1. Nabi   mewajibkan zakat fitrah bagi kaum Muslimin. Hukumnya fardu ‘ain, berdasarkan kesepakatan mayoritas ulama.[1] Nabi menjadikannya sebagai penyempurna puasa Ramadan yang di dalamnya sering kekeliruan, kekurangan, dan kesalahan. Tujuannya untuk memberi makan kepada orang-orang miskin, agar mereka tidak meminta-minta pada hari Id. Mereka ikut berbahagia bersama orang-orang kaya di hari Id. Ibnu Abbas رضي الله عنهما menuturkan, “Rasulullah  mewajibkan zakat fitrah bagi orang yang berpuasa sebagai pembersih dari perkataan batil dan keji, tujuannya memberi makan kepada orang-orang miskin.”[2]

2. Takarannya satu ÿa’ –yaitu empat mud, (satu mud) seukuran dua telapak tangan laki-laki dewasa- berupa kurma, gandum, beras, atau lainnya yang menjadi bahan makanan pokok manusia. Hal ini berdasarkan perkataan Abu Sa’id Al-Khudriرضي الله عنه, “Dahulu kami mengeluarkan zakat fitrah satu ÿa makanan atau satu ÿa’ gandum, atau satu ÿa’ kurma, atau satu ÿa’ susu kering, atau satu ÿa’ kismis.”[3]

3. Hukum zakat fitrah adalah wajib bagi seluruh kaum Muslimin, baik laki-laki atau perempuan, anak kecil atau dewasa. Zakat juga wajib bagi seorang budak yang harus ditunaikan oleh tuannya.

Dalam hadis ini dan hadis lainnya terdapat penjelasan bahwa perkara yang diwajibkan dan sah pada zakat fitrah ialah mengeluarkannya dalam bentuk makanan pokok, bukan nilainya. Ini berbeda dengan pendapat yang membolehkan mengeluarkannya dengan uang.

Zakat ini diwajibkan bagi setiap orang yang memiliki persediaan makanan pokok untuk dirinya dan untuk keluarganya pada malam Id dan siang harinya. Seorang laki-laki berkewajiblan mengeluarkan zakat ini  untuk orang-orang yang berada di bawah tanggungannya yaitu: keluarganya, istrinya, anaknya, dan budaknya. Kewajibannya berlaku mulai saat matahari tenggelam di hari terakhir bulan Ramadan. Barang siapa yang melahirkan seorang anak sebelum matahari terbenam di hari terakhir bulan Ramadan, atau menikah di waktu tersebut, maka ia wajib menunaikan zakat fitrah bagi anak tersebut dan istri yang baru dinikahi. Adapun jika terjadi setelah matahari terbenam, maka ia tidak wajib membayarkan zakatnya (anak atau istrinya yang baru dinikahi). Demikian pula orang yang meninggal setelah matahari terbenam, maka zakat fitrahnya wajib dibayarkan.

Sama halnya ketika seseorang meninggal pada hari genapnya haul pembayaran zakat, maka hartanya wajib dikeluarkan zakatnya. [4]

Hadis ini menunjukkan bahwa zakat itu tidak wajib bagi non Muslim, karena zakat sebagai penyuci bagi Muslim saja.

4. Nabi memerintahkan agar menunaikan zakat fitrah sebelum orang-orang berangkat untuk mendirikan shalat Id. Ada rukhsah bagi mereka, boleh mengeluarkannya satu atau dua hari sebelum hari Id.[5] Barang siapa yang menundanya hingga lewat waktunya, maka tidak diterima, dan tindakannya tercela, karena telah menyia-nyiakan waktunya. Ibnu Abbas رضي الله عنهما berkata, “Rasulullah mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari perkataan batil dan keji, tujuannya untuk memberi makan bagi orang-orang miskin. Barang siapa yang menunaikannya sebelum shalat (Id), maka zakatnya diterima, dan barang siapa yang menunaikannya setelah shalat (Id), maka zakatnya layaknya sedekah biasa.”[6]  Beliau g telah mengkhususkan zakat fitrah diberikan kepada kaum fakir dan miskin, maka tidak boleh disalurkan kepada seluruh golongan penerima zakat. Hal ini berdasarkan perkataan Ibnu Abbas رضي الله عنهما, “Tujuannya untuk memberi makan bagi orang-orang miskin.”

Implementasi

1. (1) Zakat fitrah disyariatkan oleh Allahعز وجل sebagai penyempurna kekurangan yang terjadi saat berpuasa di bulan Ramadan, dari perbuatan yang batil dan keji. Dengan demikian puasanya akan menjadi sempurna, sehingga seorang hamba berhak mendapatkan pahala yang sempurna. Barang siapa yang ingin pahala puasanya diterima secara utuh, maka ia harus mengeluarkan zakat fitrahnya.

2. (1) Zakat fitrah disyariatkan oleh Nabi untuk mencukupi kebutuhan orang-orang fakir pada hari Id, agar kebahagiaan yang dirasakan merata ke seluruh kalangan. Seorang Muslim harus memperhatikan hal ini, guna meraih pahala, dan membahagiakan orang-orang fakir di sekitarnya.

3. (1) Zakat fitrah disyariatkan oleh Nabi sebagai bentuk terima kasih kepada Allah Ta’ala karena telah menyelesaikan puasanya, dan juga karena telah diberi taufik untuk beribadah di bulan Ramadan. Seorang Muslim harus segera berterima kasih kepada Allah Ta’ala atas apa yang telah Dia berikan berupa kenikmatan dan diberi petunjuk dalam beribadah, yang banyak manusia di luar sana dipalingkan darinya.

4. (2) Zakat fitrah takarannya sangat sedikit, tidak terlalu membebani seorang Muslim, maka siapa pun jangan sampai lengah atau bersikap bakhil.

5. (2) Beragam zakat dan sedekah, meski jumlahnya sedikit, namun semua itu jatuh ke tangan Allah Ta’ala. Rasulullah  bersabda, “Siapa pun yang bersedekah dengan yang baik -dan Allah tidak akan menerima kecuali yang baik- niscaya Sang Maha Pengasih akan mengambilnya dengan tangan kanan-Nya. Jika sedekahnya berupa kurma, maka akan berkembang di tangan Sang Maha Pengasih sampai melebihi besarnya gunung, sebagaimana di antara kalian yang memelihara anak kuda atau anak unta.” Muttafaq ‘Alaihi. [7]

6. (3) Zakat fitrah hukumnya wajib bagi setiap Muslim yang mendapati bulan Ramadan dan terbenamnya matahari di hari Id. Dia wajib mengeluarkannya untuk dirinya dan untuk orang yang menjadi tanggungannya.

7. (4) Tidak pantas bagi seorang Muslim untuk mengakhirkan zakatnya sampai masyarakat keluar untuk melaksanakan shalat Id, tetapi dia wajib bersegera untuk menunaikannya sebelum tersibukkan dengan hal lainnya, sehingga kewajibannya tidak gugur kalau dibayarkan setelah itu.

8. Seorang penyair menuturkan,

Wahai yang bersedekah dengan harta Allah, ia curahkan

di ladang-ladang kebaikan, hartanya tidaklah berkurang

Berapa banyak Allah lipatgandakan harta yang didermakan seseorang

Sungguh orang dermawan diridai oleh Allah

Sifat kikir menimbulkan penyakit yang tidak ada obatnya

Harta orang bakhil esok kelak menjadi warisan keluarganya

Sesungguhnya bersedekah akan menyenangkan orang yang belum mampu Para dermawan jika kau membutuhkan mereka baru terasa


Referensi

1. Al-Majmu’ Syarñ Al-Muhaæab karya An-Nawawi (6/104).

2. HR. Abu Daud 1609) dan Ibnu Majah (1827).

3. HR. Al-Bukhari (1506) dan Muslim (985).

4. Lihat: Al-Mugní karya Ibnu Qudámah (3/89).

5. Ibnu Umar menuturkan, “Dahulu mereka memberikannya satu atau dua hari sebelum Idul Fitri.” HR. Al-Bukhari (1511).

6. HR. Abu Daud (1609 dan Ibnu Majah (1827).

7. HR. Al-Bukhari (1410) dan Muslim (1014).





1. Nabi ﷺmengabarkan dari Tuhan Sang Mahakuasa الله جل جلاله bahwa Dia berfirman, “Seluruh amalan bani Adam adalah miliknya kecuali puasa, Aku sendiri yang akan membalasnya.” Ibadah puasa disandarkan kepemilikannya kepada Allah سبحان وتعالى, tidak seperti ibadah lainnya, meskipun ibadah yang lain juga milik-Nya. Penyandaran ini sebagai bentuk penghormatan dan pengkhususan, seperti halnya penamaan Masjidilharam bahwa ia baitullah (rumah Allah), dan firman-Nya Ta’ala,

“Unta betina dari Allah ini.” 

(QS. Asy-Syams: 13)

Puasa memiliki keistimewaan tersebut, karena puasa merupakan ibadah yang tidak bisa disisipi ria. Sesungguhnya seluruh ibadah tidak mungkin bisa disembunyikan dari malaikat dan manusia kecuali puasa. Selain itu, puasa merupakan ibadah yang terasa sangat berat bagi tubuh, melemahkan nafsu, mengharuskannya bersabar menghadapi rasa lapar dan dahaga. Dalam ibadah puasa, terkumpul berbagai macam kesabaran, yaitu: sabar dalam menjalani ketaatan; sabar dalam menghindari maksiat, karena puasa mencegahnya melakukan perbuatan batil, fasik, dan maksiat; dan bersabar atas takdir Allah, karena seseorang harus menahan rasa lapar dan dahaga.[1] Oleh karena itu, Allah عز وجل mengkhususkan diri-Nya yang mengetahui balasan puasa. Terkadang Allah سبحان وتعالى memperlihatkan kepada para malaikat pencatat amal bahwa pahala shalat sekian kebaikan, pahala zakat sekian dan sekian kebaikan, namun untuk pahala puasa sesungguhnya Dia merahasiakannya dari mereka, agar Dia عز وجل sendiri yang langsung memberi balasannya.

2. Kemudian beliau ﷺ memberitahukan bahwa puasa sebagai tabir dan tameng, karena puasa dapat menjadi penghalang antara hamba dan neraka di hari kiamat. Beliau ﷺ bersabda, “Barang siapa yang berpuasa sehari fisabilillah, niscaya Allah akan menjauhkan wajahnya dari neraka sejauh tujuh puluh tahun.”[2]

3. Manakala puasa bisa menjadi tameng bagi seorang hamba dari neraka dan segala sesuatu yang mengantarkannya ke neraka seperti kemaksiatan, maka Nabiﷺ mengarahkan umatnya agar meninggalkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang berpuasa, seperti berhubungan intim dan segala aktivitas yang mengarah kepadanya, berteriak, mengangkat suara, berseteru, dan yang semisal. Apabila ada seseorang yang mencelanya atau mengajaknya bertengkar maka ucapkan kepadanya, ‘Aku sedang berpuasa.’ Ia katakan hal itu di dalam dirinya agar dia mampu menahan diri terhadap perilaku yang terlarang, dan boleh diucapkan secara terang-terangan kepada lawannya, agar lawan itu tahu bahwa ia meninggalkan pertengkaran dan diam lantaran sedang berpuasa karena Allah Ta’ala. Jika bukan karena itu, ia mampu untuk menghadapi lawannya, sehingga lawannya pun jera. Hal itu juga dilakukan supaya tidak disangka sikap diamnya merupakan kerendahan dan kelemahan. Bahkan bisa jadi orang yang mencela dan mengajaknya bertengkar juga sedang berpuasa, sehingga ia bertobat dan kembali tatkala diingatkan akan puasanya. [3]

4. Kemudian Nabi ﷺ bersumpah atas nama Tuhannya عز وجل–dan beliau sosok yang jujur dan dapat dipercaya- bahwa bau yang muncul akibat perubahan keadaan mulut orang yang berpuasa dengan sebab puasanya, itu lebih utama di sisi Allah daripada aroma kesturi. Jika aroma yang tidak sedap tersebut baru muncul akibat berpuasa karena Allah Ta’ala, maka itu lebih disukai di sisi-Nya dan lebih bisa dekat dengan-Nya daripada aroma kesturi. Allah Ta’ala memberikan balasan kepada hamba-Nya atas hal itu pada hari kiamat berupa aroma yang lebih wangi dan lebih baik daripada kesturi, sebagaimana Allah Ta’ala membalas orang yang mati syahid di jalan Allah yang darahnya kelak akan beraroma kesturi. Jika Allah Ta’ala memberikan balasan kepada seseorang yang mengenakan parfum kesturi yang disunnahkan agar digunakan pada shalat Jumat, shalat berjamaah, shalat hari raya, dan lain sebagainya, maka balasan dari bau mulut dan aroma tidak sedap tersebut ialah pahala yang lebih besar daripada orang yang mengenakan parfum kesturi [4].

5. Kemudian beliau ﷺ memberitahukan bahwa orang yang berpuasa akan merasakan dua kebahagiaan: saat berbuka, maka ia bahagia karena sudah bisa berbuka, ia mendapati makanan dan minuman setelah merasa lapar dan dahaga, ini rasa bahagia yang wajar dan boleh dan bahagia karena Allah telah menyempurnakan puasanya, memberi petunjuk kepadanya, dan melindunginya dari kerusakan. Rasa bahagia berikutnya adalah ketika bertemu Allah Ta’ala, lantas ia pun melihat kenikmatan serta balasan yang Allah siapkan baginya dan Allah sembunyikan dari makhluk-Nya.

Implementasi

1. (1) Allah Ta’ala mengagungkan ibadah puasa dan mengkhususkan bagi-Nya, tidak ada seorang pun yang mengetahui pahalanya selain Dia. Hal itu karena pahalanya yang sangat besar dan keutamaannya, maka seorang Muslim harus memanfaatkannya dan memperbanyak berpuasa sunnah.

2. (1) Cukuplah puasa itu sebagai kemuliaan ketika Allah Ta’ala menyandarkan ibadah tersebut kepada diri-Nya seraya berfirman, “Sesungguhnya puasa itu milik-Ku.” Cukuplah sebagai sebuah ketaatan seorang mukmin dengan memanfaatkan keutamaan dan kemuliaannya dengan memperbanyak berpuasa sunnah setelah menunaikan puasa yang wajib.

3. (2) Puasa ibarat tameng bagi manusia dari setan dan bisikkannya, karena itulah Nabi ﷺ mengingatkan para pemuda untuk puasa ketika belum mampu menikah. Maka seorang Muslim seharusnya mengambil tempat perlindungan dengan berpuasa yang akan menjaganya dari bahaya syahwat dan fitnah-fitnah lainnya.

4. (2) Puasa ibarat tameng bagi seorang hamba dari neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu, Allah سبحان وتعالى  mengabarkan melalui firman-Nya,

“Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga.”

(QS. Áli 'Imrán: 185)

. Barang siapa yang ingin kesuksesan dan keselamatan dari neraka, maka harus berpuasa. 

5. (3) Nabi g melarang orang yang berpuasa dari berseteru, berbuat bodoh, mencela, dan yang sejenisnya. Ini semua perkara yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang sedang berpuasa dan selainnya, dan lebih ditekankan lagi bagi yang sedang berpuasa, dan tidak sepantasnya seseorang melakukan hal yang menjatuhkan derajatnya dengan melakukan hal bodoh dan berkata-kata kotor.

6. (3) Seseorang boleh mengatakan secara terus terang terkait suatu ibadahnya dengan maksud meraih kebaikan dan mencegah keburukan, tanpa ada rasa ria. Oleh karena itu, orang yang berpuasa jika dicela orang lain atau diajak bertengkar, mka ia boleh menyebutkan keadaannya yang sedang berpuasa.

7. (4) Nabi  (QS. Áli 'Imrán: 185) menguatkan sabdanya dengan bersumpah, dan beliau sosok yang jujur dan dipercaya, sebagai tambahan penegasan sebuah pernyataan. Sesekali seorang dai, guru, atau pendidik boleh menggunakan metode tersebut, tanpa harus sering melakukannya.(4) Apabila orang yang berpuasa merasa terganggu dengan apa yang ia alami berupa bau mulutnya yang tidak sedap, maka tenanglah, bahwa bau tersebut wangi di sisi Allah

8. سبحان وتعالى dan akan diberi ganjaran.

9. (4) Hadis ini tidak dipahami makruhnya menggunakan siwak bagi orang yang berpuasa, karena sesungguhnya bau yang keluar itu bersumber dari perut, bukan dari mulut. Demikian halnya di dalam hadis ini juga tidak terkandung perintah untuk membiarkan bau mulut apa adanya, namun sebagai penghibur bagi orang yang berpuasa dengan bau mulut yang ia alami.

10. (5) Hadis ini memberikan faedah, bahwa rasa bahagia setelah berpuasa dan langsung makan dan minum tidaklah makruh atau haram. Bahkan hal tersebut merupakan bentuk kegembiraan yang mubah, yang Allah Ta’ala jadikan sebagai fitrah yaitu suka makan dan minum.

11. (5) Apabila rasa gembira terhadap makanan dan minuman pada orang yang berpuasa hukumnya mubah, maka rasa bahagia karena Allah menolongnya hamba-Nya menuntaskan puasa dan memberikan taufik atasnya adalah bentuk rasa syukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat-nikmat-Nya, dan itu juga merupakan ibadah yang seseorang diberi pahala atas hal tersebut.

12. Seorang penyair menuturkan,

13. Penyair lainnya menuturkan,

Tiba waktu puasa, maka datang pula seluruh kebaikan

Berzikir, bertahmid dan bertasbih

Diri ini terbiasa untuk berucap dan berbuat ibadah

Siangnya berpuasa dan malamnya shalat tarawih

Jika aku tidak mampu mengendalikan pendengaran,

menundukkan pandangan dan membuat lisanku terdiam

Maka hanya lapar dan dahaga saja yang kurasakan Sekalipun kukatakan, aku puasa seharian, tapi hakikatnya tidak

Referensi


1. HR. Al-Bukhari (2840) dan Muslim (1153).

2. HR. Al-Bukhari (5065) dan Muslim (1400).

3. Lihat: At-Tauðíñ li Syarñ Al-Jámi’ Aÿ-Ÿañíñ karya Ibn Al-Mulaqqin (13/20) dan Asy-Syarñ Al-Mumti’ ‘ala Zád Al-Mustaqni’ karya Ibnu Ušaimin (6/432).

4. Lihat: Ikmál Al-Mu’lim bi Fawá`id Muslim karya Al-Qáði Iyáð (4/112) dan ±arñ At-Tašríb fí Syarñ At-Taqríb karya Al-’Iraqi (4/96).

