, beliau berkata

“Aku pernah bertanya kepada Nabi ﷺ, ‘Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?’ Beliau menjawab, ‘Engkau menyekutukan Allah, padahal Dialah yang menciptakanmu.’ Aku menimpali, ‘Sesungguhnya hal itu benar-benar besar.’ Aku bertanya lagi, ‘Lalu apa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Engkau membunuh anakmu, karena takut ia akan makan bersamamu.’ Aku berkata, ‘Lalu apa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Engkau berzina dengan istri tetanggamu.’”[5]  


Hal itu juga dibenarkan oleh firman Allah جل وعلا

“Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina; dan barang siapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat hukuman yang berat, (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari Kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina.”

(QS. Al-Furqán: 68-69)

6. (1) Membunuh jiwa adalah kejahatan besar di sisi Allah Ta’ala. Allah سبحانه وتعالى mengancam pembunuh dengan hukuman yang paling berat.

Allah سبحانه وتعالى berfirman

“Dan barang siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.”

(QS. An-Nisá`: 93) 

Oleh karena itu, seorang Muslim tidak boleh menumpahkan darah orang lain tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Sebab, tidak masuk akal bagi orang yang berakal untuk membunuh sedangkan ia mengetahui hukuman mengerikan yang menunggunya di akhirat. 

7. (1) Beriman kepada Allah Ta’ala dan rida dengan segala ketetapan-Nya adalah pangkal kebahagiaan dan ketenangan di dunia. Ketika seorang hamba mengetahui bahwa rezekinya berada di tangan Allah Ta’ala, maka banyak atau sedikitnya keturunan tidak akan berpengaruh baginya. Hatinya akan tenang dan senang. Tidak akan terganggu dengan banyaknya anak-anaknya, apalagi dengan perasaan khawatir terhadap kemiskinan yang akan membinasakan mereka.

8. (1) Jika pembunuhan termasuk salah satu dosa besar, maka membunuh anak-anak lebih besar lagi dosanya. Sebab, dalam perbuatan tersebut terdapat upaya memutuskan hubungan kekeluargaan, menyalakan api permusuhan di antara keluarga, menghancurkan rumah tangga, terlebih lagi adanya prasangka buruk kepada Allah جل وعز.

9. (1) Mengobarkan, membuat-buat, dan menyebarluaskan desas-desus tanpa memastikan kebenarannya, sejatinya bertentangan dengan ajaran agama yang benar. Oleh karena itulah, Allah   عز وجل melarang kita melakukan hal tersebut.

Dia berfirman

“Dan mengapa kamu tidak berkata ketika mendengarnya, ‘Tidak pantas bagi kita membicarakan ini. Mahasuci Engkau, ini adalah kebohongan yang besar.’ Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali mengulangi seperti itu selama-lamanya jika kamu orang beriman.”  

(QS. An-Núr: 16-17)

Allah juga mengancam orang-orang yang mengobarkan berbagai fitnah dengan firman-Nya

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

(QS. An-Núr: 19)

10. (1) Nabi ﷺ membatasi kewajiban untuk taat kepada beliau dalam hal kebaikan, padahal beliau sendiri hanya memerintahkan yang baik, sehingga hal tersebut menjadi dasar dalam semua bentuk ketaatan. Maka, tidak boleh taat kepada seseorang, siapa pun itu, apakah ayah, wali, atau sebagainya, kecuali dalam hal kebaikan. Sebab, tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Khaliq.

11. (2) Penegakkan hukuman had adalah penghapus dosa bagi pelakunya. Maka, tidak seorang Muslim tidak boleh mencela orang yang dijatuhi hukuman had. Ketika Khalid رضي الله عنه mencela perempuan yang dijatuhi hukuman had, Nabi ﷺ bersabda kepadanya

“Jangan tergesa-gesa, wahai Khalid. Demi †at yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sungguh ia telah bertobat yang sekiranya penarik pajak (cukai) bertobat, niscaya ia akan diampuni.”[6] 

12. (2) Ketahuilah bahwa hak-hak hamba tidak akan gugur dengan hanya sekadar bertobat, akan tetapi sampai hak-hak yang diambil dan dikembalikan kepada pemiliknya. Maka, bersungguh-sungguhlah untuk terbebas dari dosa-dosa terhadap orang lain sebelum bersikap saling merelakan dengan perbuatan baik dan perbuatan buruk.

13. (2) Jika seorang Muslim melakukan suatu dosa maka dia dianjurkan untuk menutupi aib dirinya, bertobat kepada Allah Ta’ala dan tidak membiarkan dirinya terkena hukuman had atau terkena aib. Dalam hal ini, Má’iz pernah mendatangi Abu Bakar Aÿ-Ÿiddiq رضي الله عنه , lalu ia mengatakan kepadanya bahwa ia telah melakukan perbuatan zina. Mendengar hal tersebut, Abu Bakar berkata, “Apakah engkau pernah mengatakan hal ini kepada orang lain selain kepadaku?” Ia menjawab, “Tidak.” Lantas Abu Bakar berujar, “Bertobatlah kepada Allah dan tutuplah aibmu dengan perlindungan Allah. Sebab, sesungguhnya Allah menerima tobat dari hamba-hamba-Nya.” Namun, jiwanya tidak bisa menerima hingga ia mendatangi Umar bin Al-Khaþþab رضي الله عنه. Lalu, ia mengatakan kepada Umar persis sebagaimana yang ia katakan kepada Abu Bakar رضي الله عنه. Namun, jiwanya tidak bisa menerima hingga ia mendatangi Rasulullah ﷺ, sampai kemudian hukuman had dikenakan terhadap dirinya.[7]

Referensi

  1. HR. Al-Bukhari (4477) dan Muslim (86).
  2. HR. Al-Bukhari (2475) dan Muslim (100).
  3. HR. Muslim (2589).
  4. HR. At-Tirmizi (3383) dan Ibnu Majah (3800).
  5. HR. Al-Bukhari (4477) dan Muslim (86).
  6. HR. Muslim (1695).
  7. HR. An-Nasa`í dalam As-Sunan Al-Kubrā (16999) dari Sa’id bin Al-Musayyab r secara mursal.



1. Nabi ﷺ merasa kagum dengan urusan dan perkara seorang mukmin bersama Allah سبحانه وتعالى, yaitu kagum dalam hal kebaikan dan kegembiraan, karena seorang mukmin pada semua kondisinya tetap meraih keberuntungan dan pahala.

2. Apabila Allah memberinya suatu kenikmatan yang menyenangkan terkait diri, harta, atau keluarganya, sebagai timbal balik darinya dia bersyukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat tersebut, sehingga akibat dari rasa syukurnya merupakan kebaikan baginya, karena Allah Ta’ala akan menambah nikmat-Nya dan memberinya pahala atas kesyukurannya.

3. Apabila Allah mengujinya dengan sesuatu yang membahayakan dan menyakiti dirinya, ia bersabar atas musibah tersebut, rela menerimanya, serta berharap pahala dan ganjaran di sisi Allah Ta’ala, maka Allah pun memberinya ilham untuk bersabar dan menghiburnya, serta melimpahkan karunia kepadanya sebagai balasan atas kesabaran dan keridaannya. 
Hadis ini mencakup semua ketetapan Allah Ta’ala terhadap hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya Allah menguji mereka dengan keburukan atau kebaikan, Allah سبحانه وتعالى berfirman

“Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan.”

(QS. Al-Anbiya`: 35)

. Apabila seorang mukmin bersabar menghadapi sebuah keburukan dan tetap bersyukur atas kebaikan, maka keimanannya sempurna. Karena itulah, para salaf mengatakan, “Iman itu terbagi dua: separuh bersabar dan separuhnya lagi bersyukur, sebagaimana firman-Nya Ta’ala,

“Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.”  [1]

(QS. Ibrahim: 5)

Implementasi

1. (1) Seorang mukmin sejati yang rida terhadap ketetapan dan takdir Allah Ta’ala, bersabar atas apa pun yang menimpa dirinya, bersyukur atas nikmat Allah Ta’ala kepada dirinya, maka semua urusannya berjalan dengan baik. Maka semangatlah untuk bisa mencapai derajat sosok yang rida dan bersyukur, sehingga kedudukanmu akan tinggi dan kebaikan-kebaikanmu akan dilipatgandakan.

2. (2) Bersyukurlah atas nikmat-nikmat Allah سبحان الله kepadamu yang tak terhitung dan tak terhingga. Betapa banyak nikmat terkait agama, dunia, jiwa, kesehatan, pengajaran, perniagaan, pekerjaan, keluargamu, sedangkan engkau tenggelam dan terlena di dalamnya, tidak menunaikan hak-Nya dengan bersyukur dan mengakui nikmat-Nya!

3. (2) Sikap bersyukur akan menambah nikmat dan menjadikan berkah, bersyukurlah niscaya akan bertambah.

4. (3) Hadapilah ujian dengan hati seorang mukmin yang tahu bahwa apa saja yang menimpanya tidak akan terluput darinya, dan takdir Allah pasti terjadi.

5. (3) Jangan sampai engkau merasa gelisah terhadap takdir Allah, karena cobaan pasti akan datang. Orang yang sabar kelak akan mendapatkan pahala dan pertolongan, sementara orang yang putus asa, mendapat dosa dan kehinaan.

