1- Nabi ﷺ menyebutkan bahwa Allah Ta’ala menjadikan surga dikelilingi oleh hal-hal yang dibenci yang dirasa berat oleh manusia. Seorang manusia tidak melihat jalan menuju surga melainkan harus melalui hal yang tidak disukai, seperti menunaikan kewajiban-kewajiban yang dirasa berat bagi jiwa yang wajib dikerjakan, serta menjauhi perkara-perkara yang diharamkan yang dirasa berat bagi jiwa untuk meninggalkannya, karena ia bertentangan dengan hawa nafsu.
2- Neraka dikelilingi oleh syahwat yang disukai manusia. Seseorang tidak akan melihat jalan menuju neraka melainkan di sana ada sesuatu yang disukai oleh hawa nafsu manusia. Entah itu syahwat dalam hal pendapat, kemarahan dan kekuatan, syahwat hubungan antara laki-laki dan perempuan, syahwat harta, dan sebagainya. Kalaulah bukan karena syahwat, tipu daya setan dan kesesatan jiwa dengan syahwat-syahwat tersebut, maka tidak akan ada seorang pun yang menyusuri jalan neraka.
Syahwat di sini maksudnya adalah syahwat yang Allah Ta’ala haramkan bagi makhluk-Nya, bukan syahwat yang dibolehkan untuk bersenang-senang dengannya, seperti: makan, minum, memakai parfum yang mubah, berhubungan intim dengan istri atau budak wanitanya, bermain-main dengan anak-anak dan keluarganya, serta mengobrol dengan mereka.


1. Ingatlah gambaran yang dipaparkan oleh Rasulullah ﷺ untukmu, agar mudah bagimu melalui jalan menuju surga dan menghindari jalan menuju neraka. Setiap kali engkau merasa berat dalam mengerjakan ketaatan atau meninggalkan syahwat, maka ingatlah bahwa kesudahannya adalah surga. Dan setiap kali engkau menikmati syahwat yang haram, maka ingatlah bahwa kesudahannya adalah neraka.
2. Tanamkan dalam dirimu bahwa surga itu punyai harga, yaitu dengan mengerjakan kewajiban-kewajiban meski dirasa berat, serta meninggalkan hal-hal yang haram meski dirimu menginginkannya. Orang yang berakal akan menanamkan dalam jiwanya di setiap waktu bahwa dirinya akan menunaikan kewajiban shalat, walaupun dalam kondisi sangat dingin atau panas, atau nikmatnya tidur saat hendak shalat Subuh, dan yang semisalnya.

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan (shalat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk,”

(QS. Al-Baqarah: 45)

Begitu pula seharusnya ia mencurahkan hartanya secara suka rela kepada kaum fakir dan yang membutuhkannya, sama halnya dengan puasa dan haji, berbakti kepada kedua orang tua, dan semua jenis kewajiban lainnya. Tidak melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap darah dan harta orang lain, tidak berzina atau melakukan hal yang menjurus ke sana, tidak minum minuman yang memabukkan, dan segala hal yang terlarang.
Di antara hal yang dibenci juga oleh jiwa adalah: bersungguh-sungguh dalam beribadah, merutinkannya, bersabar atas kesusahannya, menahan amarah, memaafkan orang lain, bersabar, bersedekah, berbuat baik kepada orang yang telah menyakiti kita, bersabar dalam menahan nafsu syahwat, dan semua jenis amalan kebaikan. [1]
3. Barang siapa yang bersabar terhadap sesuatu di dunia karena perintah Allah Ta’ala, niscaya Dia menggantinya dengan yang lebih baik dari yang semisalnya pada hari kiamat. Allah Ta’ala akan menjauhkannya dari segala keburukan neraka dan memberinya rezeki yang disukai jiwa di surga.
4. Orang yang sukses ialah orang yang menjual dunianya demi mendapatkan akhiratnya, sementara orang yang gagal ialah yang menjual akhiratnya untuk mendapatkan dunianya.
5. Seseorang tidak akan mendapatkan kemuliaan dunia dan akhirat melainkan harus menjalani hal-hal yang tidak disukai, sebuah kenikmatan tidak mungkin diraih dengan kenikmatan pula. Di dalam hadis tersebut terdapat penjelasan bahwa seorang hamba dalam kehidupan dunianya membutuhkan usaha keras, melawan hawa nafsunya karena Allah . Barang siapa yang jiwanya mulia dan cita-citanya tinggi, maka tidak akan rida untuk bermaksiat; karena itu merupakan pengkhianatan dan tidak ada yang menerima pengkhianatan kecuali yang tidak memiliki jiwa. [2]
6. Ibn Al-Qayyim  menuturkan, “Ajaklah jiwamu untuk meraih apa yang telah Allah Ta’ala persiapkan bagi wali-wali-Nya dan orang-orang yang taat berupa kenikmatan abadi, kebahagiaan nan kekal, kesuksesan yang besar; dan apa yang disiapkan bagi orang-orang yang tidak berbuat apa-apa dan hanya sia-sia berupa kehinaan, siksaan, kesedihan abadi. Kemudian pilihlah, mana di antara dua jenis tersebut yang cocok bagimu. Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing, dan cenderung kepada hal yang sesuai dengan dirinya  serta dengan yang lebih utama baginya. Janganlah engkau menunda-nunda untuk mengatasinya, karena ia sangat butuh terhadapnya daripada butuhnya seorang pasien terhadap dokter yang mengobati penyakitnya.”
7. Ketika perang Badar berkecamuk, Nabi ﷺ memotivasi para sahabatnya untuk berperang

beliau bersabda,

“Beranjaklah menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi.” Lantas Umair bin Al-Humam Al-Anÿári berkata, “Bagus, bagus.” Lalu Rasulullah ﷺ bersabda, “Apa yang menyebabkan dirimu berkata ‘Bagus, bagus?” Beliau menjawab, “Tidak, demi Allah wahai Rasulullah, tidak ada maksud lain kecuali berharap aku termasuk penghuninya.” Beliau bersabda, “Engkau termasuk penghuninya.” Spontan ia mengeluarkan beberapa butir kurma dari kantong anak panahnya, lantas makan sebagian, kemudian beliau berkata, “Sekiranya aku nanti masih hidup sampai aku bisa memakan kurma-kurma ini, sungguh terlalu lama aku hidup.” Ia (perawi) berkata, “Lalu ia melemparkan sisa kurmanya untukku, lalu memerangi  mereka sampai terbunuh.”

Lihat dan ikutilah, bagaimana beliau membeli surga dengan jihad di jalan Allah

beliau merupakan sosok seperti yang Allah Ta’ala sebutkan,

“Padahal itu tidak menyenangkan bagi kamu.” .

(QS. Al-Baqarah: 216)

Dan lebih memilih kenikmatan surga yang abadi daripada kesenangan duniawi yang fana dan palsu.
8. Seorang penyair menuturkan,
Sungguh surga nan abadi kekal beserta penghuninya
Tinggal di sana selamanya tidak akan pergi
Disiapkan bagi orang yang takut kepada Tuhan dan bertakwa
Dan mati dalam kondisi bertauhid sambil berucap tahlil
9. Dan penyair lain menuturkan,
Jika jiwamu mengingatkanmu dengan dunia yang hina
Jangan kau lupakan taman-taman surga nan abadi
Tidakkah kau lihat dunia dan ketidaknyamanan hidup
Dan keletihan yang dirasakan orang yang mengumpulkannya
Penghuni dunia paling rendah tersesat dan buta ialah
Bagi yang berharap darinya kejayaan dan kemuliaan
Hawa nafsu terhadap dunia sampai ia binasa
Seperti dunia pun telah membinasakan ayah dan kakeknya

Referensi

  1. Syarñ Ÿañiñ Muslim karya An-Nawawí (17/165).
  2. Majmú’ Rasá`il karya Ibnu Rajab (1/203).



1- Seorang sahabat  bertanya kepada Nabi ﷺ mengenai ucapan yang mencakup makna-makna Islam, yang ucapan tersebut jelas baginya, sehingga tidak butuh penjelasan lagi. Ia langsung mengamalkannya dan memegang kalimat tersebut.
2- Lalu Nabi ﷺ memenuhi permintaannya dan membimbingnya agar mengucapkan, “Aku beriman kepada Allah,” mengucapkan dengan lisannya, mengimani dengan hatinya, dan mengamalkannya dengan anggota tubuhnya sebagai konsekuensinya. Di samping itu, ia tidak melakukan sesuatu yang menyelisihi perkataannya sendiri, entah itu secara perkataan, perbuatan, atau keyakinan. Kemudian beliau, memerintahkannya agar istiqamah di atas hal tersebut, dengan tidak melakukan maksiat dan tidak pula meninggalkan ketaatan.

Nasihat ini serupa dengan firman-Nya 

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami adalah Allah,’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata), ‘Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.’ Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya (surga) kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh apa yang kamu minta.”

(QS. Fuÿÿilat: 30-31)


Istiqamah itu sendiri merupakan perintah yang luas untuk melakukan semua perintah dan meninggalkan segala sesuatu yang dilarang. Apabila seorang hamba meninggalkan perintah atau melakukan larangan, maka ia tidak termasuk orang yang istiqamah. [1]
Banyak definisi istiqamah yang dipaparkan oleh para sahabat, semua berkisar pada satu makna. Abu Bakar  mengatakan, “Istiqamah adalah janganlah engkau mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun.” Maksudnya istiqamah itu tauhid. Umar bin Al-Khaþþab  mengatakan, “Istiqamah adalah teguh menunaikan perintah dan menjauhi larangan, jangan sampai berlaku licik layaknya seekor serigala.” Ušman bin Affan  mengatakan, “Mereka sstiqama, artinya mereka murnikan amal kalian hanya untuk Allah.” Ali bin Abi ±alib  dan Ibnu Abbas  mengatakan, “Mereka istiqamahlah, artinya mereka menunaikan kewajiban-kewajiban.” Al-Hasan  mengatakan, “Mereka istiqamahlah di atas perintah Allah, sehingga mereka mengerjakan ketaatan kepada-Nya, dan menjauhi maksiat kepada-Nya.” [2]


1. (1) Seyogianya orang yang berakal bertanya tentang apa yang mencakup dan menyeluruh di dalam agama, tidak berupa pertanyaan yang bertele-tele. [1]
2. (1) Jangan sampai engkau merasa malu atau angkuh untuk bertanya, karena ilmu akan hilang lantaran kesombongan dan rasa malu, dan para sahabat Nabi ﷺ tidak merasa berat sedikit pun untuk bertanya kepada beliau.
3. (1) Bertanya adalah kunci ilmu, maka setiap orang yang berakal agar bergegas bertanya mengenai permasalahan agama dan dunia yang belum ia ketahui yang dapat membawa kebahagiaan baginya serta keselamatan di dunia dan akhirat.
4. (2) Di antara keahlian yang harus dimiliki oleh seorang dai dan pendidik adalah memiliki kemampuan untuk menjelaskan banyak makna dalam rangkaian kata yang sederhana dan ringkas, sebagai bentuk meneladan Nabi ﷺ, agar tidak terlalu banyak berbicara kepada orang-orang yang didakwahi sehingga akibatnya mudah terlupakan atau salah memahami.
5. (2) Istiqamah dalam suatu situasi sama seperti antara roh bagi suatu tubuh. Apabila tubuh tidak memiliki roh, maka ia seperti mayit, sama halnya dengan situasi, jika tidak istiqamah, maka akan rusak. Berbagai situasi akan senantiasa hidup dengan istiqamah, amalan orang-orang yang zuhud bertambah dan berkembang dengan istiqamah, maka tidak mungkin amalnya suci serta situasinya baik tanpa istiqamah. [4]
6. (2) Ungkapan yang baik digunakan adalah kata-kata istiqamah. Misalnya dikatakan, ‘Fulan mustaqim’(lurus), bukan ‘fulan multazim’ (konsisten), karena kata istiqamah adalah lafaz qurani, dan kata al-iltizam maknanya menetapi suatu hal tertentu, entah itu baik atau buruk. [5]
7. (2) Seseorang terkadang tergelincir dalam kesalahan, kekeliruan, atau mengikuti langkah-langkah setan kemudian bertobat kepada Allah Ta’ala, hal ini tidak menafikan keistiqamahannya. Sebab istiqamah ini sangat sulit

karena itu Allah Ta’ala berfirman

“Karena itu istiqamahlah kamu (beribadah) kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.” 

(QS. Fuÿÿilat: 6)

maksudnya istiqamahlah dan mohonlah ampun atas perbuatan yang menyelisihi keistiqamahan.
8. (2) Istiqamah mencakup seluruh sisi kehidupan: dalam akidah, ibadah, muamalah, akhlak, dan lain-lain. Di dalam akidah, seorang hamba harus istiqamah di atas keimanannya kepada Allah Ta’ala dan mengesakan-Nya, menepis kesyirikan, kebidahan, dan kesesatan. Di dalam ibadah, seseorang harus konsisten dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan. Di dalam akhlak, seseorang berusaha untuk berperilaku baik dan memperlakukan manusia dengan akhlak yang baik dan terpuji, serta menjauhi akhlak buruk lagi tercela. Dan di dalam muamalah, seseorang berusaha untuk mencari penghasilan yang baik, tidak berbuat curang, zalim, dan khianat.

9. Seorang penyair menuturkan, Istiqamahlah karena hidup tidak akan stabil Selama dirimu tetap dalam kesesatanIstiqamahlah, jangan kau menetap dalam keburukan jika dirimu bijak, karena keburukan adalah pikiran yang lemah Istiqamahlah, jika kau ingin kedudukan yang luhur Mana mungkin pikiran yang mandul akan menghasilkan buah?! Istiqamahlah, maka agama dan duniamu pun akan stabil Kehormatan kan kau raih yang merupakan hal yang besar Istiqamahlah, karena keistiqamahan merupakan tanda bahwa dirinya adalah sosok orang yang bijaksana

Referensi

  1. Lihat: Al-Mafátih fi Syarñ Al-Maÿábiñ karya Al-MuÈhiri (1/87), Syarñ Al-Misykah Al-Kasyif ‘an Haqa`iq As-Sunan karya Aþ-±íbí (2/457).
  2. Lihat: Madárij As-Sálikín karya Ibnu Al-Qayyim (2/104) dan Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-ôikam karya Ibnu Rajab (1/508).
  3. Lihat: Syarñ Al-Arba’in An-Nawawiyah karya Al-Ušaimin (hal. 213).
  4. Madárij As-Sálikin karya Ibn Al-Qayyim (2/106).
  5. Lihat: Syarñ Al-Arba’in An-Nawawiyah karya Al-Ušaimin (hal. 214).



1. Nabi ﷺ mengingatkan umatnya bahwa seorang hamba pasti akan ditanya mengenai empat hal ketika berdiri di hadapan Allah Ta’ala. Maka hendaklah ia menyiapkan diri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Di antara bentuk kasih sayang Allah kepada hamba-Nya, Dia tidak menjadikan pertanyaan tersebut sebagai sebuah rahasia yang tidak diketahui siapa pun. Justru Nabi ﷺ menjelaskan dan mengabarkannya kepada umatnya. 


2. Pertanyaan pertama adalah tentang umurnya yang Allah Ta’ala anugerahkan untuk hidup di bumi. Bagaimana ia menghabiskan umurnya tersebut dan untuk apa dia menyia-nyiakannya? Apakah dalam ketaatan kepada Allah ataukah dengan bermaksiat kepada-Nya? Oleh karena itu

Nabi ﷺ membimbing umatnya untuk menggunakan umurnya dengan baik dalam sabdanya kepada Ibnu Abbas 

“Manfaatkan lima perkara sebelum datangnya lima perkara: masa mudamu sebelum datang masa tuamu; masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa fakirmu, masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, dan hidupmu sebelum datang kematianmu.” [1]


3. Kemudian Allah akan bertanya kepadanya tentang ilmunya -jika ia termasuk orang yang mempunyai ilmu-. Apakah ia mempelajari ilmu itu dengan ikhlas karena Allah , atau karena ria dan sumah? Jika demikian, maka ia akan menjadi orang yang pertama diadili dengan ilmunya pada hari kiamat kelak.

Dalam sebuah hadis, disebutkan sabda Nabi ﷺ,

“Dan seseorang yang mempelajari suatu ilmu, mengajarkannya dan membaca Al-Qur`an. Maka didatangkanlah ia. Allah menunjukkan nikmat-nikmat yang Dia anugerahkan kepadanya dan ia mengakuinya. Allah bertanya, ‘Apa yang engkau amalkan dari ilmumu?’ Dia menjawab, ‘Aku mempelajari ilmu, mengajarkannya, dan membaca Al-Qur`an karena-Mu.’ Allah berfirman, ‘Engkau berdusta. Engkau belajar agar engkau dianggap sebagai seorang yang pandai. Engkau membaca Al-Qur`an agar dianggap sebagai pembaca Al-Qur`an. Dan hal itu memang sudah dikatakan (di dunia). Kemudian diperintahkan kepadanya untuk diseret atas wajahnya sampai dilemparkan ke dalam api neraka.’” [2]


Apakah ia telah menyebarkan ilmu tersebut dan jujur dalam menyampaikannya atau ia menyembunyikan ilmunya atau menipu manusia saat menyampaikannya agar mendapatkan simpati? Apakah ia mengamalkan apa yang diketahuinya ataukah perbuatannya bertentangan dengan ilmu yang dimilikinya sehingga ia termasuk dalam firman Allah Ta’ala,

“Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti?”

(QS. Al-Baqarah: 44)

Dan firman Allah

“(Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”

(QS. Aÿ-Ÿaf: 3)


4. Pertanyaan ketiga adalah pertanyaan tentang harta; dari mana ia mendapatkannya, apakah dengan cara halal atau haram? Kemudian, ke mana ia belanjakan; apakah untuk melakukan ketaatan dan membantu Islam, ataukah ia hambur-hamburkan untuk melakukan kemaksiatan, mengumbar nafsu syahwat dan dosa?


5. Pertanyaan terakhir mengenai jasadnya yang dianugerahkan oleh Allah kepada seorang hamba beserta kesehatan dan kekuatan yang menyertainya. Bagaimana ia menggunakan tubuh tersebut? 
Makna hadis ini tidak terbatas bahwa seorang hamba tidak akan ditanya tentang hal lain. Justru Allah akan menghisab ucapan yang terlontar dan perbuatan yang dilakukan setiap manusia selama hidup di dunia. Hanya saja pertanyaan yang disebutkan dalam hadis adalah pertanyaan yang paling penting yang mencakup semua pertanyaan lain di yang terkandung di dalamnya.


1. Setiap hamba harus bersegera menyiapkan diri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan ditanyakan di hadapan Allah Ta’ala. Orang yang celaka ialah mereka yang mengetahui pertanyaan-pertanyaan tersebut, akan tetapi tidak mau menyiapkan jawabannya.
2. (1) Sebagian orang mukmin akan masuk surga tanpa hisab. Mereka tidak akan ditanya dan diberdirikan di hadapan Allah .

Nabi ﷺ bersabda

“Akan masuk surga dari kalangan umatku tujuh puluh ribu orang tanpa hisab. Mereka adalah orang yang tidak minta dirukiah, tidak mempercayai taþayur[3]  dan kepada Tuhan mereka, mereka bertawakal.”[4]

 
Alangkah besar karunia masuk ke dalam surga, apalagi jika masuk surga tanpa hisab. Maka hendaklah kita bersemangat menjadi salah seorang di antara mereka.


3. (1) Al-Fuðail bin ‘Iyað berkata kepada seorang laki-laki, “Berapa usiamu?” Ia menjawab, “Enam puluh tahun.” Al-Fuðail berkata, “Berarti engkau telah berjalan selama enam puluh tahun menuju Tuhanmu, dan engkau akan segera sampai.” Laki-laki itu berkata, “Innálilláhi wa inná ilahi ráji’ún (Kita adalah milik Allah dan kepada-Nya kita akan kembali).” Al-Fuðail berkata, “Apakah engkau tahu tafsir kalimat tersebut? Yaitu: Aku adalah hamba milik Allah , dan kepada-Nya akan kembali. Barang siapa yang mengetahui bahwa ia adalah hamba milik Allah dan bahwa ia akan kembali kepada-Nya, maka hendaklah ia juga menyadari bahwa ia akan diberdirikan di hadapan-Nya. Barang siapa yang mengetahui bahwa ia akan diberdirikan di hadapan Allah , maka hendaklah ia mengetahui bahwa ia akan ditanya. Dan barang siapa yang mengetahui bahwa ia akan ditanya, maka hendaklah ia menyiapkan jawabannya.” Laki-laki itu bertanya, “Jadi apa yang harus aku lakukan?” Al-Fuðail menjawab, “Mudah.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Apa itu?” Al-Fuðail menjawab, “Berbuat baiklah pada umurmu yang tersisa, maka akan diampuni dosamu yang telah lampau. Jika engkau berbuat buruk dalam sisa umurmu, maka engkau akan disiksa atas dosa yang lampau dan dosa yang engkau lakukan dalam sisa umurmu.” [5]


4. (2) Umur manusia adalah sesuatu yang paling berharga yang dimilikinya. Umur hanyalah kumpulan hari-hari dan waktu-waktu yang terhitung. Maka hendaklah seorang hamba menyadari nilai waktu yang dimilikinya, sehingga ia memaksimalkannya untuk melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala. Karena Allah  akan bertanya tentang seluruh hidupnya. Jika ia melaksanakan kewajiban dan ketaatan yang dibebankan kepadanya, maka ia akan selamat. Jika tidak, ia akan rugi dan binasa. 