1. Nabiﷺ menyebutkan bahwa orang yang berpuasa di bulan Ramadan karena mengimani bahwa Allah telah mewajibkannya, membenarkan janji Allah Ta’ala bagi orang-orang yang berpuasa dan apa yang telah dipersiapkan kelak bagi mereka, mengharap pahala dan ganjaran dari Allah سبحان وتعالى, tidak berharap balasan tersebut kepada siapa pun kecuali kepada-Nya, yang ia harapkan adalah wajah Allah Ta’ala tanpa diiringi ria atau ingin puji, menyambut bulan Ramadan dengan penuh suka cita, memanfaatkan setiap saatnya dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala dan mendekatkan diri kepada-Nya, maka balasannya adalah Allah ﷺ akan mengampuni dosanya yang telahسبحان وتعالى lalu. Puasa maknanya adalah menahan diri dari makan, minum, dan syahwatnya dengan niat beribadah kepada Allah Ta’ala, sejak azan Subuh sampai azan Magrib. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,

“Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam.”

(QS. Al-Baqarah: 187)

Dan Allahﷺ juga berfirman di dalam hadis qudsi, “Ia meninggalkan syahwat dan makannya demi Aku.” [1]

2. Kemudian Nabiﷺ mengabarkan bahwa barang siapa yang menghidupkan Lailatulqadar dengan shalat, berdoa, berzikir, membaca Al-Qur`án, dan ibadah-ibadah lainnya, dengan syarat disertai iman dan berharap pahala juga, maka dosanya yang lalu akan diampuni. Dalam hal ini, tidak disyaratkan seorang hamba harus beribadah semalam suntuk, akan tetapi cukup dengan shalat di sebagian waktunya, walaupun sedikit. Hal ini sebagaimana yang berlaku pada shalat tahajud secara mutlak (yang tidak mesti di akhir malam) atau kriteria seseorang mendapatkan shalat bersama imam (tidak mesti harus bersama imam dari takbiratulihram) [2]

Disebut dengan Lailatulqadar karena ia memiliki kedudukan yang agung di sisi Allah. Di malam itu, Al-Qur`an diturunkan ke Baitul ‘Izzah di langit dunia, berdasarkan firman Allah Ta’ala,

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur`an) pada malam qadar.”

(QS. Al-Qadr: 1)

Di saat itulah, ditulis semua takdir para hamba yang terjadi pada tahun tersebut dari lauhulmahfuz, lalu diurutkan sesuai dengan waktu-الله سبحان وتعالىwaktunya [3] Allah ﷺ melipatgandakan kebaikan pada malam itu bagi hamba-hamba-Nya, yaitu sebagaimana tercantum di dalam سبحان وتعالىfirman-Nya ,

“Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.”

(QS. Al-Qadr: 3)

. Tanggal pasti terjadinya Lailatulqadar ini tersembunyi di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadan. Barang siapa yang mendirikan shalat malam selama sepuluh hari tersebut, maka tidak diragukan lagi pasti mendapatkan Lailatulqadar. Ummul Mukminin Aisyah i mengatakan, “Dahulu Nabi ﷺjika memasuki sepuluh hari terakhir, maka beliau mengencangkan sarungnya dan menghidupkan malamnya, serta membangunkan keluarganya [4]

Lebih detail lagi terjadi pada malam-malam ganjil, ini berdasarkan sabda beliau, “Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan Lailatulqadar, pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadan. [5]

Pada hadis yang lain, beliau 

Dari mengabarkan bahwa barang siapa yang shalat setiap malam selama Ramadan karena iman dan mengharap pahala, maka ia akan diampuni dosanya yang telah lalu. Tidak ada kontradiksi antara ampunan dosa karena shalat malam di bulan Ramadan sebulan penuh dan ampunan dosa karena shalat malam pada Lailatulqadar, karena kedua amalan mampu menghapuskan dosa-dosa, hanya saja setiap amalan memiliki keutamaan yang tidak dimiliki oleh amalan yang lain. Shalat malam pada setiap malam bulan Ramadan sangat berat, hanya saja orang yang mengerjakannya tidak diragukan lagi pasti ia akan mendapatkan Lailatulqadar, sehingga ia diampuni karena shalat malam pada setiap malam bulan Ramadan dan karena mendapatkan Lailatulqadar. Shalat malam pada Lailatulqadar tidak seperti beratnya mengerjakan shalat malam pada setiap malam bulan Ramadan , hanya saja ia butuh kesungguhan dan perkiraan. Bisa jadi setelah itu seseorang mendapatkannya dan bisa jadi ia tidak mendapatkannya. Sehingga sebaiknya yang dilakukan adalah mengerjakan shalat malam setiap malam bulan Ramadan, karena di dalamnya terdapat pahala, dan yakinlah akan mampu mengerjakan shalat malam pada Lailatulqadar.

Implementasi

1. (1) Di antara besarnya kelembutan Allah terhadap kita, Dia menjadikan sebagian waktu dan tempat mempunyai keutamaan masing-masing dan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh yang lainnya. Dia menjadikan hari Arafah lebih baik daripada hari-hari lain selama satu tahun; hari Jumat lebih baik daripada hari-hari lain dalam sepekan; Kakbah menjadi tempat yang paling utama; bulan Ramadan merupakan bulan yang paling utama; dan Lailatulqadar merupakan malam terbaik dibandingkan semua malam lainnya. Allah menjadikan waktu-waktu dan tempat-tempat tersebut termasuk ke dalam kesuksesan yang besar dan keberuntungan yang nyata, yang dapat mendorong seseorang untuk beramal dan memanfaatkan setiap embusan napasnya.
2. (1) Setiap amalan harus diiringi dengan keimanan dan mengharap pahala, karena semua amalan tidak akan diterima jika berasal dari selain mukmin, dan tidak akan diberi pahala bagi yang tidak berharap pahala dari amalannya atau hanya ingin sekadar pamer dan mengharapkan pujian orang lain. Hal ini berdasarkan sabda beliau ﷺ“Sesungguhnya setiap amalan itu tergantung pada niatnya.”[6] Maka seorang Muslim harus menghadirkan niatnya yang tulus dalam semua amalannya, dan setiap beramal mengharap عز وجلkeridaan Allah
3. (1) Iman dan mengharap pahala merupakan pokok dasar setiap amalan, hingga keduanya terkumpul dalam definisi yang disebutkan oleh ±alq binرحمه الله Habibﷺ Ta’ala terkait takwa, beliau menuturkan, “Engkau mengerjakan ketaatan kepada Allah, berdasarkan petunjuk dari Allah, dan berharap pahala dari Allah; meninggalkan maksiat kepada Allah, berdasarkan petunjuk Allah, dan takut kepada azab Allah.” Maka sebaiknya setiap amalan diawali dengan keimanan, dan tujuan utamanya meraih pahala dari Allah, serta berharap keridaan-Nya [7].
4. (2) Allahعز وجل merahasiakan waktu Lailatulqadar agar seorang hamba bersungguh-sungguh dalam mengerjakan ketaatan kepada Allah Ta’ala pada setiap waktunya, tidak hanya bersungguh-sungguh pada satu malam saja, lalu di malam-malam lainnya tidak bersungguh-sungguh, sebagaimana Dia سبحان وتعالى juga merahasiakan waktu doa yang mustajab pada hari Jumat dengan alasan yang sama, yaitu agar para hamba-Nya berdoa kepada-Nya sepanjang hari.
5. (2) Maksiat merupakan faktor terbesar yang menghalangi seorang hamba dari petunjuk untuk mengerjakan ketaatan, karena sesungguhnya Nabiﷺ pernah keluar ingin memberitahukan Lailatulqadar kepada manusia, lalu beliau mendapati dua orang laki-laki sedang berkelahi di masjid, lantas Nabi ﷺ pun lupa waktu tersebut disebabkan peristiwa itu.[7] Maka seorang Muslim harus menghindari kemaksiatan agar Allah menyinari hatinya dan memberinya petunjuk untuk meraih berbagai macam kebaikan dan menjalankan ketaatan.
6. (3) Di hadapanmu ada dua jalan untuk meraih ampunan Allah, salah satunya terdapat kesusahpayahan namun tidak terlepas dari kelezatan mengerjakan ketaatan dan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan mendirikan shalat malam setiap malam pada bulan Ramadan. Jalan yang lain mudah, yaitu mencukupkan dengan shalat pada Lailatulqadar dan bersungguh-sungguh mencarinya. Jalan yang pertama adalah bisa diyakini akan mendapatkannya, sementara jalan yang kedua hanya atas dasar dugaan dan perkiraan, maka manakah di antara keduanya yang engkau pilih: dugaan atau keyakinan? 
7. (3) Ibnu Rajab ﷺmenuturkan, “Orang-orang yang cinta akan bersanding dengan malam yang panjang, mereka menghitung-hitungnya sambil menantikan datang sepuluh hari terakhir di setiap tahunnya, dan tatkala mereka meraihnya, mereka  pun mendapatkan yang diinginkan dan mengabdi kepada †at yang mereka cintai.[8]

Referensi

1. HR. Al-Bukhari (1894) dan Muslim (1151).

2. Lihat: ±arñ At-Tašríb fí Syarñ At-Taqríb karya Al-‘Iraqi (4/161)

3. Lihat: Al-Mufhim limá Asykala min Talkhíÿ Kitáb Muslim karya Al-Qurþubí (2/390).

4. HR. Al-Bukhari (2024) dan Muslim (1174).

5. HR. Al-Bukhari (2017) dan Muslim (1169).

6. HR. Al-Bukhari (1) dan Muslim (1907).

7. HR. Al-Bukhari (2022).

8. Laþa`if Al-Ma’árif karya Ibnu Rajab (hal. 204).

Nabi menerangkan bahwa tujuan mulia dari puasa adalah takwa, menjaga lisan dan anggota badan, berdasarkan firman Allah Ta’ala,

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

(QS. Al-Baqarah: 183)

Barang siapa yang puasa dari makan dan minum, tetapi anggota tubuhnya tidak berpuasa dari perkataan dan perbuatan dusta –yaitu setiap perbuatan batil, entah itu berupa perkataan seperti bohong, adu domba, gibah, dan keburukan lisannya lainnya- ia tidak berhenti berbuat kebodohan, kesembronoan, tidak sabar, serta apa pun yang dapat menimbulkan pertengkaran, peperangan, dan keributan yang dilarang melalui sabda beliau g, “Apabila salah seorang di antara kalian sedang berpuasa, janganlah berkata keji, dan berteriak-teriak. Jika ada yang mengejeknya atau mengajaknya bertengkar, hendaknya mengatakan kepadanya, ‘Aku sedang berpuasa.’” [1] Apabila seseorang tetap melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, maka puasanya tidak diterima dan tidak dianggap.

Sabda beliau, “maka Allah tidak membutuhkan,” ini maknanya tidak peduli, tidak menghiraukan, tidak menerima, dan tidak tertarik, sebagaimana jika engkau mengatakan, “Aku tidak membutuhkan fulan,” kalau tidak demikian, Allah b Mahakaya tidak membutuhkan makhluk, tidak membutuhkan sesuatu pun dari mereka. Allah c berfirman,

“Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan Allah; dan Allah Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu), Maha Terpuji.”

(QS. Fáþir: 15)

Allah melarang perkataan batil, Dia berfirman,

“Maka jauhilah (penyembahan) berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan dusta.”

(QS. Al-Ôajj: 30)

Dia memuji hamba-hamba-Nya yang tidak memberikan kesaksian palsu, tidak mengatakannya, tidak mengerjakannya, tidak pula duduk di majelisnya. Dia c berfirman,

“Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan menjaga kehormatan dirinya.”

(QS. Al-Furqán: 72)

Nabi menyebutkan bahwa persaksian palsu termasuk dosa besar, beliau g bersabda, “Maukah kalian aku beritahukan mengenai dosa yang paling besar?” Beliau mengucapkannya tiga kali, mereka menjawab, “Tentu wahai Rasulullah.” Beliau bersabda,

Menyekutukan Allah, durhaka kepada kedua orang tua. Beliau duduk bersandar seraya bersabda, ‘Ketahuilah, jauhilah persaksian palsu.” Perawi mengatakan, “Beliau terus-menerus mengulanginya sampai kami bergumam, ‘Sekiranya beliau berkenan berhenti mengatakannya.’ [2]

Maksud dari diwajibkan dan disyariatkannya puasa bukan sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi apa yang ada di balik itu, yakni meredam syahwat, mengendalikan emosi, mengendalikan nafsu agar selalu tunduk pada jiwa yang tenang. Jika orang yang berpuasa tidak mendapatkan sedikit pun dari hal itu, dan tidak mendapatkan pengaruhnya, maka puasanya hanyalah sebatas menahan lapar dan dahaga, berdasarkan sabda beliau g, “Betapa banyak orang yang berpuasa, ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain rasa lapar, dan betapa banyak orang yang shalat malam, ia tidak mendapatkan apa-apa kecuali sekadar bergadang.” [3]

Dan saat itulah, Allah Ta’ala tidak memedulikan puasanya, tidak pula melihatnya dengan tidak menerimanya, karena tidak terwujud maksud dari puasa tersebut [4]


Implementasi

1. Apabila Allah Ta’ala telah mengkhususkan pahala puasa, dan mengabarkan melalui firman-Nya d, “Seluruh amalan bani Adam adalah miliknya, kecuali puasa, sesungguhnya itu milik-Ku,”[5] yang merupakan dalil pahala puasa yang agung dan kedudukannya yang tinggi, kemudian terlontarlah sebuah kalimat dari seorang hamba yang membuat Allah murka, menghapus semua pahala, dan menjadikannya sia-sia, maka ini merupakan dalil betapa bahayanya perkataan dan perbuatan dusta. Hal tersebut merupakan penyebab kehancuran dan kebinasaan yang mengakibatkan seseorang rugi dunia akhirat. Seorang Muslim harus waspada terhadap maksiat tersebut dan menjauhkan diri dari perbuatan yang dapat menghapus amalnya.

2. Sesungguhnya Allah Ta’ala menginginkan hamba-hamba-Nya bertakwa dan patuh kepada-Nya serta menjauhi larangan-larangan-Nya. Allah Ta’ala tidak ingin mempersulit mereka dengan perintah tidak makan, minum, dan berhubungan suami istri, tetapi Dia ingin agar mereka menunaikan segala perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Sehingga puasanya bisa menjadi sekolah yang membiasakan mereka untuk meninggalkan hal-hal yang haram dan menunaikan kewajiban-kewajiban.

3. Tujuan dari puasa ialah meredam nafsu dan meninggalkan larangan-larangan yang diharamkan, bukan meninggalkan makan dan minum saja, yang sebenarnya keduanya hukumnya mubah.[6]

4. Ketahuilah, bahwa upaya mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan meninggalkan syahwat-syahwat yang mubah pada kondisi sedang tidak puasa tidak akan sempurna melainkan setelah seseorang mendekatkan diri kepada-Nya dengan meninggalkan apa yang diharamkan Allah dalam segala kondisi seperti dusta, zalim, permusuhan di antara manusia dengan jiwa, harta, dan kehormatan mereka.[7]

5. Allah Ta’ala mengharamkan perkataan batil sebagaimana Dia juga mengharamkan perbuatannya, yang mencakup gibah, adu domba, memicu permusuhan antar manusia, menyuruh kemungkaran, melarang kebaikan, dan perkataan batil lainnya.

6. Seorang penyair menuturkan,

7. Penyair lain berkata,

Wahai orang yang puasa dari makanan

Sekiranya engkau puasa dari kezaliman

Apakah berguna puasanya orang yang zalim

Yang dipenuhi dengan dosa-dosa

Jagalah puasamu dengan diam terhadap perkataan keji

tutuplah kedua matamu dengan kelopak matamu

Jangan kau berjalan dengan dua muka di tengah manusia

Manusia terburuk adalah pemilik dua muka



Referensi

1. HR. Al-Bukhari (1904) dan Muslim (1151) dari Abu Hurairah.

2. HR. Al-Bukhari (2654) dan Muslim (87).

3. HR. An-Nasa`í dalam As-Sunan Al-Kubrá (3236) dan Ibnu Majah (1690).

4. Tuñfah Al-Abrár Syarñ Maÿábih As-Sunnah karya Al-Baiðawí (1/497).

5. HR. Al-Bukhari (1904) dan Muslim (1151).

6. Al-Mafátih fí Syarñ Al-Maÿábih karya Al-MuÈhirí (3/24).

7. Laþá`if Al-Ma’árif karya Ibnu Rajab (hal. 155).

Nabi  mengajarkan salah satu pintu terbesar yang dapat menghapus dosa, yaitu haji mabrur. Beliau g mengabarkan bahwa barang siapa yang menunaikan ibadah haji dengan baik dan diterima oleh Allah Ta’ala, maka dosa-dosanya dihapus, dan ia pulang dari hajinya dalam keadaan suci seperti bayi yang baru dilahirkan ibunya. Haji mabrur adalah haji yang pelakunya tidak melakukan apa pun yang merusak ibadahnya, seperti bertindak rafas yaitu melakukan jimak dan tindakan yang mengarah pada perbuatan tersebut yang biasanya diinginkan seorang laki-laki dari wanita, atau berbuat fasik yaitu keluar dari ketaatan dan melakukan maksiat.

Hadis ini mencakup ibadah haji dan umrah sekaligus, dengan dalil hadis riwayat Muslim, “Barang siapa yang datang ke rumah ini (Baitullah).” Dan sabda beliau, “Antara ibadah umrah yang satu dan umrah berikutnya merupakan penghapus dosa-dosa di antara keduanya, dan haji mabrur tidak ada balasan yang layak baginya kecuali surga.” Muttafaq ‘Alaihi [1]

Ampunan ini berlaku secara umum terkait dengan hak-hak Allah Ta’ala, karena sesungguhnya Allah b mengampuninya, ada pun hak-hak yang berkaitan dengan sesama manusia, maka tidak gugur kecuali dengan meminta keridaan lawannya, atau menunaikan hak-hak para pemiliknya [2]

Implementasi

1. Nabi g menggunakan perumpamaan dalam sabda beliau, “... maka ia kembali seperti bayi yang baru dilahirkan ibunya.” Sebagai penguat makna ampunan dan penghapusan dosa. Seorang dai dan pendidik sebaiknya menggunakan metode semacam ini yang mengandung retorika dan memberi contoh agar maknanya lebih kuat dan mudah dicerna. 
2. Nabi g menunjukkan salah satu pintu terbesar untuk meraih ampunan dosa, yaitu haji mabrur. Siapakah di antara kita yang tidak membutuhkan ampunan dosa dan penghapusan kesalahan?!
3. Hadis ini mengandung penegasan terkait akhlak yang mulia, dan ia termasuk faktor diterima atau ditolaknya sebuah amalan.
4. Jangan sampai engkau menzalimi orang lain dan mengambil hak mereka, karena dosa yang berkaitan dengan mereka tidak akan gugur kecuali dengan mengembalikan hak mereka yang dirampas dan meminta kerelaan hati mereka. Adapun hak-hak Allah c –selain syirik- yang engkau langgar maka tergantung.  kehendak-Nya: jika Dia berkenan akan mengampuninya dan jika berkenan Dia akan mengazabnya.
5. Di antara tujuan dan hikmah ibadah haji ialah mengingatkan manusia akan akhirat. Seseorang tidak berhias dan tidak merasa memiliki jabatan dengan mengenakan sarung dan serban layaknya kain kafan, menjauhkan diri dari dunia dan berbagai kenikmatannya. Berdiam di Arafah bersama Jemaah haji lainnya, sebagaimana manusia kelak dikumpulkan di padang mahsyar, semua kedudukannya sama, tidak ada perbedaan di antara mereka, baik itu orang dewasa atau anak kecil, atau antara menteri dan pengawal. Apabila orang yang berhaji menyadarinya, maka ia akan kembali zuhud terhadap dunia dan mempersiapkan diri untuk akhirat.
6. Seorang penyair menuturkan,

Kepada-Mu Tuhanku kupenuhi panggilan-Mu

Wahai Tuhanku berilah keberkahan haji dan doaku

Kupaksakan diri menuju-Mu membawa tangisan

Tuhanku, tidak mungkin Engkau menolak tangisan

Cukup bagiku kebanggaan menjadi hamba-Mu

Betapa aku bahagia jika menjadi hamba yang ditolong

Tuhanku, Engkaulah Allah, tidak ada yang setara dengan-Mu

Penuhilah hatiku dengan hikmah dan makna

Aku datang tanpa bekal, kedermawanan-Mu makananku

Tidak rugi, orang yang bergegas ingin meraih karunia-Mu

Tuhanku, aku datang memenuhi panggilan-Mu berharap Bersihnya hatiku yang terlumur dosa-dosa 

Referensi

1. HR. Al-Bukhari (1773) dan Muslim (1349), dari Abu Hurairah .

2. Lihat: Al-Kawákib Ad-Darári fí Syarñ Ÿañiñ Al-Bukhárí karya Al-Kirmání (9/31).




1. Pada suatu hari Nabi berkhotbah di hadapan para sahabatnya, beliau memberitahukan kepada mereka bahwa  llah  memerintahkan mereka agar berhaji ke Baitulharam, sebagai penerapan firman-Nya,

“Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barang siapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.”