6. (3) Sa’id bin Jubair رحمه الله pernah mengatakan, “Bersabar merupakan pengakuan seorang hamba kepada Allah bahwa apa yang menimpa dirinya berasal dari-Nya, mengharap ganjaran dan pahala di sisi Allah, bisa saja seseorang merasa resah namun ia tetap bertahan dan tidak terlihat darinya melainkan dalam keadaan bersabar.” [2]

7. (3) Ibnu Rajab رحمه الله pernah mengatakan, “Orang-orang yang rida terkadang memperhatikan hikmah dari †at yang memberi cobaan dan kebaikan kepada hamba-Nya dalam menghadapi cobaan tersebut, dan tidak berprasangka buruk terhadap ketentuan-Nya. Terkadang mereka memperhatikan pahala rida terhadap takdir, sehingga mereka lupa rasa pedih yang mereka alami. Terkadang juga mereka memperhatikan kebesaran, kemuliaan, dan kesempurnaan †at yang memberi cobaan, sehingga larut dalam menyaksikan hal itu, sampai-sampai ia tidak merasa sakit lagi. Hal ini hanya bisa dicapai oleh orang-orang tertentu yang mengenal dan mencintai Allah, hingga bisa jadi mereka malah menikmati cobaan yang sedang mereka alami. Hal tersebut karena perhatian mereka adalah cobaan yang bersumber dari †at yang mereka cintai, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian ulama, ‘Allah memberikan kenikmatan kepada mereka dalam menghadapi cobaan-Nya .’” [3]

8. (3) Seorang tabiin pernah ditanya mengenai kondisinya yang saat itu sedang sakit, ia menjawab, “Kondisi yang paling Dia suka, itulah kondisi yang paling aku suka.” [4]

9. (2, 3) Umar bin Al-Khaþþab  رضي الله عنه berkata, “Seandainya bersabar dan bersyukur layaknya dua unta, aku tidak peduli mana yang akan aku tunggangi.” [5]

10. Seorang penyair menuturkan, Termasuk suatu musibah bahwa syukurku diam membisu atas apa yang aku lakukan, dan kebaikan-Mu berbicara Dan aku melihat kebaikan-Mu, kemudian aku sembunyikan Berarti aku pencuri atas kemurahan †at Yang Mahamulia
11. Penyair lain menuturkan, 
Jika syukurku atas nikmat Allah juga termasuk nikmat Wajib bagiku bersyukur dengan kenikmatan semisalnya Bagaimana tidak, rasa bersyukur timbul hanya karena karunia-Nya Meski hari-hari cukup panjang dan umur terus berlanjut Jika mengalami kebahagiaan, kebahagiaan akan merata Jika mengalami kesusahan, setelahnya adalah pahala Di dalam keduanya tetap ada kenikmatan Yang tidak bisa digambarkan oleh angan, rahasia, dan terang-terangan 

Referensi

  1. Jámi’ Al-Masá`il karya Ibnu Taimiyah -Al-Majmu’ah Al-Úlá - (hal. 165).
  2. ‘Uddah Aÿ-Ÿábirín wa †akhírah Asy-Syákirin karya Ibn Al-Qayyim (hal. 97).
  3.   Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-ôikam karya Ibnu Rajab (1/487).
  4.    Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-ôikam karya Ibnu Rajab (1/487).
  5.    ‘Uddah Aÿ-Ÿábirín wa †akhírah Asy-Syákirin karya Ibn Al-Qayyim (hal. 94).



1. Nabi ﷺ memerintahkan umatnya untuk komitmen dengan kejujuran, karena kejujuran mengantarkan pelakunya kepada kebajikan. Kebajikan sendiri adalah sebuah istilah yang mencakup segala jenis kebaikan. Kebajikan akan mengantarkannya masuk ke dalam surga. Seorang Muslim yang jujur dan membiasakan diri berlaku jujur dengan tetap melakukannya dalam setiap kondisi, baik ketika senang maupun susah, maka ia akan ditulis di sisi Allah  sebagai seorang siddíq.

Aÿ-Ÿiddíq adalah orang yang selalu jujur dan tidak pernah berdusta. Jika seorang hamba terus menerus berlaku jujur maka Allah mencatatnya sebagai seorang siddíq di sisi-Nya. Kemudian Allah Ta’ala membuatnya terkenal dengan sifat itu di tengah-tengah manusia untuk memuliakannya. Allah  juga menjadikannya disukai oleh orang banyak. Lebih dari itu, ia akan terkenal di kalangan para malaikat yang mulia karena kejujurannya. Pada hari kiamat, Allah akan mengumpulkannya bersama golongan orang-orang yang jujur. Mereka ini adalah manusia yang paling tinggi kedudukannya setelah para nabi. Allah berfirman,

“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, orang-orang yang jujur, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”

(QS. An-Nisá`: 69)

Allah  memerintahkan untuk berlaku jujur dan bergaul dengan orang-orang yang jujur, sebagaimana firman-Nya,

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.”

(QS. At-Taubah: 119)

Nabi ﷺ juga mengabarkan bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang jujur.

Dari Abdullah bin Amr bin Al-Aÿ, beliau berkata

“Rasulullah ﷺ satu ketika pernah ditanya, ‘Siapakah manusia yang paling utama?’ Nabi ﷺ menjawab, ‘Setiap orang yang bersih hatinya dan jujur lisannya.’” [1]


2. Nabi ﷺ juga memperingatkan umatnya dari dusta, karena dusta adalah puncak segala keburukan dan menyebabkan kerusakan dan maksiat. Pada akhirnya, akan menjerumuskan pelakunya ke dalam api neraka. Nabi ﷺ menjelaskan bahwa jika seseorang terbiasa berdusta maka akan dicatat di sisi Allah Ta’ala sebagai pendusta. Kemudian Allah Ta’ala membuatnya terkenal dengan julukan tersebut di tengah-tengah manusia sebagai bentuk penghinaan dan penistaan terhadapnya. Kemudian ia dihinakan di tengah-tengah malaikat yang mulia dan dihimpunkan pada hari kiamat bersama golongan kaum munafik. 

Nabi ﷺ juga menjelaskan bahwa dusta adalah sifat kaum munafik dan tanda kemunafikan. Nabi ﷺ bersabda, “Tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan jika diberi amanah, ia berkhianat.” [2]

Nabi ﷺ juga menjadikan barometer kesalehan atau kebobrokan seorang hamba pada lisannya.

Nabi ﷺ bersabda

“Tidak lurus iman seorang hamba hingga hatinya lurus. Dan tidak akan lurus hatinya hingga lisannya lurus.” [3]

1. (1) Berkomitmenlah untuk berlaku jujur, karena kejujuran adalah batas yang membedakan antara kemunafikan dan keimanan. Kejujuran juga merupakan pembeda antara ahli surga dan ahli neraka.

2. (1) Kejujuran adalah akhlak tertinggi dalam Islam. Oleh karena itu, Allah Ta’ala mengarahkan hamba-Nya untuk selalu bersama orang-orang yang jujur. Allah  menjadikan balasan bagi orang-orang yang melakukan ketaatan adalah dikumpulkan bersama orang-orang yang jujur. Ini semua menunjukkan agungnya kedudukan orang yang jujur dan dekatnya mereka dengan Allah Ta’ala. Apakah hal ini tidak memotivasi kita untuk berlaku jujur?

3. (1) Allah  mengutamakan lisan daripada seluruh anggota tubuh lainnya, mengangkat derajatnya, dan menjelaskan fadilatnya atas seluruh anggota tubuh, yaitu dengan menjadikannya sarana untuk mengucapkan kalimat tauhid. Maka tidak layak bagi seorang Muslim membiasakan lisannya untuk berdusta. Dia wajib berlaku jujur dan melakukan segala sesuatu yang bermanfaat untuk kehidupan dunia dan akhiratnya, karena sesungguhnya lisan itu tergantung dari pembiasaannya. Jika terbiasa jujur, maka menjadi seorang jujur dan jika terbiasa dusta maka menjadi pendusta.

4. (1) Jika engkau ingin dikenal sebagai orang yang baik di tengah-tengah manusia, maka janganlah melakukan perbuatan yang membuat mereka menuduhmu berdusta dan melakukan sesuatu yang mencurigakan. Jadilah seorang yang jujur, maka Allah akan mencatatmu sebagai seorang yang jujur dan menjadikanmu dipandang baik di tengah-tengah manusia.

5. (1) Jujur dalam perkataan akan mengangkat derajat seorang hamba di dunia dan akhirat. Luqman Al-Hakim pernah ditanya, “Bagaimana engkau meraih kedudukanmu seperti yang kami lihat?” Beliau menjawab, “Jujur dalam berbicara, menunaikan amanah, dan meninggalkan hal yang tidak berguna untukku.” [4]

6. (1) Jujur adalah salah satu sifat Allah Ta’ala. Allah berfirman,

“Siapakah yang lebih benar (jujur) perkataan(nya) daripada Allah?”

(QS. An-Nisá`: 87)

Allah  juga berfirman,

“Siapakah yang lebih benar (jujur) ucapannya daripada Allah?