5. (2) Berusahalah menggunakan waktumu untuk melakukan ketaatan dan meraih kedudukan yang paling tinggi. Ali bin Abi ±alib mengatakan, “Sesungguhnya dunia telah pergi meninggalkan kita sedangkan akhirat telah datang menghampiri kita. Masing-masing dari keduanya memiliki anak-anak. Maka jadilah kalian anak-anak akhirat dan janganlah menjadi anak-anak dunia. Karena sesungguhnya saat ini waktunya beramal dan tidak ada perhitungan. Adapun besok di akhirat adalah waktu perhitungan dan tidak ada waktu lagi untuk beramal.” [6]


6. (3) Ilmu bisa menjadi saksi yang memberatkan pemiliknya. Seorang yang tidak tahu bisa beralasan dengan ketidaktahuannya. Akan tetapi orang yang mengetahui hukum Allah tapi tidak melakukannya karena mengikuti hawa nafsu, maka tidak ada alasan baginya.


7. (3) Zakat ilmu adalah menyebarkan dan mengajarkannya kepada manusia. Menyembunyikan ilmu merupakan suatu dosa besar yang diancam Allah  dengan hukuman yang pedih.

Allah Ta’ala berfirman

“Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (Al-Qur`án), mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat.”  

(QS. Al-Baqarah: 159)

Rasulullah ﷺ bersabda,

“Barang siapa yang ditanya tentang suatu ilmu kemudian ia menyembunyikannya, maka ia akan diikat dengan tali kekang dari api pada hari kiamat.” [7]


8. (4) Harta adalah urusan yang besar di sisi Allah. Oleh karena itu, pertanyaan tentang umur, ilmu dan jasad masing-masing satu pertanyaan. Sedangkan tentang harta, ada dua pertanyaan; dari mana didapatkan dan untuk apa digunakan? Maka hendaknya setiap Muslim berhati-hati tentang hartanya. Jangan sampai mengambil harta kecuali dengan cara halal, dan menggunakannya juga untuk hal yang halal.


9. (4) Para sahabat sangat berhati-hati dalam memakan yang halal dan meninggalkan yang haram ataupun yang di dalamnya terdapat syubhat. Suatu hari, Abu Bakar memakan makanan yang diberikan oleh budaknya. Selesai makan, budaknya memberitahunya bahwa makanan tersebut adalah pemberian dari seorang laki-laki yang pernah diramalnya pada masa jahiliah, padahal ia sendiri tidak menguasai ilmu perdukunan. Ia hanya menipunya. Akan tetapi, ramalannya bertepatan dengan takdir Allah Ta’ala. Orang itu datang membawa makanan sebagai bentuk rasa terima kasih kepada budak tersebut. Mendengar penjelasannya, Abu Bakar segera memasukkan tangannya ke dalam mulutnya hingga ia memuntahkan semua isi perutnya. [8]


10. (5) Jasadmu adalah amanah yang Allah Ta’ala titipkan kepadamu. Maka jagalah dengan menggunakannya untuk melakukan taat dan takarub kepada Allah Ta’ala. Jauhkan dari tempat-tempat yang mengantarkan pada kebinasaan dan kemaksiatan.


11. Seorang  penyair menuturkan,
Kita bermain-main dan berangan-angan yang menyenangkan 
Hukum kematian akan melipat kita bersama angan-angan itu
Tanamlah benih-benih ketakwaan selagi engkau mampu 
ketahuilah bahwa setelah kematian engkau akan menjumpainya
Engkau akan memetik buahnya besok di rumah kemuliaan 
Tiada pemberian yang diungkit-ungkit dan tidak ada kekotoran di sana

Referensi

  1. HR. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak ‘Alá Aÿ-Ÿañíñain (7846).
  2. HR. Muslim (1905).
  3. Beranggapan sial karena suatu kejadian, waktu, angka dan lain sebagainya (editor).
  4. HR. Al-Bukhari (6472) dan Muslim (220) dari Ibnu Abbas .
  5. Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab (2/383).
  6. Igašah Al-Lahfán karya Ibn Al-Qayyim (1/71).
  7. HR. Abu Daud (3658), At-Tirmizi (2649), dan Ibnu Majah (264).
  8. HR. Al-Bukhari (3842).



Hadis ini termasuk hadis yang sangat penting di dalam agama; sampai sebagian ulama mengatakan, “Hadis ini merupakan sepertiga dari Islam, dan Islam itu tidak keluar darinya, serta hadis ‘Semua amalan tergantung niatnya’, dan hadis ‘Di antara tanda baiknya keislaman seseorang ialah ia meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya.’ Abu Daud berkata, “Islam itu terkumpul pada empat hadis, hadis pertama adalah ‘Sesungguhnya perkara yang halal itu sudah jelas.’” [1]


1. Nabi  menyebutkan di dalam hadis tersebut bahwa hukum-hukum syariat terang dan jelas. Perkara yang halal, yaitu apa yang dihalalkan dan dibolehkan oleh Allah Ta’ala, keadaannya sangat jelas tidak samar sedikit pun. Demikian pula, perkara yang haram, yaitu apa yang dilarang dan diharamkan oleh Allah Ta’ala, keadaannya sangat jelas dan terang, tidak asing bagi siapa pun yang dakwah Islam telah sampai kepadanya dan bagi orang yang  telah memeluk Islam.
Di antara perkara yang jelas-jelas halal adalah makan makanan yang baik yang dihalalkan oleh Allah di dalam kitab-Nya; menikmati perhiasan kehidupan dunia seperti istri; dan mengenakan pakaian yang bersih yang dihalalkan oleh Allah.
Di antara perkara yang sudah jelas keharamannya adalah menyekutukan Allah, penyebab-penyebab dan sarana kesyirikan. Selain itu adalah makan barang yang najis, bangkai dan babi, minum minuman yang memabukkan, menzalimi orang lain, memakan harta mereka dengan cara yang batil, dan yang semisal.


2. Di antara dua tingkatan tersebut, antara yang jelas-jelas halal dan yang jelas-jelas haram, ada beberapa perkara yang masih samar bagi kebanyakan manusia, mereka tidak tahu; apakah ia termasuk halal atau haram. Bukan berarti bahwa perkara tersebut belum dijelaskan oleh syariat; sungguh Allah Ta’ala telah mengutus Nabi-Nya  untuk menjelaskan hukum-hukum syariat secara sempurna.

Allah Ta’ala berfirman

“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.”

(QS. Al-Má`idah: 3).

Hanya saja status hukumnya belum diketahui oleh kebanyakan manusia, lantaran kurangnya ilmu mereka. Bisa jadi juga tidak diketahui oleh sebagian ulama karena suatu hal tertentu, akan tetapi ulama lainnya mengetahui status hukumnya secara jelas beserta dalilnya yang bersumber dari kitab dan sunnah, ijmak dan kias. [2]


3. Barang siapa yang menjauhi perkara-perkara yang status hukumnya masih samar tersebut dan bersikap warak terhadapnya, maka ia telah menyelamatkan agamanya, sehingga ia selamat dari celaan dan siksaan, serta selamat kehormatannya dari lisan manusia yang mencelanya dalam hal itu. Inilah salah satu bentuk warak, yaitu itu menjauhi hal-hal yang syubhat dan meninggalkan perkara yang dikhawatirkan akan membahayakan dirinya kelak di akhirat. Adapun zuhud, yaitu tidak bergantung pada perkara yang bisa mengurangi derajatnya kelak di akhirat, sekalipun tergolong mubah.[3]  Zuhud merupakan tingkatan yang statusnya tidak wajib, namun berada pada tingkatan tertinggi, sementara warak itu wajib bagi setiap muslim.


4. Barang siapa yang menerjang perkara-perkara tersebut dan tenggelam di dalamnya, tidak bersikap warak, maka sikapnya yang menyepelekan hal tersebut dapat mengantarkannya untuk melakukan perkara-perkara yang haram, karena ia sudah terbiasa bersikap bermudah-mudahan dan senang dengan perkara-perkara yang syubhat tersebut. Kemudian terjatuh ke dalam perkara yang haram, entah itu disengaja atau karena tidak tahu.[4]  Sebagaimana seorang penggembala jika menggembala hewan gembalaan dan kambing-kambingnya di sekitar area terlarang –yaitu sesuatu yang dilindungi oleh seorang raja dari sebuah area, manusia dilarang memasukinya tanpa izin, bagi yang menerobos maka akan dijatuhi hukuman- dikhawatirkan hewan-hewannya akan masuk dan makan di sana; sebab bisa saja ada hewan yang menyendiri dan memisahkan diri, tidak terkendali. Dan bisa jadi dirinya menginginkannya, lantas setan membujuknya untuk masuk ke dalamnya. Seperti halnya seorang penggembala, jika membiarkan hewan gembalaannya di sekitar area terlarang dan masuk ke dalamnya, maka ia berhak mendapatkan hukuman atas perbuatannya tersebut. Demikian juga orang yang sudah terbiasa dan sering bersinggungan dengan perkara-perkara yang syubhat, niscaya akan jatuh ke dalam perkara yang haram; sehingga ia pun berhak mendapatkan hukuman. [5]


5. Sebagaimana setiap raja mempunyai area terlarang yang dijaga dan tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang. Orang yang melanggarnya akan dijatuhi hukuman; dan Allah Ta’ala memiliki permisalan yang Mahatinggi. Area larangan-Nya adalah segala sesuatu yang diharamkan bagi makhluk-Nya, di antaranya kekufuran dan kemaksiatan. Siapa yang masuk ke dalamnya dan melakukan salah satu perbuatan maksiat, maka ia berhak mendapatkan hukuman. Siapa yang mendekatinya, maka dikhawatirkan akan terjatuh ke dalamnya. Siapa yang menjaga dirinya, tidak mendekatinya, maka tidak ada yang mengantarkannya kepada kemaksiatan, dan dia tidak pula masuk ke dalam perkara-perkara yang syubhat. [6]


6. Kemudian beliau  memberitahukan bahwa di dalam jasad manusia terdapat sepotong daging kecil seukuran yang bisa dikunyah di dalam mulut seseorang, yaitu hati. Hati yang dalam bentuk fisik ini memiliki hubungan dengan hati secara maknawi yang di dalamnya ada keimanan, yang di dalamnya terdapat kebaikan atau kerusakan.


7. Apabila kondisi hati itu baik dan istikamah, maka akan baik pula kondisi seseorang dan seluruh anggota tubuhnya. Namun bila ia rusak, maka rusak pula seluruhnya, karena hati ibarat sang raja sedangkan anggota lainnya adalah prajuritnya. Jika rajanya baik, maka prajuritnya pun akan baik, namun bila rajanya buruk, maka prajuritnya pun akan buruk.  [7]
Hati yang baik ialah hati yang dipenuhi rasa cinta kepada Allah Ta’ala dan mengesakan-Nya, dan selamat dari segala hal yang dibenci Allah Ta’ala. Ia menyukai apa yang Allah Ta’ala ridai dan cintai, dan membenci apa yang dibenci dan ditolak oleh Allah Ta’ala. Sedangkan, hati yang rusak, maka kondisinya adalah sebaliknya. [8]
Allah  menjadikan hati sebagai wadah keimanan atau kekafiran.

Allah  berfirman,

“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan, dan menjadikan (iman) itu indah dalam hatimu, serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan.”.

(QS. Al-Ôujurát: 7)

Allah  juga berfirman,

“Dan janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami.”.

(QS. Al-Kahfi: 28)


1. (1) Allah telah menjelaskan semua hukum syariat kepada hamba-Nya, maka seorang hamba harus mempelajari hukum-hukum tersebut dari para ulama, meminta fatwa mereka terkait perkara yang belum diketahuinya, dan ia tidak memiliki uzur untuk melakukan perkara yang haram sebelum bertanya dan berkonsultasi dengan para ulama.


2. (1) Allah telah menyempurnakan nikmat-Nya untuk hamba-Nya dengan menyempurnakan agama ini, dan menjelaskan perkara yang halal dan haram, maka tidak perlu seseorang bersusah payah membebani dirinya dengan mengklaim bahwa hukum-hukum syariat belum memenuhi kebutuhan agama secara menyeluruh.

3. (1) Para ulama dan dai hendaknya benar-benar menjelaskan perkara yang halal dan haram, dengan mengajarkan hukum-hukum syariat kepada manusia, memberi fatwa pada permasalahan hukum dan masalah muamalat kontemporer yang mereka alami. 


4. (2) Di dalam hadis tersebut dijelaskan keutamaan para ulama, merekalah yang mengetahui perkara-perkara yang masih syubhat yang tidak semua manusia mengetahuinya. Siapa yang ingin dikategorikan ke dalam kelompok tersebut, maka semangatlah dalam menuntut ilmu dan bersungguh-sungguh dalam meraihnya.


5. (2) Perkara-perkara yang statusnya samar tersebut disebabkan mayoritas manusia tidak mengetahui hukum-hukum beserta dalilnya. Ada sebagian hukum yang populer di kalangan banyak orang, dan sebagian lainnya belum diketahui kecuali hanya orang-orang tertentu dari para ulama dan pemuka agama. Jangan pernah seseorang mengira bahwa ada perkara agama Allah Ta’ala yang belum tersampaikan kepada manusia.


6. (2) Seorang muslim wajib bergegas untuk bertanya kepada para ulama saat tidak mengetahui hukum suatu perkara; merekalah yang mengetahui hukum-hukum syariat beserta dalilnya secara rinci.


7. (3) Seorang muslim wajib menjauhi perkara-perkara syubhat untuk menjaga agama dan kehormatannya.


8. (3) Seorang muslim wajib menjaga kehormatannya agar tidak ada manusia yang mencoba menodainya, meski ia sosok yang bertakwa dan saleh.


9. (3) Menjauhi syubhat juga termasuk implementasi dari sabda Nabi 

“Tinggalkan apa yang meragukanmu, menuju apa yang tidak meragukanmu.” [9]


10. (4) Barang siapa yang tidak bertakwa kepada Allah dan nekat menerjang perkara syubhat, maka hal itu mengantarkan dirinya kepada perkara-perkara yang haram dan menjadikannya bermudah-mudahan dalam perkara tersebut dan berani untuk menerjang perkara yang haram. Para ulama mengatakan, “Dosa kecil mengantarkan kepada dosa besar dan dosa besar bisa mengantarkan kepada kekafiran.” Dan sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat, “Perbuatan-perbuatan maksiat mengantarkan kepada kekafiran.”[10]  Maka bersikap waraklah, warak terhadap perkara-perkara syubhat supaya tidak terbawa arus perbuatan-perbuatan maksiat dan dosa-dosa besar.


11. (4) Kecanduan pada perkara yang mubah dan terus-menerus menjalani perkara tersebut mendorong seseorang untuk melakukan hal yang haram, setahap demi setahap. Seorang hamba wajib untuk menaruh perhatian terhadap ibadahnya, semangat untuk memperbanyak amalan sunnah dan memperbanyak ibadah. Jangan sampai larut dalam perkara-perkara yang mubah dan perkara-perkara yang melalaikan.


12. (4) Setan tidak akan menggoda seorang hamba untuk serta merta melakukan dosa besar atau kekafiran. Akan tetapi setan menghiasnya terlebih dahulu, sedikit demi sedikit. Kemudian menjadikannya lalai dengan perkara yang mubah, lalu menggiringnya ke arah perkara yang syubhat dan makruh, sampai ketika ia sudah ketergantungan, maka tidak sulit baginya untuk berani melanggar batasan-batasan Allah dan perkara-perkara yang haram. Waspadalah terhadap godaan dan tipu daya setan, kembalilah ke jalan semula.


13. (4) (5) Nabi ﷺ menggunakan metode ilustrasi dan permisalan yang menjelaskan, mempertegas, dan mendekatkan makna. Yaitu dengan mengumpamakan orang yang terjerumus ke dalam syubhat sama seperti seseorang yang menggembala di sekitar area terlarang. Beliau juga memberikan contoh hukuman bagi orang yang melakukan perkara yang haram, seperti hukuman bagi yang menerobos area terlarang raja-raja di dunia. Jadi, seorang dai dan pendidik hendaknya memberikan contoh dan menggunakan gaya bahasa yang menarik untuk membuat sebuah makna lebih dipahami .

14. (6) Memerhatikan keselamatan hati, memeriksa penyakitnya dan mengobatinya merupakan hal terpenting yang dilakukan para ahli ibadah. Sebab hati di tubuh ini layaknya seorang raja yang berwenang atas para prajuritnya, yang semua perintah bersumber darinya. Melalui hati, seseorang bisa istikamah atau justru tersesat, serta patuh terhadap apa yang diinginkan; ia ibarat rajanya, sementara anggota tubuh lainnya para pelaksana perintah darinya. [11]

15. (6) Janganlah engkau menyangka bahwa batinmu sudah baik, sementara tampilanmu terlihat buruk. Ada sebuah hadis yang menunjukkan bahwa baiknya batin mengharuskan tampilan fisik juga baik. Apabila hati baik, maka anggota tubuh lainnya wajib menerapkannya. Orang yang hatinya baik bukanlah orang yang amalannya buruk dan membiarkan anggota tubuhnya bebas bermaksiat dan melanggar batasan-batasan Allah Ta’ala.

Referensi

  1. Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawí (11/27).
  2. Lihat: Syarñ Al-Arba’ín An-Nawawiyah karya Ibnu Daqíq (hal. 44) dan Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawí (4/190).
  3. Lihat dengan redaksi lain: Al-Fawá`id karya Ibnu Al-Qayyim (hal. 181).
  4. Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawí (4/190).
  5. Lihat: Jámi’ Al-’Ulúm wa Al- ôikam karya Ibnu Rajab (1/194) dan Irsyád As-Sárí li Syarñ Ÿañíñ Al-Bukhári karya al-Qasþaláni (4/7).
  6. Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawí (4/190).
  7. Miftáñ Dár As-Sa’ádah karya Ibn Al-Qayyim (1/192).
  8. Fatñ Al-Bári karya Ibnu Rajab (1/229).
  9. HR. At-Tirmiæí (2518), dan An-Nasá`i (5711) dari Al-ôasan bin Ali , dinyatakan sahih oleh Al-Albani dalam Irwá` Al-Galíl (1/44).
  10. Syarñ Al-Arba’ín An-Nawawiyah karya Ibnu Daqíq (hal. 47).
  11. Igášah Lahfán min Maÿáyid Asy-Syaiþán karya Ibn Al-Qayyim (1/5).


1. Nabi ﷺ memegang bahu –yaitu anggota tubuh antara tengkuk dan lengan- Ibnu Umar , seraya berpesan kepadanya agar bersikap zuhud di dunia. Hendaknya hidup di dunia seperti orang yang hidup tidak bersama keluarga dan tidak berada di negerinya, tidak peduli pertemanan siapa pun, tidak menjadikannya sebagai tempat menetap atau membangun istana. Tidak merasa dengki atau iri terhadap orang lain. Sungguh keinginan satu-satunya adalah mencari bekal untuk kembali ke negeri asalnya. Demikian juga seorang muslim di dunia ini. Dunia merupakan kampung yang asing baginya, tidak terlalu memperhatikannya kecuali sekedar ingin mencari bekal untuk akhirat yang merupakan negerinya yang pertama yaitu surga.


2. Manakala orang asing yang bermukim untuk sementara waktu di negeri orang lain dan tinggal di sana, dan berinteraksi dengan penduduknya, lantas Nabi ﷺ meningkatkan level zuhud tertinggi di dunia. Yaitu hendaknya seperti musafir yang melewati jalan. Orang yang lewat, tidak akan berhenti kecuali untuk kepentingan membawa bekal dan beristirahat, tidak merasa betah dengan orang yang dicinta atau kawan, dan tidak ingin bermukim. Begitulah seharusnya seorang muslim, jangan sampai ia tersibukkan oleh dunia dan seisinya dari perjalanannya menuju negeri asalnya.


3. Ibnu Umar  biasa menasihati manusia dan memperingatkan mereka agar jangan sampai larut dalam angan-angan dan tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian. Seseorang harus memosisikan kematian di depan matanya, seakan-akan tidak akan melewatkan waktu begitu saja. Ketika berada di sore hari, ia beramal untuk akhirat, seakan-akan akan mati sebelum subuh; dan ketika berada di pagi hari, ia meyakini seakan-akan tidak akan bertemu malam lagi. Siapa yang mempersiapkan untuk ini, maka ia akan beramal demi akhirat dan meninggalkan syahwat duniawi beserta perhiasannya. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal  ketika beliau ditanya, “Dengan apa seseorang bersikap zuhud di dunia?” Beliau menjawab, “Angan-angan yang pendek, orang yang ketika pagi harinya mengatakan, ‘Aku tidak akan merasakan sore hari.’” [1]
Angan-angan yang panjang merupakan sumber dari segala musibah. Ketika iblis menggoda Adam dan Hawa dengan bujukan untuk makan dari pohon (terlarang), ia mampu menyesatkan mereka berdua dengan bujukan kekuasaan dan keabadian.

Allah Ta’ala berfirman (menceritakan kisah tersebut),

“Kemudian setan membisikkan (pikiran jahat) kepadanya, dengan berkata, ‘Wahai Adam! Maukah aku tunjukkan kepadamu pohon keabadian (khuldi) dan kerajaan yang tidak akan binasa?’”. 

(QS. ±aha: 120)


Selain larangan tersebut di atas, seseorang juga tidak boleh menzalimi saudaranya, tidak memakan haknya sendiri kecuali untuk sekedar merasakan sedikit dari ragam kekayaan dunia dan menikmatinya.