(QS. Áli 'Imrán: 97)

Mereka wajib memenuhi perintah-Nya dan menunaikan kewajiban. Haji menyengaja menuju Baitulharam pada waktu-waktu tertentu, untuk menunaikan syiar-syiar tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah

2. Lantas ada seorang sahabat bertanya –yaitu Al-Aqra’ bin ôabis h-, “Apakah wajib setiap tahun wahai Rasulullah?” Hal itu karena beliau belum paham konsekuensi dari perintah haji tersebut, apakah perintah ini hanya menunaikan sekali atau perintah yang berkali-kali?

3. Tatkala laki-laki tersebut tidak merasa ditegur dengan beliau g diam pada dua kali pertanyaannya, lantas beliau mengabarkan kepadanya bahwa beliau tidak menjawab, sebagai bentuk kasih dan sayang terhadap kaum mukminin. Seandainya Nabi g menjawabnya dengan iya, maka akan diwajibkan bagi kaum Muslimin untuk beribadah haji setiap tahun, dan hal itu sangat berat, tidak mampu.

4. Kemudian Nabi membimbing para sahabatnya agar tidak memperberat diri dengan berbagai pertanyaan. Tidak boleh sering bertanya, baik yang sifatnya terbatas maupun secara global. Apabila kalian diperintah untuk melakukan sesuatu maka kerjakanlah sesuai dengan perintahnya. Apabila kalian diperintah bersedekah, berhaji, atau perintah lainnya, maka kalian cukup mengerjakan sesuai dengan apa yang disebutkan dalam perintah itu, sedekah yang sedikit pun sah, berhaji sekali seumur hidup juga cukup, karena itulah yang ditunjukkan konteksnya, sementara persepsi ada kemungkinan lafaznya menunjukkan makna berulang, maka tidak perlu dihiraukan.[1] 

Hadis ini menjelaskan bahwa hukum segala sesuatu pada asalnya mubah. Hal tersebut tidak memiliki hukum kecuali bersumber dari syariat. Sehingga apa pun yang tidak disebutkan secara jelas di dalam syariat, maka hukumnya sebagaimana hukum asalnya [2]

5. Nabi g menjelaskan sebab bahwa kebinasaan umat-umat terdahulu akibat banyak bertanya kepada nabi-nabi mereka tentang perkara-perkara yang belum datang penjelasannya, karena sikap itu menunjukkan ketidakpercayaan, sebab para nabi ÿalawátulláhi wa salámuhu alaihim diperintahkan untuk membimbing manusia menuju kemaslahatan dunia dan akhirat mereka. Para nabi tidak boleh diam ketika penjelasan dibutuhkan, maka yang harus dilakukan oleh kebanyakan manusia adalah jangan tergesa-gesa bertanya, tetapi seharusnya ia diam dan mengambil faedah atas diamnya.

Kemudian yang kedua, hal itu bisa menjadi sebab penambahan beban dari Allah c kepada mereka, lantaran mereka membebani diri dengan berbagai pertanyaan, sehingga beban syariat pun terasa berat bagi mereka, lantas mereka meremehkannya, dan Allah Ta’ala pun akhirnya membinasakan mereka. Karena itulah Allah c melarang pertanyaan yang semisal dan memperingatkan akibatnya melalui firman-Nya ,

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepada kamu, (justru) akan menyusahkan kamu. Jika kamu menanyakannya ketika Al-Qur`an sedang diturunkan, (niscaya) akan diterangkan kepadamu. Allah telah memaafkan (kamu) tentang hal itu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyantun. Sesungguhnya sebelum kamu telah ada segolongan manusia yang menanyakan hal-hal serupa itu (kepada nabi mereka), kemudian mereka menjadi kafir.”

(QS. Al-Má`idah: 101-102

Di antara contohnya, sebagian Bani Israil meminta kepada nabi mereka agar berjihad di jalan Allah Ta’ala. Tatkala jihda diwajibkan, mereka berpaling dan melarikan diri. Terkait mereka inilah Allah c menurunkan firman-Nya,

“Tidakkah kamu perhatikan para pemuka Bani Israil setelah Musa wafat ketika mereka berkata kepada seorang nabi mereka, ‘Angkatlah seorang raja untuk kami, niscaya kami berperang di jalan Allah.’ Nabi mereka menjawab, ‘Jangan-jangan jika diwajibkan atas kalian berperang, kalian tidak akan berperang juga?’ Mereka menjawab, ‘Mengapa kami tidak akan berperang di jalan Allah, sedangkan kami telah diusir dari kampung halaman kami dan (dipisahkan dari) anak-anak kami?’ Tetapi ketika perang itu diwajibkan atas mereka, lalu mereka berpaling, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim.’”

(QS. Al-Baqarah: 246)

Demikian juga, tatkala Nabi Musa n memerintahkan kaumnya menyembelih seekor sapi betina, mereka tetap saja memberatkan diri meminta penjelasan kriterianya, maka Allah c pun memperberat perintah-Nya kepada mereka. Kalau saja dari awal mereka langsung menyembelih sapi jenis apa pun, maka sudah cukup.

Karena itulah, Nabi melarang para sahabatnya bertanya lebih lanjut. Anas bin Malik h berkata, “Kami dahulu dilarang bertanya kepada Rasulullah tentang sesuatu, dan kami akan senang ketika ada laki-laki badui yang cerdas, tatkala ia bertanya kami mendengarkan.” [3] Beliau memberikan rukhsah bagi penduduk badui karena mereka belum tahu dan perintah-perintah syariat belum sampai kepada mereka, lain halnya dengan para sahabatnya yang selalu mendampingi beliau g.

Beliau bersabda, “Sesungguhnya kaum Muslimin yang paling jahat terhadap sesama kaum Muslimin adalah orang yang bertanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan bagi kaum Muslimin, lantas menjadi haram bagi mereka lantaran pertanyaan satu orang tersebut.” [4] 

6. Kemudian beliau memberi arahan tentang apa yang sebaiknya dilakukan oleh seorang Muslim, yaitu jika ada sebuah perintah, maka kerjakanlah semampunya. Dia diperintahkan untuk mendirikan shalat dengan tata caranya, rukun-rukunnya, wajib-wajibnya, dan sunnah-sunnahnya yang diketahui. Apabila seorang Muslim tidak mampu untuk mengerjakannya sebagaimana mestinya, maka boleh mengerjakannya semampunya. Apabila seseorang tidak mampu shalat sambil berdiri, maka boleh shalat sambil duduk atau berbaring. Jika ada yang tidak mampu membasuh seluruh anggota tubuhnya, maka basuhlah yang memungkinkan, dan seterusnya, sebagai penerapan firman-Nya Ta’ala,

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.”

(QS. At-Tagábun: 16)

Apabila datang larangan dari suatu perkara, maka seorang Muslim harus menghindarinya secara total, karena seseorang tidak akan terlepas secara total dari suatu perkara jika ia masih melakukan sebagiannya. Jika seseorang dilarang minum minuman yang memabukkan –misalnya-, ia tidak minum sebagian jenis, tapi masih minum jenis lainnya, maka ini tidak bisa dikatakan telah meninggalkan sesuatu, sampai ia meninggalkannya secara total. Karena itulah Allah c berfirman,

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.”

(QS. Al-Hasyr: 7)

Implementasi

1. (1) Nabi menggunakan gaya bahasa yang paling sederhana dalam menjelaskan hukum-hukum syariat, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah mewajibkan bagi kalian ibadah haji.” Maka bagi seorang yang fakih dan mufti hendaknya antusias dalam memaparkan hukum syariat dengan gambaran segamblang mungkin, sehingga pernyataannya tidak terkesan rancu atau samar. 

2. (1) Hadis ini merupakan dalil bahwa ibadah haji adalah salah satu kewajiban yang diwajibkan oleh Allah b bagi hamba-hamba-Nya. Wajib bagi seorang Muslim yang mampu untuk segera menunaikannya sebelum ada kesibukan yang menghalanginya.

3. (2) Orang yang alim, seorang dai, dan orang yang fakih, jika ditanya tentang suatu perkara, maka ia boleh diam tidak menjawab, sebagai bentuk teguran bagi si penanya yang terlalu mendetail.

4. (2) Apabila si penanya belum paham, bahwa diamnya orang yang fakih atau mufti sebagai teguran, maka orang yang alim tersebut harus menjelaskan hukum syar’i kepadanya, dan melarangnya agar tidak bertanya semisal pertanyaan tadi.

5. (3) Seorang hamba harus merenungi bentuk kasih sayang Nabi terhadap umatnya, bagaimana beliau mengkhawatirkan mereka, lebih memilih diam karena takut akan menjadi beban bagi mereka. Beliau tidak keluar shalat malam di bulan Ramadan, agar tidak diwajibkan kepada manusia, dan melarang sahabat bertanya hal-hal yang tidak ada nasnya, karena alasan yang sama. Apabila seorang hamba merenunginya, maka akan semakin cinta kepada Nabi  dan semakin tinggi kedudukan beliau di dalam hatinya.

6. (4) Seseorang tidak boleh membebani diri dengan mencari-cari secara detail perkara yang hukumnya tidak disinggung, dan berusaha menentukan hukum syar’i padanya, karena perkara yang tidak ada nas yang menetapkan hukumnya dan tidak ada illah (alasan sebuah hukum) yang bisa dianalogikan kepadanya, maka hukumnya kembali ke hukum asal, yaitu mubah.

7. (4) Larangan bertanya itu berlaku pada masa Nabi, agar tidak ada sesuatu pun yang diharamkan karena sebab pertanyaan mereka. Sehingga di dalamnya terdapat kesusahan atas mereka. Adapun sekarang, seseorang tidak boleh melakukan sesuatu, lalu diam tidak mau bertanya tentang statusnya yang halal atau haram? Bahkan ia wajib menimba ilmu, sehingga mengetahui yang halal untuk ia kerjakan, dan mengetahui yang haram untuk ia tinggalkan.[5]

8. (4) Pertanyaan yang dilarang sekarang ialah perkara yang tak berujung atau pertanyaan yang menimbulkan keburukan atau kerusakan. Sebagai contoh: berbicara tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah tanpa dasar ilmu, dan bertanya tentang rincian sifat dan perbuatan-Nya.[6]

9. (5) Seorang dai sebaiknya menjelaskan alasan diperintahkan atau dilarangnya sesuatu, dan menjelaskan hikmahnya jika memang diketahui, sehingga hal tersebut mendorongnya untuk menerapkannya dan diharapkan dakwahnya lebih mudah diterima oleh masyarakat. 

10. (6) Hadis ini merupakan dalil bahwa para hamba wajib mengerjakan berbagai perintah syariat semampunya. Orang yang fakir tidak boleh membebani dirinya dengan harus bersedekah. Orang yang sedang sakit dan musafir boleh tidak berpuasa dan mengqada puasanya. Orang yang belum mampu tidak wajib berhaji. Yang wajib adalah seorang Muslim menunaikan perintah-perintah yang mampu ia lakukan.

11. (6) Meninggalkan maksiat lebih utama daripada mengerjakan kewajiban. Bukankah engkau dapati bahwa perkara-perkara yang diperintahkan disyaratkan harus mampu, sedangkan larangan-larangan dan segala sesuatu yang mengarah kepadanya wajib bagi seorang hamba untuk meninggalkannya?! 

12. Meninggalkan maksiat tidak akan sempurna hingga seorang Muslim benar-benar meninggalkan semua yang berkaitan dengan maksiat tersebut. Sebagai contoh: larangan berbuat syirik, ini mengharuskannya untuk meninggalkan segala sesuatu yang mengantarkan kepada kesyirikan walaupun hukumnya sendiri tidak syirik, seperti bersumpah dengan selain nama Allah, tanpa meyakini keagungan nama yang dipakai untuk bersumpah. Perkataan, “Atas kehendak Allah dan fulan,” dan yang sejenisnya yang bisa mengantarkan seseorang kepada kesyirikan dan pintu-pintunya.


Referensi

1. Lihat: Al-Mufhim limá Asykala min Talkhíÿ Kitáb Muslim karya Al-Qurþubí (3/447) dan Tuñfah Al-Abrár Syarñ Maÿábih As-Sunnah karya Al-Baiðawí (1/130).

2. Lihat: Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawí (9/101) dan Syarñ Al-Arba’in An-Nawawiyah karya Ibnu Daqíq Al-Íd (Hal 57). 

3. HR. Muslim (12).

4. HR. Al-Bukhari (7289) dan Muslim (2358).

5. Lihat: Syarñ Al-Arba’in An-Nawawiyah karya Ušaimin (hal. 315).

6. Lihat: Syarñ Al-Arba’in An-Nawawiyah karya Ušaimin (hal. 315).


Di hadis ini terdapat penjelasan mengenai kaidah yang agung dalam Islam, yaitu bahwa perbuatan Nabi g merupakan hujah (sumber hukum). Perbuatan Nabi sama seperti sabdanya, keduanya sama-sama wajib diikuti dan dilaksanakan.

1. Jabir k mengabarkan bahwa beliau melihat Nabi g melempar Jumrah Al-‘Aqabah pada hari Idul Adha dengan mengendarai unta, agar para sahabat melihat bagaimana beliau melaksanakan manasik haji. Beliau menjelaskan cara melempar jumrah, bacaan apa yang dibaca dan lain sebagainya. Nabi g melempar sambil mengendarai unta untuk menjelaskan bahwa melempar jumrah boleh dilakukan dengan berjalan atau naik kendaraan.[1]

2. Kemudian beliau memerintahkan kita untuk mengambil manasik haji dari beliau. Maka hendaklah kita meneladan beliau dengan melakukan apa yang beliau lakukan, meninggalkan apa yang beliau tinggalkan, mendahulukan apa yang beliau dahulukan dan mengakhirkan apa yang beliau akhirkan.

Nabi g menjelaskan alasan mengapa beliau memerintahkan mereka untuk mengikuti manasik hajinya. Yaitu karena beliau menyangka secara kuat atau mungkin bahkan meyakini bahwa beliau tidak akan berhaji lagi setelah tahun tersebut. Sebabnya karena beliau mendapatkan beberapa tanda dekatnya ajal. Di antaranya adalah ayat yang turun ketika di Arafah, Allah Ta’ala berfirman, “Pada

Perbuatan Nabi g yang menjadi penjelasan detail bagi hukum yang global berkaitan dengan kewajiban dan fardu dalam agama Islam, seperti: shalat, zakat, haji dan lain sebagainya yang merupakan kewajiban yang harus kita ikuti, seperti sabda beliau, “Shalatlah kalian seperti kalian melihatku shalat,”[2] kecuali jika ada dalil lain yang menunjukkan bahwa hal itu tidak wajib.[3]

Perintah Nabi g tersebut beliau sampaikan pada hari Nahr ketika telah menyelesaikan kewajiban dan rukun haji yang paling penting. Seakan-akan Nabi g mengatakan, “Semua hal yang telah aku kerjakan baik berupa ucapan, perbuatan, dan gerakan semuanya merupakan cara haji yang benar. Ini adalah manasik haji yang harus kalian ambil dariku, maka terimalah, jagalah, amalkanlah dan ajarkanlah kepada orang lain.”[4] 

Nabi g menjelaskan alasan mengapa beliau memerintahkan mereka untuk mengikuti manasik hajinya. Yaitu karena beliau menyangka secara kuat atau mungkin bahkan meyakini bahwa beliau tidak akan berhaji lagi setelah tahun tersebut.

4. Sebabnya karena beliau mendapatkan beberapa tanda dekatnya ajal. Di antaranya adalah ayat yang turun ketika di Arafah, Allah Ta’ala berfirman,

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.”

(QS. Al-Má`idah: 3)

Juga hadis yang diriwayatkan oleh Fatimah i bahwa Nabi g membisikkan kepadanya pada saat sakit menjelang wafat, “Sesungguhnya Jibril biasa membacakan dan menyimak Al-Qur`an kepadaku sebanyak satu kali setiap tahun, namun tahun ini dia membacakan dan menyimak Al-Qur`an kepadaku sebanyak dua kali. Aku tak melihat hal itu selain sebagai isyarat tentang kematianku sungguh semakin dekat.”[5] Barangkali beliau mengatakan hal itu berdasarkan tanda-tanda yang kuat, atau bisa juga Allah e telah mengabarkan kepadanya. 
Haji yang dilakukan oleh Nabi g ini merupakan satu-satunya haji yang beliau kerjakan setelah hijrah dan setelah diwajibkannya syariat haji. Hajinya ini disebut Haji Wada’ (haji perpisahan), karena beliau menyampaikan ucapan perpisahan kepada para sahabat dengan mengatakan, “Barangkali aku tidak haji lagi setelah ini

Implementasi

1. (1) Seorang dai, guru, dan pendidik harus menampakkan sebagian ibadah dan  mengajarkannya kepada masyarakat sehingga mereka mengambil pelajaran dan belajar darinya.

2. (1) Para ulama dan dai harus memimpin pertemuan-pertemuan penting dan ketika ada utusan yang datang. Agar orang-orang dapat bertanya dan mengambil hukum darinya.

3. (1) Terkadang, menjelaskan sesuatu lebih efektif dilakukan dengan perbuatan dan perintah untuk mengikuti daripada hanya sekadar penjelasan dengan ucapan.