(QS. An-Nisá`: 122)

Mengapa kita tidak mengikuti sifat-sifat Allah ?  [5]

7. (1) Jika engkau ingin memperbaiki perbuatanmu, maka mulailah dengan memperbaiki perkataanmu. Jangan berbicara kecuali dengan jujur, karena kejujuran mengantarkan kepada kebajikan. Yunus bin Ubaidillah berkata, “Aku tidak melihat seorang pun yang mempunyai perhatian terhadap lisannya, kecuali pasti aku melihat seluruh amalnya dalam kebaikan.” [6]

8. (1) Jangan pernah menyangka keselamatan ada pada kebohongan. Bisa jadi tipu muslihat dan kebohonganmu bisa menipu manusia, tapi pasti tidak akan terlepas dari pengetahuan Tuhanmu. Maka komitmenlah untuk berlaku jujur agar engkau selamat. Ka’ab bin Malik  ketika tidak mengikuti perang Tabuk, lalu orang-orang munafik mendatangi Nabi ﷺ untuk meminta uzur dengan kebatilan dan kebohongan, namun Ka’ab menolak untuk berbohong dan tetap berkata jujur kepada Nabi ﷺ. Maka balasannya adalah Allah Ta’ala menerima tobatnya dan menurunkan beberapa ayat tentang dirinya yang dibaca oleh kaum Muslimin. Kemudian Allah menutupnya dengan firman-Nya,

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang jujur.” (QS. At-Taubah: 119)

(QS. At-Taubah: 119)

9. (1) Seorang penyair menuturkan, 
Jika berbagai macam urusan bercampur  maka kejujuran adalah yang paling mulia hasilnya Kejujuran mengikat di atas kepala 
orang yang jujur berupa mahkota Kejujuran bagaikan ujung kayu yang mengeluarkan  pelita yang menerangi setiap penjuru 


10. (2) Allah Ta’ala mengancam para pendusta dengan siksa di neraka, wal’iyaæu billáh. Allah Ta’ala berfirman,

“Celakalah bagi setiap orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa.”

(QS. Al-Jášiyah: 7)

. Berhati-hatilah dengan azab Allah Ta’ala!

11. (2) Dusta yang paling buruk adalah berbohong atas nama Allah Ta’ala dengan mengharamkan yang dihalalkan Allah  dan menghalalkan yang diharamkan Allah . Ini adalah kebohongan atas nama Allah Ta’ala dan berbicara tanpa ilmu. Allah  berfirman,

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan mereka akan mendapat azab yang pedih.”

(QS. An-Nañl: 116-117)

Jangan sekali-kali berbicara tentang syariat Allah   tanpa ilmu. Katakanlah, “Allahu a’lam. (Allah lebih mengetahui).” Kemudian sampaikan kepada yang bertanya untuk meminta fatwa kepada para ulama. Ini lebih baik daripada terjatuh pada kebohongan atas nama Allah  . 

12. (2) Jauhilah berbohong dalam segala bentuknya. Jangan berbohong, baik ketika serius maupun bercanda. Nabi  pernah bersabda, “Celaka orang yang berbicara dengan berbohong agar orang-orang tertawa. Celaka dia, celaka dia.” [7]

13. (2) Seorang penyair menuturkan,  

Engkau berdusta, siapa yang berdusta maka balasannya  apabila tidak mampu mendatangkan kejujuran, ia tidak akan dipercaya
Jika seorang pendusta dikenal dengan kedustaannya maka di sisi manusia ia dianggap pendusta walaupun ia jujur Di antara keburukan pendusta adalah ia lupa dengan dustanya padahal orang yang cerdas dan berakal mampu mengingatnya

Referensi

  1. HR. Ibnu Majah (4216).
  2. HR. Al-Bukhari (33) dan Muslim (59).
  3. HR. Ahmad (13079).
  4. HR. Abu Nu’aim dalam ôilyah Al-Auliyá` (6/328).
  5.   Mengikuti sifat-sifat Allah yang diperbolehkan secara agama dan bukan sifat khusus bagi Allah adalah perbuatan terpuji, seperti: jujur seperti dalam konteks yang sedang kita bahas ini, malu karena Allah Maha Pemalu, memaafkan karena Allah Maha Pemaaf dan lain sebagainya. Namun ada sifat-sifat Allah yang tidak boleh kita ikuti karena sifat-sifat tersebut hanya khusus bagi Allah seperti sombong dan lain sebagainya (editor).
  6.    HR. Ibn Abi Aÿim dalam Az-Zuhd (113) dan Ibnu Abi Dun-ya dalam Aÿ-Ÿamt (60).
  7. HR. Abu Dawud (4990) dan At-Tirmizi (2315).



Nabi ﷺ menjelaskan bahwa manusia mewariskan dari generasi ke generasi perkataan kenabian terdahulu yang tidak berubah dan tidak dinasakh, yaitu ucapan: “Jika engkau tidak malu, maka lakukanlah apa yang engkau mau.” Ini adalah perkara yang diketahui kebenarannya dan sesuai dengan akal manusia. Konsep dengan karakteristik semacam ini tidak boleh dinasakh dan diganti. [1]
Makna kalimat tersebut adalah bahwasanya rasa malu dapat mencegah seseorang dari berbagai macam keburukan. Sementara, orang yang tidak mempunyai rasa malu maka tidak ada sesuatu pun yang dapat mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar.
Malu adalah akhlak terpuji yang membuat seseorang mengurungkan suatu perbuatan dan meninggalkannya karena khawatir mendapatkan celaan dan cemoohan. Malu adalah puncak keutamaan, karakter dan akhlak. Malu adalah tonggak utama dari cabang-cabang keimanan yang membuat agama seseorang menjadi sempurna. Karena malu menjadi tanda keberadaan iman dan pemandu manusia menuju kebaikan dan petunjuk. Malu adalah akhlak yang dapat mendorong seseorang untuk meninggalkan perkara yang buruk, dan mencegahnya untuk tidak meremehkan hak orang lain. 
Malu yang pertama dan paling utama adalah malu kepada Allah Ta’ala. Yakni, jangan sampai Allah melihatmu melakukan perkara yang dilarang-Nya. Hal ini tidak dapat diwujudkan kecuali dengan mengenal Allah Ta’ala secara sempurna dan merasa selalu diawasi-Nya.

Ini sebagaimana diungkapkan oleh Nabi ﷺ

“Engkau menyembah Allah seakan-akan melihat-Nya, dan apabila engkau tidak mampu menghadirkan perasaan itu, maka ketahuilah bahwa Allah melihatmu.” [2]

Inilah yang dimaksud oleh Nabi ﷺ, ketika beliau menjadikan malu sebagai salah satu cabang keimanan, beliau bersabda, “Malulah kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, alhamdulillah kami mempunyai rasa malu.” Nabi bersabda, “Bukan itu maksudku. Malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah engkau menjaga kepala dan apa yang dipikirkannya, menjaga perut dan apa yang ada di dalamnya, dan hendaklah engkau mengingat kematian dan kehancuran. Barang siapa yang menginginkan akhirat, ia akan meninggalkan perhiasan dunia. Barang siapa yang telah melakukan itu, maka ia telah malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” [3]
Oleh karena itu, Nabi ﷺ menjelaskan bahwa malu adalah salah satu cabang keimanan.[4]  Suatu saat, Nabi  melewati seorang laki-laki yang menegur saudaranya karena malu. Ia berkata, “Engkau ini pemalu!” Seakan-akan ia mengatakan, “Sifat malumu telah mengakibatkan kemudaratan bagimu.” Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Biarkanlah ia, karena sesungguhnya malu adalah sebagian dari iman.”  [5]

Malu itu ada dua jenis: pertama, sifat bawaan, yaitu malu yang dianugerahkan oleh Allah kepada seorang hamba sejak lahir. Hal ini mencegahnya dari melakukan hal-hal yang hina dan buruk, serta mendorongnya untuk melakukan kebaikan. Ini adalah salah satu karunia Allah  yang agung kepada hamba-Nya. Sifat ini termasuk bagian dari keimanan karena sifat tersebut mendorong untuk melakukan sesuatu yang didorong oleh keimanan dengan melakukan kebaikan dan meninggalkan keburukan. Dan bisa jadi, sifat ini mengangkat derajat orang tersebut kepada derajat keimanan setelahnya.
Kedua, malu yang diusahakan. Bisa termasuk dalam cakupan iman, seperti rasa malu seorang hamba di hadapan Allah  pada hari kiamat kelak sehingga membuatnya mempersiapkan diri untuk pertemuan tersebut. Atau bisa jadi rasa malu tersebut termasuk dalam cakupan ihsan, yaitu malunya seorang hamba karena dilihat oleh Allah dan merasa Allah berada di dekat-Nya. Ini adalah sifat iman yang paling tinggi. [6]


1. Malu adalah akhlak yang indah. Dia bisa melembutkan jiwa dan mendorongnya untuk berhias dengan akhlak terpuji, menjauhi perbuatan keji, dan menimbulkan aib. Maka hendaknya setiap Muslim selalu memeriksa rasa malu dalam dirinya dan meningkatkannya.

2. Malu adalah akhlak Nabi . Beliau adalah orang yang sangat pemalu. Abu Sa’id Al-Khudri  berkata, “Nabi itu lebih pemalu daripada gadis dalam pingitannya Apabila beliau tidak menyukai sesuatu, kami dapat mengetahuinya dari roman mukanya.”[7]  Nabi juga bersabda mengenai kalimullah, Musa

“Musa adalah seorang laki-laki yang pemalu dan tertutup. Tidak pernah terlihat kulitnya sedikit pun, karena malu kepada Allah .”[8]

  Bukankah kita harus mengikuti para nabi?

3. Barang siapa yang ingin masuk surga maka hendaklah berusaha memiliki rasa malu. Karena di antara keutamaan rasa malu adalah mengantarkan pelakunya ke surga yang luasnya seluas langit dan bumi.

Nabi ﷺ bersabda

“Malu adalah sebagian dari iman dan iman itu tempatnya di surga. Sifat yang keji adalah keburukan, dan keburukan tempatnya di neraka.”  [9]

4. Malu adalah perhiasan akhlak. Barang siapa yang berhias dengannya, ia akan menjadi seorang yang terpuji di sisi Allah Ta’ala dan di mata manusia. Orang yang menanggalkan rasa malu dari dirinya, ia tercela di sisi Allah Ta’ala dan di mata manusia.