4. Ibnu Umar  juga menasihati mereka agar memanfaatkan waktu-waktu sehat sebelum terhalang oleh sakit dan kesibukan yang menghalanginya dari amal saleh, karena kesehatan merupakan kenikmatan terbesar yang sering lupa dimanfaatkan oleh manusia, karenanya beliau  bersabda, “Ada dua nikmat yang kebanyakan manusia terlena, yaitu: kesehatan dan waktu luang.” [2]


5. Ia juga menasihati agar mereka beramal untuk akhirat sebelum maut datang tiba-tiba, sehingga semua amalan terputus dan penyesalan melanda, seraya hamba tersebut berteriak,

“Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku dapat berbuat kebajikan yang telah aku tinggalkan.” . 

(QS. Al-Mu`minún: 99-100)


Nasihat Ibnu Umar  berlandaskan sabda Nabi ﷺ di atas, dan rangkuman dari sabda beliau  kepada seorang laki-laki yang sedang beliau nasihati, “Manfaatkanlah lima perkara sebelum datang lima perkara: masa mudamu sebelum masa tuamu, masa sehatmu sebelum masa sakitmu, masa kayamu sebelum masa miskinmu, masa luangmu sebelum masa sibukmu, dan masa hidupmu sebelum kematianmu.” [3]


1. (1) Di dalam hadis ini terkandung perhatian besar Nabi ﷺ terhadap pendidikan anak-anak, pengajaran terkait hukum-hukum agama, dan nasihat untuk mereka supaya zuhud di dunia. Maka, para dai dan pendidik jangan sampai lalai dari hal tersebut.


2. (1) Para dai seharusnya mendidik generasi muda agar mereka lebih mengedepankan akhirat dan beramal untuknya, tidak terpukau dengan perhiasan dan kesenangan duniawi.


3. (1) Nabi  memegang pundak Ibnu Umar  guna menarik perhatian dan perasaannya, maka para ulama dan dai hendaknya menggunakan metode seperti itu, yang menyenangkan dan menarik hati serta pendengaran.


4. (1) Dahulu Aþa` As-Sulaimi dalam doanya ia berucap, “Allahumma irñam fi ad-dunyá gurbatí, wa irñam fi al-qabri wañsyatí, wa irñam mauqifí gadan bain yadaika (Ya Allah, rahmatilah keterasinganku di dunia, rahmatilah ketakutanku di dalam kubur, dan rahmatilah posisiku kelak ketika di hadapan-Mu.)” [4]


5. (1), (2) Nabi  memberikan permisalan kondisi seorang muslim seperti sosok orang asing dan pengembara yang sekadar lewat. Beliau juga memberikan permisalan lain dan menggunakan berbagai metode penjelasan dan perumpamaan yang bisa mendekatkan makna serta menjadikannya mudah dipahami. Maka orang yang profesinya sebagai pengajar atau pendidik, jangan sampai meninggalkan metode-metode seperti ini.


6. (1), (2) Hadis ini mengandung penjelasan bahwa Allah Ta’ala telah menakdirkan dunia akan fana dan musnah, maka seorang mukmin tidaklah hidup di dunia melainkan untuk berbekal demi kehidupan abadi kelak di akhirat. Siapa yang cenderung kepada dunia dan merasa tenang di sana, maka merugilah akhiratnya.


7. (1), (2) Ali  pernah berkata, “Dunia pergi meninggalkan kita ke belakang, sementara akhirat beranjak menghampiri kita, dan keduanya memiliki anak-anak, maka jadilah kalian sebagai anak-anak akhirat, jangan menjadi anak-anak dunia. Sesungguhnya hari ini waktunya beramal dan tidak ada perhitungan, sedangkan esok, hanya ada perhitungan dan tidak berlaku lagi amalan.” [5]


8. Hadis ini tidak berarti perintah untuk meninggalkan usaha dalam mengais rezeki, bukan pula mengharamkan kenikmatan duniawi; karena perbuatan Nabi  serta para sahabatnya yang mulia menafikan hal itu.


9. (3) Teruslah berjalan, jangan sampai patah semangat dalam menempuh perjalananmu menuju akhirat walau sesaat; karena jika dirimu teledor dalam perjalanan, maka langkahmu menuju lokasi tujuan terhenti, dan kamu akan binasa di lembah-lembah tersebut. [6]


10. (3) Para salaf adalah orang-orang yang paling banyak persiapannya untuk menghadapi akhirat. Seseorang berkata kepada Muhammad bin Wasi’ , “Bagaimana kabarmu pagi ini?” Beliau menjawab, “Bagaimana menurutmu, kondisi laki-laki yang setiap hari melakukan perjalanan menuju akhirat?!”[7]  Al-Hasan Al-Baÿri  menuturkan, “Sesungguhnya dirimu hanyalah kumpulan hari, setiap berlalu satu hari, maka berkuranglah sebagian dari dirimu.” [8]


11. (4) Seorang muslim seharusnya bersegera melakukan amalan kebaikan semaksimal mungkin, memanfaatkan masa sehatnya, masa luangnya, dan masa hidupnya. Melaksanakan ketaatan yang dapat menjadi pengganti ketika seseorang tertimpa sakit dan kesibukan yang suatu saat akan menyibukkannya.


12. Al-Auzá’i  menulis surat kepada saudaranya, “Amabakdu, sungguh kematian itu mengelilingimu dari segala sisi. Ketahuilah bahwa kematian itu terus berjalan bersamamu setiap hari dan malam. Takutlah kepada Allah dan hari yang kelak engkau berdiri di hadapan-Nya, dan jadikanlah akhir hayatmu dengan rasa takut kepada Allah, wassalam.” [9]


13. Al-Fuðail bin Iyað  menuturkan kepada seorang laki-laki, “Berapa umurmu?” Ia menjawab, “Enam puluh tahun.” Fuðail berkata, “Dirimu semenjak enam puluh tahun sedang berjalan menuju Rabbmu, dan hampir saja sampai.” Lalu ia berkata, “Sungguh kami adalah milik Allah dan sungguh kami akan kembali kepada-Nya.” Fuðail berkata, “Apakah engkau tahu tafsirnya? Engkau mengatakan, ‘Aku adalah milik Allah, hamba-Nya, dan kelak aku akan kembali kepada-Nya,’ siapa yang tahu bahwa ia adalah hamba Allah, dan kelak akan kembali kepada-Nya, maka ketahuilah esok ia akan berdiri menghadap. Siapa yang tahu kelak ia akan berdiri menghadap, maka ketahuilah ia akan ditanya. Siapa yang tahu kelak ia akan ditanya, maka persiapkan jawaban dari pertanyaan tersebut!” Lalu lelaki itu berkata, “Bagaimana caranya?” Fuðail menjawab, “Mudah.” Ia bertanya, “Apa itu?” Fuðail berkata, “Berbuat baiklah di sisa umurmu, niscaya yang lalu akan diampuni, jika dirimu tetap berbuat buruk di sisa umurmu, maka engkau disiksa sebab perbuatanmu masa lampau dan yang tersisa ini.” [10]


14. Perawi hadis ini, Ibnu Umar , termasuk orang yang menerapkan hadis ini dalam kehidupannya. ±awus menuturkan, “Aku tidak pernah melihat ada laki-laki yang lebih warak daripada Ibnu Umar.”[11]  Dari Nafi’ bahwa suatu ketika Ibnu Umar menginginkan buah anggur saat sedang sakit, Nafi’ mengatakan, “Aku membelikan beberapa tangkai buah anggur untuknya seharga satu dirham, aku mendatanginya dan aku letakkan anggur tersebut di tangannya. Lantas ada seorang pengemis berdiri di depan pintu, ia meminta, lalu Ibnu Umar mengatakan, ‘Berikan ini kepadanya.’” Nafi’ mengatakan, “Aku katakan kepada Ibnu Umar, ‘Cicipilah, makanlah sebagiannya!’ Ibnu Umar mengatakan, ‘Tidak, berikan semua kepadanya.’” Nafi’ mengatakan, “Aku pun menyerahkannya kepada pengemis itu, kemudian aku membeli buah anggur itu darinya lagi seharga satu dirham, lalu aku mendatangi Ibnu Umar. Aku letakkan anggur di tangannya, lantas pengemis itu datang lagi. Ibnu Umar mengatakan, ‘Berikan ini kepadanya.’” Nafi’ mengatakan, “Aku katakan kepada Ibnu Umar, ‘Makanlah sebagiannya, cicipilah!’ Ibnu Umar mengatakan, ‘Tidak, berikan semua kepadanya.’” Nafi’ mengatakan, “Aku pun menyerahkannya kepada pengemis itu, kemudian aku membeli buah anggur itu darinya lagi seharga satu dirham, lalu aku mendatangi Ibnu Umar, aku letakkan anggur di tangannya, lantas pengemis itu datang lagi. Ibnu Umar mengatakan, ‘Berikan ini kepadanya.’” Nafi’ mengatakan, “Aku katakan kepada Ibnu Umar, ‘Makanlah sebagiannya, cicipilah!’ Ibnu Umar berkata, ‘Tidak, berikan semua kepadanya.’” Nafi’ mengatakan, “Aku pun menyerahkannya kepada pengemis itu dan aku katakan kepada pengemis itu, ‘Tidakkah engkau malu?’ Lantas aku membeli darinya kembali seharga satu dirham, lalu aku pergi, dan aku mendatangi Ibnu Umar kembali, sambil membawa buah anggur tadi untuknya dan ia pun memakannya.” [12]


15. Ia menegurnya, namun tidak tahu pada yang ke berapa, apakah keempat kalinya, Yazid ragu- ia berkata, “Aku pun membelinya lagi darinya seharga satu dirham, lalu aku pergi, dan aku datang menemui ia kembali, lantas ia pun memakannya.”
16. Seorang penyair menuturkan, 
Kau berjalan menuju ajal setiap saat
Hari-hari kita digulung, semuanya bertahap 
Tidak pernah kulihat hal yang paling nyata selain kematian, seolah ia
batil, jika tergerus oleh angan-angan yang panjang
Sungguh buruk masa muda yang hanya 'tuk berleha-leha
Bagaimana nasib jika uban rambut kepala mulai merebak
Beranjaklah dari dunia dengan bekal ketakwaan
Umurmu hanya hitungan hari dan ia sangat sedikit

Referensi

  1. Jámi’ Al-’Ulúm wa Al-ôikam karya Ibnu Rajab (2/386).
  2. HR. Al-Bukhari (6412).
  3. HR. Ibnu Abu Ad-Dunyá di dalam Qaÿr Al-Amal dan Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak (7846).
  4. Jámi’ Al-’Ulúm wa Al- ôikam karya Ibnu Rajab (2/378-379).
  5. HR. Al-Bukhari (8/89).
  6. Al-Kásyif ‘an ôaqá`iq As-Sunan karya Aþ-±ayyibi (4/1364).
  7. Jámi’ Al-’Ulúm wa Al-ôikam karya Ibnu Rajab (2/382).
  8. Jámi’ Al-’Ulúm wa Al-ôikam karya Ibnu Rajab (2/382).
  9. Jámi’ Al-’Ulúm wa Al- ôikam karya Ibnu Rajab (2/382-384).
  10. Jámi’ Al-’Ulúm wa Al- ôikam karya Ibnu Rajab (2/383).
  11.  Az-Zuhd karya Ahmad hal. 240.
  12. Az-Zuhd karya Ahmad hal. 237.



1. Barang siapa yang diinginkan oleh Allah Ta’ala kebaikan yang besar di dunia dan akhirat, maka Allah akan memudahkan baginya untuk memahami dengan baik hukum-hukum Islam, perintah-perintah-Nya, larangan-larangan-Nya, dan maksud-maksud-Nya. Hal tersebut akan bertambah seiring dengan pengetahuan berbagai masalah beserta dalil yang ia ketahui, menadaburi ayat, hadis dan asar sahabat, mempelajari ilmu-ilmu pokok yang membantu untuk memahaminya, dan berijtihad untuk mengetahui kebenaran.
Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa barang siapa yang tidak mendalami agama, maka ia terhalang dari kebaikan  [1]. Nabi ﷺ hanya menyebutkan ilmu agama secara khusus, bukan ilmu-ilmu lainnya karena ilmu agama adalah ilmu yang paling mulia. Ilmu tersebut yang mengantarkan kepada Allah, dengan ilmu agama pula seseorang melakukan ibadah, ketaatan, dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Sehingga dengan hal tersebut seseorang mendapatkan kebaikan dan terhindar dari kebinasaan di dunia dan akhirat. Sementara ilmu-ilmu lain mengikuti dan membantu ilmu-ilmu agama, yang tidak sempurna tanpa tanpa ilmu-ilmu agama. [2]


2. Kemudian beliau menjelaskan bahwa beliau laksana seorang bendahara yang bertugas membagikan apa yang diberikan oleh Allah c kepadanya, baik itu berupa harta, rezeki, atau ilmu.
Artinya, beliau sebagai pembagi ilmu adalah beliau menyampaikan apa yang diperintahkan oleh Allah untuk disampaikan, tanpa bersikap pelit kepada siapa pun. Namun pemahaman dan kefakihan hanyalah pemberian dan karunia dari Allah b atas apa yang Dia kehendaki sesuai dengan hikmah-Nya.


3. Kemudian Nabi ﷺ memberi kabar gembira kepada umatnya bahwa Allah Ta’ala akan menjadikan mereka senantiasa ada di setiap zaman di atas agama ini, menjadi penolong baginya, dan terjaga dari kehancuran di tangan musuh-musuhnya. Derajatnya tidak akan berkurang di sisi Allah, walaupun musuh menentangnya dengan perang pemikiran atau militer.
Hal ini terwujud dengan adanya sekelompok umat berada dalam kondisi seperti yang disebutkan. Sedangkan sebagian umat yang lain, terkadang meninggalkan perintah Allah Ta’ala.


4. Kebangkitan umat ini akan terus berlangsung sampai akhir zaman. Barangkali yang dimaksud adalah apa yang ada dalam hadis Abu Hurairah h dari Rasulullah ﷺ beliau bersabda,

“Sesungguhnya Allah akan mengutus angin dari Yaman yang lebih lembut daripada sutra. Maka, jangan sekali-kali engkau tinggalkan seseorang yang di dalam hatinya ada seberat biji iman.”[3]

  Hari kiamat tidak akan terjadi kecuali pada seburuk-buruk manusia.


1. Apabila engkau menginginkan kebaikan, carilah di tempat kebaikan tersebut berada. Yakni pada apa yang ditunjukkan oleh Rasulullah ﷺ. Sebab, Allah-lah yang mengetahui letak kebaikan itu berada dan memudahkannya bagi orang yang menginginkannya, yaitu memahami agama Allah Ta’ala.


2. Hendaklah seseorang senantiasa mencari beragam cara dalam memahami agama. Sebab, orang yang mencari hal tersebut sejatinya orang yang mencari kebaikan di dunia dan akhirat.


3. Carilah pemahaman yang sempurna pada para sahabat Rasulullah ﷺ. Contohnya adalah Ibnu Abbas k. Ia bukanlah khulafaur rasyidin. Namun ia termasuk sahabat yang didoakan oleh Nabi ﷺ ketika ia menyiapkan air untuk wudu Nabi ﷺ, lalu Nabi ﷺ berdoa,

“Allāhumma faqqihhu fiddīn. (Ya Allah, pahamkanlah dia dalam urusan agama.)” [4]


4. Tolok ukur penilaian terhadap orang lain adalah dengan kadar kebaikan yang terlihat pada mereka. Pemahaman agama dan pengaruhnya yang terlihat adalah salah satu patokan terbesar untuk menilai orang lain. Dari Amir bin Waṡilah, bahwa Nafi’ bin Abdul Hariṡ bertemu dengan Umar h di ‘Usfan. Kala itu Umar mempercayakan kepemimpinan di Makkah kepada Nafi’. Umar lalu bertanya, “Siapa yang engkau tunjuk menjadi pemimpin wilayah lembah?” Nafi’ menjawab, “Ibnu Abza.” Umar bertanya lagi, “Siapa Ibnu Abza?” Nafi’ menjawab, “Salah seorang maula (bekas budak) kami yang telah dimerdekakan.” Umar bertanya kembali, “Engkau telah memberikan kepercayaan tersebut kepada seorang maula?” Nafi’ menjawab, “Sesungguhnya ia adalah qari’ kitabullah b (hafal, paham, dan mengamalkannya) serta pakar ilmu faraid.” Lalu Umar mengatakan, “Sungguh Nabi kalian ﷺ pernah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah mengangkat derajat sebagian manusia dengan Al-Qur`an dan merendahkan sebagian yang lain karena (sikap yang salah terhadap) Al-Qur`an.’” [5]


5. Pemahaman itu adalah tindakan yang bersifat terus-menerus, dan dalam setiap pemahaman baru ada kebaikan yang berlimpah. Dalam hal ini, Allah tidak memerintahkan Nabi-Nya untuk meminta lebih kecuali dalam hal ilmu.

Allah berfirman

“Dan katakanlah, 'Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.”

(QS. Ṭaha: 114)

Maka, janganlah berhenti dalam menuntut ilmu pada batas tertentu, atau usia tertentu.


6. Nabi ﷺ dahulunya menegakkan kemaslahatan ilmu, harta benda, dan sebagainya untuk banyak orang. Oleh karena itu, setiap orang yang diberi oleh Allah berupa warisan Nabi ﷺ untuk bertanggung jawab terhadap ilmu atau harta benda, maka hendaklah ia menyadari bahwa dirinya hanyalah sekadar membagikan apa yang diberikan oleh Allah kepadanya. Maka, janganlah sekali-kali ia tertipu ataupun lengah. Hendaklah ia membagikan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Allah Ta’ala.


7. Jangan sekali-kali khawatir terhadap agama Allah, dan jangan pula bersedih hati atas berbagai musibah yang menimpa umat ini dalam perkara agama dan dunia, yang sejatinya telah ditakdirkan oleh Allah Ta’ala. Sebab, akan senantiasa ada segolongan dari umat ini yang menegakkan dan menolong agama Allah, yang tidak akan membahayakan mereka orang yang menentang mereka, sedangkan si penentang tersebut menggunakan kekuatan dan pikirannya untuk memerangi mereka. Jadilah bagian dari golongan yang istimewa di sisi Allah tersebut. 


8. Seorang penyair menuturkan,
Ilmu mengangkat derajat suatu kaum sampai puncak kemuliaan 
dan sang pemilik ilmu pun akan selalu terjaga dari kesengsaraan

Wahai para pemilik ilmu, berhati-hatilah! Jangan kau kotori ilmumu 
dengan dosa-dosa yang kau perbuat, karena sungguh ilmu tidak akan ada penggantinya

Sungguh, ilmu mampu meninggikan rumah yang tak berpilar 
sedang kebodohan malah akan merobohkan rumah kebanggaan dan kemuliaan

Referensi

  1. Lihat: Fatḥ Al-Bārī Syarḥ Ṣahīh Al-Bukhārī karya Ibnu Ḥajar Al-Asqalani (1/163-164).
  2. Lihat: Syarḥ Ṣahīh Al-Bukhārī karya Ibnu Baṭṭal (1/154).
  3. HR. Muslim (117).
  4. HR. Al-Bukhari (143) dan Muslim (2477).
  5. HR. Muslim (817). Usfan adalah daerah utara Makkah, sekitar 85 km, dekat timur laut Jedah. Maula berarti nenek moyangnya dahulu adalah budak kemudian mereka dibebaskan. Hal ini merupakan aib di kalangan bangsa Arab.



Nabi ﷺ menyebutkan keutamaan menuntut ilmu:

1. Beliau menyebutkan bahwa barang siapa menempuh jalan yang di atasnya ia menuntut ilmu yang bermanfaat, maka balasannya adalah Allah memudahkan baginya amal-amal saleh yang mengantarkan dan membimbingnya ke surga. 
Hadis di atas menyebutkan jalan ilmu dengan lafaz yang bersifat umum - ṭaríqan (jalan), ‘ilman (ilmu)[1]  supaya mencakup seluruh jalan yang kasat mata dan tidak kasat mata yang mengantarkan kepada ilmu pengetahuan; mencakup semua cabang ilmu agama dan masalah-masalahnya; dan di dalamnya mencakup ilmu yang sedikit maupun banyak. [2]


 
Seorang penuntut ilmu dalam perjalanannya akan membutuhkan hal-hal tersebut. [3]

2. Nabi ﷺ menyampaikan bahwa para malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu, baik sebagai bentuk kerendahan hati untuknya, atau untuk menghormati haknya. Atau bisa juga para malaikat tersebut meletakkan sayap-sayapnya lantas berhenti terbang dan turun di sisi penuntut ilmu untuk menaungi dan mengelilinginya,

sebagaimana sabda Nabi ﷺ

“Tidaklah suatu kaum duduk sambil berzikir kepada Allah b, melainkan mereka akan dikelilingi oleh para malaikat, .....”  [4]

3. Kemudian Nabi ﷺ menyebutkan keutamaan lain bagi orang yang menuntut ilmu, yaitu bahwa Allah c menundukkan seluruh makhluk agar memohonkan ampunan baginya dan mendoakannya. Karena sebab ilmu dan amalnya merupakan sebab turunnya rahmat bagi alam semesta karena banyaknya ketaatan.[5]  Selain itu, salah satu tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu dan tersebar luasnya kebodohan, dan ini adalah tanda dekatnya kehancuran.