4. (2)Para dai hendaklah memberikan perhatian dan memahami kondisi realitas masyarakatnya. Ia mengakhirkan penjelasan mengenai suatu perkara jika memang diperlukan. Pada hadis tersebut, Nabi g tidak menyampaikan detail manasik haji dan hukum-hukumnya sampai beliau selesai melaksanakan haji bersama orang-orang.

5. (2) Seorang Muslim hendaklah bersemangat untuk mengikuti ucapan dan perbuatan Nabi g karena sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk yang bersumber dari Nabi g.

6. (3)Para dai dan guru hendaklah memotivasi murid-murid dan orang-orang yang mendengarnya untuk segera mengambil ilmu dan belajar darinya sebelum disibukkan dengan berbagai urusan atau diwafatkan oleh Allah.

7. (3) Seseorang boleh memprediksi hal yang akan terjadi di masa depan jika analisisnya dibangun di atas peristiwa yang mendahuluinya. Tapi tidak boleh memastikannya atau meyakini bahwa dirinya mengetahui hal yang gaib. Prediksinya hanyalah merupakan husnuzan (berbaik sangka) dan analisis yang dilakukan dengan menghubungkan berbagai hal. Semua urusan dari awal dan akhir adalah milik Allah.

8. Seorang  penyair menuturkan,

Wahai orang yang berjalan menuju Mina dengan bimbinganku

Kalian menggugah hatiku saat berangkat

Kalian berjalan bersama penunjuk jalan kalian, alangkah sedih kesendirianku

 Kerinduan mengguncang hatiku juga suara orang yang bersenandung

Kalian membuat kelopak mataku tidak terpejam karena kalian menjadi jauh wahai orang yang tinggal di lembah dan dataran rendah

Referensi

1.  Lihat: Al-Mufhim Limá Asykal Min Talkhís Kitáb Muslim karya Al-Qurþubí (3/400) dan Al-Mafátíñ Syarñ Al-Maÿábíñ karya Al-MuÈhirí (3/312).

2. HR. Al-Bukhari (6008).

3. Lihat: Syarñ Ÿañíñ Al-Bukhári karya Ibnu Baþþal (10/345) dan Al-Mufhim Limá Asykal Min Talkhís Kitáb Muslim karya Al-Qurþubí (3/399).

4. Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawí (9/45).

5. HR. Al-Bukhari (3624) dan Muslim (2450).

Nabi menjelaskan bahwa anugerah Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya tidak dapat dihitung. Setiap saat, kita tenggelam dalam nikmat Allah Ta’ala yang seringkali kita tidak menyadari urgensinya dan tidak benar-benar mensyukurinya. Di antara nikmat yang dijelaskan Nabi g  dalam hadis ini adalah tiga hal, yaitu: keamanan, kesehatan, dan rezeki.

Maka barang siapa yang menyongsong harinya dengan jiwanya merasa aman, rumahnya, keluarganya dan negerinya; ia merasa tenang dan tidak khawatir adanya musuh, wabah atau kezaliman yang menimpanya; badannya sehat dan segar bugar, tidak ada penyakit yang menghalanginya bergerak dan melakukan tugas-tugas hariannya; ia memiliki makanan yang cukup untuk hari itu sehingga tidak merasa khawatir terhadap rezekinya; orang yang mempunyai semua kenikmatan ini, seakan-akan dikumpulkan baginya seluruh dunia. Maka, nikmat apalagi yang ia inginkan?

Allah menganugerahkan nikmat-nikmat tersebut kepada hamba-hamba-Nya. Allah berfirman, 

“Tidakkah mereka memperhatikan, bahwa Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, padahal manusia di sekitarnya saling merampok.”

(QS. Al-Ankabút: 67)

. Allah juga berfirman,

“... yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan.”

(QS. Quraisy: 4)

Allah mencela orang-orang kafir yang mengingkari nikmat-nikmat tersebut maka Allah c memberikan sanksi dengan mencabutnya,

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezeki datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah, karena itu Allah menimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang mereka perbuat.”

(QS. An-Nañl: 112)

Implementasi

1. Berbaik sangkalah kepada Allah Ta’ala. Karena rezekimu, takdirmu, dan semua urusanmu berada di tangan Allah Ta’ala.

2. Bersyukurlah kepada Allah Ta’ala atas nikmat keamanan. Betapa banyak orang yang terusir dari negerinya, orang yang ketakutan, dan tawanan perang sangat menginginkan sedikit nikmat yang engkau punya.

3. Di antara besarnya nikmat rasa aman adalah Allah Ta’ala  berjanji akan menganugerahkan rasa aman itu kepada orang-orang yang beriman. Allah berfirman,

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan syirik, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.”

(QS. Al-An’ám: 82)

. Maka jadilah engkau di antara orang-orang yang disebut dalam ayat di atas agar mendapatkan apa yang telah dijanjikan Allah.

4. Kesehatan adalah nikmat yang sangat agung yang wajib kita bersyukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat tersebut. Allah telah menciptakan kita dengan rupa dan fisik yang sempurna. Allah c juga menganugerahkan kesehatan yang membuat kita bisa beraktivitas dan beramal.

5. Di antara doa yang sering dipanjatkan oleh Nabi  adalah: Alláhumma ‘áfiní fí badaní, alláhumma ‘áfiní fí sam’í, alláhumma ‘áfiní fí baÿarí, lá iláha illá anta. (Ya Allah, berilah kesehatan pada badanku. Ya Allah, berilah kesehatan pendengaranku. Ya Allah, berikan kesehatan dalam penglihatanku, tiada Tuhan selain engkau).[1] Bersemangatlah untuk selalu membaca doa dari Nabi  ini.

6. Nabi bersabda, “Ada dua nikmat yang manusia sering tertipu yaitu kesehatan dan waktu luang.”[2] Jangan sampai engkau menjadi orang-orang yang ingkar terhadap nikmat Allah Ta’ala. 

7. Bersyukurlah kepada Allah Ta’ala atas rezeki yang dianugerahkan kepadamu. Bersikaplah kanaah dengan apa yang engkau miliki. Karena di luar sana banyak orang yang lapar. Mereka tidak menemukan sesuap makanan untuk mengisi perut kosongnya.
8. Seorang Muslim harus menyadari kadar nikmat Allah c kepadanya karena dia akan dihisab oleh Allah atas nikmat tersebut. Dia berusaha bersyukur dengan menggunakannya dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala dan melakukan sesuatu yang membuat Allah c rida. Allah akan bertanya kepadanya pada hari kiamat mengenai nikmat yang Allah anugerahkan. Jika dia menggunakannya dalam kebaikan dan keridaan Allah Ta’ala, maka dia akan selamat. Jika tidak, maka dia akan mendapatkan kerugian yang sangat besar.
9. Seseorang tidak akan mengetahui nilai nikmat air kecuali ketika kehilangan nikmat tersebut dan merasakan kehausan. Demikian halnya semua nikmat yang lain. Manusia tidak akan mengetahui nilainya kecuali pada saat dia kehilangan nikmat tersebut. Maka jadilah orang-orang yang bersyukur.
10. Seorang penyair menuturkan,

Jika zaman menyelimutimu dengan baju kesehatan

dan tidak kekurangan makanan yang sedap dan lezat

Maka jangan pernah iri terhadap orang-orang kaya

Karena dia akan mengambil setara dengan yang diberikannya

11. Penyair lain menuturkan,

Jika makanan datang kepadamu

juga rasa aman dan kesehatan

Akan tetapi engkau tetap bersedih hati

 maka kesedihan tidak berpisah darimu



Referensi

1. HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad (701), Ahmad (20701), dan Abu Daud (5090).

2. HR. Al-Bukhari (6412).

1. Tawakal termasuk salah satu ibadah hati, terealisasi dengan percaya kepada Allah Ta’ala dan bersandar kepada-Nya dengan tetap berusaha (dalam meraih rezeki). Nabi g mengabarkan kepada kita, seandainya kita benar-benar tawakal kepada Allah Ta’ala, niscaya Dia akan memberikan rezeki kepada kita sebagaimana Dia memberikan rezeki kepada burung.

2. Burung terbang di pagi hari dalam kondisi lapar dengan perut kosong, dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang dengan perut penuh. Seandainya kita tulus dalam menyandarkan diri kita dan tawakal kepada Allah Ta’ala, niscaya Dia akan memberikan rezeki kepada kita sebagai Dia memberikan rezeki kepada burung yang tidak memiliki kecerdikan. Akan tetapi kebanyakan dari kita bersandar pada perilaku curang, dusta, dan penipuan di dalam bermuamalat, atau pasrah begitu saja dan tidak berbuat apa-apa; atau hanya bersandar pada usaha semata secara total, ia melihat bahwa jika memang usahanya benar dan sesuai maka pasti akan mendapatkan rezeki.[1] Tawakal sejati adalah ketika seseorang melakukan usaha disertai keyakinan kuat kepada Allah Ta’ala, bahwa semua urusan berada di tangan Allah, bukan dengan meninggalkan usaha lalu duduk menanti rezekinya. Perbuatan tersebut termasuk bentuk tawakal yang tercela, bukan tawakal yang terpuji. Nabi g saja tetap mengenakan baju besi dalam peperangannya, menggali parit dalam perang Ahzab, dan keluar berhijrah dengan sembunyi-sembunyi. Beliau tetap menggunakan pemandu jalan saat menyusuri jalan saat hijrah, bersembunyi di dalam gua, dan mempersiapkan strategi dalam peperangannya. Beliau adalah sosok terbaik dalam merealisasikan sikap tawakal kepada Allah. Di sisi lain, Allah e telah memerintahkan agar bertawakal disertai dengan tekad yang kuat dan tetap berusaha. Dia berfirman,

“Apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.”.

(QS. Áli Imrán: 159)

Implementasi

1. Apabila seorang muslim merasa gelisah dengan urusan rezekinya, maka tidak ada yang harus ia lakukan melainkan bertawakal kepada Allah Ta’ala, dan rida dengan apa yang sudah diberikan Allah kepadanya. Dia harus benar-benar yakin, bahwa ia memiliki Tuhan Yang Maha Mengatur segala urusan, lalu setelah itu dia berusaha.

2. Kebanyakan manusia sering mengucapkan, “Aku bertawakal kepada Allah,” padahal ia tidak sedang benar-benar bertawakal. Tawakal itu bukan sekadar terucap di lisan, namun berserah diri kepada Allah, rida terhadap keputusan-Nya, disertai dengan keimanan kepada-Nya. 

3. Seseorang yang benar-benar bertawakal kepada Allah sesuai dengan niatnya, dia terjaga dari bujuk rayu dan godaan setan. Allah Ta’ala berfirman,

“Maka apabila engkau (Muhammad) hendak membaca Al-Qur`an, mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Sungguh, setan itu tidak akan berpengaruh terhadap orang yang beriman dan bertawakal kepada Tuhan.”

(QS. An-Nañl: 98-99)

. Siapa yang ingin dijaga oleh Allah Ta’ala dari setan dan dijauhkan darinya, maka seharusnya ia memperbaiki sikap tawakalnya kepada Allah

4. Siapa yang ingin dijaga oleh Allah dalam segala urusannya, dicukupkan seluruh urusan dunia dan akhiratnya, maka mohonlah perlindungan kepada Allah Ta’ala dan menyerahkan semua urusan kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

”Dan siapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.”

(QS. Aþ-±alaq: 3)

. Rasulullah bersabda, “Siapa yang mengucapkan -yakni saat keluar dari rumahnya-, ‘Bismilláh tawakkaltu ‘ala alláhi wa lá ñaula walá quwwata illá billáh (Dengan menyebut nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya serta upaya kecuali dengan pertolongan Allah), akan dikatakan kepadanya, ‘Kamu akan dicukupkan, dijaga, dan setan akan menjauhinya.’” [2]

5. Tawakal sejati kepada Allah Ta’ala ialah sikap rida terhadap apa pun yang ditakdirkan oleh Allah, percaya kepada-Nya, dan menyerahkan urusannya kepada-Nya. Bisyr Al-Ôafi mengatakan, “Ada seseorang yang berkata, ‘Aku bertawakal kepada Allah,’ dia berdusta atas nama Allah, sekiranya ia benar-benar bertawakal kepada Allah, maka ia akan rida terhadap apa yang Allah perbuat kepadanya.” Yahya bin Mu’aæ pernah ditanya, “Kapankah seseorang disebut bertawakal kepada Allah?” Beliau menjawab, “Jika ia rida Allah sebagai Penolong.”[3]

6. Tatkala Allah hendak memberi makan Sayyidah Maryam i, menjelang proses kelahiran, Dia memerintahkannya agar menggoyangkan batang pohon kurma, lantas kekuatan seperti apa yang berasal dari seorang wanita yang hendak melahirkan, menggoyangkan batang pohon kurma hingga buah kurmanya jatuh! Bahkan seorang laki-laki yang kuat sekalipun yang menggoyang batang pohon kurma, sama sekali tidak akan menjatuhkan buah kurmanya, tetapi Allah ingin hamba-Nya melakukan usaha dan menyerahkan hasilnya kepada Allah .

7. Umar bin Al-Khaþþab h bertemu dengan sekelompok orang dari penduduk Yaman yang pasrah, tidak melakukan usaha apa pun, lalu Umar bertanya, “Siapakah kalian?” Mereka menjawab, “Kami orang-orang yang sedang bertawakal.” Umar menyahut, “Tetapi kalian orang-orang yang hanya pasrah; sesungguhnya orang yang bertawakal ialah yang menebar benihnya ke tanah, lalu ia bertawakal kepada Allah.”[4] 

8. Para dai dan pendidik sebaiknya sering menggunakan gaya bahasa yang menarik dan memberi contoh yang dapat memperjelas makna dan menguatkan pemahaman.

9. Abdullah bin Salam bertemu dengan Salman k, salah satunya berkata, “Jika engkau mati sebelumku, temuilah aku dan kabarkan apa yang engkau dapatkan dari Rabbmu, dan jika aku mati sebelummu, aku akan menemuimu, dan memberitahumu.” Lalu kawannya berkata, “Apakah orang-orang yang sudah mati bisa menemui orang-orang yang masih hidup?” Ia menjawab, “Iya, roh mereka pergi ke surga sekehendaknya.” Ia berkata, “Si fulan telah mati, dan menemuinya di dalam mimpi, ia mengatakan, ‘Bertawakallah dan bergembiralah, aku tidak pernah melihat ada amalan setara dengan tawakal. Bertawakallah dan bergembiralah, aku tidak pernah melihat pahala yang setara dengan tawakal.’”[5]

10. Lukman r berkata kepada putranya, “Wahai putraku, dunia itu layaknya lautan yang banyak sekali manusia tenggelam di sana. Jika mampu, jadikanlah perahumu itu adalah keimanan kepada Allah, isinya adalah mengerjakan ketaatan kepada Allah e, dan layarnya adalah tawakal kepada Allah; semoga dirimu selamat.”[6]

10. Seorang penyair menuturkan,

Aku bertawakal akan rezekiku kepada Allah yang menciptakanku

Aku yakin bahwa Allah lah yang memberiku rezeki

Apa yang menjadi rezekiku maka tak akan luput dariku

Sekalipun berada di dalam dasar lautan nan dalam

Niscaya Allah yang Mahaagung mendatangkan karunia-Nya

Walaupun lisanku belum mengucap

Lantas untuk apa merasa sedih Sang Maha Pengasih telah membagi rezeki tuk seluruh makhluk



Referensi

1.  Lihat: Dalíl Al-Fálihín li ±uruq Riyáð Aÿ-Ÿálihín karya Ibnu ‘Allán Aÿ-Ÿiddiqí (1/197-198).

2. HR. At-Tirmiæí (3426).

3.Madárij As-Sálikín karya Ibn Al-Qayyim (2/114).

4. HR. Al-Bukhari (1523).

5.At-Tawakkal ‘ala Allah karya Ibnu Abu Abi Ad-Dunya hal. 51.

6. At-Tawakkal ‘ala Allah karya Ibnu Abu Abi Ad-Dunya hal. 49.


1. Allah b dan Nabi-Nya mengharamkan khamar, karena khamar dapat menghilangkan akal manusia. Padahal akal adalah syarat bagi manusia untuk mendapatkan taklif.[1] Khamar juga mendorong manusia melakukan kemaksiatan dan kerusakan di muka bumi. Allah Ta’ala berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. Dengan minuman keras dan judi itu, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan salat maka tidakkah kamu, mau berhenti?” 

(QS. Al-Má`idah: 90-91)

2. Jika khamar diharamkan, maka hasil penjualannya juga haram. Anas h berkata, “Rasulullah g melaknat beberapa perkara yang berkaitan dengan khamar pada sepuluh hal: orang yang memerasnya, orang yang meminta diperaskan, orang yang meminumnya, orang yang membawanya, orang yang dibawakan, orang yang menuangkannya, orang yang menjualnya, orang yang memakan hasilnya, orang yang membelikan, dan orang yang dibelikan.”[2]

Abu alñah  pernah bertanya kepada Nabi mengenai anak yatim yang mewarisi khamar, beliau bersabda, “Tumpahkanlah khamar tersebut.” alñah  bertanya, “Bolehkah kami menjadikannya cuka?” Rasulullah g  menjawab, “Tidak boleh.” [3]

Rasulullah juga mengharamkan jual beli bangkai, karena bangkai haram dimakan dan dimanfaatkan, sesuai firman Allah,

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai...”

(QS. Al-Má`idah: 3)

kecuali mengambil manfaat dari kulit bangkai binatang yang halal dagingnya –seperti sapi dan kambing- setelah disamak. Dari Ibnu Abbas i, beliau berkata, “Ada orang yang bersedekah kambing kepada mantan budak Maimunah, kemudian kambing itu mati. Rasulullah melewati bangkainya dan bersabda, ‘Mengapa kalian tidak mengambil kulitnya, lalu menyamaknya dan mengambil manfaat darinya?’ Para sahabat berkata, ‘Sesungguhnya itu adalah bangkai.’ Rasulullah bersabda, ‘Yang diharamkan adalah memakannya.’”[4]

3. Diharamkan juga jual beli babi, karena Allah c mengharamkan memakannya dan menetapkannya najis melalui firman-Nya, “Katakanlah, ‘Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin

memakannya, kecuali daging hewan yang mati (bangkai), darah yang mengalir, daging babi – karena semua itu kotor – atau hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah.”