Nabi ﷺ  bersabda

“Tidaklah rasa malu ada pada sesuatu kecuali akan menghiasinya, dan tidaklah perbuatan keji ada pada sesuatu kecuali akan mencemarinya.” [10]

5. Malu adalah akhlak rabbani. Cukuplah menjadi kemuliaan bagi seorang pemalu bahwa ia mengikuti sifat Allah Ta’ala.

Nabi ﷺ bersabda

“Sesungguhnya Tuhan kalian Maha Pemalu lagi Mahamulia. Dia malu dari hamba-Nya jika kedua tangannya sudah diangkat (untuk berdoa) kepada-Nya, kemudian Dia membiarkan tangannya kosong, yaitu tidak mengabulkan doanya.” [11]

6. Al-Fuðail bin ‘Iyað  berkata, “Lima hal yang menjadi tanda kebinasaan: hati yang keras, mata yang kering [12], sedikit rasa malu, rakus terhadap dunia, dan panjang angan-angan.” [13]

7. Seorang penyair menuturkan, 
Jika engkau tidak merasa takut di penghujung malam 
Tidak pula kau merasa malu, lakukan apa yang kau mau
Demi Allah, tidak ada kebaikan dalam hidup 
juga tidak ada kebaikan di dunia, jika malu telah sirna
Seseorang hidup dalam kebaikan selama punya malu 
 karena batang kayu tetap ada selama tertutup kulitnya

8. Penyair lain menuturkan, 
Jika seseorang tidak punya rasa malu, sungguh 
wajar dia melakukan segala keburukan
Sedikit rasa malunya dalam segala hal, rahasianya
diumbar, kami menganggapnya khianat dan kesombongan
Ia anggap cacian sebagai pujian, kehinaan sebagai kemuliaan 
Ia enggan mendengarkan wejangan tentang malu
Wajah rasa malu terbungkus kulit yang tipis 
ia benci dengannya, keburukannya sangat banyak
Ia mempunyai keinginan dalam urusannya namun tak memiliki
kesopanan, orang yang bodoh tenang dengan kebodohannya
Lapangkanlah pemuda selagi ia memiliki rasa malu karena 
ia akan kembali kepada keadaan terbaik orang yang kembali

Referensi

  1. Ma’álim As-Sunan karya Al-Khaþþabí (3/109-110).
  2.  HR. Al-Bukhari (50) dan Muslim (8).
  3.  HR. At-Tirmizi (2458).
  4.  HR. Al-Bukhari (9) dan Muslim (35).
  5. HR. Al-Bukhari (6118).
  6.   Lihat: Fatñ Al-Bárí karya Ibnu Rajab (1/102).
  7.    HR. Al-Bukhari (3562) dan Muslim (67).
  8.    HR. Al-Bukhari (2404).
  9.    HR. Ahmad (10512), At-Tirmizi (2009), dan Ibnu Majah (4184).
  10. HR. At-Tirmizi (2009) dan Ibnu Majah (1974) dan Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (601).
  11.   HR. Ibnu Majah (3865).
  12.    Tidak pernah menangis karena Allah Ta’ala. (editor)
  13.    HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Ímán (10/182) dan Ibnu Asákir dalam Tarikh Dimasyq (48/416).



1. Nabi ﷺ menjelaskan beberapa akhlak mulia yang harus dimiliki seorang mukmin, di antaranya adalah memuliakan tetangga. Seorang mukmin dituntut untuk memuliakan tetangga dan menunaikan haknya. Di antaranya dengan cara berbuat bajik dan baik kepadanya, selalu memperhatikan kondisinya, berbicara kepadanya dengan lemah lembut, membantunya ketika membutuhkan, dan tidak menyakitinya dengan ucapan ataupun perbuatan. 
Oleh karena itulah, Allah memberi wasiat untuk berbuat ihsan kepada tetangga dalam firman-Nya, 

“ Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.”

(QS. An-Nisá`: 36)


Bahkan, Jibril   berkali-kali turun menemui Nabi Muhammad , mewasiatkan beliau untuk berbuat baik kepada tetangga. Nabi ﷺ bersabda,

“Jibril senantiasa berwasiat kepadaku (untuk berbuat baik) kepada tetangga, sampai-sampai aku mengira ia akan berwasiat bahwa tetangga akan mendapat jatah warisan.” [1]


Nabi  ﷺ juga bersumpah bahwa orang yang menyakiti tetangganya berarti keimanannya kurang. Nabi   bersabda,

“Demi Allah, dia tidak beriman; demi Allah, dia tidak beriman; demi Allah, dia tidak beriman (tidak sempurna imannya)!” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah dia gerangan, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(Yaitu) orang yang tetangganya tidak selamat dari keburukannya.”  [2]


2. Rasulullah  ﷺ juga menjelaskan tentang urgensi memuliakan tetangga dan menjadikannya sebagai tanda keimanan kepada Allahdan hari akhir. Beliau memberitahu bahwa hadiah dan pemberian terbaik yang diberikan tuan rumah kepada tamunya adalah dengan memuliakannya dan menjamunya dengan makanan yang paling enak dan menyediakan tempat tidur untuk dia bermalam selama sehari semalam. Setelah itu, ia boleh menjamunya dengan makanan yang sama dengan yang dimakan oleh keluarganya dengan tanpa memaksakan diri. Jamuan tamu yang sempurna selama tiga hari. Jika tuan rumah berkenan tamunya tinggal di rumahnya setelah itu, hal itu merupakan sedekah dan bentuk kedermawanan. Akan tetapi, ia tidak wajib untuk melakukan hal itu, karena ia sudah menyempurnakan penjamuan selama tiga hari. 
Nabi ﷺ memerintahkan untuk menjamu dengan makanan terbaik dan tempat tidur yang nyaman di hari pertama karena sang tamu baru saja datang dari perjalanan yang membuatnya merasa penat dan lelah. Maka sudah selayaknya ia dimuliakan agar dapat beristirahat. Juga agar tamu merasa nyaman kepada tuan rumah, hingga timbul ikatan persaudaraan dan kasih sayang antara sesama kaum Muslimin. Untuk hari setelahnya, tuan rumah tidak perlu memaksakan diri untuk menjamu tamunya, tapi cukup memberikan apa yang dia mampu.

3. Nabi ﷺ kemudian menjelaskan akhlak yang ketiga, yaitu bahwa seorang mukmin harus memperhatikan ucapan yang keluar dari lisannya. Jika ia yakin ucapannya mengandung kebaikan atau menjadi sarana terwujudnya kebaikan, maka hendaklah ia mengutarakannya. Namun bila sebaliknya, maka lebih baik ia diam, karena diam adalah ganimah bagi seorang mukmin jika ternyata apa yang akan dikatakannya mengandung kemaksiatan atau menimbulkan terjadinya kemaksiatan. Karena setiap Muslim akan dihisab oleh Allah  terkait semua perkataan yang keluar dari mulutnya. Allah Ta’ala berfirman,

“Tidak ada suatu kata yang diucapkan pun melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).”  

(QS. Qáf: 36)


Nabi ﷺ juga bersabda

“Sungguh, ada seorang hamba berbicara dengan perkataan yang mengundang rida Allah, meskipun dia tidak terlalu memperhatikannya, namun dengan sebab satu kalimat itu maka Allah mengangkat beberapa derajatnya. Dan sebaliknya, ada seorang hamba berbicara dengan perkataan yang mengundang murka Allah, meskipun dia tidak terlalu memperhatikannya, namun dengan sebab satu kalimat itu maka ia jatuh ke dalam neraka Jahanam.” [3]


Hadis ini termasuk salah satu hadis yang menghimpun pintu-pintu kebaikan, hingga para ulama menyatakan bahwa adab Islam berporos pada empat hadis: yang pertama, hadis ini; yang kedua, hadis, “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah ia meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya”; yang ketiga, hadis Nabi ﷺ ketika beliau meringkas nasihatnya dengan mengatakan, “Jangan marah”; dan yang keempat, hadis, “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga mencintai suatu kebaikan untuk saudaranya seperti yang ia mencintainya untuk dirinya sendiri.” [4]


1. (1) Di antara tanda kokohnya iman dalam hati seorang mukmin adalah ia memuliakan tetangganya dan tidak menyakitinya. Periksalah tanda ini dalam dirimu.

2. (1) Jangan sampai engkau menyakiti tetangga yang menyebabkanmu terhalang dari masuk surga. Rasulullah ﷺ  bersabda,

“Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak selamat dari keburukannya.“ [5]


3. (1) Semakin dekat pintu tetangga maka semakin besar hak yang harus ditunaikan, dan ia lebih berhak dimuliakan. Hendaknya setiap Muslim menunaikan hak tetangganya dengan tidak mencari-cari aib dan keburukannya, selalu memberikan hadiah dan nasihat dakwah serta bertutur kata dengan lemah lembut.