Keutamaan ini sebagaimana halnya sabda Nabi ﷺ

 “Sesungguhnya Allah, para malaikat-Nya, para penduduk langit dan bumi, hingga semut di dalam sarangnya dan bahkan ikan, benar-benar mendoakan orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” [6]

4. Beliau juga menyebutkan bahwa seorang alim yang menunaikan hak atas ilmunya dengan beramal dan mengajarkan lebih baik daripada seorang ahli ibadah yang hanya memfokuskan dirinya untuk beribadah, seperti keutamaan bulan dibanding bintang-bintang. Sebab, bulan mampu menerangi cakrawala, dan cahayanya bisa memandu para pengembara di padang pasir. Di samping juga memberikan manfaat bagi banyak negeri dan umat manusia. Sementara cahaya bintang hanya terbatas pada dirinya saja, dan cahaya tersebut tidak bisa menyinari sekitarnya. Demikian pula dengan orang alim dan ahli ibadah. Manfaat yang dimiliki oleh orang alim bersifat umum, sedangkan ahli ibadah pahala ibadahnya hanya terbatas untuk dirinya saja.
Barangkali Nabi ﷺ mengumpamakan orang alim dengan bulan, tidak dengan matahari misalnya, karena cahaya bulan ketika berasal dari benda lain, yaitu matahari, sehingga Nabi mengumpamakannya dengan orang alim yang mengambil cahayanya dari matahari risalah, yaitu dari wahyu Allah c dan Sunnah Rasul-Nya. 

5. Kemudian beliau memaparkan keutamaan lain yang dimiliki oleh para ulama, dengan menyebutkan bahwa mereka adalah pewaris para nabi. Kedudukan para ulama seperti anak para nabi, sebagaimana halnya anak laki-laki mewarisi harta ayahnya setelah wafatnya. Sesungguhnya para ulama adalah orang-orang yang mewarisi ilmu para nabi, meriwayatkannya dari mereka, dan menyebarluaskannya di tengah-tengah manusia. Hal ini karena para nabi tidak mewariskan satu dinar emas pun, atau satu dirham perak pun, atau bentuk harta benda apa pun. Akan tetapi mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa yang mengambil warisan ilmu, maka ia telah mengambil bagian yang besar yang melebihi harta karena ia telah mengambil warisan kenabian dengan bagian yang sempurna. [7]


1. Setiap kali jiwamu merindukan surga, atau terasa sulit bagimu untuk meraihnya, maka engkau harus mencarinya dengan ilmu. Sebab, ilmu itu sendiri adalah ibadah, dan ilmulah yang bisa menjelaskan ibadah yang paling besar pahalanya. Sehingga hal tersebut mampu membangkitkan semangat, perasaan rida, dan sabar dalam menjalani berbagai ibadah. 

2. Barang siapa yang ingin derajatnya ditinggikan, keberkahan, dan kemudahan dalam urusan, maka hendaklah ia meraihnya dengan ilmu. Sebab, para malaikat -yang merupakan makhluk Allah yang paling mulia- memuliakan para penuntut ilmu, mengelilingi mereka, dan melaksanakan perintah Allah untuk memudahkan urusan mereka

3. Seorang penuntut ilmu harus menghargai ilmu. Sebab, Allah c memiliki para malaikat yang ditugaskan di majelis-majelis ulama. Oleh karena itu, ia juga harus menghargai para malaikat, sehingga menjadi keharusan baginya untuk menjauhkan anjing atau patung dari majelis tersebut. Selain itu, hendaklah ia menyadari bahwa Allah telah menugaskan di majelis itu para malaikat yang mulia, yang senantiasa menjaga dan menulis amal perbuatan.

4. Betapa banyaknya dosa-dosa kita. Apabila kita harus sering memohon ampun sebagaimana kita sering berbuat dosa, maka di dalam ilmu dan upaya menyebarluaskannya ada sebab yang menjadikan makhluk-makhluk yang ada di langit dan di bumi memohonkan ampunan untuk kita, termasuk di antara mereka adalah orang-orang saleh.

5. Alam semesta yang engkau anggap benda mati ini, sejatinya hidup bersama Allah c, bahkan ikan paus yang dalam pandanganmu hanya sebatas binatang itu, memohonkan ampunan bagi penuntut ilmu dengan perintah Tuhannya, yang menganugerahkan segala sesuatu kepada makhluk-Nya lalu memberinya petunjuk.

6. Allah c mengistimewakan orang yang berilmu daripada orang yang hanya beribadah saja. Sebab, orang yang berilmu memiliki cahaya seperti bulan yang ia pancarkan ke tengah-tengah manusia. Namun, jika orang yang berilmu itu bersembunyi dari orang banyak, pelit dengan ilmunya, bermalas-malasan untuk menyebarluaskan ilmu, dan rida dengan berbagai ujian yang mengelilinginya, maka apa keistimewaannya daripada orang lain?

7. Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang paling tinggi kedudukannya adalah para ulama. Sebab, mereka adalah pewaris manusia-manusia yang terbaik dan paling mulia. Tidak ada yang lebih pantas setelah para nabi yang mampu mengemban risalah mereka ke dunia selain para ulama. Oleh karena itu, mereka adalah orang-orang terbaik setelah para nabi dan rasul. Kedudukan ini sekiranya diketahui oleh manusia, niscaya ia akan melawan segala kesenangan dan rintangan dunia untuk meraihnya.

8.

Dalam sabda Nabi ﷺ disebutkan

"Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar ataupun dirham," terdapat isyarat tentang kezuhudan para nabi dalam masalah perhiasan dan kesenangan dunia yang semu.

9. Ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi juga mewariskan kepada mereka kesabaran demi ilmu dan menyebarluaskannya. Nabi Musa n bepergian jauh dan menahan lapar demi menuntut ilmu dari orang yang lebih rendah darinya, yaitu Al-Khiḍir. Begitu juga dengan Nabi ﷺ yang mengalami berbagai gangguan dalam menyebarluaskan ilmu, demikian pula dengan para pewaris nabi. Di antara contohnya adalah bahwa Ibni Abi Ḥatim Ar-Razi pernah menceritakan, “Kami berada di Mesir selama tujuh bulan. Selama itu kami tidak makan kuah daging. Pada siang hari kami berkeliling pada para syekh sedangkan pada malam hari kami menyalin catatan dan bertemu. Pada suatu hari, saya dan seorang teman datang kepada seorang syekh, lalu orang-orang berkata, ‘Ia sedang sakit.’ Lalu saya melihat seekor ikan yang kami sukai, lalu kami membelinya. Ketika kami sampai di rumah, waktu belajar dengan beberapa orang syekh telah tiba. Lantas kami pergi, sementara ikan itu terabaikan selama tiga hari, sehingga hampir saja dibuang. Maka, kami memakannya mentah-mentah karena kami tidak ada waktu untuk memanggangnya.” Kemudian beliau mengatakan, “Ilmu tidak akan diperoleh dengan tubuh yang berleha-leha.” [8]

10. Jika seseorang ingin takut kepada Allah dengan sebenar-benarnya, maka ia harus menuntut ilmu. Sebab, barang siapa yang menuntut ilmu, maka ia akan mengetahui kuasa Allah, sehingga ia akan takut, mengagungkan, dan mencintai-Nya, serta menempatkan Allah dengan seharusnya dan mengagungkan-Nya dengan pengagungan yang semestinya.

Oleh karena itu, Allah c berfirman,

“Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama.”

(QS. Fāṭir: 28)

Allah menggunakan gaya bahasa al-ḥaṣr (pembatasan) dengan kata innamā seolah-olah Dia mengatakan, “Sesungguhnya tidak ada seorang pun yang takut kepada Allah selain para ulama.” Sebab, rasa takut mereka kepada Allah merupakan rasa takut yang sesungguhnya hasil dari ilmu dan pengetahuan tentang-Nya.

11. Seorang penyair menuturkan,
Apabila ilmu tidak memberikan manfaat kepadamu, 
maka lebih baik sekiranya engkau tidak tahu apa-apa
Jika pemahamanmu melemparkanmu ke dalam jurang, 
 maka sungguh, andai saja engkau tidak paham sama sekali
Engkau akan memetik kebodohan dari buah kelemahan, 
dan engkau akan dipandang hina kala engkau dewasa

Referensi

  1. Kata nakirah (tanpa alif lam) yang mempunyai makna umum tidak terbatas hanya satu jalan dan satu ilmu (editor).
  2.  Lihat: Fatḥ Al-Bārī karya Ibnu Ḥajar (1/160).
  3. Lihat: Syarḥ Riyāḍ Aṣ-Ṣāliḥīn karya Ibnu Uṡaimin (5/433-434).
  4. HR. Muslim (2700), dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id Al-Khudri k.
  5. Syarḥ Aṭ-Ṭībīy 'alā Misykāh Al-Maṣābīh (2/673).
  6. HR. At-Tirmizi (2685), dari Abu Umamah Al-Bahili h. At-Tirmizi menyatakan, “Hasan sahih,” dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Ṣaḥīḥ Al-Jāmi' Aṣ-Ṣagīr wa Ziyādatuhu (1/376).
  7. Lihat: Al-Mafātīh fi Syarḥ Al-Maṣābīh karya Al-Muẓhiri (1/313) dan Irsyād As-Sārī karya Al-Qasṭalani (1/167).
  8. Tażkirah Al-Ḥuffāẓ karya Aż- Żahabi (3/35).

Pemahaman

1. Nabi ﷺ menggambarkan kondisi manusia dalam menerima ilmu yang beliau bawa. Beliau mengumpamakan ilmu tersebut seperti hujan lebat yang di dalamnya terdapat manfaat bagi manusia.
Nabi ﷺ menyebutkan hujan dikarenakan kebutuhan manusia akan hujan itu sangat besar. Sebagaimana hujan dapat menghidupkan bumi, demikian pula ilmu, Allah menghidupkan hati dengannya. 
Hujan memberi pengaruh yang bermacam-macam sesuai dengan sifat tanah terkena hujan sebagaimana yang digambarkan dalam hadis ini:

2. Jenis tanah pertama: bersih, baik, subur, bebas dari hama, dan cocok untuk pertanian. Air hujan turun di atasnya lalu diserap oleh tanah, kemudian tanah tersebut menumbuhkan rumput -tumbuhan yang umum di muka bumi- dan tanaman -tumbuhan basah-. Maka, tanah mendapatkan manfaat saat air menghidupkannya, sekaligus memberikan manfaat kepada makhluk lain saat ia menumbuhkan tanaman yang dapat dimakan oleh manusia dan hewan.

3. Jenis kedua: tanah keras yang tidak cocok untuk pertanian dan tidak bisa menyerap air dengan cepat, namun hanya mampu menahannya. Tanah ini tidak dapat menumbuhkan tanaman dengan airnya. Akan tetapi, justru manusia bisa memanfaatkannya ketika tanah tersebut menghimpunkan air hujan untuk mereka, sehingga mereka bisa minum, memberi minum hewan ternak, dan mengairi tanaman.

4. Jenis ketiga: tanah tandus, yaitu: tanah datar, licin, tidak cocok untuk pertanian, dan tidak dapat menahan air. Tanah ini tidak bisa mengambil manfaat dari air, tidak subur tidak pula menumbuhkan tanaman, dan juga tidak bisa dimanfaatkan oleh manusia untuk irigasi atau pertanian.

5. Kemudian Nabi ﷺ menjelaskan penggambaran tersebut; beliau menyebutkan bahwa tipe pertama adalah para ulama yang memahami maksud Allah dan Rasul-Nya, lalu mereka mengamalkannya dan mengajarkannya kepada manusia. Sedangkan tipe kedua, yaitu mereka yang menjadi sarana menyampaikan ilmu, meskipun mereka tidak termasuk orang-orang yang ahli di dalamnya. Adapun tipe ketiga, yaitu orang-orang yang tidak menerima apa yang dibawa oleh Nabi ﷺ. Mereka tidak menghafal dan menyampaikannya, juga tidak memahami dan mengamalkannya. Mereka adalah orang-orang kafir dan fasik yang membenci hukum Allah Ta’ala.

Implementasi

1. Nabi ﷺ adalah manusia paling baik dalam mendidik, paling mahir dalam menyampaikan narasi, dan paling antusias dalam memberikan petunjuk kepada umat manusia. Beliau menempuh semua cara untuk menyampaikan seruan dari Allah, dan di sini beliau membuat perumpamaan-perumpamaan konkret. Sebab, hal tersebut dapat mendekatkan makna-makna logis dan membantu meraih dan memahami ilmu. Maka, setiap dai harus menggunakan sarana-sarana yang dapat memudahkan agar dipahami dan diikuti.

2. Kebutuhan manusia akan ilmu seperti kebutuhan bumi akan hujan, bahkan lebih besar lagi dari itu. Maka hendaklah hal pertama yang engkau lakukan untuk membantu orang lain, memberikan manfaat, dan bersedekah kepada mereka adalah mengajarkan agama Allah Ta’ala.
Anda juga sangat membutuhkan ilmu selamanya. Maka berbekallah dengan ilmu dan juga bekali orang lain dengannya. Sabarlah dalam mencari ilmu dan mintalah pertolonga kepada Allah.

Allah berfirman

"Dan janganlah kamu tergesa-gesa membaca Al-Qur`an sebelum disempurnakan wahyunya kepadamu. Dan katakanlah, 'Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan'."

(QS. ±áhá: 114)


3. Ilmu tumbuh di hati yang baik, sebagaimana halnya tanaman tumbuh di tanah yang baik. Maka, barang siapa yang menginginkan ilmu, hendaklah ia membersihkan hatinya dari penyakit-penyakit syirik, dengki, dan kebodohan; hendaklah ia kembali kepada Allah dalam hal tersebut. Ibnu Taimiyah r menuturkan, “Sesungguhnya bila hati itu lembut dan lunak, maka akan mudah menerima ilmu, sehingga ilmu pun akan terhunjam kuat di dalamnya, kokoh, dan memberikan pengaruh. Namun bila hati itu keras dan kasar, maka ia akan sulit menerima ilmu. Kendati demikian, hati juga harus bersih, suci, dan sehat agar ilmu pun tumbuh di dalamnya dan menghasilkan buah yang baik. Bila tidak, seandainya hati tersebut menerima ilmu sedangkan hati itu kotor dan keruh, maka itu akan merusak ilmu tersebut. Hal itu seumpama semak belukar bagi tanaman. Bila ia tidak menghalangi biji untuk tumbuh, maka ia akan menghalanginya untuk tumbuh dan berkembang. Hal semacam ini jelas bagi orang-orang yang memiliki pengetahuan.” [1]

4. Tingkatan tertinggi adalah mereka yang menggabungkan ilmu, amal, dan mengajarkannya, seperti tanah yang baik, yang menerima air dan menumbuhkan rumput untuk makhluk yang lain. Maka bersungguh-sungguhlah untuk menyempurnakan semua itu.
Ketahuilah keutamaan para ulama yang "menghidupkan" hati, jangan mempergunjingkan aib mereka. Jangan meremehkan sekecil apapun ilmu yang kamu ajarkan kepada manusia. Jangan menunggu sampai kamu menjadi seorang ulama. Seandainya kamu mengajarkan satu saja zikir nawabi, lalu orang tersebut selalu melantuntkannya sampai meninggal, maka berapa banyak pahala yang kamu dapatkan? Bahkan walaupun dia sudah mengetahui zikir tersebut, bisa jadi kamu hanya mengingatkannya, walaupun dia tidak mengambil manfaat darimu, namun kamu sudah mendapatkan manfaat berupa kokohnya ilmu tersebut dalam dirimu dan juga pahala karena telah mengingatkannya.

5. Barang siapa yang tidak mampu menjadi seorang yang alim, hendaklah ia menyampaikan ilmu dari para ulama.

Nabi ﷺ bersabda

"Sampaikanlah dariku meski hanya satu ayat."[2]

  Bisa jadi hal tersebut akan lebih bermanfaat daripada pemahaman dan pengajaran yang mereka lakukan sendiri,

sebagaimana sabda Nabi ﷺ

“Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada orang yang tidak hadir. Sebab, bisa jadi orang yang menyampaikan lebih paham daripada orang yang mendengar.”[3]

  Maka, orang semacam ini menjadi partner dalam meraih pahala bagi orang yang ilmunya disampaikan.
6. Ketika engkau dapati dalam dirimu perasaan berat terhadap petunjuk Allah c dan petunjuk Rasulullah ﷺ dan engkau lihat dalam dirimu upaya membela petunjuk tersebut dengan berdebat, maka periksalah dirimu, dan bersihkanlah dari sifat sombong dan hawa nafsu. Berhati-hatilah agar engkau tidak masuk dalam golongan orang-orang yang disebut oleh Allah c,

"Akan Aku palingkan dari tanda-tanda (kekuasaan-Ku) orang-orang yang menyombongkan diri di bumi tanpa alasan yang benar. Kalaupun mereka melihat setiap tanda (kekuasaan-Ku) mereka tetap tidak akan beriman kepadanya. Dan jika mereka melihat jalan yang membawa petunjuk, mereka tidak (akan) menempuhnya, tetapi jika mereka melihat jalan kesesatan, mereka menempuhnya. Yang demikian adalah karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami dan mereka selalu lengah terhadapnya."

(QS. Al-A'ráf: 146)


7. Seorang penyair menuturkan,
Keutamaan itu hanyalah milik orang-orang yang berilmu, sesungguhnya mereka  
berada di atas petunjuk bagi orang-orang yang mencari petunjuk. 
Nilai seseorang itu berada pada apa yang ia kerjakan dengan baik, 
dan orang yang bodoh adalah musuh orang yang berilmu.
Maka, berdirilah dengan ilmu dan janganlah engkau cari penggantinya. 
Sebab, manusia itu sejatinya mati sedang orang yang berilmu itu hidup.
8. Penyair lain menuturkan,
Jadilah orang alim di tengah orang banyak, atau pembelajar, 
atau pendengar, karena ilmu itu adalah pakaian yang indah
Dari setiap bidang, pelajarilah dan jangan sampai engkau tidak mengerti sama sekali. 
Sebab, orang merdeka adalah yang mampu melihat banyak rahasia

Referensi

  1. Majmū’ Al-Fatāwā (9/315, 316).
  2. HR. Al-Bukhari (3461) dari Abdullah bin Amr bin Al-Aṣ h.
  3. HR. Al-Bukhari (1741) dari Abu Bakrah h.



1. Nabi ﷺ memerintahkan umat Islam untuk menyampaikan risalah dan syariatnya. Namun semua itu sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Jika seorang Muslim tidak mendapati suatu perkara yang bisa ia sampaikan kecuali satu ayat saja yang ia hafal dan ia pahami maknanya, atau hadis sahih yang ia sebarkan, maka itu sudah cukup baginya, dan menggugurkan kewajibannya.
Di dalam sabda beliau , “... walaupun hanya satu ayat.” Ini merupakan dalil bahwa seorang dai tidak harus sosok yang alim dan ahli fikih, tetapi ia berdakwah di jalan Allah Ta’ala semampunya, dengan syarat ia sudah memahami terlebih dahulu mengenai apa yang akan didakwahkan, dan sudah yakin dengan kesahihan hadis yang akan ia sampaikan kepada orang lain.
Ini bukan berarti setiap orang boleh menyampaikan apa pun kepada siapa pun. Dakwah itu membutuhkan hikmah dan ilmu,

sebagaimana firman-Nya

“Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata.’”

(QS. Yúsuf: 108)

Di dalam dakwah, seorang dai wajib memperhatikan kondisi orang yang ia dakwahi, jangan menyampaikan sesuatu yang tidak bisa dipahami oleh akalnya, karena justru nanti bisa menjadi fitnah. Ali bin Abi ±alib  pernah mengatakan, “Berbicaralah kepada manusia dengan sesuatu yang mereka ketahui; apakah kalian ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan?!” [1]

2. Kemudian beliau  memberitahukan bahwa seseorang boleh menyampaikan berita-berita dan kisah-kisah Bani Israil, lalu beliau menjelaskan bahwasanya tidak berdosa menukil cerita-cerita dan berita-berita tentang mereka. Hal ini dengan syarat bahwa berita mereka belum dapat kita pastikan kedustaannya. Adapun berita yang sudah dapat kita pastikan keabsahannya dan memang dibolehkan, maka hukumnya mubah. [2]

3. Kemudian beliau  mengancam keras perbuatan dusta yang mengatasnamakan beliau ; mengada-adakan pernyataan atas nama beliau, padahal beliau tidak pernah menyampaikannya. Karena seseorang yang sengaja menyandarkan suatu perkataan kepada beliau namun beliau tidak pernah mengatakannya, maka balasannya adalah Jahanam. Kita berlindung kepada Allah dari neraka tersebut.
Sesungguhnya berdusta atas nama beliau  lebih terlarang daripada berdusta atas nama orang selain beliau. Berdusta atas nama beliau berarti berdusta atas nama Allah Ta’ala dan syariat-Nya, karena Nabi ﷺ tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu. Jika ada seseorang berdusta atas nama beliau, berarti ia menghalalkan dan mengharamkan sesuatu sesuai dengan keinginan nafsunya.

Allah  berfirman

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung.” 

(QS. An-Nañl: 116)[3]


1. (1) Berusahalah untuk menjadi bagian dari para dai yang berdakwah di jalan Allah Ta’ala, karena mereka adalah manusia yang paling mulia.

Allah berfirman mengenai mereka

“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah dan mengerjakan kebajikan dan berkata, ‘Sungguh, aku termasuk orang-orang Muslim (yang berserah diri)?’”

(QS. Fuÿÿilat: 33)


2. (1) Berdakwah di jalan Allah  hukumnya wajib bagi seluruh kaum Muslimin; masing-masing berdakwah sesuai dengan kemampuannya. Apabila engkau mempunyai kemampuan untuk mengajarkan ilmu dan menyampaikan syariat ini, lakukanlah. Jika tidak mampu, berdakwahlah dengan akhlak yang mulia, dan menjelaskan apa yang wajib dilakukan oleh seorang Muslim secara lahir dan batinnya.