(QS. Al-An’ám: 145)

4. Diharamkan juga jual beli dan membuat patung, baik digunakan untuk beribadah atau pun tidak. Hal ini untuk mencegah terjadinya kesyrikan. Karena syirik mulai ada di bumi ketika orang-orang mulai membuat patung, walaupun pada awalnya dibuat tidak untuk ibadah. Terlebih Nabi g bersabda, “Tidak akan terjadi hari kiamat kecuali pinggul-pinggul wanita kabilah Daus akan meliuk-liuk di sekitar †í Al-Khalaÿah,” yaitu patung yang dahulu disembah oleh kabilah Daus pada masa jahiliah.”[5]

Dikecualikan juga memakan bangkai ikan dan belalang, sesuai sabda Nabi g, “Dihalalkan bagi kalian dua jenis bangkai dan dua jenis darah. Dua jenis bangkai itu adalah ikan dan belalang; dan dua jenis darah itu adalah hati dan limpa.” [6]

5. Ketika Nabi g menjelaskan kepada para sahabat tentang keharaman jual beli dan mengonsumsi bangkai, mereka bertanya mengenai hukum menggunakan lemak bangkai binatang selain untuk dimakan. Apakah boleh digunakan untuk memoles kapal, menyamak kulit dan menggunakannya sebagai minyak lentera? Nabi menjawab dengan mengatakan bahwa hal itu haram dan tidak boleh.

Para sahabat bertanya tentang hukum menggunakan lemak bangkai binatang dan memperjualbelikannya hanya karena mereka menyangka hukumnya sama seperti keledai piaraan, yaitu bahwa Nabi g mengharamkan memakan daging keledai piaraan tapi memperbolehkan untuk diperjualbelikan, digunakan sebagai binatang tunggangan dan lain sebagainya. Maka, Nabi g menjelaskan bahwa hukumnya berbeda. Alasannya karena bangkai itu najis, maka tidak boleh dimakan dan dimanfaatkan. Jika tidak boleh dimanfaatkan, maka tidak boleh juga diperjualbelikan. 

Kemudian Nabi g mendoakan keburukan bagi orang-orang Yahudi, karena mereka mengakali syariat Allah c ketika dilarang untuk memakan, menggunakan dan memperjualbelikan lemak binatang. Allah c berfirman,

“Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan semua (hewan) yang berkuku. Dan Kami haramkan kepada mereka lemak sapi dan domba...”

(QS. Al-An’ám: 145)

Orang-orang Yahudi memanaskan lemak itu hingga mencair kemudian menjualnya dan memakan hasil dari penjualannya.


Implementasi

1. Haram hukumnya bagi seorang Muslim untuk menjual khamar, baik ia menjualnya kepada orang Muslim maupun non-Muslim. Karena hasil penjualan khamar haram bagi seluruh kaum Muslimin.

2. (1) Islam memberikan perhatian terhadap akal manusia. Islam menganjurkan manusia untuk memikirkan dan merenungi ciptaan Allah Ta’ala; Islam mewajibkan umatnya untuk menuntut ilmu. Oleh karena itu, Islam mengharamkan segala sesuatu yang bisa merusak akal seperti minum khamar dan sejenisnya.

3. (2) Termasuk dalam larangan menjual bangkai adalah menjual binatang yang diawetkan (taksidermi) [7]. Maka seorang Muslim tidak boleh melakukan jual beli jenis barang tersebut. 

4. (3) Sebagaimana diharamkan bagi seorang Muslim makan daging babi maka demikian pula haram menjualnya, baik kepada Muslim lain maupun kepada orang kafir. Karena hal tersebut termasuk kategori bekerja sama dalam perbuatan dosa dan permusuhan.

5. (4) Tidak boleh menggunakan dan membuat patung, karena hal itu termasuk dosa besar. Rasulullah g bersabda, “Sesungguhnya  manusia yang paling pedih siksaannya pada hari kiamat ialah para penggambar (sesuatu yang mempunyai ruh).”[8]

6. (4) Hadis ini menunjukkan kewajiban berhati-hati terhadap hal-hal yang menjadi bibit-bibit kemusyrikan. Pada masa Nabi, ada seseorang yang bernazar untuk menyembelih binatang di Buwanah -yaitu suatu tempat dekat Makkah-. Lalu ia mendatangi Nabi an berkata, “Aku bernazar untuk menyembelih binatang di Buwanah.” Nabi g bertanya, “Apakah dahulu di sana ada patung yang disembah seperti patung-patung zaman jahiliah?” Para sahabat menjawab, “Tidak ada.” Nabi bertanya lagi, “Apakah dahulu di sana ada hari-hari besar zaman jahiliah)?” Para sahabat menjawab, “Tidak ada.” Lalu Rasulullah bersabda, “Penuhilah nazarmu, karena nazar tidak boleh dilakukan jika dalam rangka bermaksiat kepada Allah c atau dalam hal yang tidak dimiliki manusia.”[9]

7. (5) Para sahabat tidak malu untuk bertanya mengenai hukum lemak bangkai. Itu bukan termasuk pertanyaan yang tercela atau pun bentuk penentangan terhadap hukum yang ditentukan Nabi. Mereka bertanya hanya karena ada manfaat yang bisa diambil dari lemak bangkai yang tidak berhubungan dengan makan dan minum. Karena mereka menyangka haramnya bangkai hanya berhubungan dengan memakannya. Oleh karena itu, jangan sampai rasa malu menghalangi seseorang untuk bertanya.

8. (6) Mengakali syariat Allah Ta’ala c bukan karakter orang-orang mukmin. Allah c berfirman mengenai orang-orang mukmin,

“Ucapan orang-orang mukmin, yang apabila mereka diajak kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan (perkara) di antara mereka, hanyalah dengan mengatakan, ‘Kami mendengar, dan kami taat.’ Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

(QS. An-Núr: 51).

 Mengakali syariat merupakan karakter orang Yahudi yang dimurkai oleh Allah, maka jangan sampai engkau termasuk golongan mereka.(6) Nabi

9. g memberi peringatan untuk tidak mengikuti perbuatan orang-orang Yahudi dalam mengakali syariat. Nabi bersabda, “Jangan kalian melakukan seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Jangan kalian menghalalkan yang diharamkan oleh Allah c dengan tipu daya yang paling rendah.”[10]

10. (6) Akibat dari perbuatan mengakali syariat Allah Ta’ala, Dia mengubah bentuk Asñáb As-Sabt [11] menjadi kera karena mereka mengakali larangan mencari ikan pada hari Sabtu. Mereka menebarkan jala pada hari Jumat dan membiarkannya sampai hari Sabtu. Maka hendaknya orang-orang yang mengakali syariat Allah c takut akan mendapatkan siksa seperti yang mereka alami.



Referensi

1.  Taklif adalah beban untuk melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah. Orang yang tidak berakal atau akalnya tidak berfungsi maka dia tidak mendapatkan taklif (penerjemah).

2. HR. At-Tirmizi (1295) dan Ibnu Majah (3381).

3. HR. Abu Daud (3675).

4. HR. Al-Bukhari (1492) dan Muslim (363).

5. HR. Ahmad (5723) dan Ibnu Majah (3314).

6. HR. Al-Bukhari (7116) dan Muslim (2906).

7. Yaitu binatang yang diawetkan dengan menyuntikkan air keras dan cairan sejenisnya.

8. HR. Al-Bukhari (5950) dan Muslim (2109) .

9. HR. Abu Daud (3313).

10. HR. Ibn Battah Al-‘Akburi dalam Ibþál Al-Ôiyal (hal. 47).

11.  Mereka adalah sekelompok orang Yahudi yang tinggal di dekat laut. Mereka dilarang untuk bekerja dan mencari ikan pada hari Sabtu. Maka, mereka mengakali larangan itu dengan menebarkan jala pada Jumat sore dan tetap membiarkannya sampai hari Sabtu. Kemudian, mereka memanennya pada hari Ahad. Karena perbuatan mereka, Allah mengubah bentuk mereka menjadi kera (penerjemah).

1. Tatkala Nabi ﷺ melewati sebuah pasar, beliau memeriksa kondisi orang-orang dan kegiatan jual beli mereka. Beliau mendapati ada seorang laki-laki yang menjual makanan, lalu beliau memasukkan tangan ke dalam sebuah tumpukan yang disiapkan oleh penjualnya, yang terlihat menarik dan memesona, ternyata beliau mendapati ada yang basah di dalam makanan tersebut. Ini membuktikan bahwa ada makanan tidak layak konsumsi, ditutupi dan disembunyikan agar tidak tampak oleh pembeli.

2. Lalu Nabi ﷺ bertanya kepadanya untuk mengingkari perbuatannya, karena ia meletakkan yang basah di bagian bawah sedangkan yang kering di atas. Dengan demikian pembeli akan mengira bahwa semuanya kering, tidak ada yang rusak. Maka lelaki tersebut memberi tahu beliau bahwa hujan turun dan membasahi sebagian besar makanannya.

3. Beliau ﷺ memberitahukan, seharusnya dia meletakkan yang rusak di atas supaya orang-orang bisa melihatnya. Itulah bentuk amanah dan kejujuran yang dituntut dalam jual beli, dan beliau g bersabda, “Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam sebagai orang-orang jahat, kecuali yang bertakwa kepada Allah, berbuat kebajikan, dan jujur.” [1]

4. Kemudian beliau ﷺmenyebutkan satu kaidah umum yang menjadi sandaran, yaitu pelaku kecurangan keluar sunnah Nabi g, sebab perbuatan manipulasi, penipuan, dan pengelabuan termasuk sifat para pendusta dan munafik, sehingga tidak layak bagi Nabi ﷺ dan para pengikutnya untuk berhias dengan sifat-sifat tersebut.

Ini bukan berarti pelaku kecurangan dinyatakan keluar dari Islam, namun sebuah penjelasan bahwa ia telah menyelisihi agama, dan telah melakukan dosa yang mengundang murka dan siksa Allah Ta’ala, karena ia menghalalkan harta saudaranya sesama Muslim, dan memancing kemarahannya, menimbulkan kebencian, dan ketidaksukaan, yang pada akhirnya putuslah hubungan ikatan antar kaum Muslimin. Kaidah ini tidak hanya berlaku pada jual beli, bahkan mencakup semua muamalah, termasuk juga kecurangan yang dilakukan oleh seorang pemimpin terhadap rakyatnya dan tidak menjaga kepentingan mereka, memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi. Hal ini berdasarkan sabda beliau ﷺ, “Setiap hamba yang Allah jadikan sebagai pemimpin rakyatnya, dan pada hari ia ditakdirkan mati dalam kondisi mengelabui rakyatnya, niscaya Allah akan mengharamkan surga baginya.”[2] Termasuk di antaranya mengelabui manusia dalam urusan agama, dan ini jenis pengelabuan paling besar dan paling buruk pengaruhnya serta kejahatan paling berat dosanya, yaitu orang-orang alim menyembunyikan apa yang Allah Ta’ala perintahkan kepada mereka untuk disampaikan kepada manusia, atau menyelewengkannya dari tempatnya karena berharap jabatan atau materi, sebagaimana Al-Qur`an menyifati bani Israil memiliki akhlak buruk tersebut.

Implementasi

1. (1) Para dai dan penuntut ilmu seyogianya melewati pasar-pasar guna melihat pelanggaran syariat dalam jual beli yang terjadi di sana, menasihati manusia, dan mengingatkan mereka kepada Allah Ta’ala.

2. (1) Di antara sunnah Nabi g beserta para sahabatnya dan tabiin di masa-masa awal, biasanya ada seorang petugas yang berjalan di pasar-pasar untuk mengecek barang dagangan, alangkah baiknya jika aparat pemerintah kembali melakukan hal itu untuk menertibkan kegiatan jual beli dan menjaga hak-hak manusia.

3. (2) Nabi ﷺ bergegas bertanya kepada penjual terkait makanan yang basah sebelum beliau menuduhnya telah berbuat curang, karena barangkali pedagangnya belum tahu. Maka sebaiknya kita meminta penjelasan atas segala perkara sebelum memvonis apa yang terlihat.

4. (2) Para pedagang senantiasa mengecek kondisi barangnya dari waktu ke waktu, agar ia dapat melihat manakah barang yang sudah tidak layak jual, berbahaya atau hal lainnya.

5. (3) Seorang Muslim harus jujur dalam aktivitas jual belinya dan seluruh muamalahnya, serta waspada jangan sampai memakan harta yang haram. Nabi ﷺbersabda, “Sesungguhnya tidaklah daging tumbuh dari makanan yang haram kecuali neraka lebih pantas baginya.”[3]

6. (3) Jangan sampai engkau melakukan manipulasi dalam jual beli, karena hal tersebut merupakan jalan menuju kerugian dan hilangnya keberkahan rezeki. Nabiﷺbersabda, “Dua pihak yang sedang transaksi jual beli memiliki hak khiyar (memilih) selama belum berpisah, jika keduanya jujur dan berterus terang, niscaya jual beli mereka berdua berkah. Namun bila keduanya saling menyembunyikan dan berdusta, niscaya akan sirna keberkahan jual beli mereka berdua.”[4]

7. (3) Jarir bin Abdullahﷺ ketika hendak menjual barang dagangannya, beliau menyampaikan aib-aibnya (kepada pembelinya) kemudian memberikan hak khiyar, dan beliau berkata, “Jika engkau berkenan silakan ambil, jika tidak, maka tinggalkan.” Ada yang berkata kepadanya, “Jika engkau lakukan seperti ini, maka engkau tidak bisa menjual daganganmu,” lantas beliau menimpalinya, “Sungguh kami telah berbaiat kepada Rasulullah ﷺ untuk selalu berbuat tulus kepada setiap Muslim.” [5]

8. (3) Seorang Muslim harus semangat untuk bersungguh-sungguh mencari yang halal untuk dia makan dan minum, karena banyak amalan manusia tidak akan diterima jika bersumber dari makanan yang haram. Wahb bin Al-Ward ﷺ menuturkan, “Sekiranya engkau berdiri menggantikan tiang (di masjid ini) [6], tidak bermanfaat bagimu sama sekali, hingga engkau memperhatikan apa yang masuk ke dalam perutmu; apakah halal atau haram.” [7]

9. (4) Orang yang berbuat curang dan memakan yang haram hendaknya mengetahui bahwa kelak kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sampai ia ditanya tentang empat hal, di antaranya, “Mengenai hartanya, dari mana ia peroleh.” [8] Bagaimana kelak engkau akan menjawabnya di hadapan Tuhanmu saat itu?!

10. (4) Bagaimana engkau mengharap doamu dikabulkan wahai pelaku kecurangan yang telah memakan harta manusia secara batil, terlebih Nabi ﷺ pernah menyebutkan kisah seorang laki-laki yang melakukan safar yang panjang, tampilannya kusam dan berdebu, mengangkat kedua tangannya ke arah langit seraya berkata, “... ‘Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku! Sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi makan yang haram,’ lantas bagaimana doanya bisa terkabul?!” [9]

11. (4) Sikap yang paling utama ketika menghadapi hadis-hadis yang di dalam redaksinya terdapat kalimat, “... tidak termasuk golonganku,” dan “... tidak termasuk golongan kami,” dan pernyataan yang semisal, membiarkannya mutlak tanpa penafsiran apa pun, karena hal itu akan lebih mengena dan keras sebagai teguran terhadap manusia.

12. (4) Ibnu Abbas ﷺ berkata, “Seseorang senantiasa benar pendapatnya ketika ia bersikap tulus kepada orang lain, namun ketika ia berbuat curang niscaya Allah akan mencabut ketulusannya dan pendapatnya.” [10] 

13.Seorang penyair menuturkan,

Wahai penjual yang berlaku curang, engkau menghadapkan diri

pada doa orang yang terzalimi, pengaduannya didengar oleh-Nya

Makanlah dari yang halal dan berhentilah dari yang haram 

Karena kelak engkau tak akan kuat di dalam neraka Jahim

14. Penyair lain menuturkan,

Katakanlah kepada yang tak ku ketahui warna aslinya

Apakah tulus atau curang layaknya musuh dalam selimut

Aku sering heran kau racuni, sungguh mengherankan

Satu tangan melukai dan lainnya mengobatiku

Kau gunjing aku di suatu kaum dan kau puji aku

di lain tempat, semuanya bersumber darimu kualami

Kedua hal itu sungguhlah sangat berbeda 

Tahanlah lisanmu dari mencela dan memujiku


Referensi

1. HR. At-Tirmiæi (1210) dan Ibnu Majah (2146).

2. HR. Al-Bukhari (7150) dan Muslim (227).

3. HR. At-Tirmiæi (612).

4. HR. Al-Bukhari (2079) dan Muslim (1532).

5. HR. Ibnu Sa’ad di dalam Aþ-±abaqāt Al-Kubrā – Mutammim Aÿ-Ÿañábah (hal. 803) dan Aþ-±abarani di dalam Al-Kabír (2510).

6. Melakukan shalat sepanjang waktu sehingga dimisalkan seperti tiang masjid. (editor)

7. Jāmi’ Al-‘Ulúm wa Al-ôikam karya Ibnu Rajab (1/263).

8. HR. At-Tirmizi (2417).

9. HR. Muslim (1015).

10. Aæ-†arí’ah ilā Makārim Asy-Syarí’ah karya Ar-Rāgib Al-Aÿfahāni (hal. 211).


1. Nabi mengabarkan dari Tuhannya b bahwasanya Allah Ta’ala menjauhkan sejumlah orang dari rahmat-Nya yang mereka berpartisipasi dalam satu kejahatan.

2. Kejahatan yang dimaksud adalah sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis tersebut tentang laknat kepada pemakan riba. Yaitu orang yang mengambil harta dari orang lain dengan cara muamalah yang mengandung riba, entah menggunakannya untuk makan atau konsumsi lainnya. 

Riba adalah harta tambahan yang diambil dari salah satu pihak yang melakukan akad tanpa adanya timbal balik. Seperti orang, bank, atau toko yang memberikan pinjaman kepada orang lain sebanyak 1.000 dengan syarat setelah satu bulan dibayar 1.200. Atau disyaratkan kepada penerima pinjaman apabila menangguhkan pembayaran dari waktu yang telah disepakati maka dia terkena denda. Atau seseorang membeli surat obligasi yang tertulis padanya bahwa dia akan mendapatkan 1.200 pada tanggal sekian. Padahal dia hanya membayar 1.000. Riba mempunyai bentuk-bentuk yang lain dan terkadang dalam transaksi keuangan, riba disebut dengan faedah atau bunga, atau denda keterlambatan dan selainnya.

3. Laknat juga dikenakan kepada orang yang memberikan tambahan riba yaitu orang yang melakukan akad riba yang rela untuk membayar harta tambahan sebagai ganti dari keterlambatan dan yang semisalnya. Laknat tersebut didapatnya karena dia telah membantu orang lain untuk makan riba. Pada umumnya riba terjadi bukan pada perkara penting yang kehidupan manusia bisa berhenti karenanya. Bahkan kebanyakan riba digunakan untuk memperbaiki tempat tinggal, kendaraan, atau lainnya.

Riba bisa terjadi pada mata uang dan bisa terjadi pada selainnya, seperti seseorang memberikan hadiah kepada orang lain dengan mengatakan, Beri aku pinjaman sebanyak 1.000.” Bahkan seandainya dia mengembalikan pinjaman sebanyak 1.000 sesuai dengan jumlah yang dipinjam, namun dia telah menambahkan hadiah.

4. Nabi juga memberitakan laknat itu juga menimpa orang yang menuliskan akad transaksi riba atau yang turut andil dalam menuliskannya, baik itu dengan tulisan tangan, dengan alat, dengan mendesain informasinya, dengan memasukkan keterangan-keterangan, atau dengan mengubah keterangan-keterangan berkaitan dengan riba.