4. Akhlak kepada tetangga tidak terbatas pada memuliakannya, tapi juga termasuk bersabar dengan gangguan yang tidak disengajanya. Al-Hasan Al-Baÿri berkata, “Bertetangga yang baik bukan sekadar tidak menyakiti, tapi yang lebih penting adalah bersabar terhadap gangguannya.” [6]

5. (2) Memuliakan tamu termasuk keimanan kepada Allah Ta’ala dan meneladan sikap para nabi Allah . Al-Qur`an sendiri menyebutkan kedermawanan Nabi Ibrahim Khalilurrahman  . Nabi Muhammad ﷺ juga seorang yang murah hati dan dermawan. Kedermawanannya dalam bersedekah melebihi angin yang berembus. Oleh karena itu, Abdullah bin Amr bin Al-Aÿ   berkata, “Barang siapa tidak menjamu tamu, maka dia bukan pengikut Nabi Muhammad ﷺ, dan bukan pengikut Nabi Ibrahim.” [7]

6. (2) Seorang Muslim harus memuliakan tamu. Tidak selayaknya bagi seorang Muslim menolak orang yang bertamu ke rumahnya apabila ia mempunyai kelapangan. Hendaknya, ia tidak hanya menjamu orang yang dikenalnya saja, tapi juga orang yang tidak ia kenal. Suatu hari, Abu Hurairah   bertamu kepada suatu kaum yang tidak mengenalnya. Mereka tidak mau menerima dan menjamunya. Kemudian, Abu Hurairah  membawa makanan dan mengundang mereka untuk makan. Akan tetapi mereka menolak untuk makan bersamanya. Maka Abu Hurairah   berkata kepada mereka, “Kalian tidak mau menjamu tamu dan tidak mau memenuhi undangan. Sifat kalian ini bukanlah ajaran Islam.” Kemudian, salah seorang di antara mereka ternyata mengenal Abu Hurairah, lalu orang itu pun berkata, “Silakan menginap di rumah kami wahai Abu Hurairah, semoga Allah memaafkanmu.” Maka Abu Hurairah  berkata, “Ini lebih buruk dan lebih buruk. Jadi kalian tidak mau menjamu tamu kecuali yang kalian kenal saja?” [8]
7. (3) Seorang Muslim hendaknya selalu memperhatikan ucapannya. Jangan sampai lisannya berbicara tanpa melihat yang halal maupun yang haram. Umar bin Al-Khaþþab   pernah mengatakan, “Barang siapa yang banyak berbicara, maka banyak salahnya. Orang yang banyak salahnya, maka banyak dosanya. Dan orang yang banyak dosanya, maka api neraka lebih layak baginya.”  [9]

8. (3) Muhammad bin ‘Ajlan   berkata, “Ucapan yang baik itu empat jenis: engkau berzikir kepada Allah; membaca Al-Qur`an; engkau ditanya sesuatu dan kemudian menjelaskannya; atau engkau berbicara tentang masalah dunia yang ada manfaatnya.” [10]

9. (3) Seseorang berkata kepada Sulaiman  , “Berilah aku nasihat!” Sulaiman  berkata, “Jangan berbicara!” Orang itu menjawab, “Mana mungkin orang yang hidup dengan manusia lain tidak berbicara?” Sulaiman pun berkata, “Jika demikian, apabila engkau bicara, maka bicaralah yang benar atau diamlah!” [11]

10. (3) Abu Bakar Aÿ-Ÿiddiq  pernah memegang lidahnya dan berkata, “Inilah yang membawaku kepada kebinasaan.” [12]

11. (3) Abdullah bin Mas’ud  berkata, “Demi Allah yang tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, tidak ada sesuatu pun di atas bumi yang lebih layak untuk dipenjara dalam waktu yang lama selain lidah.” [13]

12. (3) Jagalah lisanmu, maka engkau akan masuk surga. Nabi ﷺ bersabda,

“Siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara kumis dan jenggotnya (ucapannya) dan apa yang ada di antara dua kakinya (kemaluannya), maka aku akan menjaminnya masuk surga.” [14]

Referensi

  1. HR. Al-Bukhari (6015) dan Muslim (2625) dari Ibnu Umar  .
  2.  HR. Al-Bukhari (6016).
  3.  HR. Al-Bukhari (6478) dan Muslim (2988) dari Ibnu Umar  .
  4.  Lihat: Syarñ Ÿañíh Muslim karya An-Nawawi (2/19).
  5.  HR. Muslim (46).
  6.  Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab Al-Hanbali (1/353).
  7.  Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab Al-Hanbali (1/356).
  8.  Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab Al-Hanbali (1/356).
  9.  Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab Al-Hanbali (1/339).
  10.  Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab Al-Hanbali (1/340).
  11.  Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab Al-Hanbali (1/340).
  12.  Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab Al-Hanbali (1/340).
  13.  Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab Al-Hanbali (1/340).
  14.  HR. Al-Bukhari (6474).




1. Allahتبارك وتعالي memerintahkan berbuat baik dalam segala hal. Allah berfirman,

“Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”

(QS. Al-Baqarah: 195) 


Al-Ihsan artinya berbuat kebaikan. Hal ini mencakup seluruh sendi kehidupan. Dalam ibadah, ihsan dilakukan dengan menyembah Allahتبارك وتعالي  seakan-akan melihat-Nya. Ihsan kepada diri sendiri dengan cara menjaganya dari api neraka, dan tidak membebani dengan sesuatu di luar kemampuan. Ihsan kepada orang lain yaitu berinteraksi dengan mereka dengan akhlak Islam dan tidak menzalimi siapa pun, tidak merampas hak orang lain, dan bergaul dengan baik. Engkau menerima kebaikan orang lain dengan membalasnya dengan kebaikan juga; engkau memaafkan orang yang berbuat jahat dengan tidak membalas keburukan dengan keburukan. 


Ada dua kategori ihsan yang diperintahkan: pertama, wajib yaitu bersikap adil, obyektif, menunaikan hak semua orang dan melaksanakan kewajiban yang dibebankan. Kedua, sunnah yaitu melakukan yang lebih dari itu dengan memberikan manfaat kepada orang lain dengan fisik, materi ataupun ilmu; juga membimbing manusia kepada segala hal yang bermanfaat untuk kebaikan dunia dan akhirat mereka. Semua perbuatan baik itu termasuk dalam kategori sedekah.


2. Berbuat ihsan juga diperintahkan dalam membunuh, maka tidak boleh membunuh manusia, baik Muslim maupun kafir kecuali dengan alasan yang benar. Bahkan, seandainya harus membunuh pun wajib dilakukan dengan cara yang ihsan.  Maka tidak boleh menyiksa, tidak boleh membunuh dengan racun, tidak boleh memukuli orang, dan membiarkannya hingga mati. Ketika harus membunuh, haruslah dipilih cara yang paling mudah dan yang paling tidak menyakitkan. [1]
Dalam syariat Islam, ada yang dikecualikan dari hal itu yaitu dalam kasus hukuman bagi orang yang melakukan huru-hara, menumpahkan darah dan membuat kerusakan di atas bumi yang disebut dengan ñad Al-Ôirábah. Hal ini dilakukan agar menjadi pelajaran bagi yang lain hingga takut untuk melakukan kejahatan yang sama.  [2]
Dikecualikan juga dalam hukuman bagi orang yang membunuh. Ia dihukum dengan cara yang sama dengan pembunuhan yang ia lakukan. Jika ia membunuh dengan racun, maka ia juga dijatuhi hukuman dengan cara diracun. Demikian juga jika ia membunuh dengan bidikan anak panah, tembakan pistol, melemparkan dari tempat yang tinggi dan lain sebagainya. Hukumannya disesuaikan dengan tindakan pembunuhan yang ia lakukan. Allah berfirman

“Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.”

(QS. An-Nañl: 126)


Pada zaman Nabi , seorang Yahudi membunuh seorang gadis Muslimah di Madinah dengan batu (kepalanya diimpitkan antara dua buah batu), maka ia pun dibawa ke hadapan Nabi dan kemudian kepalanya diimpitkan antara dua buah batu. [3]
Termasuk dalam berbuat ihsan ketika membunuh adalah tidak memutilasi jasad yang dibunuh atau menyiksanya untuk memuaskan nafsu dendamnya. Hal itu termasuk berlebih-lebihan dalam membunuh yang dilarang oleh Allah melalui firman-Nya,

“Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sungguh, Kami telah memberi kekuasaan kepada walinya, tetapi janganlah walinya itu melampaui batas dalam pembunuhan. Sesungguhnya dia adalah orang yang mendapat pertolongan.”

(QS. Al-Isrá`: 33)


3. Berbuat ihsan juga diperintahkan ketika menyembelih binatang. Tidak boleh menyembelih binatang jika bukan untuk dimakan. Juga tidak boleh menjadikan binatang sebagai target bidikan anak panah atau menembak untuk bersenang-senang maupun dalam perlombaan. Abdullah bin Umar berkata,

“Sesungguhnya Rasulullah  melaknat orang yang menjadikan sesuatu yang mempunyai nyawa sebagai target bidikan.” [4]

Jika ingin menyembelih binatang, maka harus dilakukan dengan baik. Tidak boleh diseret menuju tempat penyembelihan dengan paksa, tidak boleh menyembelih di depan binatang yang lain, dan tidak boleh menguliti dan memotong dagingnya kecuali jika sudah dingin dan benar-benar mati. Bahkan, diperintahkan untuk melakukan hal yang mempermudah kematiannya dan tanpa menyakiti, yaitu dengan cara menajamkan pisau dan alat untuk menyembelih, meletakkannya pada posisi yang nyaman, memotong dua urat, yaitu tenggorokan dan kerongkongan agar mempercepat kematiannya, kemudian membiarkannya hingga mendingin dan rohnya benar-benar telah keluar. 


1. (1) Di antara bentuk ihsan yang paling tinggi kedudukannya adalah berbuat baik kepada orang yang menyakitimu. Allahتبارك وتعالي  menyebutnya sebagai kedudukan mulia yang tidak bisa dicapai kecuali oleh orang yang dikaruniai keimanan dan kesabaran yang tinggi. Allah berfirman,

“Balaslah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia. Dan (sifat-sifat yang baik itu) tidak akan dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar.”