3. (1) Dakwah di jalan Allah  mudah dan ringan bagi setiap individu, seseorang tidak disyaratkan harus menjadi alim dan ahli fikih terlebih dahulu sampai bisa berdakwah di atas jalan Allah Ta’ala. Kamu wajib melakukan apa yang mungkin didakwahkan, dan Allah tidak membebani seorang manusia di luar kemampuannya.

4. (1) Dakwah di masa kini jauh lebih mudah dan cepat tersebar dengan sarana teknologi modern. Seorang Muslim bisa mencari makna satu ayat yang diinginkan lebih dari satu kitab rujukan, atau mengetahui kesahihan sebuah hadis, asar atau kisah. Hanya  cukup dengan satu klik maka dengan mudahnya ia menyebarkan ayat-ayat Al-Qur`an, hadis, dan kutipan para ulama, baik dalam bentuk audio atau video, dan bisa berdakwah mengajak jutaan manusia.

5. (1) Tidakkah cukup bagimu mendapatkan pahala seluruh manusia yang mengikutimu?

Nabi ﷺ pernah bersabda

“Barang siapa yang menyeru kepada hidayah, maka ia berhak mendapatkan pahala seperti yang diraih oleh orang yang mengikutinya, tidak mengurangi sedikit pun pahala mereka.”[4]

Beliau juga bersabda,

  “Demi Allah, satu orang laki-laki yang mendapat petunjuk melalui dirimu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah.” [5]


6. (1) Para ulama dan dai yang mengemban amanah dakwah, para pakar, dan relawan, serta orang-orang yang mencurahkan hidup mereka untuk dakwah di jalan Allah, seharusnya mengarahkan manusia agar menunaikan kewajiban mereka terkait dakwah di jalan Allah; mengajak mereka agar ikut andil dalam medan amal dakwah dengan berbagai bidangnya, memotivasi dan mendorong mereka untuk itu, memberikan bimbingan sesuai dengan kapasitas masing-masing, dengan memanfaatkan beragam potensi dan peluang yang mereka miliki, sehingga mereka dapat membuka ladang dakwah yang mungkin untuk dikerjakan.

7. (1) Orang yang bahagia adalah orang yang menjadi pelopor dan pionir dalam kebaikan. Sedangkan, orang sengsara adalah orang yang menjadi pendukung dan perantara keburukan.

8. (2) Tidak masalah meriwayatkan berita-berita dan kisah-kisah tentang Bani Israil selama engkau belum yakin bahwa itu sebuah kedustaan, dengan syarat engkau menerangkan kepada orang-orang bahwa itu merupakan riwayat israiliyat; supaya yang mendengar tidak terkecoh dan meyakini bahwa kisah itu benar.

9. (3) Jauhilah berdusta atas nama Nabi ﷺ, entah itu disengaja atau tidak. Jangan sampai engkau menyampaikan apa pun kecuali sudah jelas hal tersebut benar-benar sahih dan valid bersumber dari beliau . Jika tidak demikian, maka engkau termasuk salah satu pendusta atas nama Rasulullah ﷺ.

10. (3) Di antara tindakan yang termasuk berdusta atas nama beliau  ialah berbicara mengenai agama Allah Ta’ala tanpa didasari ilmu, sehingga menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan-Nya.

11. (3) Di antara bentuk perbuatan dusta atas nama Rasulullah ﷺ ialah berdusta atas nama ulama dan ahli ilmu. Apabila dikatakan kepada seseorang, “Sesungguhnya seorang alim yang bernama fulan membolehkan perbuatan ini,” maka orang-orang akan meyakini bahwa pendapat tersebut atas dasar ilmu, lantas ia menjadikannya sebagai pedoman dalam beragama, dan ini merupakan tindakan yang lebih berat daripada berdusta terhadap khalayak manusia. [6]

12. Seorang penyair menuturkan,
Aku berdakwah di jalan Allah di tengah manusia
Ada yang menyambut ada pula yang mengingkari
Dan aku senantiasa mendapat pahala atas dakwahku
Barang siapa yang berdakwah karena Allah, tidak akan merugi
Wahai kaumku, bertobatlah kepada Tuhan kalian
Karena keridaan-Nya masih tetap luas

Referensi

  1. HR. Al-Bukhari (127). Allah dan Rasul-Nya didustakan karena sebab apa yang disampaikannya tidak dapat dipahami oleh orang yang didakwahinya.
  2. Lihat: Fatñ Al-Bárí karya Ibnu ôajar Al-Asqalání (6/498-499).
  3. Lihat: Syarñ Riyað Aÿ-Ÿáliñín karya Ibnu Ušaimin (5/431).
  4. HR. Muslim (2674).
  5. HR. Al-Bukhari (2942) dan Muslim (2406).
  6. Lihat: Syarñ Riyað Aÿ-Ÿáliñín karya Ibnu Ušaimin (5/431).



1. An-Naḍárah (keelokan): Artinya wajah yang elok dan berseri. Nabi ﷺ mendorong para sahabatnya dan umat setelah mereka untuk menghafal sunnah beliau dan menyebarluaskannya di tengah-tengah manusia. Di samping itu, beliau memotivasi mereka untuk melakukannya dengan cara berdoa kepada Allah agar Dia mengelokkan wajah orang yang melakukan hal tersebut, sebagai balasan karena mereka telah memperbaharui Sunnah. Hal itu menjadi sempurna dengan menghafal huruf demi hurufnya, yang menjadi bukti kemampuan mendengar yang baik, ketekunan, dan kejujuran dalam meriwayatkan, sehingga mereka dapat menyampaikannya kepada orang lain sebagaimana adanya.
Dalam hal ini, dibolehkan meriwayatkan hadis dengan maknanya jika diperlukan bagi orang yang mengetahui maknanya, dan haram berbohong dengan nama hadis sekalipun ia mengklaim hal tersebut untuk kebaikan.

2. Kemudian Nabi ﷺ menyebutkan alasan dari hal tersebut bisa jadi orang yang menyampaikan hadis itu kurang paham daripada orang yang mendengarkan hadis. Sekiranya setiap orang yang mendengar hadis Nabi ﷺ hanya menyampaikan Sunnah yang ia pahami tanpa menyebutkan nasnya, niscaya kita akan kehilangan banyak keutamaan. Ungkapan “rubba (bisa jadi)” di sini menunjukkan bahwa hal tersebut sering terjadi daripada yang diperkirakan.

3. Selanjutnya Nabi ﷺ mengabarkan bahwa orang yang menyampaikan tidak disyaratkan harus fakih dan alim. Yang jadi syarat hanyalah hafal dan menyampaikannya dengan benar. Sering terjadi orang yang menyampaikan hadis bukan orang yang alim, akan tetapi ia tetap mendapatkan pahala lantaran ia menyampaikannya kepada orang lain. [1]


1. Nabi ﷺ mendekatkan diri kepada Zaid bin Ṡabit meskipun usianya masih muda dikarenakan ilmu dan pikirannya yang cemerlang, sehingga beliau mengangkatnya sebagai penulis wahyu di hadapan beliau. Abu Bakar Aṣ-Ṣiddiq kemudian Uṡman k juga mengangkatnya dalam tugas mengumpulkan Al-Qur`an dan menulis mushaf. Zaid adalah sahabat yang paling tahu tentang ilmu faraid (ilmu waris). Oleh karena itu, jangan engkau pandang sebelah mata dirimu ataupun orang lain karena usianya lebih muda. 

2. Nabi ﷺ mendoakan orang yang menyampaikan sunnahnya dengan keindahan dan keelokan wajah. Maka, barang siapa yang menginginkan hal itu, hendaklah ia bersemangat untuk menyampaikan sunnah beliau dan masuk dalam jajaran para penghafal hadis, baik laki-laki ataupun perempuan. Sufyan bin Uyainah pernah mengatakan, “Engkau tidak akan menemukan seorang pun dari ahli hadis melainkan di wajahnya ada pancaran cahaya, berkat doa Nabi ﷺ.” [2]

3. Biasakan dirimu untuk biasa menghafal, terutama lafaz-lafaz yang turun dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya ﷺ. Sebab, dalam huruf-hurufnya terkandung pemahaman yang bisa saja hilang dari dirimu untuk sementara atau selamanya. Oleh karena itu, cukuplah engkau mengambil manfaat dari lafaz-lafaz yang engkau kuasai. Bisa jadi engkau akan mengingat-ingat kembali lafaz-lafaz tersebut dalam pikiran, sehingga pemahamanmu akan bertambah. Atau mungkin engkau akan menyampaikannya kepada orang lain, sehingga mereka mendapatkan manfaat baru yang tidak pernah engkau peroleh.

4. Jangan tertipu dengan seruan orang-orang yang enggan menghafal. Sebab, menghafal itu tidak bertentangan dengan pemahaman, bahkan membantu dalam memahami. Hafalan itu sejatinya bermanfaat bagi yang menghafal dan bagi orang lain. Ada sedikit ilmu namun mengandung banyak kaidah yang harus dihafal secara akurat dengan huruf-hurufnya.

5. Antusiaslah untuk menyampaikan seperti engkau mendengar. Berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan adalah bukti kesempurnaan akal seseorang.

6. Tidak disyaratkan bagi seseorang yang menyampaikan As-Sunnah untuk memiliki pemahaman sempurna atau memahami semua hal yang ia sampaikan. Akan tetapi, ketika ia mendengar sebuah ayat, hadis yang sahih, atau ilmu yang diambil dari seorang ulama yang dapat dipercaya, maka ia tidak perlu malu menyampaikan As-Sunnah dan ilmu tersebut.

7. Orang yang cerdas dapat mengambil manfaat dari hikmah yang disampaikan dari Allah Ta’ala, Rasul-Nya ﷺ, dan para sahabat, sekalipun orang yang menyampaikan kepadanya lebih rendah keilmuannya. Namun ia memperoleh manfaat dari penyampaian tersebut, kendati ada kekurangan pada orang yang menyampaikan.

8. Hadis di atas menjelaskan tingginya kedudukan ahli hadis yang menyampaikan sabda Nabi ﷺ. Imam Asy-Syafi'i pernah mengatakan, “Apabila aku bertemu dengan seorang ahli hadis, seolah-olah aku bertemu dengan seorang sahabat Nabi ﷺ.”  Imam Asy-Syafi’i menyatakan hal ini karena para ahli hadis memiliki kedudukan seperti para sahabat lantaran menyampaikan hadis Nabi ﷺ. Oleh karena itu, kita harus menghormati ahli hadis dan memuliakan mereka, seperti yang dilakukan oleh para ulama.

9. Seorang penyair menuturkan,
Aku melihat ilmu menjadikan pemiliknya mulia 
Walaupun ia dilahirkan dari orang tua yang hina
Ilmu akan terus meninggikan derajatnya sampai  
orang-orang terhormat mengagungkannya
Mereka mengikutinya dalam segala hal  
Seperti pengembala domba yang diikuti oleh hewan-hewan gembalaannya
Sekiranya bukan karena ilmu, manusia tidak akan bahagia
Juga tidak akan diketahui halal dan haram.

Referensi

  1. Lihat: Tuhfah Al-Ahważi dengan Syarḥ Jāmi’ At-Tirmidzi karya Al-Mubarakfuri (7/348).
  2. Majmū’ Al-Fatāwā (1/11).



1. Rasulullah ﷺ memberikan motivasi untuk berijtihad mengerahkan kemampuan guna meneliti dalil-dalil dalam rangka mencari kebenaran sesuai dengan kemampuan yang dimiliki[1]  kepada setiap orang yang memutuskan perkara, termasuk orang yang memiliki kedudukan ilmu seperti mufti dan pengajar, atau mempunyai kedudukan eksekutif seperti hakim, kepala daerah dan ayah. Jika ia mempunyai perangkat yang bisa membantunya untuk sampai kepada kebenaran[2]  dan ia mengusahakannya, kemudian ia mendapatkan taufik sehingga keputusannya sesuai dengan hukum Allah b dalam masalah yang dikajinya, maka ia mendapatkan dua pahala dari Allah Ta’ala terkait hal tersebut, yaitu pahala berijtihad dan pahala sampai pada kebenaran.  [3]

2. Adapun jika ia berijtihad dan berusaha mengerahkan kemampuannya untuk sampai kebenaran dan sesuai hukum Allah Ta’ala dalam sebuah masalah kemudian ia salah, maka ia dimaafkan dan tidak berdosa. Bahkan ia mendapatkan pahala atas ijtihadnya. Sedangkan kesalahannya dimaafkan setelah itu. [4]
Contoh terbaik baik untuk hal ini adalah kisah Nabi Daud dan Sulaiman k ketika seorang pemilik kebun mengadu kepada Nabi Daud n karena ada seekor kambing yang memasuki kebunnya dan merusaknya. Nabi Daud n memutuskan bahwa pemilik kebun boleh mengambil kambing tersebut sebagai kompensasi atas kerusakan kebunnya. Maka Nabi Sulaiman n berkata, “Tidak seperti itu wahai Nabiyullah. Akan tetapi pemilik kambing harus merawat dan kebun. Dan pemilik kebun mengambil kambing dan memanfaatkannya hingga kebunnya kembali seperti sebelum dirusak oleh kambing tersebut.” [5]

Allah Ta’ala berfirman

“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, ketika keduanya memberikan keputusan mengenai ladang, karena (ladang itu) dirusak oleh kambing-kambing milik kaumnya. Dan Kami menyaksikan keputusan (yang diberikan) oleh mereka itu. Maka Kami memberikan pengertian kepada Sulaiman (tentang hukum yang lebih tepat); dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu, dan Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan Kami-lah yang melakukannya.”

(QS. Al-Anbiya`: 78-79)


Dalam ayat ini Allah membenarkan keputusan Nabi Sulaiman n dan tetap memuji keduanya. [6]
Keutamaan ini khusus untuk hakim yang mempunyai kapasitas untuk mengadili. Sedangkan jika seorang yang tidak berilmu dan tidak mempunyai kemampuan mengadili melakukan hal tersebut, ia justru dianggap melakukan kemaksiatan dan tidak diberi pahala, walaupun keputusannya benar. Hal ini dikarenakan sampainya kepada kebenaran tidak berlandaskan fondasi syariah yang benar. Maka siapa pun yang memutuskan perkara tanpa landasan ilmu, ia berdosa; baik keputusannya benar maupun salah. [7]

Sebagaimana disebutkan dalam hadis

“Hakim itu ada tiga (jenis): dua di neraka, satu di surga. (Yang pertama) hakim yang mengetahui kebenaran dan dia mengadili dengannya, maka dia di surga. (Yang kedua) hakim yang mengetahui kebenaran namun dia menyimpang (dari kebenaran itu) maka dia di neraka. (Yang ketiga) hakim yang tidak mengetahui kebenaran lalu mengadili dengan kebodohannya, maka dia di neraka.”  [8]


1. Kerahkan usahamu untuk menguasai perangkat berijtihad -berupa ilmu, kehati-hatian dan lain-lain-, sebelum memutuskan suatu masalah. Bahkan engkau harus menguasainya sebelum berijtihad untuk memutuskan sesuatu. Karena orang yang mengerahkan usaha dalam memutuskan perkara tanpa mengerahkan usaha untuk menguasai perangkat berijtihad, dia bukanlah mujtahid yang sebenarnya.

2. Salah satu bentuk usahamu adalah bertanya kepada orang-orang yang mempunyai kemampuan berijtihad dalam ilmu tertentu. Sehingga jika engkau tidak mempunyai perangkat berijtihad yang sempurna, bertanyalah kepada para ahli dalam setiap bidang keilmuan.

3. Berijtihadlah dalam setiap keputusan yang diamanahkan kepadamu, dan bergembiralah dengan pahala yang dijanjikan. Jangan meremehkan tanggung jawabmu karena malas atau marah. Setiap orang pasti mempunyai tanggung jawab untuk memutuskan perkara. Misalnya seorang ayah yang memutuskan perkara untuk anak-anaknya, guru memutuskan perkara di antara murid-muridnya, seorang mufti menjawab pertanyaan orang yang meminta fatwa. Demikian juga hakim, kepala daerah, manajer, bendahara dll. 

4. Jangan berhenti mengarungi kehidupan dengan banyaknya tanggung jawab yang harus dipikul karena khawatir melakukan kesalahan. Islam telah menganugerahimu kekuatan dan keberanian untuk melakukan eksperimen-eksperimen dan memikul tanggung jawab. Islam juga menghapuskan dosa darimu (jika salah dalam memutuskan) selama engkau berijtihad dengan benar.

5. Kebenaran itu satu, maka carilah. Kejarlah kebenaran dengan tulus, dan jangan terjatuh dalam jebakan relativisme  yang mengaburkan eksistensi kebenaran.

6. Jangan beranggapan semua yang berbeda denganmu sesat dan zalim. Bisa jadi ia sudah berijtihad dalam suatu masalah tapi ijtihadnya salah. Maka ia tetap mendapatkan pahala dan dimaafkan atas kesalahannya tersebut. Hendaklah engkau memiliki kelapangan hati untuk semua kaum Muslimin. Hindari melemparkan tuduhan-tuduhan kepada para ulama, apalagi sampai mencela mereka, hanya karena kesalahan ijtihad yang mereka lakukan.

7. Seorang penyair menuturkan,
Tiada kebanggaan kecuali untuk para ulama, karena mereka
berada di atas petunjuk bagi orang yang mencari petunjuk
Derajat setiap manusia karena kemampuan yang dimilikinya 
Dan orang-orang yang bodoh adalah musuh para ulama
Maka raihlah ilmu, engkau akan hidup kekal dengannya 
Karena manusia akan mati sementara para ulama akan tetap hidup

Referensi

  1. Lihat: Al-Tanwīr Syarḥ Al-Jāmi’Aṣ-Ṣagir karya Al-Amīr Aṣ-Ṣan’āni (2/25).
  2. Lihat: Al-Kāsyif ‘An Ḥaqāiq As-Sunan karya Aṭ-Ṭībī (8/2594).
  3.  Lihat: Irsyād As-Sāri li syarḥ Ṣaḥīḥ Al-Bukhāri karya Al-Qasṭalāni (10/343).
  4.  Lihat: Al-Tanwīr Syarḥ Al-Jāmi’Aṣ-Ṣagir karya Al-Amīr Aṣ-Ṣan’āni (2/25).
  5. Lihat: Tafsīr Ibn Kaṡīr (5/355).
  6. Lihat: Syarḥ Ṣaḥīḥ Al-Bukhāri karya Ibn Baṭṭāl (10/381).
  7. Al-Minhāj Syarḥ Ṣaḥiḥ Muslim (12/13-14).
  8. HR. Abu Daud (3573) dan At-Tirmizi (1322) dari hadis riwayat Buraidah h.



1. Pada suatu hari, Nabi ﷺ menyampaikan nasihat kepada para sahabatnya, sebuah nasihat yang sangat menyentuh. Beliau memerintahkan mereka agar takut kepada Allah Ta’ala dan memperingatkan mereka agar tidak terkena murka serta siksa-Nya, sampai-sampai hati berdebar dan air mata mengalir, lantaran khawatir dan takut.

2. Lalu salah seorang sahabat berkata, “Engkau menasihati kami dengan sangat dalam dan mencakup semua urusan agama yang dibutuhkan seorang Muslim; layaknya seseorang yang mengucapkan selamat tinggal hendak pergi mengadakan suatu perjalanan atau mendekati ajalnya; karena ia tidak melewatkan satu pun yang dibutuhkan oleh orang yang ia tinggalkan, melainkan sudah ia jelaskan secara lengkap.[1]  Maka nasihatilah kami wahai Rasulullah, dengan nasihat dan wasiat yang menyeluruh.”