5. Demikian pula, laknat juga menimpa para saksi yang menetapkan hak-hak di antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi riba.

6. Beliau juga mengabarkan bahwa mereka semua sama-sama mendapatkan laknat karena mereka  tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan yang dilarang oleh Allah Ta’ala. Sebagaimana firman Allah

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.”

(QS. Al-Má`idah: 2)

Implementasi

1. Setiap dari kita membutuhkan rahmat Allah Ta’ala dan setiap kita bertawasul kepada Allah Ta’ala supaya melimpahkan rahmat-Nya. Ketika engkau mendengar suatu perkara yang Allah melaknatnya atau melaknat pelakunya maka larilah darinya.

2. Sebagian manusia mungkin tidak rida dengan takdir atau karena tersiksa dan doanya tidak kunjung dikabulkan oleh Allah Ta’ala, gelisah di dalam jiwanya mengapa Allah tidak memberikan rahmat-Nya. Padahal, bisa jadi itu karena dia terjatuh dalam satu perkara yang termasuk salah satu perkara yang mendatangkan laknat dan dijauhkan dari rahmat Allah Ta’ala namun dia tidak peduli.

3. Banyak manusia yang tertipu dan bermudah-mudahan dengan riba padahal riba termasuk salah satu perkara yang membinasakan.[1] Riba dapat menghancurkan harta di dunia dan akhirat. Jangan engkau penuhi panggilan riba, baik menjadi pelakunya, bertransaksi jual beli dengan riba, menetapkannya sebagai sistem ekonomi, atau membuatkan iklan yang menarik untuk riba. Sesungguhnya Allah Ta’ala menghilangkan keberkahan pada harta riba. Allah c berfirman,

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa.”

(Al-Baqarah: 276) 

4. Riba diharamkan, setiap orang yang mempunyai andil di dalamnya berhak mendapatkan laknat. Sehingga tidak boleh turut andil pada transaksi riba apa pun, meskipun orang yang meminjam mengatakan, “Aku mampu membayar utang pada waktu yang telah ditetapkan tanpa riba (tambahan),” karena menulis akad yang mengandung riba tersebut sudah diharamkan dan Allah melaknat orang yang menulisnya.

5. Bersemangatlah untuk tidak mencari kecuali harta yang halal saja karena memakan harta yang haram akan menghalangi seorang hamba dari terkabulnya doa. Dalam sebuah hadits disebutkan bahwasanya Nabi g menyebutkan, “Seorang laki-laki yang melakukan perjalanan yang panjang rambutnya kusut berdebu menengadahkan tangannya ke atas langit, ‘Wahai Tuhanku, wahai Tuhanku,’ sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan diberi gizi yang haram, maka bagaimana doa tersebut dikabulkan?” [2]

6. Semangat para salafus shalih dalam menjaga makanan yang baik dan memperingatkan manusia dari makanan yang haram. Wahb bin Al-Warad pernah mengatakan, “Seandainya engkau melakukan shalat sepanjang malam maka hal itu tidak sedikit pun bermanfaat bagimu hingga engkau memperhatikan apa yang engkau masukkan ke dalam perutmu; apakah halal atau haram.”[3] Imam Ahmad bin Hanbal r pernah ditanya, “Dengan apa hati seseorang menjadi lembut?” Beliau diam sejenak kemudian mengangkat kepalanya lalu mengatakan, “Dengan makan makanan yang halal.”[4]

7. Nabi gpernah bersabda, “Aku tadi malam bermimpi melihat dua orang laki-laki yang datang kepadaku. Keduanya membawaku menuju negeri yang disucikan. Kami bertolak hingga kami mendatangi sungai darah, ada seorang laki-laki yang berenang di tengah sungai tersebut. Dan laki-laki yang lain berada di pinggiran sungai yang di hadapannya terdapat batu dan menghadap kea rah laki-laki yang berada di tengah sungai. Apabila laki-laki yang berada di tengah sungai hendak keluar dari sungai tersebut, maka laki-laki yang berada di pinggir sungai melempari mulutnya dengan batu. Kemudian laki-laki tersebut pun kembali ke tengah sungai. Setiap kali laki-laki tersebut datang untuk keluar dari sungai tersebut maka laki-laki yang berada di pinggiran sungai melempari mulutnya dengan batu. Kemudian kembali sebagaimana sebelumnya. Kemudian aku bertanya, ‘Apa ini?’ Kemudian salah satu dari laki-laki (yang membawaku) mengatakan, ‘Laki-laki yang engkau lihat berada di tengah sungai adalah pemakan riba.’” [5] 

8. Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan hasil penjualannya, tolong menolong di atasnya, menyaksikan tanpa mengingkari pelakunya. Maka janganlah engkau ikut berpartisipasi dalam kemaksiatan, meskipun engkau mengatakan, “Sungguh aku tidak melakukannya.”

9. Apabila engkau pernah bermuamalah dengan riba dan ingin bertaubat maka kembalikanlah tambahan riba kepada pemiliknya. Janganlah engkau mengambil selain hakmu secara syariat, karena mengembalikan harta yang diambil secara zalim adalah salah satu syarat bertobat.

10. Apabila ada orang yang bermuamalah dengan riba maka seyogianya kita menasihatinya dan menyerunya kepada kebenaran. Bisa jadi memboikot muamalahnya memiliki manfaat sebagai bentuk pengajaran dan mencegahnya dari hal tersebut. Di antaranya adalah bank-bank yang bermuamalah dengan muamalah riba dan muamalah yang islami. Akan tetapi tidak mengapa bermuamalah dengan sesuatu yang mubah yang tidak didapatkan dari selainnya atau kesulitan untuk mendapatkannya. Karena Nabi c sendiri bermuamalah dengan orang-orang Yahudi, jual beli dengan mereka sementara mereka adalah para pelaku riba.

11. Seorang penyair menuturkan,

Aku tahu harta halal mempunyai akibat yang baik

Dan lebih layak untuk ada pada pemuda

Jauhilah harta yang haram karena sesungguhnya

Kesusahan ketika kafan didatangkan kepadanya


Referensi

1. Hadis, “Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan!” Para sahabat bertanya, “Apa saja itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “... Makan riba,...” HR. Al-Bukhari (6857) dan Muslim (89).

2. HR. Muslim (1015).

3. Jami’ Al-Ulum wa Al-Hikam 2/263.

4. Manaqib Al-Imam Ahmad karya Ibn Al-Jauzi hal. 269.

5. HR. Al-Bukhari (2085).

Kehidupan manusia tidak bisa lepas dari transaksi jual beli, bahkan kehidupan mereka tidak mungkin bisa berjalan tanpanya, maka Islam mengatur hukum yang berhubungan dengan jual beli. Islam menetapkan hukum asal jual beli adalah mubah, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan keharamannya karena adalah jahálah (ketidaktahuan), riba, dan sejenisnya. Di antara jual beli yang dilarang adalah jual beli Al-Ôaÿáh  Ini adalah transaksi yang banyak dilakukan pada zaman jahiliah. Ada beberapa bentuk jual beli Al-Ôaÿáh, di antaranya: seorang penjual berkata, “Aku menjual tanah ini dari sini sampai sejauh kerikil yang aku lempar.” Kemudian ia melempar kerikil. Bentuk yang lain, berlakunya pilihan dalam jual beli hingga kerikil terjatuh dari tangan pembeli. Bentuk yang lain, pembeli melemparkan kerikil ke arah sekumpulan kambing. Kambing manapun yang terkena kerikil menjadi kambing yang dijual (dengan harga yang disepakati sebelumnya). Bentuk yang lain, seorang pembeli menggenggam beberapa kerikil dan berkata, “Setiap kerikil yang aku genggam bernilai satu Dirham sebagai harga dari barang yang dijual.” Dan ada beberapa bentuk yang lain yang semuanya mengandung jahálah, spekulasi, dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil.

2. Nabi juga mengharamkan jual beli garar. Yaitu jual beli sesuatu yang objeknya tidak diketahui, atau tidak dapat diserahkan. Misalnya menjual ikan di laut, menjual janin binatang dalam perut induknya, dan menjual susu yang belum diperah dari binatang.  Semua ini termasuk jual beli garar yang dilarang karena adanya ketidaktahuan. Ikan di laut tidak diketahui berapa jumlah dan ukurannya. Apalagi ada kemungkinan penjual tidak mampu memanennya dari laut. Janin di dalam badan induknya juga tidak diketahui apakah akan hidup atau mati, dan apakah bentuknya sempurna atau cacat. Susu yang belum diperah juga tidak diketahui apakah layak dikonsumsi atau tidak. Juga tidak diketahui jumlahnya. Dalam konteks ini, jual beli Al-Ôaÿáh sebenarnya termasuk jual beli garar, namun Rasulullah g menyebutkannya secara khusus karena banyak terjadi pada zaman jahiliah. 

Walaupun demikian, syariat Islam membolehkan beberapa bentuk jual beli yang mengandung garar yang sedikit karena ada kebutuhan untuk itu. Jika penjual maupun pembeli tidak mempunyai kebutuhan untuk itu, maka jual beli tersebut tidak dibolehkan, demikian juga jika gararnya besar. Di antara bentuk jual beli dengan garar yang sedikit adalah menjual induk kambing beserta janin yang ada di dalam perutnya. Atau menjual kambing betina beserta susu yang ada dalam tubuhnya. Contoh yang lain, menjual satu kali minum air dengan harga satu dirham, padahal kadar sekali minum manusia berbeda-beda. Bisa jadi seseorang meminum lebih banyak air daripada orang lain dalam sekali minum. Walaupun ada garar dalam jual beli tersebut, akan tetapi karena gararnya sedikit dan manusia membutuhkan bentuk jual beli tersebut maka dibolehkan.[1]

Implementasi

1. Setiap Muslim hendaknya menaruh perhatian untuk mengetahui yang halal dan yang haram, supaya tidak terjatuh dalam jual beli yang haram dan memakan harta manusia dengan cara yang batil.

2. (1) Termasuk dalam jual beli Al-Ôaÿáh pada zaman sekarang adalah beberapa jenis permainan. Misalnya seseorang melemparkan koin ke arah sesuatu, jika mengenainya maka ia menang, dan jika tidak maka ia kalah.

3. (1) Usahakan jual beli yang engkau lakukan benar dan sesuai syariat. Yaitu dengan memastikan menjual atau membeli barang yang diketahui, dengan harga yang diketahui, dalam jangka waktu yang diketahui –kecuali jika dilakukan secara kontan-.

4. (2) Hukum asal jual beli adalah halal, akan tetapi bisa menjadi haram karena salah satu dari tiga hal: (a) Barang yang diperjualbelikan haram seperti daging babi, khamar dan sebagainya. (b) Adanya garar karena barang atau harganya tidak diketahui atau tidak dapat diserahkan. (c) Jual beli tersebut mengandung riba. Maka usahakan semua transaksi jual beli yang engkau lakukan tidak mengandung salah satu dari ketiga hal tersebut.

5. (2) Di antara bentuk jual beli garar yang banyak terjadi di masyarakat adalah menjual sesuatu yang belum dilihat. Yaitu seorang pembeli membeli barang yang tidak pernah dilihatnya dan tidak diketahui spesifikasinya. 

6. (2) Di antara bentuk jual beli garar adalah membeli sesuatu yang tidak diketahui. Misalnya membeli salah satu baju dari berbagai macam baju, tapi ia tidak menentukan baju mana yang dibeli, tapi hanya berdasarkan baju yang dikeluarkan untuknya secara acak.

7. (2) Di antara bentuk jual beli garar yang paling banyak terjadi pada zaman sekarang adalah kotak-kotak hadiah (mystery gifts). Yaitu seseorang membeli kotak hadiah dengan harga tertentu, akan tetapi ia tidak mengetahui apa isi kotak tersebut.

8. (2) Juga termasuk dalam jual beli garar yang banyak terjadi adalah anak kecil membeli sesuatu dalam bungkusan yang di dalamnya terdapat hadiah. Akan tetapi ia tidak tahu apa yang ada di dalamnya. Bahkan bisa jadi tidak ada apa-apa di dalamnya, yaitu yang biasa disebut kupon lotre.

9. (2) Di antara bentuk jual beli garar yang paling banyak terjadi adalah seseorang menjual hasil lahan pertaniannya untuk beberapa tahun yang akan datang.[2]

10. Seorang  penyair menuturkan,

Di antara manusia ada yang menjadikan kezaliman sebagai kebiasaannya

Dia memaparkan alasan-alasan dan berargumentasi

Ia berani memakan yang haram dan beranggapan

bahwa pada perkara itu ada kemungkinan halal

Wahai orang memakan harta yang haram, jelaskan kepada kami

dengan dalil kitab mana engkau menghalalkan yang kau makan?

Tidakkah kau tahu Allah tahu apa yang terjadi

Allah menghakimi perselisihan antara manusia pada hari kiamat


Referensi

1. Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawí (1/156).

2. Sisi garar dalam jual beli ini adalah tidak diketahuinya jumlah hasil panen yang akan didapatkan (penerjemah)


1. Dalam hadis ini, Rasulullah g berbicara kepada para pemuda karena biasanya mereka mempunyai syahwat yang lebih besar dibandingkan orang yang sudah tua. Rasulullah memotivasi mereka untuk segera menikah, khususnya bagi yang sudah mampu menanggung biaya dan tuntutan dari pernikahan. Karena menikah dapat menjaga pandangan dari melihat aurat yang diharamkan yang dapat membuatnya sibuk memikirkan hal itu. Pada gilirannya, ia akan melupakan hal-hal yang bermanfaat baginya di dunia maupun di akhirat. Menikah juga lebih mampu menjaga diri dari terjatuh kepada perbuatan zina, wal ‘iyaæubillah

2. Jika seorang pemuda tidak mampu menikah karena miskin, maka ia harus menjaga pandangan dan kemaluannya sampai Allah  memberikan kemudahan baginya untuk dapat menikah. Hal ini sesuai firman Allah,

“Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.”

(QS. An-Núr: 33)

Hal yang paling bisa membantunya menjaga pandangan dan kemaluannya adalah puasa. Puasa akan mampu membentenginya supaya tidak terjatuh kepada perkara yang diharamkan, karena dengannya ia dapat memadamkan syahwat. Dengan berpuasa, ia tidak akan disibukkan dengan hal-hal yang bisa memicu timbulnya syahwat.

Berdasarkan hadis ini, para ulama menyimpulkan bahwa berkaitan dengan menikah, manusia terbagi menjadi empat macam: Pertama, orang yang ingin menikah dan mempunyai kemampuan untuk menanggung biaya dan tuntutan pernikahan, maka disunnahkan baginya untuk menikah. Kedua, orang yang tidak mempunyai keinginan menikah dan tidak mempunyai kemampuan untuk menanggung biaya dan tuntutan pernikahan, maka sebaiknya ia tidak menikah. Menikah menjadi makruh hukumnya bagi orang tersebut. Ketiga, orang yang ingin menikah akan tetapi tidak mempunyai kemampuan untuk menanggung biaya dan tuntutan pernikahan, orang seperti ini juga hendaknya tidak menikah dulu dan makruh baginya untuk menikah. Keempat, orang yang tidak ingin menikah, akan tetapi ia mampu menanggung biaya dan tuntutan pernikahan. Untuk yang keempat ini, para ahli fikih berbeda pendapat. Apakah lebih baik ia menikah ataukah lebih baik fokus beribadah dan menuntut ilmu? [1]

Dalam hadis ini, Rasulullah g menyebut para pemuda berdasarkan kebiasaan secara umum, karena motivasi yang kuat untuk menikah biasanya ada pada pemuda, bukan orang yang sudah tua. Walaupun demikian, perintah dalam hadis ini tetap relevan untuk orang-orang yang sudah tua jika mereka mempunyai kondisi yang sama dengan para pemuda seperti yang disebut dalam hadis ini. [2]

Implementasi

1. (1) Para dai, guru, dan pendidik harus mempunyai perhatian terhadap masalah yang berkaitan dengan pemuda. Selain itu, mereka juga harus memberikan pengarahan kepada para pemuda ke arah yang positif.

2. (1) Usaha untuk menikahkan para pemuda yang tidak memiliki kemampuan termasuk di antara ketaatan yang paling utama. Dalam Al-Qu`an, Allah Ta’ala memerintahkan hal itu dalam firman-Nya,

“Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Lagi Maha Mengetahui.”

(QS. An-Núr: 32)

3. (1) Menjaga kemaluan dan menundukkan pandangan merupakan salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang Muslim. Haram bagi seorang Muslim untuk melepaskan pandangannya dan mengumbar syahwatnya.

4. (1) Di antara perkara yang bisa membantu diterimanya sebuah hukum oleh seseorang adalah ketika orang yang fakih menjelaskan alasan (illah), sebab, dan hikmah dari disyariatkannya hukum tersebut. Bukankah engkau melihat, ketika Nabi mensyariatkan pernikahan, beliau menjelaskan bahwa menikah mampu menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan? Maka hendaknya para dai, orang yang fakih, dan seorang mufti menjelaskan dalil setiap hukum dan hikmah yang terkandung di dalamnya jika hikmah tersebut diketahui. 

5. (1) Nabi g mengikat perintah menikah dengan kemampuan untuk memenuhi tuntutannya. Kemampuan ini mencakup kemampuan secara fisik yaitu melakukan hubungan seksual, dan kemampuan secara finansial yaitu kemampuan membangun bahtera rumah tangga dan menafkahi keluarga. Barang siapa yang tidak mempunyai dua kemampuan tersebut maka ia tidak mendahulukan nikah.

6. (1) Hukum menikah tidak terlepas dari lima kategori hukum syariat. Menikah bisa menjadi wajib jika seorang Muslim mempunyai kemampuan untuk menikah, dan ia khawatir dirinya terjatuh kepada yang haram. Menikah menjadi sunnah jika ia mampu menikah tapi juga mampu mengendalikan diri dan syahwatnya. Menikah hukumnya makruh bagi orang yang tidak menginginkan pernikahan, misalnya karena ia sudah tua, sakit, atau tidak mempunyai syahwat terhadap perempuan.

7. (2) Jika seseorang tidak mampu menikah karena miskin, maka dia wajib menjaga kesucian dirinya, sesuai firman Allah,

“Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.”

(QS. An-Núr: 33)

Allah berjanji untuk menolong seorang Muslim yang ingin menikah, Nabi bersabda, “Tiga orang yang menjadi hak bagi Allah  untuk menolong mereka: budak mukátab [3] yang ingin membayar, orang yang menikah karena ingin menjaga kehormatannya, dan orang yang berjihad di jalan Allah.” [4]


Referensi

1. Lihat: Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawí (9/174).

2. Lihat: Iñkám Al-Añkám Syarñ ‘Umdah Al-Añkám karya Ibnu Daqíq Al-‘Id (2/169).

3. Budak mukátab adalah budak yang sedang dalam proses memerdekakan dirinya sendiri dengan cara mencicil pada tuannya. Transaksi ini disebut akad kitábah. Budak mukátab baru mendapatkan kemerdekaan apabila seluruh cicilannya lunas. Budak tersebut akan diberikan waktu oleh tuannya untuk bekerja agar mendapatkan penghasilan yang digunakannya untuk menebus dirinya tersebut (penerjemah).