(QS. Fuÿÿilat: 34-35)


2. (1) Balasan akan didapatkan sesuai dengan perbuatan yang dilakukan. Maka berbuat baiklah, niscaya Allahتبارك وتعالي  akan berbuat baik kepadamu, Dia berfirman,

“Tidak ada balasan untuk kebaikan selain kebaikan (pula)”

(QS. Ar-Rañmán: 60)


3. (1) Di antara bentuk ihsan yang wajib adalah berbuat baik kepada keluarga dengan membimbing mereka, bersikap lemah lembut, menyelesaikan urusan dan memenuhi kebutuhan mereka. 
4. (1) Di antara bentuk ihsan yang wajib bagi seorang Muslim adalah melaksanakan kewajiban dan meninggalkan larangan. Seorang Muslim dituntut untuk melaksanakan kewajibannya secara sempurna dengan rukun-rukun dan wajib-wajibnya. Di samping itu, dituntut untuk meninggalkan semua hal yang diharamkan beserta sarana yang mengantarkan kepadanya. 
5. (2) Jika seorang Muslim diperintahkan untuk berbuat ihsan bahkan kepada orang yang wajib dibunuh, maka tidak diragukan bahwa menjaga darah manusia dan berusaha menyelamatkan nyawa termasuk di antara perbuatan ihsan yang paling wajib.
6. (2) Di antara berbuat ihsan dalam membunuh adalah tidak mencaci orang yang telah dijatuhi hukuman mati dengan hukum had dan kisas. Nabi ﷺbersabda tentang seorang wanita dirajam karena berzina kemudian dicaci maki oleh Khalid bin Walid,

“Jangan tergesa-gesa wahai Khalid, demi †at yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh ia telah bertobat yang sekiranya penarik upeti melakukan tobat seperti itu, niscaya ia akan diampuni.” [5]


7. (3) Di antara bentuk ihsan dalam menyembelih adalah orang yang melakukannya adalah orang yang ahli, bukan sembarang orang.
8. (3) Jika engkau akan menyembelih hewan, maka bersyukurlah kepada Allah Ta’ala atas nikmat yang dikaruniakan kepadamu, karena Allah telah menundukkan hewan ternak kepadamu, jika Dia berkehendak, maka Dia bisa membuat hewan itu menundukkanmu (menyerangmu).
9. (3) Usahakan untuk menggunakan pisau yang tajam, memisahkan hewan yang akan disembelih dari yang lain, dan meletakkannya pada posisi yang membuatnya tidak bisa kabur ketika disembelih hingga menyakitinya. Sembelihlah dengan cepat dan jangan perlihatkan pisau sebelum menyembelih. Potonglah dua urat yaitu tenggorokan dan kerongkongan untuk mempercepat kematiannya.
10. Seorang penyair menuturkan, 
Berbuat ihsanlah kepada orang lain, engkau akan dapat menawan hatinya 
karena seringkali ihsan dapat menawan hati orang lain
Orang yang memberi harta, semua orang akan cenderung kepadanya 
dan harta itu selalu menjadi cobaan bagi manusia
Berbuat baiklah ketika mungkin dan mampu 
karena tidak selamanya manusia mendapatkan kesempatan 

Referensi

  1. Contoh kondisi harus membunuh adalah dalam peperangan atau ketika mengeksekusi terpidana mati (penerjemah).
  2. Al-Ôirábah secara bahasa artinya memerangi, yaitu memerangi kaum Muslimin dengan merampas harta mereka, membunuh jiwa mereka, dan membuat keonaran. Al-Ôirábah diancam dengan hukuman yang sangat keras yang dijelaskan dalam Al-Qur`an, “Sesungguhnya hukuman atas orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi adalah dibunuh atau disalib atau dipotong tangan dan kaki secara timbal balik atau diusir dari negeri. Yang demikian itu adalah sebagai penghinaan atas mereka dan bagi mereka azab yang besar di akhirat.” (QS. Al-Má`idah: 33) (penerjemah).
  3.   HR. Al-Bukhari (5295) dan Muslim (1672).
  4.    HR. Muslim (1957).
  5. HR. Muslim (1695).




Melalui hadis ini, Nabi ﷺ memberitahukan beberapa hal yang diwahyukan oleh Allah Ta’ala kepada beliau, bahwa:

1. Keagungan mengandung makna memaksa, mengalahkan, dan memiliki kekuatan, serta keagungan terkait nama dan sifat. Ini tidak layak untuk disandang kecuali bagi Allah Ta’ala, karena sejatinya Dia-lah yang berhak memiliki sifat-sifat tersebut. Keagungan bagi-Nya layaknya sarung. Sarung yang jika pada manusia merupakan kain yang diikat pada bagian tengah badan, yang menutupinya hingga ke bawah. Hakikatnya, keagungan tersebut merupakan tabir dan khusus bagi pemiliknya, serta penutup baginya yang menutupi antara dirinya dan orang lain, maka siapa pun tidak boleh menanggalkannya dari pemiliknya. Keagungan merupakan sifat yang hanya dimiliki oleh Allahتبارك الله , sehingga tidak satu pun makhluk-Nya yang berhak memilikinya hingga ia merasa agung dan mulia di tegah-tengah manusia.
2. Kesombongan menunjukkan ketinggian pemiliknya di atas selainnya. Dia menganggap dirinya lebih mulia dan lebih terhormat daripada mereka. Sifat ini tidak boleh dimiliki kecuali oleh Allah Ta’ala semata, karena Dia-lah yang berhak memiliki sifat-sifat tersebut. Sifat ini ibarat pakaian bagi manusia. Pakaian adalah kain yang dikenakan di atas kedua bahunya yang menutupi tubuhnya bagian atas. Dan hakikatnya, sifat tersebut merupakan tabir dan khusus bagi pemiliknya, serta penutup baginya yang menutupi antara dirinya dan orang lain, maka siapa pun tidak boleh menanggalkannya dari pemiliknya.
Di antara riwayat yang menjelaskan makna hadis ini ialah sebuah riwayat yang populer dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ,

beliau bersabda

“Allah  berfirman, ‘Kesombongan adalah bajuku-Ku dan keagungan adalah sarung-Ku. Barang siapa yang menanggalkan salah satunya, maka Aku akan melemparkannya ke neraka.’”  [1]


Perbedaan antara kesombongan dan keagungan: pemilik sikap sombong perlu objek perbandingan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Nabi ﷺ mengenai sifat sombong, beliau bersabda, “Sombong itu menolak kebenaran dan meremehkan orang lain,”[2]  yakni merendahkan mereka. Sedangkan orang yang merasa agung, ia menganggap bahwa dirinya sempurna, meskipun ia tidak menampakkan kemuliaannya di hadapan orang lain. Merasa diri sebagai sosok yang agung seperti ini biasanya disebut ujub.[3]  Karenanya, tatkala rasa sombong lebih tinggi daripada rasa agung dan terhormat, maka Allah mengumpamakan kesombongan-Nya dengan pakaian, dan mengumpamakan keagungan-Nya dengan sarung, yang pertama pakaian bagian atas, sedangkan yang kedua, pakaian untuk bagian bawah.
3. Barang siapa yang ingin memiliki sifat tersebut, dengan merasa sombong atau paling mulia di antara manusia, niscaya Allah akan melemparkannya ke dalam neraka dan menyiksanya di sana; karena tidak satu pun makhluk yang boleh menyandang sifat itu tersebut. Sebab sifat makhluk adalah tawaduk dan merasa rendah.  [4]
Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya agar tidak berlaku sombong di muka bumi ini dan merasa ujub.

Allah  berfirman

“Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung.” 

(QS. Al-Isrá`: 37)

Allah juga mengabarkan bahwasanya Dia menjadikan neraka sebagai kesudahan orang-orang yang sombong lagi melampaui batas.

Allah Ta’ala berfirman

”Bukankah Neraka Jahanam itu tempat tinggal bagi orang yang menyombongkan diri?” .

(QS. Az-Zumar: 60)



1. (1) (2) Sampaikanlah kebenaran sejelas dan seindah mungkin. Lihatlah hadis qudsi tersebut, betapa indahnya penggunaan kiasan dan ilustrasi yang gamblang, yang menjelaskan dan menjadikan maknanya mudah dipahami. Seyogianya para dai, pemberi nasihat, dan ulama hendaknya menggunakan metode-metode semacam ini.
2. (1) Apakah kita sudah mawas diri untuk mengecek, apakah kita pernah merasa lebih agung daripada orang lain? Bisa jadi ketika seseorang mengoreksi dirinya, maka ia mendapati dirinya pernah merasa bangga dengan dirinya sendiri dan bersikap sombong atas orang lain, entah itu lantaran harta, jabatan, ilmu, kekuatan, status sosial di masyarakat, atau hal lainnya, sehingga ia akan meremehkan orang yang belum ia kenal, orang fakir, bangsa lain, dan sebagainya.
3. (2) Seseorang yang menjaga penampilannya agar tetap indah dan bagus tidak termasuk sikap sombong dan merasa terhormat.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud , dari Nabi ﷺ, beliau bersabda

“Tidak akan masuk ke dalam surga orang yang di dalam hatinya ada sifat sombong.” Salah seorang sahabat bertanya, “Bagaimana jika ada orang yang senang dengan pakaian dan sandalnya yang bagus?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu Mahaindah, dan menyukai keindahan. Sombong ialah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.”[5]

  Sifat sombong yang terlarang adalah menolak kebenaran karena ingkar dan angkuh, serta meremehkan manusia.
4. (2) Hendaklah kita mengagungkan Allah, meresapi maknanya di dalam hati, lisan, dan majelis kita. Kita hapus rasa sombong dalam diri ini, karenanya Allah Ta’ala menjadikan lafaz takbir yaitu "Allahu Akbar" sebagai syiar pada rangkaian shalat, azan, dan doa. Disunnahkan diucapkan saat melewati tempat yang tinggi, seperti di bukit Ÿafa dan Marwa, saat seseorang menyusuri tanjakan, atau naik kendaraan, dan semisalnya. Ada juga riwayat yang mengatakan lafaz tersebut diucapkan saat memadamkan kebakaran, sekalipun apinya besar. Saat azan dikumandangkan, setan juga lari terbirit-birit karenanya. [6]
5. (3) Renungkanlah dirimu yang sejatinya tidak mampu mewujudkan berbagai maslahat pribadi, tidak mampu menggapainya sendiri, dan banyak perkara yang berada di luar kemampuanmu. Hari ini engkau sepakat dengan suatu pendapat, namun esok hari engkau menilai pendapat tersebut salah. Engkau melihat dirimu mampu melakukan sesuatu lalu engkau mengalami kendala karena sebab yang sepela. Dengan demikian engkau tahu bahwa Allah mengharamkan kesombongan karena sombong merupakan sifat milik Allah Ta’ala; bukan untuk makhluk yang sifatnya serba kurang dan rendah. Oleh karena itu, syariat Islam mengharamkan seseorang berhias dengan dua sifat tersebut dan menjadikan keduanya termasuk dosa besar. Orang yang menyangka bahwa dirinya sempurna dan lupa akan karunia Allah Ta’ala terhadap dirinya, maka ia termasuk orang yang tidak mengenali hakikat dirinya sendiri dan Rabbnya. Sifat ini merupakan sifat iblis yang mendorongnya untuk mengatakan

“Aku lebih baik daripada dia.” 