3. Wasiat pertama yang beliau sampaikan adalah takwa kepada Allah , yaitu seseorang menjadikan tameng dan penutup antara dirinya dan perkara yang membuat murka Allah Ta’ala, dan itu tidak akan terwujud kecuali dengan mengerjakan ketaatan kepada-Nya  serta mengikuti Rasul-Nya [2].  Ketika mendefinisikan takwa, ±alq bin ôabib  berkata, “Takwa adalah engkau mengerjakan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah dan berharap pahala dari Allah; engkau meninggalkan maksiat kepada Allah di atas cahaya dari Allah, dan takut akan siksa Allah.” [3]

4. Kemudian beliau  menyampaikan wasiat yang kedua agar seseorang mendengar dan taat kepada pemegang kekuasaan, maka taat kepada mereka hukumnya wajib dalam perkara ketaatan (kepada Allah) dan kebaikan. Apabila mereka menyuruh kepada kemaksiatan, maka tidak boleh seseorang menaati mereka dalam kemaksiatan. Beliau  bersabda, “Seorang Muslim wajib mendengarkan dan taat kepada pemimpin terkait apa yang ia suka ataupun tidak, selama tidak menyuruh kepada kemaksiatan. Jika disuruh melakukan kemaksiatan maka tidak perlu didengar atau ditaati.” [4]
Sabda beliau , “Sekalipun ia seorang budak hitam dari Habasyah,” maksudnya sekalipun pemimpinnya adalah seorang budak yang berasal dari Habasyah, maka dengarkan dan taatilah. Nabi ﷺ mensyaratkan bahwa seorang pemimpin harus orang yang merdeka dan berasal dari suku Quraisy. Namun di sini disebutkan bahwa seandainya seorang budak menjadi pemimpin, ia wajib ditaati, maka bisa jadi ini sebagai penegasan tentang kewajiban mematuhi pemimpin, walaupun hal tersebut (seorang budak jadi pemimpin) tidak mungkin terjadi, atau bisa jadi beliau  sudah mengetahui kekacauan yang akan terjadi, sampai-sampai jika yang memimpin nantinya adalah sosok yang tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan. Sehingga jika hal tersebut terjadi, maka dengarlah dan taatilah sebagai solusi menghadapi dua bahaya, mana yang paling ringan, yaitu bersabar terhadap kepemimpinan seseorang yang sebenarnya tidak layak untuk menjadi pemimpin. Hal ini supaya tidak menimbulkan fitnah yang lebih besar. Atau beliau  bermaksud tampuk kepemimpinan yang skalanya kecil dan para pegawai. Namun apa pun yang beliau maksud, yang jelas beliau   mewajibkan agar seseorang patuh kepada pemimpin dan melarang menentang mereka, kecuali jika mereka menyuruh kepada kemaksiatan atau jelas-jelas terlihat kekufuran pada diri mereka. [5]

5. Kemudian beliau  memberitahukan bahwa sepeninggalnya, kita akan menyaksikan banyak fitnah dan urusan-urusan yang pelik, untuk selamat darinya ketika itu ialah dengan berpegang teguh di atas sunnahnya  dan sunnah para khulafaurasyidin: Abu Bakar, Umar, Ušman, dan Ali . Beliau memerintahkan agar berpegang teguh kepadanya dan bersungguh-sungguh di atasnya seperti orang yang menggigit sesuatu dengan gigi taring (dan geraham)nya dengan sangat kuat agar tidak terlepas darinya.
Penyebutan sunnah khulafaurasyidin secara khusus di sini karena lebih meyakinkan bahwa mereka tidak akan salah dalam menjalani sunnah beliau. Beberapa sunnah Nabi ﷺ, meskipun belum masyhur di masa hidup beliau, namun masyhur di masa para khalifat tersebut, dan mereka bersemangat untuk menghidupkannya, sehingga disandarkan kepada mereka, namun secara hukum asal adalah sunnah beliau . [6]
Ada juga kemungkinan bahwa maksud dari khulafa di sini adalah para ulama dan para imam, karena mereka adalah para penerus yang menghidupkan kebenaran dan menegakkan agama, serta membimbing manusia menuju jalan yang lurus. [7]

6. Kemudian Nabi  memperingatkan umatnya dari perkara-perkara yang diada-adakan, yang tidak pernah dilakukan di masa beliau ; karena setiap perkara yang diada-adakan di dalam agama merupakan kesesatan dan kebinasaan.
Sesungguhnya bidah itu terkait dua hal:
- Bidah itu terjadi dalam perkara agama. Adapun segala sesuatu yang baru terkait penemuan, inovasi, dan yang semisalnya dalam urusan dunia, maka ini tidak termasuk kategori bidah.
- Amalan yang sama sekali tidak ada sumbernya di dalam syariat.

Nabi ﷺ bersabda

“Barang siapa yang mengada-ada di dalam urusan kami yang tidak bersumber darinya, maka amalan tersebut tertolak.”[8]

  Setiap orang yang membuat-buat suatu amalan dan disandarkan kepada agama, tetapi tidak ada dasar yang bisa dijadikan acuan dalam agama untuk amalan tersebut, maka itu adalah kesesatan, dan agama berlepas diri darinya, baik itu dalam permasalahan akidah, atau masalah amal ibadah, atau perkataan lahir dan batin. [9]

Apabila amal ibadah mempunyai dasar di dalam syariat yang bisa dianalogikan, maka amalan tersebut bukanlah bidah dan tidak terlarang, dan jika disebut sebagai bidah, maka maksudnya adalah secara bahasa, karena termasuk setiap perkara yang baru. Karena itulah, Umar bin Al-Khaþþab  berkata tatkala mengumpulkan manusia pada bulan Ramaðan dalam shalat malam diimami oleh Ubay , “Sebaik-baik bidah adalah (shalat) ini.”[10]  Sebab Nabi ﷺ pernah juga mengumpulkan manusia (untuk melaksanakan shalat seperti itu), kemudian beliau khawatir shalat tersebut dianggap sebagai sebuah kewajiban bagi mereka, maka beliau pun meninggalkannya.


1. (1) Setiap dai, penasihat, orang yang alim, dan pendidik hendaknya rutin menyampaikan nasihat kepada para sahabatnya, namun tidak terlalu sering. Dahulu Abdullah bin Mas’ud  mengingatkan orang-orang setiap hari Kamis, lantas ada seorang laki-laki berkata kepadanya, “Wahai Abu Abdirrahman, aku ingin engkau menasihati kami setiap hari.” Beliau berkata, “Sungguh yang menghalangiku untuk melakukan hal itu adalah karena aku tidak ingin membuat kalian bosan, dan aku membuat jeda dalam menyampaikan nasihat, sebagaimana dahulu Nabi ﷺ juga membuat jeda bagi kami dalam menyampaikan nasihat, beliau khawatir akan membuat kami bosan.” [11]

2. (1) Di antara tanda-tanda orang-orang beriman adalah ketika mendengar firman Allah Ta’ala atau sabda Nabi ﷺ, mereka akan menyimaknya, jiwanya akan tertarik terhadap maknanya, hatinya gemetar, air matanya berlinang, lantaran takut kepada Allah Ta’ala.

Allah  berfirman

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya.”

(QS. Al-Anfal: 2)

Lihatlah dirimu, apakah semua tanda tersebut ada pada dirimu.
3. (2) Seorang pemberi nasihat sebaiknya menyampaikan nasihat yang berisi kaidah yang umum dan perkara-perkara yang menyeluruh.
4. (2) Seorang Muslim dianjurkan untuk meminta nasihat dari orang-orang yang bijak, ahli ilmu dan agama.
5. (3) Semangatlah untuk bertakwa kepada Allah Ta’ala dan tetap semangat untuk menggapai rida-Nya dalam kesendirian dan di hadapan orang lain karena itu termasuk keselamatan dari berbagai macam fitnah dan kesusahan di dunia, serta keselamatan dari neraka di akhirat.
6. (3) Seorang penyair menuturkan,
Jika seseorang tak mengenakan pakaian takwa
Maka seolah ia telanjang meski berbalut baju
Dan pakaian terbaik seseorang ialah takwa kepada Rabbnya
Tidak ada kebaikan bagi orang yang bermaksiat kepada Allah
7. (4) Dengarkan dan taatlah kepada pemimpin selama tidak memerintahkan kepada kemaksiatan atau mereka melakukan kekafiran.
8. (4) Bersabar terhadap kezaliman pemimpin lebih baik daripada terjerumus ke dalam fitnah pertumpahan darah, bercerai-berai dan barisan kaum Muslimin terpecah-belah.
9. (5) Keselamatan itu adalah dengan mengikuti sunnah, karena  tidak ada satu pun kebaikan, melainkan Nabi  telah menunjukkan kepada kita, dan tidak ada satu pun keburukan, melainkan beliau telah memperingatkan kita darinya.
10. (5) Meneladan para sahabat Nabi ﷺ adalah wasilah terbaik untuk mencapai kebenaran, karena mereka manusia yang paling paham terhadap wahyu dan makna-maknanya. Selain itu, mereka adalah manusia yang paling tahu tentang Nabi ﷺ dan jalan hidupnya.
Umar bin Abdul Aziz  pernah mengatakan, “Berhentilah sebagaimana para sahabat berhenti, ucapkanlah sebagaimana yang mereka ucapkan, dan diamlah sebagaimana mereka diam. Sesungguhnya mereka diam karena ilmu. Dengan basirah yang teliti mereka menahan diri terhadap suatu permasalahan, padahal mereka lebih mampu menyingkapnya [12]. Seandainya dalam masalah tersebut terdapat keutamaan, mereka lebih pantas untuk bersegera melakukannya, yakni jika petunjuk itu ada pada apa yang kalian lakukan sekarang, berarti kalian telah mengklaim bahwa kalian telah mendahului mereka. Jika kalian mengatakan, ‘Ada perkara yang baru sepeninggal mereka, maka tidak ada perkara yang baru melainkan datang dari orang yang menempuh selain jalan mereka, yakni orang yang membenci para sahabat, mereka lebih memilih hawa nafsunya.’ Sungguh para sahabat adalah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan (dibandingkan generasi baru tersebut), mereka sudah berbicara tentang syariat dengan cukup, dan telah merincinya dengan jelas. Tidaklah menghinakan mereka, pasti dia bersikap meremehkan; dan tidaklah melampaui mereka, pasti dia bersikap berlebih-lebihan. Sungguh ada kaum yang meremehkan mereka, yang akibatnya ialah meninggalkan petunjuk mereka, dan kaum lainnya mengikutinya namun justru berlebihan. Sungguh mereka bersikap pertengahan antara keduanya dan di atas petunjuk yang lurus.” [13]

11. (5) Kalangan tabiin  di masanya adalah manusia yang paling semangat dalam mengikuti sunnah Nabi ﷺ dan para sahabatnya. Ibrahim An-Nakha’í  pernah mengatakan, “Kalau aku mendengar ada sebuah hadis dari mereka -yakni para sahabat- bahwa saat mereka berwudu tidak melebihi kuku, niscaya aku pun akan mengikutinya. Cukuplah suatu kaum berdosa, jika amalan mereka menyelisihi amalan para sahabat Nabi mereka .” [14]

12. (6) Jangan sampai engkau mengerjakan amalan bidah dan mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dalilnya dari syariat Allah Ta’ala dan sunnah Nabi-Nya; kebenaran ada di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, tidak keluar dari keduanya.

13. (6) Tidak ada bidah baik dan bidah buruk di dalam agama ini, karena setiap perkara yang baru di dalam agama Allah Ta’ala dan tidak di atas metode Nabi ﷺNabi  menasihati para sahabatnya dengan sebuah nasihat yang sangat menyentuh. Kemudian memberikan wasiat kepada mereka agar bertakwa kepada Allah, mematuhi para pemimpin, berpegang teguh di atas sunnah, serta waspada terhadap perkara-perkara bidah. maka ia batil dan pelakunya berdosa.

Referensi

  1. Lihat: Syarñ Misykáh Al-Kásyif ‘an Haqá`iq As-Sunan karya Aþ-±ibí (2/633) dan Jami’ Al-’Ulúm wa Al-ôikam karya Ibnu Rajab (2/114).
  2. Syarñ Riyað Aÿ-Ÿálihín karya Al-Ušaimin (2/276).
  3. Ar-Risálah At-Tabúkiyah = Zád Al-Muhájir ilá Rabbih karya Ibnu Taimiyah (1/9) dan Madárij As-Sálikín karya Ibn Al-Qayyim (1/459).
  4. HR. Al-Bukhari (7144).
  5. Lihat: Tuñfah Al-Abrár Syarñ Maÿábih As-Sunnah karya Al-Baiðáwi (1/137), Syarñ Al-Arba’ín An-Nawawiyah karya Ibnu Daqiq Al-‘Id (hal. 97).
  6. Lihat: Al-Muyassar fí Syarñ Maÿábih As-Sunnah karya At-Turibisytí (1/86) dan Al-Mafátíñ fí Syarñ Al-Maÿábih karya Al-MuÈhiri (1/272).
  7. Tuñfah Al-Abrár Syarñ Maÿábih As-Sunnah karya Al-Baiðáwi (1/137).
  8. HR. Al-Bukhari (2697) dan Muslim (1718).
  9. Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-ôikam karya Ibnu Rajab (2/128).
  10. HR. Al-Bukhari (2010).
  11. HR. Al-Bukhari (70) dan Muslim (2821).
  12. Mereka menahan diri dengan diam karena mereka menyangka bahwa masuk dalam pembicaraan tersebut termasuk perkara yang tidak bermanfaat.
  13. I’lam Al-Muwaqqi’in ‘an Rabb Al-’Alamin karya Ibn Al-Qayyim (4/115).
  14. I’lam Al-Muwaqqi’in ‘an Rabb Al-’Alamin karya Ibn Al-Qayyim (4/115).



Hadis ini adalah salah satu hadis paling penting dalam ajaran Islam secara keseluruhan, sampai-sampai para ulama menyatakan, “Sungguh hadis ini mewakili sepertiga ajaran Islam.” [1]

1. Dengan niat, amal perbuatan manusia diperhitungkan. Niat adalah sesuatu yang hati mengarah kepadanya dan amal perbuatan ditujukan untuknya. Dengan niat, amal perbuatan bisa dibedakan dari kebiasaan. Dengan niat pula berbagai macam ibadah bisa dibedakan antara yang satu dengan yang lain. Pun karena niatlah amal perbuatan bisa diterima apabila dilakukan karena Allah Ta’ala atau ditolak.

2. Amal perbuatan dan niat yang terlihat serupa mungkin saja berbeda. Akan tetapi, seseorang akan diberi pahala dari amalnya sesuai dengan apa yang ia niatkan. Apabila berniat baik, ia akan diberi pahala karenanya. Sebaliknya, apabila berniat buruk, ia akan mendapatkan hukuman karenanya. Apabila tidak meniatkan apa pun, ia tidak memperoleh pahala dan tidak pula mendapatkan dosa. Amal perbuatan manusia bertingkat-tingkat sesuai dengan niatnya. 
Niat yang baik tidak bisa menjadikan perbuatan yang buruk menjadi baik. Suatu kaum yang mengada-adakan cara berzikir yang tidak disyariatkan, tatkala Abdullah bin Mas’ud h mengingkari apa yang mereka lakukan tersebut, mereka mengatakan, “Demi Allah, wahai Abu Abdurrahman, kami hanya menginginkan kebaikan.” Abdullah bin Mas’ud lantas menjawab, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan namun tidak mendapatkannya.” [2]

3. Kemudian Nabi ﷺ merinci masalah tersebut, dan mencontohkannya dengan hijrah, yaitu meninggalkan negeri kafir menuju negeri Islam. Barang siapa berhijrah kepada Allah Ta’ala dengan ikhlas dan meniatkan ibadah; hijrahnya karena Rasulullah ﷺ tunduk mengikuti perintahnya dan Sunnahnya, maka itulah hijrah yang sesungguhnya yang patut diagungkan dan dimuliakan.
Di sini, Nabi ﷺ tidak menyebutkan jenis pahalanya sebagai bentuk penghormatan akan pahala itu, sebagaimana Allah b merahasiakan pahala puasa ketika Dia berfirman dalam hadis Qudsi, “Setiap amal anak Adam adalah untuknya kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang membalasnya” [3]

4. Barang siapa berhijrah untuk tujuan duniawi, seperti bisnis yang ia peroleh atau wanita yang ia nikahi, maka hijrahnya tidak dianggap secara syar’i dan dia tidak diberi pahala, meskipun hijrah itu sendiri termasuk ibadah yang luar biasa seperti ibadah-ibadah lainnya. Hijrahnya hanya dikaitkan dengan perbuatan yang ia niatkan.
Nabi ﷺ tidak menyebutkan pahala di sini, karena maksudnya bukan ibadah murni dan karena manusia berbeda-beda maksudnya.


1. Perbaiki niatmu dan jagalah hatimu. Berusahalah agar semua amal perbuatanmu semata-mata demi ketaatan kepada Allah Ta’ala. Sebab, Nabi ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk fisik dan harta benda kalian. Akan tetapi, Dia melihat hati dan amal perbuatan kalian.” [4]

2. Jangan tertipu dengan zahir amal perbuatanmu atau amal perbuatan orang lain dengan disertai niat buruk. Sebab, segala amal perbuatan itu terkait erat dengan niat.

3. Perbanyaklah niat baik. Sebab, niat seorang mukmin lebih utama daripada amal perbuatannya, karena jika ia berniat melakukan suatu kebaikan, ia akan diberikan pahala, baik perbuatan itu dimudahkan baginya atau tidak.

Nabi ﷺ bersabda saat kembali dari Perang Tabuk,

“Sesungguhnya di Madinah ada sejumlah kaum yang tidak ikut melakukan perjalanan perang, juga tidak menyeberangi suatu lembah, namun mereka bersama kalian (mendapatkan pahala).” Para sahabat lantas bertanya, “Ya Rasulullah, mereka di Madinah?” Beliau menjawab, “Mereka di Madinah namun terhalang oleh uzur.”[5]

Dalam hadis lain disebutkan

  “Seseorang yang diberi ilmu dan harta oleh Allah, kemudian ia membelanjakan hartanya sesuai dengan ilmunya. Seseorang yang diberi ilmu oleh Allah namun tidak diberi harta, lalu ia berkata, "Seandainya saya memiliki seperti yang dimiliki oleh orang ini, niscaya saya akan berbuat seperti apa yang ia perbuat. Maka, dalam urusan pahala, mereka berdua sama...” [6]

4. Para ulama salaf –rahum- biasa mempelajari niat dengan cara merasa diawasi, melatih jiwa, dan meniatkan kebaikan sebagaimana mereka belajar beramal. Yahya bin Abu Kaṡir mengatakan, “Pelajarilah niat, sebab ia lebih utama daripada amal.” Sufyan Aṡ-Ṡauri mengatakan, “Aku tidak pernah mengatasi sesuatu yang lebih berat bagiku ketimbang niatku. Sebab, ia berubah-ubah dalam diriku.”  [7]

5. Dengan niat, kebiasaan bisa bernilai ibadah. Ketika seseorang makan, ia berniat untuk menguatkan tubuhnya guna menjalankan ketaatan, ibadah, dan amal saleh. Ketika bekerja atau berdagang, ia berniat untuk memakmurkan dunia, memberikan manfaat bagi umat Islam, dan menghasilkan uang yang akan ia nafkahkan untuk keluarganya dengan yang halal lagi baik. Ketika menuntut ilmu, ia berniat untuk memberikan manfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain dengan cara mengikuti jalan para nabi dan ulama. Ketika ingin tidur, ia berniat untuk mengistirahatkan tubuhnya agar dapat terus bekerja dan beribadah, sehingga ia senantiasa mendapatkan pahala dari semua yang ia lakukan tersebut. Muaz bin Jabal h pernah mengatakan, “Adapun aku, aku tidur dan bangun. Aku mengharapkan pahala dari tidurku sebagaimana aku mengharapkan pahala dari bangunku.” [8]

6. Apabila engkau hendak melakukan suatu perbuatan dan itu adalah suatu keharusan, maka hadirkanlah niat sebagai ibadah kepada Allah c di dalamnya. Zubaid Al-Yamami pernah mengatakan, “Aku benar-benar suka memiliki niat (ibadah) dalam segala hal, bahkan ketika makan dan minum.” Jika perbuatan tersebut kecil dalam pandanganmu, maka hadirkanlah keagungan, balasan, dan cinta Allah karena seorang hamba mendekat kepadanya. Abdullah bin Al-Mubarak pernah mengatakan, “Bisa jadi perbuatan kecil bernilai besar karena niat, dan bisa jadi perbuatan besar bernilai kecil karena niat.” [9]
Dalam berwudu, niatkan bersuci karena Allah b untuk melaksanakan salat, dan mengikuti sunnah Rasul ﷺ dengan menyempurnakan wudu. Dan buanglah semua dosa yang memberatkanmu…dan seterusnya. Bahkan ketika Anda mematikan lampu kamar, maka berarti Anda berbakti kepada orangtuamu sehingga tidak menyia-nyiakan hartanya. Anda juga berarti telah membantu umat Islam menjaga harta mereka dengan menggunakan energi seminimal mungkin, demikian seterusnya.

7. Senantiasa waspada, jauhilah pintu-pintu masuk setan yang akan menggelincirkan ibadahmu dengan bersikap riya kepada orang lain dengan amal perbuatan tersebut, atau membuat orang lain menagung-agungkanmu.

Rasulullah ﷺ bersabda,

“Allah f berfirman, ‘Aku paling tidak butuh pada sekutu. Barang siapa yang melakukan amal di dalamnya ia menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku tinggalkan ia bersama sekutunya itu.” [10]


8. Gabungkanlah antara niat baik dan itibak (mengikuti) kepada Rasulullah saw ﷺ. Sebab, itulah hakikat hijrah kepada Allah c dan Rasulullah ﷺ. Al-Fudhail bin Iyadh menafsirkan firman Allah c,

“Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalannya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.”

(QS. Al-Mulk: 2)

Dia mengatakan, “Yang dimaksud dengan amal yang paling baik adalah yang paling ikhlas dan yang paling benar. Yang paling ikhlas adalah yang dipersembahkan hanya untuk Allah semata, sedangkan yang paling benar adalah yang sesuai dengan Sunnah. Sebab, jika amal perbuatan ikhlas namun tidak benar, maka tidak diterima. Begitu juga jika benar namun tidak ikhlas, maka juga tidak diterima. [11]

9. Seorang penyair menuturkan,
Bila engkau ingin disebut mulia, berakhlak baik, 
bertakwa, mulia, agung, cerdas, dan terhormat,
Jadilah orang yang ikhlaslah karena Allah e 
teladanlah Nabi, niscaya engkau mendapatkan pahala.

Referensi

  1. Syarḥ Al-Arba’īn An-Nawawiyyah karya Ibnu Daqiq Al-‘Id, hal. 24 dan Jāmi’ Al-Ulūm wa Al-Ḥikam karya Ibnu Rajab (1/71).
  2. Sunan Ad-Dārimi (210).
  3. HR. Al-Bukhari (5927) dan Muslim (1151).
  4. HR. Muslim (2564).
  5. HR. Muslim (4423).
  6. HR. Ahmad (18024) dan Ibnu Majah (4228), serta disahihkan oleh Al-Albāni dalam Ṣahīh At-Targīb wa At-Tarhīb (16).
  7. Jāmi’ Al-‘Ulūm wa Al-Ḥikam karya Ibnu Rajab (1/70).
  8. HR. Al-Bukhari (4344).
  9. Al-Baḥr Al-Muḥīṭ Aṡ-Ṡajjāj karya Al-Itiyubi (32/206).
  10. HR. Muslim (2985).
  11. Jāmi’ Al-‘Ulūm wa Al-Ḥikam karya Ibnu Rajab (1/72).