4. HR. At-Tirmizi (1655), An-Nasa`í (3120), dan Ibnu Majah (2518).

Nabi menyebutkan beberapa sebab yang menjadi alasan kebanyakan orang untuk memilih istri. Sebagian orang memilih wanita yang kaya supaya bisa mencukupi kehidupannya dan kehidupan anak-anaknya. Dia tidak perlu bersusah payah memenuhi kebutuhan istrinya dan menafkahinya. Sebagian yang lain memilih wanita dari keturunan bangsawan agar dia merasa menjadi mulia karena berkerabat dengan mertua dan familinya. Ada juga yang memilih wanita karena kecantikan yang membuatnya bahagia ketika memandangnya. Dan sebagian orang memilih wanita religius yang mampu menjaga keluarga dan hartanya. Kemudian Nabi g mengarahkan pentingnya seorang Mukmin memilih wanita karena agamanya. Jika ia tidak melakukannya, maka tangannya akan menempel dengan tanah. Ini adalah bahasa kiasan dari miskin dan merugi.

Walaupun demikian, tidak berarti seorang Muslim harus memilih wanita yang religius tapi miskin, buruk rupa, atau dari keturunan yang tidak jelas. Maksud hadis ini adalah kriteria pertama dan utama yang harus dijadikan patokan dalam memilih wanita adalah agamanya. Jika ia mendapatkan wanita yang religius, kaya, dari keturunan yang mulia serta cantik rupawan, tentu inilah pilihan yang paling utama. Akan tetapi, jika ia tidak menemukan yang seperti itu, maka sesungguhnya wanita yang miskin tapi religius lebih baik daripada kaya tapi tidak religius. Wanita yang religius dari keturunan biasa lebih baik daripada wanita keturunan bangsawan yang tidak religius. Dan wanita yang religius tapi tidak rupawan, lebih baik daripada wanita yang cantik tapi tidak religius.

Oleh karena itu, Nabi g menyuruh kaum Muslimin untuk menikahi wanita yang salehah. Nabi g bersabda, “Dunia adalah perhiasan. Dan perhiasan yang paling baik di dunia adalah wanita yang salehah.”[1] Ditanyakan kepada Rasulullah , “Wanita yang bagaimanakah yang paling baik?” Nabi g bersabda, “Yaitu wanita yang membuat suaminya bahagia ketika memandangnya, yang taat ketika diperintah, dan tidak menyelisihi suaminya terkait diri dan hartanya pada apa yang dibenci suaminya.”[2]  Wanita yang salehah selalu taat kepada suaminya. Ia takut kepada Allah c jika menentang suaminya. Ia akan menjaga kehormatan suaminya, mendidik anak-anaknya dengan baik, bertakwa kepada Allah c dalam mengurus harta dan keluarganya serta menolongnya dalam ketaatan kepada Allah.

Implementasi

1. Seorang Muslim hendaklah memilih wanita yang salehah dan religius. Wanita salehah akan membuatnya bahagia, selalu taat kepadanya dan melakukan hal yang diridai oleh Allah c. Rasulullah g bersabda, “Empat hal yang termasuk dalam kebahagiaan: wanita yang salehah, rumah yang luas, tetangga yang baik dan kendaraan yang nyaman. Dan empat hal yang termasuk dalam kesengsaraan: tetangga yang jahat, wanita yang jahat, rumah yang sempit dan kendaraan yang buruk.” [3]

2. Setiap wanita hendaklah menjadi pendamping hidup yang baik bagi suaminya. Hendaklah ia bertakwa kepada Allah Ta’ala dalam berbakti kepada suaminya dan mengurus rumah tangganya. Nabi g bersabda, “Apabila seorang wanita shalat lima waktu, berpuasa bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan taat kepada suaminya, maka akan dikatakan kepadanya, ‘Masuklah surga dari pintu manapun yang engkau inginkan’.” [4]

3. Pada hadis ini terdapat motivasi untuk berteman dengan orang-orang yang mempunyai religiositas dalam segala hal, karena berteman dengan mereka memberikan manfaat dengan mendapatkan keberkahannya, dapat meniru akhlak dan perangainya serta terbebas dari kemudaratan yang datang darinya. [5]

4. Sebagaimana Nabi g menasihati kita untuk memilih istri yang salehah, beliau juga mengarahkan untuk menikahkan lelaki yang saleh walaupun miskin dan bukan dari keturunan yang mulia. Nabi g bersabda, “Apabila datang seseorang yang kalian ridai akhlak dan agamanya, maka nikahkanlah. Apabila tidak, maka akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar di bumi.” [6].

5. Seorang  penyair menuturkan,

Wahai saudaraku seislam, wanita yang taat mengharapmu

menjadi suaminya agar memperoleh ketenangan

Jika engkau mengecewakannya untuk memperoleh suami

yang setia dan menjaga kesucian cinta

Cintanya akan direbut oleh lelaki busuk

seorang pengkhianat yang menyebabkan kekacauan


Referensi

1.HR. Muslim (1467).

2. HR. An-Nasa`í (3131).

3. HR. Ibnu Hibban dalam Sahih-nya (1232).

4. HR. Ahmad (1664).

5. Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawí (10/51,52).

6. HR. At-Tirmizi (1084) dan Ibnu Majah (1967)

1. Ketika Nabi g berada di kamar Aisyah i, tiba-tiba Aisyah i mendengar suara laki-laki meminta izin untuk masuk ke rumah Ôafÿah i. Maka ia memberitahukan hal itu kepada Nabi g. Nabi g kemudian bersabda, “Aku kira ia adalah si Fulan.” Beliau menyebut nama paman sepersusuan Hafsah i. Sabdanya ini menunjukkan bahwa beliau membolehkan laki-laki itu masuk ke rumah Ôafÿah  i. Karena seandainya beliau tidak mengizinkannya, pastilah beliau beranjak dari tempatnya dan melarang laki-laki itu masuk.

2. Ketika Aisyah i mendengar hal itu, Aisyah i bertanya, “Seandainya pamanku si Fulan (dan ia menyebut namanya) masih hidup, apakah ia boleh masuk ke rumahku dan berkhalwat denganku karena statusnya seperti paman kandung?” Maka Nabi g memberitahunya bahwa persusuan mengharamkan apa diharamkan karena nasab (keturunan).

Pada hadis yang lain, dari Ummul Mukminin Aisyah i bahwasanya beliau berkata, “Aflah saudara Abi Al-Qu’ais meminta izin masuk rumahku setelah turunnya ayat tentang hijab. Maka aku katakan, ‘Aku tidak bisa mengizinkannya hingga aku bertanya kepada Nabi g.’ Lalu Nabi g bersabda, ‘Apa yang mencegahmu untuk memberi izin kepada pamanmu?’ Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, laki-laki itu bukan orang yang menyusuiku. Yang menyusuiku adalah istri Abu Al-Qu’ais.’ Maka Nabi g bersabda, ‘Izinkan ia, karena ia adalah pamanmu, semoga engkau mendapatkan keberuntungan.’” [1]

Para fukaha telah sepakat bahwa persusuan mengharamkan sama seperti apa yang diharamkan karena nasab.[2] Suatu ketika, putri dari Hamzah h ditawarkan untuk dijadikan istri Nabi g, maka beliau bersabda, “Ia tidak halal bagiku. Persusuan mengharamkan apa yang diharamkan karena nasab. Ia adalah keponakan sepersusuanku.” [3]

Perlu diketahui, terdapat syarat yang harus terpenuhi agar persusuan mengharamkan pernikahan, yaitu bahwa persusuan itu terjadi ketika anak masih dalam fase menyusu. Jika persusuan terjadi setelah seorang anak disapih, maka hukum keharaman itu tidak berlaku. Dari Aisyah i ia berkata, “Suatu hari Nabi g masuk ke rumahku, dan aku sedang bersama seorang laki-laki. Nabi g bertanya, ‘Wahai Aisyah, siapakah ini?’ Aku berkata, ‘Saudara laki-laki sepersusuanku.’ Nabi g bersabda, ‘Wahai Aisyah, lihatlah siapa saja saudara laki-laki sepersusuanmu.’ Sesungguhnya persusuan (yang mengharamkan pernikahan) itu (yang dapat menghilangkan) rasa lapar.’” [4]

Keharaman tersebut juga tidak berlaku jika seorang anak hanya menyusu satu atau dua kali susuan, akan tetapi yang disyaratkan adalah lima kali susuan. Anak tersebut menyusu secara langsung dengan mulutnya sampai ia melepaskannya sendiri (sampai kenyang). Ini dianggap satu kali susuan walaupun waktunya sebentar. [5] Hal ini sesuai dengan ucapan Aisyah i, “Di antara yang turun dalam Al-Qur`an adalah sepuluh kali sepersususan yang maklum yang dapat mengharamkan. Kemudian hal itu dinasakh menjadi lima kali susuan yang maklum. Dan Rasulullah g wafat dan hal itu menjadi salah satu ayat yang dibaca dalam Al-Qur`an.” [6]


1. (1) Seorang wanita tidak boleh memberi izin kepada siapa pun untuk masuk rumahnya tanpa seizin suaminya. Itulah sebabnya mengapa Aisyah i memberitahu Nabi g ketika ada seorang laki-laki meminta izin masuk ke rumah Ôafÿah i.

2. (1) Jika para sahabat tidak boleh masuk ke rumah para wanita dan berkhalwat dengan mereka -padahal mereka adalah orang paling mulia dan paling bisa menjaga kehormatan setelah para nabi- lalu bagaimana dengan orang-orang biasa yang lain? Tentu larangan itu lebih layak untuk mereka.

3. (1) Seorang Muslim tidak boleh berlebihan dalam urusan agama Allah c kecuali karena ada kebutuhan. Jika seorang wanita termasuk mahram bagi seorang laki-laki, maka janganlah ia membatasi diri untuk tidak berkhalwat, berjabat tangan, bepergian bersamanya dan lain sebagainya, kecuali jika laki-laki itu diragukan religiositas dan akhlaknya. Nabi sendiri tidak melarang laki-laki yang masuk ke rumah Ôafÿah i  dan tidak marah karena hal itu.

4. (1) Seorang laki-laki tidak boleh masuk ke rumah atau kamar wanita yang menjadi mahramnya kecuali setelah meminta izin, walaupun ia adiknya atau ibunya.

5. (2) Hukum asal ucapan Nabi adalah menjadi syariat secara umum, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan bahwa ucapan itu khusus untuk beliau atau untuk orang yang beliau ajak berbicara. Ketika Aisyah i mendengar Nabi memberi izin kepada paman Ôafÿah i, beliau menyangka hal itu hanya berlaku khusus untuk Ôafÿah i. Maka Aisyah i bertanya tentang paman sepersusuannya. Nabi pun kemudian memberitahunya, bahwa jika paman Aisyah i itu masih hidup, pasti Nabi g tidak akan melarangnya masuk ke rumah Aisyah i.

6. (2) Seorang Muslim haruslah membimbing keluarganya, mengajarkan masalah agama kepada mereka serta menjelaskan hukum-hukum yang mereka butuhkan.

7. (2) Tidak boleh bermudah-mudahan dalam masalah persusuan, masuk rumah, berkhalwat, bepergian dan lain sebagainya. Seorang Muslim harus memastikan dalam masalah tersebut, karena tidak semua persusuan menjadikan mahram. Ada syarat bahwa persusuan dilakukan dalam fase menyusu dan terjadi sebanyak lima kali susuan yang mengenyangkan. Oleh karena itulah, Nabi bersabda kepada Aisyah i, “Lihatlah siapa saja saudara laki-laki sepersusuanmu!” [7]


Referensi

1. HR. Al-Bukhari (4796) dan Muslim (1445).

2.  Ibnu Al-Munzir berkata dalam Al-Ijmá’ (hal. 82), “Dan para ulama sepakat bahwa menjadi haram karena persusuan apa yang haram karena nasab.”

3. HR. Al-Bukhari (2645) dan Muslim (1447).

4. HR. Al-Bukhari (2647) dan Muslim (1455).

5. Lihat: Majmú’ Al-Fatáwa karya Ibnu Taimiyah (34/57) dan Subul As-Salám karya Aÿ-Ÿan’ání (2/311).

6. HR. Muslim (1452).

7. HR. Muslim (2813)

1. Nabi mengabarkan bahwa Iblis meletakkan singgasananya di atas air kemudian mengirimkan pasukan dan para pembantunya untuk menyesatkan manusia dan menghalangi mereka dari jalan Allah Ta’ala. Yang paling dekat kedudukannya dengan Iblis adalah yang paling besar godaan dan pengaruhnya terhadap hamba-hamba Allah. Jika tugas mereka telah selesai, mereka datang kepada Iblis dan memberitahunya apa yang telah mereka lakukan. Salah satu di antara mereka berkata, “Aku tidak meninggalkan manusia hingga aku meminumkan khamar kepadanya.” Yang lain berkata, “Aku tidak meninggalkannya sampai aku menjerumuskannya ke dalam perzinaan.” Yang lain juga berkata, “Aku membuatnya tidak mau mengeluarkan zakat.” Yang lain lagi berkata, “Aku membujuknya untuk mencuri...”dan lainnya. Iblis kemudian menganggap usaha mereka itu tidak bernilai. Mereka dianggap belum melakukan sesuatu yang penting dan besar.

2. Kemudian datanglah salah satu pasukannya dan berkata, “Aku tidak meninggalkan manusia hingga aku memisahkan antara dia dan istrinya.” Iblis pun merasa sangat gembira dengan hasil kerja pasukannya itu. Ia menyuruhnya untuk duduk mendekat kepadanya seraya memujinya dengan berkata, “Engkaulah sebaik-baik setan. Engkau telah melaksanakan tugas yang agung. Engkau menggantikanku dalam melakukan tugas itu dan engkau setan yang mempunyai kedudukan tinggi di sisiku.” 

Setan itu mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Iblis karena memisahkan antara suami dan istrinya adalah keburukan yang luar biasa buruk. Perceraian antara suami dan istri akan memunculkan dendam, permusuhan dan pertengkaran antara mereka berdua serta keluarga mereka. Akibatnya, anak-anak mereka menjadi terlantar dan akhlak mereka menjadi buruk sebagai akibat dari perpecahan dalam rumah tangga. Pada gilirannya, mereka terjatuh kepada zina yang merupakan salah satu dosa yang paling besar, paling rusak dan paling buruk. [1]


1. Iblis –semoga Allah melaknatnya- adalah musuh paling besar bagi manusia. Ia terang-terangan memusuhi manusia sejak Allah memerintahkannya untuk sujud kepada Adam n. Ia menolak dan berkata (sebagaimana dikisahkan),

“Aku lebih baik daripada dia. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah.”

(QS. Al-A’ráf: 12)

Ia berjanji untuk menyesatkan seluruh keturunan Adam n dengan berkata,

“(Iblis) menjawab, ‘Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus, kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.’”

(QS. Al-A’ráf: 16-17)

Maka hendaklah kita berhati-hati dengan tipu daya, godaan, dan fitnahnya.

2. (1) Metode yang digunakan setan untuk menyesatkan manusia sangat banyak. Di antaranya dengan membisikkan dan menghasut manusia agar saling bermusuhan. Cara yang lain adalah menghiasi kemaksiatan, amarah, fanatisme, sikap tergesa-gesa, kemalasan dan keburukan lainnya sehingga terlihat sebagai sesuatu yang baik. Maka seorang Muslim harus selalu waspada dengan tipu muslihatnya dengan memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala. Allah c menjelaskan bahwa istiazah (memohon perlindungan) kepada Allah c akan mengusir bisikan dan gangguan setan. Allah c berfirman,

“Dan jika setan datang menggodamu, maka berlindunglah kepada Allah. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa apabila mereka dibayang-bayangi pikiran jahat (berbuat dosa) dari setan, mereka pun segera ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (kesalahan-kesalahannya).”

(QS. Al-A’ráf: 200-201)

3. (1) Cara agar seorang hamba terhindar dari bisikan setan yaitu dengan melaksanakan ketaatan kepada Allah c dan berlindung dalam lindungan Allah c yang kokoh. Qatadah As-Sadúsi  mengatakan, “Wahai manusia, setan mendatangimu dari setiap penjuru. Hanya saja, ia tidak datang dari arah atas. Karena ia tidak mampu menjadi penghalang antara dirimu dan rahmat Allah.” [2]

4. (2) Waspadalah! Tujuan utama Iblis dan pasukannya adalah meruntuhkan rumah tangga seorang Muslim.

5. (2) Akibat yang ditimbulkan dari perceraian antara suami dan istri adalah keburukan yang besar. Di antaranya: munculnya rasa dendam dan permusuhan antara dua keluarga serta meluasnya perbuatan zina yang merupakan dosa besar yang paling rusak dan paling buruk. Perceraian juga berdampak negatif bagi anak-anak secara fisik maupun mental. Akibatnya, pendidikan mereka menjadi tidak terurus, dan moral mereka menjadi rusak. Oleh karena itulah, Iblis yang terlaknat sangat senang dengan hal itu.

6. Seorang  penyair menuturkan,

Wahai †at yang menurunkan ayat dan Al-Furqan

antara diriku dan diri-Mu ada kehormatan Al-Qur`án

Lapangkan dadaku dengannya agar mendapat petunjuk-Mu

dan jagalah hatiku dari setan

Gugurkan dosaku dan murnikan niatku

teguhkan kekuatanku dan mudahkan urusanku

Hilangkan musibahku dan terima tobatku

Jadikan perdaganganku beruntung tanpa kerugian

Sucikan hatiku dan jernihkan batinku

baguskan namaku dan tinggikan kedudukanku

7. Seorang penyair lain menuturkan,

Jiwa yang bersyukur memuji Allah

Rasa aman tidak membuatnya lupa keadaannya

Betapa banyak jiwa yang ingkar kepada Tuhannya

 dia berjalan dengan sombong seraya menyeret bajunya

Bisikan setan telah menguasainya

membuatnya berkhayal dan setan telah menyesatkannya

Jiwanya mengikuti ilusi-ilusi kosong 

dan mengabdi dengan hina setan yang membinasakannya


Referensi

1. Al-Bañr Al-Muñiþ Aš-Šajjáj fí Syarñ Ÿañíñ Al-Imám Muslim bin Al-Ôajjáj karya Al-Wallawi (43/500).

2. Igášah Al-Lahfán karya Ibn Al-Qayyim (1/103).

1. Ketika Nabi masih hidup, Ibnu Umar adalah seorang pemuda. Beliau menikah kemudian menceraikan istrinya dengan talak satu ketika dia dalam keadaan haid.

2. Ayahnya, Umar bin Khaþþab datang menemui Nabi untuk mengabarkan bahwa anaknya, Abdullah, telah menceraikan istrinya ketika dia sedang haid. Dia ingin mengetahui hukum syar’i dalam masalah tersebut.