(QS. Al-A’ráf: 12)

Dan termasuk sifat Firaun yang mendorongnya untuk mengatakan

“Akulah tuhanmu yang paling tinggi.”

(QS. An-Nazi’át: 24)

Akibatnya, balasan mereka berdua adalah siksaan yang terberat bagi penghuni neraka.[7]
6. (3) Ada beberapa sifat Allah Ta’ala disukai-Nya apabila hamba-hamba-Nya memilikinya dan berhias dengan sifat tersebut, seperti kasih sayang, ampunan, kemurahan hati, dan yang semisal. Sebab, sifat tersebut pada dasarnya adalah sifat kesempurnaan, jika seseorang mengharapkannya, berarti ia mengharapkan kesempurnaan. Sebagian sifat, Allah khususkan bagi diri-Nya sendiri dan Dia melarang hamba-hamba-Nya untuk berhias dengan sifat tersebut, seperti sifat sombong dan merasa agung, sebab sifat tersebut hanya layak disandang oleh pemiliknya yang sempurna. Apabila orang yang tidak layak menyandang sifat tersebut mengklaim dirinya memilikinya (bersifat dengan sifat tersebut), maka ini batil. 
7. (3) Seorang manusia harus semangat untuk menjauhi sifat sombong dan merasa agung, serta menepis sifat tersebut dari jiwanya setiap kali mendapat kelebihan duniawi; karena kedua sifat tersebut akan menyeret seorang hamba masuk neraka. Sufyan bin Uyainah  menuturkan, “Barang siapa yang maksiatnya terkait nafsu syahwatnya, maka solusinya adalah tobat, karena Adam عليه السلام melakukan maksiat karena hawa nafsu, lalu ia dimaafkan, namun bila maksiatnya terkait sifat kesombongan, maka ditakutkan pelakunya mendapat laknat; karena maksiat iblis berupa sifat sombong, karena itu ia dilaknat.” [8]
8. (3) Obatilah kesombonganmu dengan memperingatkannya dari lawannya. Tatkala orang yang sombong menganggap dirinya besar, maka Allah akan menghukumnya dengan lawan dari kondisi tersebut, berupa kehinaan, kerendahan, dan kenistaan.

Nabi ﷺ bersabda

“Orang-orang yang sombong akan dikumpulkan pada hari kiamat seukuran biji bayam berwujud manusia, ia diliputi kehinaan dari segala sisi.” [9]

Terkadang Allah Ta’ala menyegerakan hukumannya di dunia sebelum di akhirat, sebagaimana yang dialami oleh Qarun tatkala Allah membenamkannya ke dalam bumi, dan juga Firaun ketika Allah  menenggelamkannya.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda,

“Tatkala ada seorang laki-laki bersikap sombong, berjalan dengan baju burdahnya seraya merasa takjub dengan dirinya, lantas Allah membenamkannya ke dalam bumi, ia terus bergerak-gerak sampai hari kiamat.” [10]


9. Kembali introspeksi dirimu, dalam diskusi ilmiah atau sosial, maka kesombongan termasuk faktor utama dalam menolak kebenaran. Sifat tersebut merupakan penyebab kebinasaan banyak umat terdahulu. Dengan sikap angkuh, mereka enggan mengikuti nabi yang telah diutus oleh Allah kepada mereka.

Allah Ta’ala berfirman mengenai kaum Nuh

“Dan mereka tetap (mengingkari) dan sangat menyombongkan diri.”

(QS. Núh: 7)

Allah Ta’ala juga berfirman,

“Dan (juga) Qarun, Firaun, dan Haman. Sungguh, telah datang kepada mereka Musa dengan (membawa) keterangan-keterangan yang nyata. Tetapi mereka berlaku sombong di bumi, dan mereka orang-orang yang tidak luput (dari azab Allah).” .

(QS. Al-Ankabút: 39)

Dia ﷺ juga berfirman,

“Maka adapun kaum 'Ad, mereka menyombongkan diri di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran dan mereka berkata, ‘Siapakah yang lebih hebat kekuatannya dari kami?’” .

(QS. Fuÿÿilat: 15)

Karena itu, Allah Ta’ala menyandingkan kisah tentang kesombongan mereka dengan penjelasan kehancuran mereka; maka seorang muslim harus bersungguh-sungguh untuk menepis sifat sombong dan ujub dari dirinya.
10. (3) Muþarrif bin Abdullah bin Asy-Syikhkhir pernah melihat Yazid bin Al-Muhallab bin Abu Ÿafrah bersikap sombong dalam gaya jalannya sambil mengenakan pakaian yang menjulur ke bawah, lalu Muþarrif mengatakan, “Wahai hamba Allah, gaya jalan semacam ini dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya.” Lalu Yazid menimpali, “Tidakkah engkau mengenal aku?” Muþarrif menjawab, “Aku mengenalmu. Bentuk awalmu mani yang kotor dan kesudahanmu mayat yang busuk, dan saat masih hidup membawa kotoran kemana-mana.” Ia pun mengubah gaya jalannya menjadi seperti biasa. [11]
11. Seorang penyair menuturkan,
Betapa banyak orang bodoh yang tawaduk
Sikap tawaduknya menutup kebodohannya
Betapa banyak orang yang berilmu
Sombong menghancurkan kehormatannya 
Tinggalkan sifat sombong selama hidup
Jangan kau bergaul dengan para pelakunya
Kesombongan adalah aib bagi pemuda
Yang merusak perbuatannya
12. Penyair lain menuturkan,
Wahai kawan, kesombongan adalah perangai yang buruk
Tidak mungkin ada kecuali pada diri orang-orang bodoh
Ujub adalah penyakit yang tidak ada obatnya
Sampai merasakan abadi dalam kehinaan
Tawaduklah terhadap manusia, engkau beruntung bersama mereka
Karena tawaduk, ciri khas para orang-orang bijak
Sekiranya bulan bangga dengan cahayanya sendiri
Niscaya kan kau lihat ia akan jatuh ke tanah

Referensi

  1. HR. Abu Daud (4090) dan Ibnu Majah (4174).
  2. HR. Muslim (91).
  3. Lihat: Al-Mufhim Limá Asykala min Talkhíÿ Kitáb Muslim karya Al-Qurþubí (1/286).
  4. Lihat: Ma’álim As-Sunan karya Al-Khaþþábí (4/196).
  5. HR. Muslim (91).
  6. Majmú’ Fatáwá karya Ibnu Taimiyah (10/196).
  7. Lihat: Al-Mufhim Limá Asykala min Talkhíÿ Kitáb Muslim karya Al-Qurþubí (1/287).
  8. Tahæíb Al-Kamál fi Asmá` Ar-Rijál karya Al-Mizzí (11/191).
  9. HR. At-Tirmiæí (2492).
  10. HR. Al-Bukhari (5789) dan Muslim (2088), ini lafaz riwayatnya.
  11. Wafayát Al-A’yán karya Ibnu Khallikán (6/284) dan Siyar A’lám An-Nubalá` karya Aæ-†ahabi (4/505).



1. Seorang laki-laki datang kepada Nabi ﷺ dan meminta nasihat yang mencakup berbagai kebaikan dan sarana-sarana mencapai kebahagiaan untuk ia ingat (jaga) dan ia amalkan.
2. Maka Nabi ﷺ menasihatinya untuk tidak marah, karena marah adalah kunci segala macam keburukan. Oleh karena itu, menghindari marah menjadi jalan kebaikan. Bahkan, sebagian ulama menafsirkan akhlak mulia dengan meninggalkan kemarahan, karena kemarahan bisa menjadi sebab seseorang membunuh, memukul, mencaci, dan berkata kotor. Marah juga membuat seseorang bersumpah dengan sumpah yang besar, banyak mendorong seseorang menceraikan istrinya, dan memutuskan hubungan dengan karib kerabat. Bahkan, terkadang kemarahan mendorong seseorang terjatuh dalam kemusyrikan atau kekafiran, na’uæu billahi min æalik.
3. Laki-laki tersebut mengulang permintaannya agar mendapatkan nasihat lain dari Nabi ﷺ yang bermanfaat baginya di dunia dan akhirat. Nabi ﷺ tidak menambah nasihat lain selain sabdanya, “Jangan marah.”
Yang dimaksud dengan larangan Nabi ﷺ untuk marah adalah meninggalkan hal-hal yang bisa menyebabkan timbulnya kemarahan, seperti perdebatan dan berbantah-bantahan tanpa alasan yang dibenarkan. Larangan Nabi ﷺ juga mempunyai arti perintah untuk melakukan perkara yang mencegah kemarahan seperti: bersikap sabar, bersifat pemaaf, menahan amarah, dan sabar menghadapi gangguan orang lain serta senyum berwajah ceria dan gembira. Jika seseorang mampu mewujudkan semua itu, maka ia akan mampu mengusir rasa marah dari hatinya ketika terjadi berbagai sebab menimbulkan kemarahan.
Sabda Nabi ﷺ ini juga bermakna larangan melampiaskan amarah dengan perbuatan. Jika seorang Muslim mengalami kemarahan yang memuncak, maka hendaknya ia menahan kemarahannya itu dengan tidak bertutur kata atau melakukan perbuatan untuk melampiaskan amarahnya. Karena hal itu akan membuatnya jatuh ke dalam dosa.
Di dalam Al-Qur`an, Allah Ta’ala memuji hamba-hamba-Nya yang mampu mengendalikan emosinya dengan menahan amarah dan memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya.