1. Nabi ﷺ menyebutkan bahwa zikir kepada Allah Ta’ala merupakan tanda hidupnya roh dan tempat. Rumah yang di situ ada zikir kepada Allah  akan diliputi ketenangan dan ketenteraman, dipenuhi kebahagiaan dan keceriaan, dan disenangi oleh para malaikat, sehingga turunlah kenyamanan, ia layaknya makhluk hidup yang senang dengan rohnya, merasa nyaman dengan orang lain dan orang lain pun merasa nyaman dengannya. Adapun rumah yang tidak digunakan untuk berzikir kepada Allah Ta’ala, maka seperti tempat yang angker, tidak memiliki roh atau kehidupan. Manusia akan lari darinya, sebagaimana mereka melarikan diri dari mayit, dan dijauhi oleh para malaikat.
Aæ-†ikr maknanya menghadirkan keagungan Allah Ta’ala di dalam hati, dan menggunakan lisan untuk memuji Allah . Makna zikir  secara umum mencakup seluruh amal saleh, seperti: shalat, berdoa, bertasbih, membaca Al-Qur`an, dan menebarkan ilmu, dan lain sebagainya.

2. Dalam riwayat yang lain, Nabi  menjadikan orang yang berzikir hidup jiwanya, sementara jiwa orang yang lalai seperti mayit, karena dengan berzikir roh akan menjadi hidup dan hati menjadi tenang.

Allah Ta’ala berfirman,

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.” .

(QS. Ar-Ra’d: 28)

Zikir adalah nutrisi roh seperti halnya makanan dan minuman sebagai nutrisi tubuh. Jika seseorang memperhatikan nutrisi tubuhnya saja, sedangkan nutrisi hati dan rohnya ia tinggalkan, maka kondisinya akan seperti hewan yang tidak bisa diharapkan manfaatnya dan seperti mayit di saat hatinya tidak berzikir kepada Rabbnya.

Karena itulah, Allah berfirman,

“Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah.”

(QS. Al-A’rāf: 205)


1. (1) Di antara sarana yang paling bermanfaat dalam pembelajaran dan pemahaman ialah dengan membuat permisalan, hal itu mampu mendekatkan dan menjelaskan makna. Pemikiran bisa dipaparkan dalam bentuk konkrit yang mampu dipahami oleh seluruh manusia. Maka setiap dai serta pendidik sepantasnya menggunakan metode tersebut.

2. (1) Dalam berzikir tidak disyaratkan harus fokus dan merenungi maknanya, bahkan seorang Muslim bisa berzikir kepada Rabbnya di waktu longgar dan sibuknya, ia ucapkan melalui lisannya dengan zikir yang termudah baginya, meskipun berzikir dengan hati dan lisan secara bersamaan merupakan tingkatan zikir yang paling tinggi dan paling besar pahalanya.

3. (1) Jangan jadikan rumahmu serasa roboh dan angker, para malaikat enggan menempatinya. Makmurkan rumahmu dengan zikir dan membaca Al-Qur`an!

4. (1) Orang yang berzikir rohnya hidup dan rumahnya dipenuhi dengan kebaikan dan keberkahan, sementara orang yang lalai dari zikir, seperti mayit yang berada di dalam kubur.

5. (2) Zikir merupakan kehidupan bagi hati, maka janganlah engkau bunuh hatimu sendiri dengan meninggalkannya.

6. (2) Tidak ada orang yang merasakan kenikmatan semisal kenikmatan orang yang berzikir kepada Allah . Tidak ada suatu amalan yang lebih ringan bebannya kecuali berzikir, dan tidak ada kenikmatan paling besar dan paling menyenangkan serta membahagiakan hati selain zikir. [1]

7. (2) Jagalah zikir, karena ia dapat membuat rida Sang Maha Pengasih, dapat mengusir setan, menghilangkan kesedihan, membawa kebahagiaan, menarik rezeki, keindahan, kewibawaan, dan meraih kecintaan Allah Ta’ala.

8. (2) Ada berbagai jenis zikir kepada Allah Ta’ala, di antaranya zikir yang sifatnya mutlak diucapkan kapan pun, seperti: tasbih, tahmid, tahlil, takbir, doa, dan membaca Al-Qur`an. Ada juga zikir yang muqayyad (terikat) dengan sebab: seperti zikir pagi dan petang, menjelang tidur, ketika masuk rumah dan keluar darinya, saat masuk ke dalam toilet dan keluar darinya, ketika mengenakan pakaian serta melepasnya, pada waktu masuk masjid dan keluar darinya, dan lain sebagainya.

9. (2) Rutinkanlah zikir, karena orang berzikir kepada Allah, dadanya akan lapang dan jiwanya akan bahagia. Sedangkan orang yang berpaling dari zikir, hatinya keras dan rohnya kering.

Allah berfirman

“Maka apakah orang-orang yang dibukakan hatinya oleh Allah untuk (menerima) agama Islam lalu dia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang hatinya membatu)? Maka celakalah mereka yang hatinya telah membatu untuk mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.”

(QS. Az-Zumar: 22)


10. Seorang penyair menuturkan,
Berzikirlah engkau kepada Allah wahai pencari pahala
Wahai yang mengharap kebaikan, keutamaan, dan kebajikan
Rutinlah berzikir, maka semua kebutuhanmu akan terpenuhi
Semua kepentingan terpenuhi dan bahaya terhindar
Siapa berzikir kepada Ar-Rahman, maka Dia menjadi teman duduknya
Siapa yang menyebut Allah, ia pun akan disebut-sebut 
Siapa yang enggan berzikir kepada Tuhan, maka
Kawannya adalah setan di dalam dada
Siapa yang melupakan Tuhannya Yang Mahamulia, Tuhannya pun
Melupakannya, betapa besar kerugiannya
Ia akan dikuasai setan, dibuat lupa untuk berzikir kepada †at
Yang telah mencipta segala awal sesuatu

Referensi

  1. Al-Wābil Aÿ-Ÿayyib min Al-Kalim Aþ-±ayyib karya Ibn Al-Qayyim (hal. 81).



1. Seseorang datang menemui Nabi ﷺ mengadukan banyaknya amalan sunnah dan nafilah hingga ia merasa tidak mampu untuk melakukan semuanya. Ia pun meminta kepada Nabi ﷺ untuk memberitahunya amalan sunnah yang pahalanya besar agar mampu menutup kekurangannya dalam meraih pahala amalan sunnah dan nafilah tersebut. Sehingga ia menjadikan amalan itu sebagai pegangan dan bersemangat menunaikannya.

2. Sabda Nabi  tersebut bukan berarti bahwa amalan itu bisa menggantikan ibadah yang wajib. Karena hal tersebut ini tidak logis dan juga tidak ditetapkan oleh Nabi ﷺ. Karena seluruh amalan sunnah jika dikumpulkan tidak akan bisa menggantikan ibadah wajib satu pun. [1]

3. Nabi ﷺ memerintahkan sahabat tersebut untuk banyak berzikir kepada Allah. Yaitu dengan senantiasa membasahi lisannya dengan menyebut nama Allah Ta’ala, pada siang dan malam hari.

4. Nabi ﷺ memilihkan zikir untuk sahabat tersebut karena zikir merupakan amalan yang mudah dan ringan di lisan, serta mempunyai pahala yang besar.

Nabi ﷺ pernah bersabda,

“Maukah kalian aku tunjukkan amalan yang paling baik, yang paling suci di sisi Raja kalian (Allah), paling tinggi mengangkat derajat kalian, lebih baik bagi kalian daripada infak emas atau perak, lebih baik bagi kalian daripada bertemu dengan musuh, lalu kalian memenggal leher mereka atau mereka memenggal leher kalian?” Para sahabat menjawab, “Tentu mau (wahai Rasulullah).” Beliau bersabda, “Berzikir kepada Allah Ta’ala.” [2]

5. Keutamaan zikir sudah cukup ditunjukkan oleh hadis qudsi,

Allah  berfirman,

“Aku sesuai dengan persangkaan hamba-Ku kepada-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat sendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia menyebut-Ku di suatu kumpulan, Aku akan menyebutnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat). Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.” [3]


1. (1) Jika engkau merasa tidak mampu melaksanakan banyak amalan sunnah dan amalan ketaatan, maka pilihlah amalan yang paling utama dan yang paling banyak pahalanya, kemudian isi waktumu dengan melaksanakan amalan tersebut.

2. (1) Seyogianya para dai menjelaskan kepada masyarakat tentang pahala berbagai jenis amalan sunnah agar menjadi motivasi bagi mereka untuk konsisten mengamalkannya.

3. (1) Seyogianya para dai dan para pendidik memilihkan bagi masyarakat amalan sunnah yang sesuai dengan kondisi mereka dan memiliki pahala yang agung di sisi Allah Ta’ala.

4. (2) Alangkah ringannya ibadah zikir. Seorang Muslim dapat melakukannya tanpa kesulitan dan kelelahan. Orang yang mendapatkan kebahagiaan adalah mereka yang bersemangat melakukan seperti ibadah itu.

5. (2) Rutinlah berzikir kepada Allah. Dengan zikir, dosa diampuni, derajat diangkat, setan dijauhkan, mendatangkan rida Allah, musibah disingkirkan, kegelisahan dihilangkan, rezekinya diberkahi, hati dan fisik menjadi kuat.

6. (2) Tanda cinta adalah selalu mengingat dan tidak pernah lupa. Cobalah uji hatimu, apakah benar engkau mencintai Allah  dengan cinta sejati, yaitu dengan selalu mengingatnya, ataukah engkau hanya orang yang mengklaim mencintai Allah .

7. (2) Zikir itu ada beberapa tingkatan. Tingkatan yang paling tinggi yaitu engkau berzikir kepada Allah  dengan hati dan lisanmu. Tingkatan selanjutnya engkau berzikir kepada Allah  hanya dengan hatimu. Dan tingkatan yang paling rendah adalah lisanmu melantunkan zikir tapi hatimu tidak turut berzikir. Antara satu tingkatan dengan tingkatan lainnya ada jarak yang jauh dan pahala yang agung.

8. (2) Zikir dapat menghidupkan hati. Oleh karena itu,

Nabi ﷺ bersabda,

“Perumpamaan orang yang berzikir kepada Tuhannya dan yang tidak berzikir seperti orang yang hidup dan orang yang mati.” [4]

9. Seorang penyair menuturkan, 
Berzikirlah engkau kepada Allah, wahai pencari pahala 
wahai yang mengharap kebaikan, keutamaan, dan kebajikan
Rutinlah berzikir, maka terpenuhi semua harapan
tercukupi kepentingan dan bahaya terhindarkan
Siapa berzikir kepada Ar-Rahman, maka Dia menjadi teman duduknya
Siapa yang menyebut Allah, ia pun akan disebut-sebut
Siapa yang enggan berzikir kepada Tuhan, maka 
Teman baginya adalah setan di dalam dada
Siapa yang melupakan Tuhannya Yang Mahamulia maka
Tuhannya pun melupakannya, alangkah besar kerugiannya
Setan menguasainya hingga ia melupakan †at yang
telah mengaruniakan keberadaannya pada awal perkara.

Referensi

  1. Kifáyah Al-Ôájah fī Syarñ Sunan Ibni Májah karya Nur Ad-Din As-Sindí (2/418).
  2. HR. Ahmad (21702) dan At-Tirmizi (3377).
  3. HR. Muslim (2675).
  4. HR. Al-Bukhari (6407) dan Muslim (779).



1. Istigfar mempunyai banyak redaksi yang ditunjukkan oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah. Namun yang paling utama dan paling besar pengaruhnya serta paling besar kemungkinannya diterima ialah sayyidul istigfar sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi ﷺ, yaitu ucapan seorang hamba, “Allahumma anta rabbí lá iláha illá anta khalaqtaní wa ana ‘abduka (Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Engkau Yang menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu).” Ia mengawali istigfarnya dengan pengakuan keesaan Allah Ta’ala, Dialah Tuhannya, Tuan dan Rajanya serta †at Yang Maha Mengatur dirinya, Dia menciptakannya dengan tangan-Nya, dan tidak ada yang berhak diibadahi selain Dia, karena Pencipta tidak sama dengan selain-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

“Maka apakah (Allah) yang menciptakan sama dengan yang tidak dapat menciptakan (sesuatu)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”

(QS. An-Nañl: 17)

2. Kemudian ia memperbarui kembali perjanjian antara dirinya dan Tuhannya, seraya menyebutkan bahwa dirinya tetap teguh di atas janji untuk senantiasa beriman dan beribadah kepada-Nya; perjanjian yang telah diambil Tuhannya, tatkala masih berada di tulang sulbi ayahnya.

Allah berfirman

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami).’” .

(QS. Al-A’ráf: 172)

Ia mengatakan, “Sesungguhnya aku masih memegang janjiku kepada Tuhanku untuk taat dan tidak bermaksiat kepada-Nya, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, sesuai kemampuanku. Jika aku berbuat kurang sempurna dalam menyukuri nikmat-nikmat-Mu kepadaku atau aku berbuat dosa kepada-Mu, maka hal itu merupakan kelemahan diriku sebagai manusia, bukan lantaran tidak mengetahui kekuasaan-Mu, bukan juga karena meremehkan keagungan-Mu.” Kalimat ini mengandung pengakuan akan kelemahan dan kekurangan diri dalam menunaikan hak-hak Allah .

3. Kemudian ia memohon perlindungan kepada Tuhannya dari keburukan yang dilakukan oleh kedua tangannya; berbuat buruk berkaitan dengan hak Tuhannya atau tidak sempurna dalam mensyukuri nikmat-Nya, karena tidak ada yang layak dipersembahkan kepada Allah Ta’ala selain beribadah kepada-Nya dengan sebenar-benarnya. (Ia mengatakan), “Sedangkan bila ada perbuatan yang menyelisihi hal tersebut, maka aku memohon perlindungan kepada-Mu darinya, memohon ampunan-Mu atas hal itu.”

4. Lalu ia mengakui nikmat-nikmat Allah Ta’ala atas dirinya yang tak terhitung dan tak terhingga, dan ia mengakui dosa-dosa dan kesalahan-kesalahannya kepada-Nya.

5. Seseorang mengawali doanya dengan pengakuan tersebut yang mengandung makna sanjungan kepada Allah, pengakuan atas nikmat-nikmat-Nya, dan pengakuan dosa-dosanya, lalu beralih pada istigfar atas dosa yang telah diperbuat dan memohon kepada Allah Ta’ala agar mengampuninya, karena tidak ada yang mengampuni dosa-dosa selain Allah.

6. Kemudian Nabi ﷺ menjelaskan keutamaan doa tersebut, beliau menyebutkan bahwa barang siapa yang mengucapkannya di waktu pagi hari dengan yakin, tulus dari dalam hatinya, lalu ia meninggal sebelum tiba sore hari, niscaya ia masuk surga. Demikian pula, barang siapa yang mengucapkannya pada waktu sore hari, lalu ia meninggal sebelum tiba waktu subuh, niscaya ia masuk surga.
Doa ini disebut dengan sayyidul istigfar, sebab di dalamnya terkandung pengakuan keesaan Allah, pengakuan atas nikmat-nikmat-Nya, dan istigfar tersebut diawali dengan sanjungan kepada Allah Ta’ala yang memang Dialah yang paling berhak.


1. (1) Sayyidul istigfar dengan mengucapkan, “Allahumma anta rabbí wa ana ‘abduka (Ya Allah Engkau adalah Tuhanku dan aku adalah hamba-Mu)”. Engkau mengakui melalui lisan dan hatimu bahwa Allah adalah Tuhan dan Raja, Yang Maha Mengatur urusanmu, Yang mengawasi kondisimu, engkau adalah hamba-Nya secara wujud (keadaan) dan secara syariat. Sebagai hamba secara wujud, Dia berbuat apa saja sesuai kehendak-Nya terhadap dirimu; jika berkehendak, Dia menjadikanmu sakit atau sehat, kaya atau miskin, menjadikanmu tersesat atau memberimu petunjuk, sesuai dengan kebijaksanaan-Nya . Engkau sebagai hamba-Nya secara syariat, engkau beribadah kepada-Nya dengan apa yang diperintahkan-Nya, menjalankan segala perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya. [1]

2. (1) Usahakan untuk selalu mengawali doamu dengan memuji Allah Ta’ala. Rasulullah ﷺ pernah mendengar seorang laki-laki berdoa di dalam shalatnya, namun tidak menyebut Allah , tidak pula berselawat kepada Nabi ,

lantas Rasulullah ﷺ bersabda

“Orang ini tergesa-gesa.” Beliau memanggilnya kemudian bersabda kepadanya dan orang-orang yang berada di sekitarnya, “Apabila salah seorang di antara kalian berdoa, mulailah dengan memuji dan menyanjung Tuhannya, lalu berselawat kepada Nabi, setelah itu berdoalah sekehendaknya.” [2]


3. (1) Istigfar yang paling utama adalah ketika seorang hamba memulainya dengan memuji Tuhannya, kemudian mengakui nikmat-nikmat-Nya, kemudian mengaku kepada Tuhannya atas dosa dan keteledoran dirinya, setelah itu ia memohon ampunan kepada Tuhannya.

4. (1) Para ulama, para dai, dan para pendidik wajib menjelaskan kepada manusia bentuk ucapan pujian kepada Allah Ta’ala yang paling utama, dan istigfar yang paling baik. Lafaz yang paling baik ialah berselawat kepada Nabi  dan mengajarkan kepada mereka apa yang dibutuhkan dalam sehari-hari seperti: wirid-wirid, doa-doa, dan zikir-zikir.

5. (2) Seorang hamba wajib mengungkapkan kepada Tuhannya melalui perbuatan dan ucapannya bahwa dirinya masih berpegang teguh pada janjinya untuk senantiasa mengerjakan ketaatan dan keimanan semampunya. Allah tidak akan membebani satu jiwa di luar kemampuannya.

6. (3) Seorang Muslim harus berlepas diri dari maksiat dan memohon perlindungan kepada-Nya dari perbuatan itu, karena tidak ada hak yang harus ditunaikan oleh seorang hamba kepada Allah  kecuali ketaatan yang sempurna.

7. Jangan bangga dengan perbuatan maksiat dan melakukannya secara terang-terangan, sebab Allah  mengampuni setiap Muslim kecuali orang yang melakukan maksiat secara terang-terangan.

Nabi ﷺ bersabda

“Setiap umatku akan diampuni (dosa-dosanya) kecuali orang-orang mengerjakan (dosa) secara terang-terangan, dan sungguhnya di antara bentuk mengerjakan secara terang-terangan, seorang laki-laki yang di malam harinya melakukan suatu perbuatan (dosa), kemudian pagi hari tiba Allah menutupinya, namun justru ia mengatakan, ‘Wahai fulan, tadi malam aku melakukan ini dan itu,’ padahal di malam harinya Tuhannya telah menutupinya, tetapi pada pagi harinya ia menyingkap sendiri tabir Allah dari dirinya.” [3]


8. (4) Pengakuan terhadap nikmat-nikmat yang telah Allah  limpahkan kepada seorang hamba harus diiringi dengan rasa syukur, jangan sampai menggunakannya dalam kemaksiatan.

9. (4) Mengakui dosa merupakan langkah pertama untuk bertobat, jangan sekali-kali segan untuk mengakui dosa, semoga Allah mengampuni dosamu tersebut.

10. (4) Jangan sampai engkau meremehkan dosa, karena meremehkan dan menyepelekannya bisa menghantarkan dirimu untuk semakin banyak melakukan dosa, tidak memotivasimu untuk bertobat.  Karena itulah, Al-Fuðail bin Iyað  menuturkan, “Jika engkau meremehkan dosa, maka dosa itu menjadi besar di sisi Allah. Dan sebaliknya, jika engkau menganggap besar suatu dosa, maka dosa itu menjadi kecil di sisi Allah.” [4]

11. Seorang mukmin melihat dosa-dosanya sangat besar walaupun hakikatnya kecil, sehingga ia pun menyesalinya, lantas memohon perlindungan kepada Tuhannya dengan istigfar dan bertobat. Abdullah bin Mas’ud  mengatakan, “Sesungguhnya seorang mukmin itu melihat dosa-dosanya seolah-olah ia sedang duduk di bawah gunung, khawatir akan menimpanya. Dan seorang pelaku maksiat, ia melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap dihidungnya, lalu ia menghalaunya.”  [5]

12. (5) Tidak ada yang bisa mengampuni dosa kecuali Allah Ta’ala, maka kembalilah kepada-Nya dengan beristigfar dan memohon rahmat, dan jangan sampai engkau meminta kepada orang-orang yang sudah mati dan bertawasul kepada mereka.

13. (5) Barang siapa yang Allah inginkan kebaikan untuknya, maka Allah mudahkan baginya untuk merasa dirinya hina dan tak berdaya, serta selalu memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala. Demikian juga, ia merasa sangat butuh kepada-Nya, melihat aib dirinya sendiri, merasa bodoh dengan aib-aibnya dan tidak menyukainya. Selain itu, ia menyaksikan keagungan Tuhannya, kebaikan-Nya, rahmat-Nya, kedermawanan-Nya, kebajikan-Nya, kekayaan-Nya, dan pujian-Nya. [6]

14. (6) Bersemangatlah untuk menghafal doa sayyidul istigfar, bacalah secara rutin pada pagi dan sore hari, karena jika engkau meninggal di pagi hari itu, maka engkau termasuk ahli surga, dan jika engkau meninggal di malam itu, maka engkau termasuk ahli surga.