3. Nabi g murka karena perbuatan tersebut menyelisihi sunnah.

4. Beliau bersabda kepada Umar h, “Katakan kepadanya, ‘Engkau harus merujuk istrimu, hingga apabila dia telah suci dari haidnya maka engkau harus menunggu haid kembali kemudian engkau menunggu masa suci lagi -dan tidak boleh menggaulinya pada waktu-waktu tersebut apabila dia ingin menceraikannya.

5. Kemudian setelah itu adalah waktu suci yang engkau belum menggaulinya; apabila berkehendak, kamu boleh menceraikannya sebelum menggaulinya; dan apabila berkehendak, engkau boleh menahannya dan tidak menceraikannya.

6. Demikianlah yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala ketika memang dibutuhkan untuk talak.’”

7. Ada riwayat lain yang menjelaskan bahwa talak boleh dilakukan ketika istri dalam keadaan suci yang seseorang belum menggauli istrinya, atau ketika istri dalam keadaan hamil walaupun dia telah menggaulinya pada masa tersebut sebagaimana disebutkan dalam riwayat lain, karena wanita yang hamil tidak mengalami haid, dan masa idah talak tersebut terus berlanjut hingga melahirkan.

Hikmah dari menunda talak hingga masa suci yang engkau belum menggaulinya, karena bisa jadi karena seseorang wanita hamil sehingga seorang suaminya menyesal telah menceraikannya. Dengan menunda tersebut, maka seorang suami bisa berpikir dengan tenang dan perlahan, tidak terburu-buru menceraikan istrinya karena marah atau alasan lain yang semisal. [1]

Implementasi

1. Apabila engkau ragu dengan perbuatan yang telah atau yang akan engkau lakukan maka mintalah pertimbangan kepada ahli ilmu, baik dalam masalah ibadah maupun masalah muamalah.

2. Seseorang boleh untuk mengutus orang lain yang meminta fatwa sebagai wakilnya, apabila orang tersebut dapat dipercaya dapat menyampaikan dan memahamkan masalah tersebut kepada pemberi fatwa. Oleh karena itu, Abdullah mengutus ayahnya

3. Seorang dai, ahli fikih, alim, dan pendidik boleh marah terhadap perbuatan yang dilakukan oleh penanya, terkait sesuatu yang belum diketahui hukumnya. Hal itu, jika perbuatan tersebut merupakan perkara yang besar, yang seharusnya perlu bermusyawarah terlebih dahulu dan bertanya kepada ahli ilmu sebelum melakukannya.

4. Hikmah dilarangnya menceraikan istri pada saat ia dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci namun suami telah menggaulinya adalah agar tidak tergesa-gesa dan terburu-buru memikirkan urusannya, maka orang yang berakal sehat tidak sepantasnya tergesa-gesa menceraikan istrinya, akan tetapi hendaknya ia menambah waktunya untuk berpikir.

5. Kehamilan dan adanya anak termasuk salah satu sebab yang membuat banyak orang tidak jadi menceraikan istrinya. Ini adalah hikmah dilarangnya menceraikan istri dalam keadaan suci namun ia telah menggaulinya, bisa jadi ditakdirkan seorang anak darinya sehingga suami menyesal. 

6. Seyogianya masalah talak ditanyakan kepada ahli ilmu yang dipercaya kapabilitasnya -terlebih apabila mereka adalah orang yang mempunyai kedudukan peradilan atau menjadi hakim di antara orang yang berselisih- pada perkara talak yang diperselisihkan gambaran realitasnya, atau perselisihan pada sebagian hukumnya. Apabila telah ditanyakan kepada ahli ilmu yang dipercaya kapabilitasnya maka ketenangan dapat dirasakan dengan keputusan mereka. 

Referensi

1.Lihat: Al-Ifÿáh ‘an Ma’áni Aÿ-Ÿiññah karya Ibnu Hubairah (4/66) dan Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawi (10/61).

1. Nabi mensyariatkan bahwa seorang wanita tidak boleh meninggalkan berhias dan memakai minyak wangi karena berkabung  atas kematian seseorang lebih dari tiga hari. Baik yang meninggal ayahnya, ibunya, anaknya, saudara lelakinya, saudara perempuannya dan lain sebagainya, kecuali jika yang meninggal adalah suaminya, maka ia tidak boleh berhias, memakai wewangian dan bercelak selama empat bulan sepuluh hari.
Untuk kerabat dekat yang meninggal, berkabung selama tiga hari sudah cukup untuk menunaikan hak orang yang meninggal tersebut. Dikecualikan dari itu, jika yang meninggal adalah suami. Karena suami mempunyai hak yang besar atas istri. Oleh karena itu, syariat tidak membedakan dalam masalah idah dan ihdad (berkabung) bagi wanita yang suaminya meninggal antara wanita yang sudah berhubungan badan dengan suaminya maupun yang belum [1].

Hukum ini khusus untuk wanita yang suaminya meninggal, bukan yang diceraikan. Karena tujuan berhias adalah agar dapat menikah lagi. Suami yang menalak masih hidup, jadi dia masih bisa melarang istri yang ditalaknya untuk menikah selama masa idahnya jika istrinya akan melakukan hal tersebut. Berbeda dengan orang yang sudah meninggal, ia tidak dapat melakukannya. Maka masa berkabung untuk wanita yang suaminya meninggal adalah empat bulan, yang merupakan waktu yang cukup untuk janin berkembang di dalam perut ibunya. Lalu ditambahkan sepuluh hari sebagai bentuk kehati-hatian.[2]

Ini adalah untuk wanita yang tidak hamil. Adapun wanita yang sudah dipastikan hamil, maka masa idah dan ihdadnya adalah sesuai masa kandungannya, baik lama maupun sebentar.[3] Ini sesuai firman Allah,

“Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil, waktu idah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya.”

(QS. Aþ-±aláq: 4)

Kemudian Rasulullah g  menjelaskan secara detail sebagian dari hukum yang penting terkait dengan ihdad. Di antaranya, seorang wanita yang sedang ihdad tidak boleh memakai pakaian yang berwarna-warni dengan niat berhias, kecuali baju Yaman lama yang sudah diwarnai sebelum ditenun. Baju tersebut tidak terlalu memiliki banyak hiasan seperti baju lainnya. Oleh karena itu, Nabi membolehkan untuk dipakai. Ia juga tidak boleh memakai celak dan memakai wewangian dengan minyak kesturi dan sejenisnya. Kecuali saat ia suci dari haid, dibolehkan untuk untuk memakai sedikit wewangian dari qust, yaitu gaharu India yang dikenal mempunyai aroma yang wangi. Ia juga dibolehkan memakai azfár, yaitu sejenis minyak wangi yang berbentuk kuku. Keduanya tidak mengeluarkan aroma wangi kecuali jika dibakar atau dicampur dengan bahan lain.

Bercelak dilarang jika tidak ada kebutuhan darurat untuk melakukannya. Namun jika seorang wanita membutuhkannya, maka ia boleh bercelak pada malam hari dan menghapusnya di siang hari. Ini sesuai hadis riwayat Ummu Salamah i, “Rasulullah g masuk ke rumahku saat Abu Salamah meninggal, dan aku memakai ÿabir di mataku. Lalu Rasulullah g bersabda, ‘Apa ini wahai Ummu Salamah?’ Aku menjawab, ‘Ini hanyalah ÿabir, tidak ada bau wanginya.’ Rasulullah bersabda, ‘Tapi itu membuat wajah terlihat muda. Maka janganlah engkau memakainya kecuali di malam hari, dan hapuslah di siang hari.’”[4] Ÿabir adalah sari kayu yang pahit.

Termasuk dalam ihdad adalah tidak menghias tangan dan kaki dengan inai dan tidak memakai perhiasan emas, perak, dan sejenisnya. Sesuai dengan sabda Rasulullah g, “Wanita yang suaminya meninggal tidak boleh memakai baju yang dicelup dengan warna kuning, tidak memakai mimasysyaqah, perhiasan, inai, dan celak.”[5] Mimasysyaqah adalah sejenis baju yang dicelup dengan warna merah.


1. Syariat membolehkan wanita untuk berkabung guna melampiaskan kesedihannya karena meninggalnya kawan atau kerabat, dengan syarat tidak membuatnya menentang takdir Allah c. Juga tidak melakukan sesuatu yang membawa kepada kemurkaan Allah c, seperti: menampar pipi, merobek baju, dan mengucapkan kata-kata yang bertentangan dengan syariat seperti yang dilakukan orang jahiliah.

2. (1) Seorang wanita yang suaminya meninggal harus melakukan ihdad, baik ia sudah pernah berhubungan badan dengan suaminya atau belum. Jika ia hamil, maka masa ihdadnya sampai bayinya lahir. Dan jika tidak hamil maka masa idahnya selama empat bulan sepuluh hari.

3. (2) Jika seorang wanita perlu bercelak karena sakit mata, dan tidak ada obat selain celak, maka ia boleh memakainya karena kondisi darurat tersebut.

4. (2) Wanita yang melakukan ihdad tidak boleh memakai semua jenis perhiasan. Ia tidak boleh memakai perhiasan emas, memakai inai, bercelak, memakai wewangian, dan memakai baju yang biasa dipakai untuk berhias di depan suaminya.

5. (2) Hadis ini menunjukkan bahwa wanita boleh memakai minyak yang tidak berbau wangi. Ia boleh meminyaki rambutnya dengan berbagai jenis minyak untuk merapikannya, bukan dengan niat memakai wewangian.

6. (2) Wanita yang berkabung boleh mandi, keluar dari rumah karena urusan darurat, dan berbicara dengan laki-laki jika ada kebutuhan, tanpa melembut-lembutkan suaranya. 

7. (2) Wanita yang berkabung boleh memakan berbagai jenis makanan yang lezat dan sesuai seleranya. Ihdad tidak ada hubungannya dengan makan dan minum.


Referensi

1. Ibn Al-Munzir berkata dalam Al-Ijmá’ (hal. 90), “Para ulama sepakat bahwa idah wanita muslimah merdeka yang tidak sedang mengandung dan suaminya meninggal adalah empat bulan sepuluh hari. Baik ia sudah berhubungan badan dengan suaminya atau pun belum. Baik ia masih kecil dan belum balig maupun sudah dewasa.” Ibn Al-Qaþþan juga berkata dalam Al-Iqná’ fí Masáil Al-Ijmá’ (2/54), “Para ulama sepakat terkait kewajiban ihdad (berkabung) bagi wanita yang suaminya meninggal, kecuali pendapat Al-Hasan, diriwayatkan darinya bahwa wanita yang suaminya meninggal tidak perlu melakukan ihdad. Sehingga wajib bagi setiap wanita yang sudah balig, berakal, muslimah dan merdeka untuk berkabung atas suaminya yang meninggal selama empat bulan sepuluh hari.”

2. Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawí (10/113).

3. Al-Kásyif ‘An Haqá`iq As-Sunan karya Aþ-±ibi (7/2371).

4. HR. Abu Daud (2305) dan An-Nasa`í (3537).

5. HR. Abu Daud (2304) dan An-Nasa`í (3535).

Allah  mengkhususkan diri-Nya -dalam masalah warisan- untuk menentukan bagian harta warisan seseorang yang sudah meninggal. Dia menjelaskan dalam Kitab-Nya ketentuan faraid (waris) secara detail. Demikian juga, Nabi Muhammad g menjelaskannya dalam sunnahnya. Hal ini dilakukan agar manusia tidak saling memakan harta mereka dengan cara yang batil, dan orang yang lebih kuat menzalimi yang lemah. 

Dalam hadis ini, Nabi g memerintahkan kepada orang yang bertanggung jawab membagi harta warisan untuk membaginya kepada ahli waris sesuai bagiannya yang makruf. Mereka adalah orang yang berhak mendapatkan bagian yang ditentukan oleh syariat dari harta mayit. Jika masih ada sisa setelah pembagian, maka sisa tersebut diberikan kepada aÿabát (asabat), yaitu kerabat mayit yang tidak mempunyai bagian tertentu dari warisan, akan tetapi jika tidak ada ahli waris yang lain maka mereka akan mendapatkan semua warisan; jika ada ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu, maka mereka mendapatkan sisanya, seperti anak laki-laki, saudara laki-laki kandung, saudara laki-laki seayah, paman dari pihak ayah, sepupu laki-laki dari pihak ayah, dan yang semisalnya.

Bagian dari harta warisan ada enam, yaitu: setengah, seperempat, seperdelapan, sepertiga, seperenam, dan dua pertiga.

Bagian setengah untuk lima jenis orang: (1) putri kandung, (2) cucu perempuan dari anak laki-laki, (3) saudari kandung, (4) saudari seayah, dan (5) suami. Mereka mendapatkan setengah harta warisan jika tidak ada ahli waris lain yang menghalangi. [1]

Bagian seperempat untuk: (1) suami jika ada penghalangnya, dan (2) satu atau beberapa istri jika tidak ada penghalangnya.

Bagian seperdelapan untuk satu atau beberapa istri jika ada penghalangnya.

Bagian dua pertiga untuk empat jenis orang, yaitu: (1) dua anak perempuan kandung atau lebih, (2) dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, (3) dua saudari kandung atau lebih, dan (4) dua saudari seayah atau lebih. Mereka mendapatkan dua pertiga harta warisan jika tidak ada ahli waris lain yang menghalangi.

Bagian sepertiga diberikan kepada dua orang, yaitu: (1) ibu jika mayit tidak punya anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan lebih dari dua saudara kandung; dan (2) dua saudara (baik laki-laki atau pun perempuan) yang seibu. Ini adalah bagian sepertiga dari seluruh harta warisan. Adapun bagian sepertiga dari sisa harta warisan diberikan kepada ibu dengan kondisi ahli waris yang ada adalah: suami/istri dan ayah serta ibu. Maka di sini ibu mendapatkan sepertiga dari sisa harta warisan setelah dibagi kepada suami/istri dan ayah.

Bagian seperenam diberikan kepada tujuh orang, yaitu: (1) masing-masing dari ayah, (2)ibu, dan (3) kakek jika mayit punya anak laki-laki atau cucu laki-laki, (4) nenek, satu orang atau lebih jika mereka semua ada (hidup), (5) beberapa cucu perempuan dari anak laki-laki jika ada anak perempuan kandung, (6) beberapa saudari seayah jika ada saudari kandung, dan (7) ada satu orang saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan.

Pembagian ini diambil dari kitabullah (Al-Qur`an), kecuali bagian beberapa nenek yang diambil dari As-Sunnah. Mereka inilah yang dimaksud oleh Nabi g dengan orang-orang yang mendapatkan bagian dari harta warisan yang beliau perintahkan untuk membagikannya kepada mereka dalam sabdanya, “Bagikanlah harta warisan kepada ahli waris.” [2]  Dan ini semakna dengan sabdanya dalam hadis ini, “Berikanlah kepada ahli waris bagiannya yang sudah ditentukan.” [3]

Ahli waris yang disebut aÿabát (asabat) memiliki beberapa tingkatan. Anak laki-laki berada pada tingkatan pertama. Anak laki-laki didahulukan daripada cucu laki-laki dari anak laki-laki; cucu laki-laki dari anak laki-laki didahulukan daripada cicit laki-laki dari anak laki-laki dst.

Kemudian ayah berada pada tingkatan kedua, kemudian saudara laki-laki kandung, kemudian saudara laki-laki seayah, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung (keponakan), kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak (keponakan), kemudian paman kandung, kemudian paman sebapak dari pihak ayah (saudara bapak seayah), kemudian anak paman kandung, kemudian anak paman seayah (saudara bapak seayah) dan seterusnya.

Aÿabáh (asabat) yang lebih dekat menghalangi aÿabáh (asabat) yang lebih jauh. Ayah tidak menjadi aÿabáh (asabat) jika ada anak laki-laki. [4] Demikian juga, cucu laki-laki dari anak laki-laki tidak mendapatkan bagian jika ada anak laki-laki.

Ayah menghalangi saudara-saudara laki-laki, paman-paman, dan anak-anak paman dst.

Saudara laki-laki kandung menghalangi saudara laki-laki seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, dan paman.

Saudara laki-laki seayah menghalangi anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, dan paman.

Anak laki-laki dari saudara kandung menghalangi anak-anak laki-laki dari saudara seayah dan paman. Anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah menghalangi paman dan anak-anak laki-laki paman dst. [5]

Inilah makna sabda Nabi g, “Apabila masih ada sisa dari bagian tersebut, maka menjadi hak ahli waris laki-laki yang paling dekat (dengan yang meninggal).”

Ini bukan berarti bahwa orang yang mempunyai kedekatan yang sama terhadap mayit didahulukan karena kedudukannya. Misalnya, anak laki-laki yang paling besar didahulukan atas anak laki-laki yang lain. Atau misalnya anak laki-laki yang berprestasi dalam pekerjaan dan studi didahulukan atas anak yang tidak berprestasi dst. [6]


1. Ilmu faraid (waris) adalah ilmu penting yang dibutuhkan oleh seorang Muslim. Maka hendaklah para murid dan penuntut ilmu mempunyai perhatian terhadap ilmu tersebut.

2. Tidak boleh melakukan pembagian warisan kecuali orang yang benar-benar memahami ilmu faraid dan mempunyai kepandaian dalam ilmu berhitung.

3. Kita harus menerima syariat Allah c mengenai pembagian warisan dengan penuh kerelaan dan keimanan yang kuat atas hikmah Allah dalam pembagian tersebut. Ini adalah konsekuensi keimanan kepada Allah.

4. Pembagian warisan adalah syariat yang ditetapkan oleh Allah. Maka tidak boleh seorang Muslim menentang atau meremehkannya. Apalagi sampai membagi harta warisan menurut hawa nafsunya. 

5. Seorang  penyair menuturkan,

Harta yang kita kumpulkan adalah milik ahli waris kita

dan rumah yang kita bangun akan hancur dimakan waktu

Tidak ada rumah untuk ditempati orang setelah mati

kecuali rumah yang ia bangun sebelum mati

Siapa yang membangunnya dengan baik, baik pula tempat tinggalnya 

siapa yang membangunnya dengan buruk, sengsaralah yang membangunnya

Referensi

1. Mereka menjadi terhalang (mañjúb) dari mendapatkan harta warisan jika ada kerabat yang lebih dekat dari mereka. Misalnya, cucu perempuan dari anak laki-laki terhalang oleh putri kandung, saudari kandung terhalang oleh putri kandung dst. (penerjemah)

2. HR. Muslim (1615).

3. Al-Mufhim Limá Asykal Min Talkhís Kitáb Muslim karya Al-Qurþubí (4/564).

4. Dalam kondisi ada ayah dan ada anak laki-laki, maka ayah tidak mewarisi secara aÿabáh (mendapatkan sisa harta warisan setelah pembagian). Akan tetapi, ia tetap mendapatkan bagian seperenam. (penerjemah)

5. Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawí (11/54).

6. Lihat: Syarñ Ÿañíñ Al-Bukhárí karya Ibnu Baþþal (8/347).