Allah berfirman,

“Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.”

(QS. Áli Imrán: 133-134)


Nabi ﷺ juga menjelaskan besarnya pahala yang akan didapatkan oleh orang yang menahan amarahnya, “Barang siapa yang menahan marah, padahal ia mampu melampiaskannya, maka Allah akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat, kemudian menyuruhnya untuk memilih bidadari yang ia inginkan.” [1]


1. (1) Setiap Muslim sebaiknya meminta nasihat dari para ulama dan orang-orang yang mempunyai pengalaman, karena nasihat mereka merupakan ringkasan dari pengalaman dan ilmu mereka. 
2. (1) Para sahabat antusias perhatian untuk bertanya kepada Nabi ﷺ dalam segala hal yang terlintas dalam pikiran mereka. Mereka sering meminta nasihat dan wejangan dari Nabi ﷺ. Ini menunjukkan bahwa mereka tulus dalam mengikuti Nabi ﷺ dan bersemangat untuk menambah ilmu dan pengetahuan mengenai syariat Allah Ta’ala. Dan sudah sepantasnya bagi kita untuk meneladan mereka.
3. (2) Seorang dai dan pendidik hendaknya memberi nasihat kepada setiap orang sesuai dengan kondisinya. Laki-laki yang meminta nasihat dari Nabi ﷺ ini tampaknya adalah seorang pemarah, maka Nabi ﷺmenasihatinya untuk tidak marah dan tidak memberinya nasihat lain. 
4. (2) Janganlah marah, karena kemarahan menjadi penghalang antara seorang hamba dan syariat Allah Ta’ala. Kemarahan bisa membuat seorang Muslim berbohong, menuduh, mencaci maki, dan memfitnah orang lain.

Oleh karena itu, di antara doa Nabi ﷺ adalah,

“As`aluka kalimatal haqqi fil gaðabi war riðá (Ya Allah, aku memohon kepada-Mu bisa berkata benar dalam keadaan marah dan dalam keadaan senang).” [2]


5. (2) Ketahuilah bahwa berjihad melawan hawa nafsu lebih berat daripada berjihad melawan musuh, karena nafsu selalu mengajak kepada keburukan dan membuat seseorang membalas orang yang berbuat buruk kepadanya, baik itu kawan maupun musuh.

Maka Nabi ﷺ bersabda,

“Orang yang kuat bukanlah orang yang pandai bergulat, akan tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan nafsunya ketika marah.” [3]


Orang yang kuat bukanlah yang mampu mengalahkan semua orang di arena gulat, akan tetapi orang kuat adalah yang mampu mengalahkan nafsunya pada saat marah. Oleh karena itu, Al-Hasan Al-Baÿri ketika ditanya, “Apakah jihad yang paling utama?” Beliau menjawab, “Jihadmu melawan nafsumu.” [4]
6. (2) Nabi ﷺ adalah contoh yang baik bagi kita semua. Beliau tidak pernah marah untuk membela dirinya. Jika beliau marah, maka itu adalah marah karena Allah .

Ummul Mukminin Aisyah  berkata,

“Rasulullah ﷺ tidak pernah membalas dendam untuk dirinya sendiri kecuali jika kesucian (syariat) Allah dilanggar. Maka beliau akan membalas dendam demi Allah.”[5]

  Marah adalah perbuatan tercela kecuali jika dalam rangka membela Allah dan itu menjadi kewajiban bagi setiap muslim.
7. (2) Nabi ﷺ memberikan arahan cara menghadapi dan meredam kemarahan. Di antaranya yaitu dengan mengucapkan taawuz. Suatu ketika dua orang saling mencaci di hadapan Nabi ﷺ, dan kami (para sahabat) sedang duduk bersama beliau. Salah seorang di antara kedua orang itu mencaci yang lain dengan sangat marah dan wajahnya memerah.

Maka Nabi ﷺ bersabda,

“Aku mengetahui satu kalimat yang apabila ia mengucapkannya, maka hilanglah kemarahannya. Seandainya ia mengucapkan, ‘A’úæu billáhi minasy syaiþánir rajím (Aku berlindung diri kepada Allah dari setan yang terkutuk).’” [6]


Jadi, apabila seorang Muslim melihat mulai tumbuh benih-benih kemarahan dalam dirinya, maka hendaklah ia berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk. 
8. (2) Di antara cara meredam marah adalah dengan duduk apabila sebelumnya ia berdiri, dan berbaring apabila sebelumnya ia duduk. Karena berdiri adalah posisi bersiap melakukan tindakan, dan duduk posisi yang lebih lemah untuk melakukannya. Sedangkan berbaring adalah posisi paling lemah untuk membalas perbuatan orang lain.

Nabi ﷺ bersabda,

“Sesungguhnya marah adalah bara api dalam hati manusia. Bukankah kalian melihat mata orang yang marah memerah dan urat-urat lehernya keluar? Barang siapa merasakan hal itu maka hendaklah ia menempelkan tubuhnya ke bumi.”[7]

Nabi ﷺ juga bersabda,

“Jika salah seorang di antara kalian marah sedangkan ia berdiri, maka hendaklah ia duduk. Jika marahnya belum hilang, maka hendaknya ia berbaring.” [8]

 
9. (2) Cara lain untuk mengendalikan amarah adalah dengan diam dan tidak mengucapkan apa pun. Karena jika ia berbicara saat marah, maka amarahnya yang akan mengendalikannya dan ia berkata dengan kemarahannya. Oleh karena itulah,

Allah berfirman,

“Dan setelah amarah Musa mereda... “

(QS. Al-A’ráf: 154)

Nabi ﷺ juga bersabda,

“Jika engkau sedang marah, maka diamlah.” [9]

10. (2) Jika sedang marah, jangan sampai engkau mengucapkan kata-kata yang bisa menghancurkan hidupmu dan akan engkau sesali seumur hidup. Betapa banyak, kemarahan yang menyebabkan kehinaan dan penyesalan. Aþa’ bin Abi Rabah  mengatakan, “Tidak ada sesuatu yang lebih membuat para ulama menangis di akhir umurnya daripada kemarahan yang menghancurkan umurnya selama lima puluh tahun, enam puluh tahun atau tujuh puluh tahun. Betapa banyak kemarahan yang menjatuhkan seseorang pada kondisi yang dia tidak bisa terlepas lagi dari kondisi tersebut.”[10]  Muwarriq Al-Ijli mengatakan, “Aku tidak pernah mengucapkan sesuatu ketika marah kecuali aku menyesalinya ketika kemarahanku mereda. [11]
11. (3) Nabi ﷺ tidak menambahkan nasihat kepada laki-laki tersebut kecuali hanya perintah untuk tidak marah. Ini menunjukkan bahwa kemarahan adalah sumber segala keburukan. Ibn Al-Mubarak pernah ditanya, “Ringkaskanlah kepada kami tentang akhlak mulia dalam satu kalimat!” Beliau mengatakan, “Meninggalkan kemarahan.” [12]
12. Seorang penyair menuturkan, 
Aku meredam amarah lebih baik daripada melampiaskan
amarah kepada musuhku dengan mengorbankan keimanan
Tidak ada kebaikan pada urusan yang dampaknya membinasakanku
pada hari perhitungan saat timbanganku berbicara 
13. Penyair lain menuturkan,
Aku tidak melihat keutamaan yang bisa diraih kecuali dengan sifat mulia 
Aku tidak melihat akal sehat kecuali yang berada di atas adab
Tikda ada musuh, ketika aku uji,  
lebih berbahaya bagi akal manusia melebihi kemarahan

Referensi

  1. HR. Ahmad (15637), Abu Daud (4777), dan Ibnu Majah (4186)
  2. HR. Ahmad (18515).
  3. HR. Al-Bukhari (6114) dan Muslim (2609).
  4. Syarñ Ÿañíñ Al-Bukhári karya Ibnu Baþþal (9/296).
  5. HR. Al-Bukhari (3560) dan Muslim (2327).
  6. HR. Al-Bukhari (6115) dan Muslim (2610).
  7. HR. Ahmad (11608) dan At-Tirmizi (2191), beliau mengatakan, “Hadis ini hasan.”
  8. HR. Ahmad (21348) dan Abu Daud (4782). Al-Albani menyatakan sahih dalam Misykáh Al-Maÿábíñ (5114)
  9. HR. Ahmad (2556) dan Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (1320) dari riwayat Ibnu Abbas. Al-Albani menyatakan sahih dalam Ÿañíñ Al-Adab Al-Mufrad.
  10. Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab Al-Hanbali (1/374).
  11. Majmú’ Rasáil Ibni Rajab (1/166).
  12. Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab Al-Hanbali (1/361, 364).