15. (6) Manfaatkanlah doa-doa dan zikir-zikir yang keutamaannya disebutkan oleh Nabi ﷺ, seperti doa ini, keutamaannya memberikan jaminan surga bagi seorang hamba.

16. (6) Para dai, pendidik, dan ulama harus menjelaskan kepada masyarakat pahala zikir dan doa yang ma`šur (bersumber dari As-Sunnah), karena hal itu bisa mendorong seseorang untuk merutinkannya.

17. Seorang penyair menuturkan,
Wahai Tuhanku, jika memang terlalu banyak dosaku 
Namun aku tahu bahwa ampunan-Mu lebih besar 
Jika tak ada yang boleh berharap kepada-Mu kecuali muhsin
Lantas, kepada siapa seorang pendosa ini berdoa dan memohon
Kuberdoa kepada-Mu, tunduk seperti perintah-Mu
Jika Kau tolak doaku, siapa yang akan mengasihiku?!
Aku tak mempunyai perantara apa pun kecuali harapanku
Kemudian aku berserah diri pada luasnya ampunan-Mu.

18. Penyair lain menuturkan,
Ilahi, jangan Kau siksa aku sebab aku
Mengakui dosa yang ada pada diriku
Aku tidak punya cara lain kecuali harapanku
Pada ampunan-Mu, dan itulah prasangka baikku
Betapa banyak kekeliruan yang kulakukan terhadap sesama
Sedangkan Engkau tetap memberiku kenikmatan dan karunia
Manusia mengiraku baik, namun sungguh aku
Manusia terburuk, jika Engkau tak mengampuniku

Referensi

  1. Syarñ Riyað Aÿ-Ÿáliñín karya Ibnu Ušaimin (6/717).
  2. HR. Ahmad (23937), Abu Daud (1481), dan At-Tirmiæi (3476).
  3. HR. Al-Bukhari (6069) dan Muslim (2990).
  4. Siyar A’lám An-Nubalá` karya Aæ-†ahabi (8/427).
  5. HR. Al-Bukhari (6308).
  6. Al-Wábil Aÿ-Ÿayyib min Al-Kalim Aþ-±ayyib karya Ibn Al-Qayyim (hal. 7).



1. Nabi ﷺ mengabarkan bahwa manusia yang paling baik dan paling tinggi derajatnya di sisi Allah Ta'ala adalah orang yang menyambut Al-Qur`an, mempelajarinya dengan membaca, menghafal, dan mengamalkannya. Sehingga ia menjadi orang yang mengetahui makna dan hukum-hukumnya. Setelah itu, ia mengajarkannya kepada orang lain. Dengan mempelajarinya ia mendapatkan derajat para penuntut ilmu, dan dengan mengajarkannya ia mendapatkan derajat para ulama.
Selain belajar dan mengajarkan Al-Qur`an, maka untuk menjadi manusi terbaik  juga harus mengamalkan apa yang diketahuinya. Ada perkataan yang dinisbatkan kepada Nabi Isa‘, beliau berkata, “Barang siapa yang mengetahui, mengamalkan dan mengajarkan, maka ia akan dipanggil di sisi Allah sebagai seorang yang agung.”  [1]

2. Para tabiin  mengikuti jejak langkah para sahabat dalam menghafal dan mempelajari hukum dan makna Al-Qur`an, kemudian mengajarkannya kepada orang lain. Contohnya adalah Abu Abdurrahman As-Sulamí , seorang tabiin yang meriwayatkan hadis ini dari Ušmán . Beliau mengajarkan dan membacakan Al-Qur`an sejak masa kekhalifahan Ušmán bin Affán  hingga masa Al-ôajjáj bin Yúsuf, yaitu hampir 40 tahun.
Nama lengkap Abu Abdurrahman adalah Abdullah bin ôabib bin Rabi’ah Al-Kufí, putra salah seorang sahabat Nabi. Lahir ketika Nabi  masih hidup. Abu Amr Ad-Dani berkata, “Beliau mempelajari ilmu qiraah dari Ušmán, Ali, Zaid, Ubay, dan Ibnu Mas’ud. Murid yang belajar kepadanya adalah Aÿim bin Abi An-Najud, guru dari Syaikh Hafÿ pemilik qiraah yang masyhur yaitu Hafÿ dari Aÿim. Beliau wafat pada tahun 74 H. [2]

3. Abu Abdurrahman As-Sulamí berkata, “Karena itulah yang menjadikanku duduk di tempat dudukku ini.” Artinya, motivasi yang membuatnya tetap sabar mengajarkan Al-Qur`an dalam waktu yang sangat lama adalah karena ingin mengamalkan hadis ini, dan keinginannya menjadi orang yang disebut oleh Nabi, “Sebaik-baik kalian.”


1. Perhatikan hadis ini dan kemudian bersungguh-sungguhlah dalam mempelajari Al-Qur`an Al-Karim, mempelajari hukum-hukumnya, cara membacanya dan menadaburi maknanya. Setelah itu, sebarkan ilmu yang engkau miliki kepada orang lain. Orang yang malas lagi tertipu adalah mereka yang tidak punya semangat menjadi sebaik-baik manusia.

2. Manusia berlomba-lomba untuk menjadi yang paling baik. Ada yang mengunggulkan rumahnya, mobilnya, pakaiannya, jabatannya dll. Akan tetapi, Nabi Muhammad ﷺ menjadikan kriteria manusia terbaik adalah mereka yang mempelajari dan mengajarkan Al-Qur`an. Maka hendaknya kriteria yang engkau jadikan barometer untuk menilai dirimu sesuai dengan kriteria yang ditetapkan oleh Allah . 

3. Barang siapa menginginkan kebaikan dunia maka hendaknya ia dekat dengan Al-Qur`an. Barang siapa menginginkan kebaikan akhirat maka hendaknya ia dekat dengan Al-Qur`an. Dan barang siapa menginginkan kebaikan keduanya maka hendaknya ia dekat dengan Al-Qur`an.

4. Kesempurnaan ilmu adalah dengan mengamalkan dan mengajarkannya. Maka hendaknya para guru mengerahkan segenap usaha dalam mengajar murid-muridnya dan tidak pelit dengan ilmu yang dimiliki. Demikian juga, para murid hendaklah mengajarkan kepada teman-temannya apa yang sudah dipelajarinya dari gurunya.

5. Seorang alim yang mengajarkan Al-Qur`an tidak akan meraih kebaikan sebagaimana dijelaskan dalam hadis hingga ia mengamalkan ilmunya.

Allah Ta’ala berfirman

“Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca Kitab (Taurat)? Tidakkah kamu mengerti?” .

(QS. Al-Baqarah: 44)

Hendaknya ia, berakhlak sesuai dengan Al-Qur`an supaya benar-benar menjadi pengajar yang menjadi contoh bagi orang lain. Ia mampu memotivasi mereka untuk belajar Al-Qur`an. Abdullah bin Mas’ud  berkata, “Seorang penghafal Al-Qur`an dikenal dengan bangun malamnya ketika manusia tidur, puasanya ketika manusia tidak puasa, sedihnya ketika manusia bergembira, tangisannya ketika manusia tertawa, diamnya ketika berkumpul dengan orang lain, kekhusyukannya ketika manusia gundah gulana. Seyogianya seorang penghafal Al-Qur`an selalu menangis, sedih, bijaksana, memaafkan, alim dan tidak banyak bicara. Seorang penghafal Al-Qur`an tidak seyogianya bersikap kasar, lalai, gaduh, suka berteriak dan mudah marah.” [3]

6. Kapan pun engkau melihat seorang memahami Al-Qur`an, mengamalkan dan mengajarkannya, maka muliakanlah. Walaupun ia orang yang tua renta, miskin dan orang asing yang datang dari negeri lain. Bisa jadi ia adalah sebaik-baik manusia. Apalagi jika ia adalah guru yang mengajarkanmu Al-Qur`an. Tentunya dia mempunyai hak-hak yang harus engkau tunaikan.

7. Sampaikan kepada para pengajar Al-Qur`an agar bersabar dalam mengajar. Walaupun harus duduk berjam-jam di masjid, pondok atau melalui media komunikasi dll. Dan jangan sampai tebersit dalam pikirannya bahwa ia mempunyai kedudukan yang tinggi karena perbuatannya. Abu Abdurrahman As-Sulamí saja duduk mengajar Al-Qur`an selama 40 tahun karena ingin mendapatkan keutamaan dari Al-Qur`an. 

8. Barang siapa yang tidak mampu mengajarkan Al-Qur`an secara langsung, hendaknya ia mengajarkannya sesuai dengan kemampuannya, seperti memotivasi orang lain untuk belajar Al-Qur`an melalui tulisan, ceramah, mencetak buku, membuat aplikasi, membuat halakah Al-Qur`an, memberi upah kepada pengajar dan pembelajar Al-Qur`an, menyebarkan potongan bacaan Al-Qur`an dan lain sebagainya.

9. Seorang penyair menuturkan,
Titilah jalan orang-orang yang bijak dengan semangat 
tetaplah bersama Al-Qur`an dan jangan pedulikan yang lain
Ia adalah penolong ketika masa-masa sulit 
Ia adalah penjaga dalam segala keadaan
Ia memberikan syafaat para makhluk dan menjadi saksi 
pada hari kiamat, dan menyelamatkan dari huru-haranya

Referensi

  1. Lihat: Mirqáh Al-Mafátíñ Syarñ Misykáh Al-Maÿábíñ karya Mulla Ali Al-Qari (4/1452-1453)
  2. Siyar A’lám An-Nubalá karya Aæ-†ahabi (4/268).
  3. ôilyah Al-Auliyá’ wa ±abaqah Al-Aÿfiyá karya Abu Nu’aim (1/130).



1. Abu Sa’id bin Al-Mu’alla bercerita bahwa beliau sedang shalat, kemudian Nabi Muhammad ﷺ memanggilnya. Beliau tidak menjawab dan meneruskan shalatnya.

2. Setelah selesai, beliau mendatangi Nabi Muhammad ﷺ untuk memenuhi panggilannya. Beliau menjelaskan alasan kenapa tidak menjawab ketika Rasulullah memanggilnya, yaitu karena beliau tengah shalat. Beliau menyangka tidak boleh membatalkan atau berbicara dalam shalat. Dalam pengetahuannya, menjawab panggilan Nabi hanya wajib bagi orang yang tidak sedang shalat. 

3. Kemudian Nabi Muhammad ﷺ menjelaskan bahwa memenuhi panggilan Nabi adalah wajib saat itu juga, baik sedang shalat atau tidak.

Sesuai dengan firman Allah,

“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu.”

(QS. Al-Anfál: 24)

Tidak mungkin Nabi memanggilnya kecuali karena ada masalah yang penting.

4. Setelah itu, Nabi ﷺ mengatakan bahwa beliau akan memberitahunya tentang surah yang paling agung dalam Al-Qur`an sebelum keluar dari masjid. Ini menunjukkan bahwa surah-surah dalam Al-Qur`an berbeda-beda keutamaannya dan pahala membacanya.

Allah berfirman,

“Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya.”

(QS. Al-Baqarah: 106)


Hal itu dikarenakan sebagian surah mengandung makna nama dan sifat Allah , menauhidkan-Nya, memuji-Nya, mengagungkan-Nya, dan doa permohonan kepada-Nya. Oleh karena itu, Ayat Kursi adalah ayat yang paling agung dalam Al-Qur`an, Al-Fátiñah surah yang paling utama dan Al-Ikhlas setara sepertiga Al-Qur`an.

5. Kemudian Nabi Muhammad ﷺ memegang tangan Abu Sa’id dan berniat untuk keluar dari masjid. Bisa jadi lupa dengan janjinya kepada Abu Sa’id, atau sengaja mengujinya untuk mengetahui apakah beliau mempunyai semangat untuk menuntut ilmu. Maka Abu Sa’id mengingatkannya sebelum keluar dari pintu.

6. Lalu Nabi Muhammad ﷺ memberitahunya bahwa Al-Fátiñah adalah surah yang paling agung dalam Al-Qur`an, disebut As-Sab’u Al-Maÿání. Disebut demikian karena mengandung pujian Allah  dan diulang-ulang dalam shalat. Juga karena menjadi surah yang Allah khususkan kepada umat Nabi Muhammad ﷺ. Disebut Sab’un karena ayatnya berjumlah tujuh. Al-Fátiñah mewakili seluruh Al-Qur`an Al-AÈim yang dikaruniakan kepada Nabi Muhammad ﷺ sebagaimana dalam firman-Nya,

“Dan sungguh, Kami telah memberikan kepadamu tujuh (ayat) yang (dibaca) berulang-ulang dan Al-Qur`an yang agung.”

(QS. Al-Ôijr: 87)


1. Jika memenuhi panggilan Nabi merupakan kewajiban bagi seorang Muslim -bahkan ketika sedang shalat-, maka melaksanakan perintah-perintah Nabi  dalam segala aspek kehidupan lebih wajib untuk dilakukan. Tidak boleh mendahulukan pendapat manusia dan hawa nafsu mereka atas sunnah Nabi Muhammad  dan syariatnya. Yakinkan dirimu untuk tunduk pada hal itu!

2.

Dalam firman Allah

“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rasul apabila dia menyerumu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepadamu.”

(QS. Al-Anfál: 24)

terdapat isyarat bahwa kehidupan yang diharapkan adalah kehidupan hati dan roh, bukan sekadar aktivitas jasad dan memenuhi syahwat. Inilah kehidupan yang akan membawa kepada kebahagiaan di akhirat yang kekal, bukan dunia yang fana. Sehingga barang siapa yang ingin benar-benar hidup, hendaklah ia berkomitmen untuk melakukan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Karena itu adalah satu-satunya jalan menuju kebahagiaan kehidupan dunia dan akhirat.

3. Bersemangatlah untuk menuntut ilmu dan jangan disibukkan dengan hal lain. Jangan enggan bertanya karena malu atau sombong. Kita mengetahui dalam hadis ini bahwa Abu Sa’id tidak malu untuk mengingatkan Nabi  ketika lupa dengan janjinya untuk memberitahunya mengenai surah yang paling agung dalam Al-Qur`an. Beliau juga tidak malu untuk berjalan keluar bersama Nabi karena semangatnya untuk menuntut ilmu dan belajar hadis. Padahal Rasulullah ﷺ mempunyai kedudukan yang tinggi di hati para sahabatnya. 

4. Dalam hadis ini terdapat dalil mengenai besarnya kasih sayang Nabi Muhammad  kepada para sahabat. Juga betapa besar keinginannya untuk mengajarkan hal yang bermanfaat kepada mereka. Hendaknya para guru memiliki akhlak Nabi ﷺ dalam mengajar dan hendaknya para murid memiliki akhlak Abu Sa’id bin Al-Mu’alla  yang bersemangat untuk belajar.

5. Hendaklah para penuntut ilmu tidak membiarkan kebaikan hilang dari genggaman tangannya. Seandainya Abu Sa’id tidak mengingatkan Nabi ﷺ sebelum keluar dari masjid, pasti beliau tidak akan mendapatkan ilmu yang sangat bermanfaat ini.

6. Jika surah dalam Al-Qur`an berbeda-beda keutamaan dan pahala membacanya, maka hendaknya setiap Muslim meraih keutamaan itu dengan banyak membaca ayat dan surah yang mempunyai keutamaan sebagaimana dijelaskan dalam hadis-hadis yang sahih. Juga berusaha menghafalnya, menadaburi maknanya, dan memahami rahasia keagungannya.

7. Di antara rahasia agungnya kedudukan surah Al-Fátiñah adalah Allah memulainya dengan puji-pujian, sanjungan, dan mengagungkan Allah sebelum memohon kepada-Nya. Inilah adab dalam berdoa yang harus dilakukan agar doa diijabah.

Dari Faðálah bin Ubaid , beliau berkata,

“Suatu ketika Rasulullah ﷺ mendengar orang yang berdoa dalam shalatnya, tetapi tidak mengucapkan puji-pujian kepada Allah Ta’ala dan tidak pula membaca selawat kepada Nabi ﷺ.” Lalu Rasulullah ﷺ bersabda, “Orang ini tergesa-gesa.” Kemudian orang itu dipanggilnya. Lalu Nabi ﷺ bersabda kepada orang itu atau kepada orang lain juga, “Jika salah seorang di antara kalian ingin berdoa, maka hendaklah memulai dengan mengagungkan Tuhannya  dan melantunkan puji-pujian kepada-Nya. Selanjutnya membaca selawat kepada Nabi ﷺ, kemudian ia berdoa sesuai yang dikehendakinya.”  [1]

8. Seorang penyair menuturkan,
Bacalah Kitab Allah dan pahami hukumnya 
Engkau akan meraih karunia Allah berupa kebaikan
Al-Qur`an adalah pesan bagi setiap akal yang cerdas 
ia adalah cahaya yang terpancar dari nur rabbani
menunjukkan kepada setiap kebaikan, dan Al-Qur`an 
memberikan ketenteraman hati dan kenyamanan badan
Al-Qur`an diturunkan oleh Tuhan yang menjaganya 
untuk mengajarkan kepada manusia sebaik-baik penjelasan

Referensi

  1. HR. Abu Daud (1482), At-Tirmizi (3477), dan An-Nasa`i (1283).



1. Ubay bin Ka’ab  memberitahukan bahwa suatu ketika Nabi ﷺ bertanya kepadanya, “Apakah engkau tahu ayat dalam kitab Allah Ta’ala yang paling agung, dan paling tinggi pahala, keutamaan, dan kedudukannya?

2. Ubay  menjawab dengan menyandarkan pengetahuan tentang hal itu kepada Allah  dan Rasul-Nya , walaupun sebenarnya beliau mengetahui jawabannya. Hal ini beliau lakukan dalam rangka mengagungkan pembicaraan dalam masalah agama. Juga untuk menjaga adab berbicara dengan Rasulullah dan bersikap tawaduk.
Beliau hanya menisbatkan pengetahuan tentang hal itu kepada Nabi ﷺ setelah Allah Ta’ala. Karena masalah yang ditanyakan termasuk urusan syariat yang dijelaskan oleh Allah  kepada Nabi-Nya ﷺ . Sedangkan jika berhubungan dengan urusan gaib, maka tidak boleh menyandarkannya kecuali kepada Allah .

Allah  berfirman,

“Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui selain Dia. Dia mengetahui apa yang ada di darat dan di laut. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur yang tidak diketahui-Nya, tidak ada sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak pula sesuatu yang basah atau yang kering, yang tidak tertulis dalam kitab yang nyata (Al-Lauñ Al-MahfūÈ).”

(QS. Al-An’ám: 59)


3. Kemudian Nabi ﷺ mengulang pertanyaan tersebut kepada Ubay bin Ka’ab guna memotivasinya untuk menjawab dan tidak cukup dengan menyandarkan kepada Allah dan Rasul-Nya.

4. Ketika Ubay melihat hal itu, beliau menjawab bahwa ayat tersebut adalah Ayat Kursi.
Pada kesempatan pertama, beliau tidak menjawab pertanyaan karena Nabi ﷺ biasa bertanya dengan tujuan merangsang pemahaman dan menarik perhatian para sahabat. Dan karena beliau menyangka Nabi ﷺ akan menjawab dengan jawaban yang tidak biasa. Misalnya karena ada wahyu yang turun dan memberitahukan kepada beliau bahwa ada ayat lain yang lebih utama. Atau beliau akan memberikan penjelasan tambahan dll. Akan tetapi ketika Nabi ﷺ mengulang pertanyaan yang sama, Ubay mengetahui bahwa Nabi ﷺ ingin beliau menyebutkan ilmu dan pemahaman yang dimilikinya. Oleh karena itu, beliau menjawab bahwa ayat tersebut adalah Ayat Kursi. [1]
Ayat Kursi menjadi ayat yang paling agung dalam Al-Qur`an karena menjelaskan mengenai Tauhidullah (menauhidkan Allah) , menetapkan sifat-sifat-Nya yang sempurna, menyebutkan nama-nama Allah yang mulia serta menafikan segala sesuatu yang menunjukkan kekurangan bagi Allah, seperti tidur dan mengantuk.

5. Lalu Nabi ﷺ menepuk dada Ubay  sebagai isyarat bahwa beliau mempunyai ilmu dan hikmah. Ini adalah bentuk kelembutan Rasulullah ﷺ kepada para sahabat, supaya ilmu di dalam dadanya kokoh, lebih giat mengamalkannya. Hal itu dilakukan sebagai motivasi untuk menambah ilmu dan basirah dan menjadikannya bahagia dengan pengaruh berupa keberkahan yang timbul . [2]

6. Kemudian Nabi ﷺ mendoakannya, “Semoga engkau mendapatkan kebahagiaan dan kegembiraan dengan ilmu yang kau miliki. Semoga engkau memiliki ilmu yang mendalam dan kokoh.” Doa ini memberitahukan dan memberitakan keilmuan Ubay .  [3]
Ayat Kursi mempunyai banyak keutamaan. Disebutkan bahwa Ayat Kursi adalah ayat yang paling agung, menjaga dari setan, disunahkan untuk dibaca setelah shalat fardu dan sebelum tidur dll. [4]


1. Panggillah orang lain dengan gelar yang disukainya selama tidak dilarang oleh syariat. Dahulu, Nabi ﷺ memanggil para sahabatnya dengan kun-yah (nama panggilan) yang mereka sukai, walaupun kedudukan beliau yang tinggi dan umur mereka yang masih muda, kedudukan mereka sebagai murid beliau. Sudah sepantasnya bagi setiap Muslim meneladani Nabi  dalam masalah ini, terutama para ulama, dai dan para pendidik. Hendaklah mereka berlemah lembut kepada murid-murid mereka dengan berbicara dengan kata-kata yang baik dan penuh tata krama. Juga memanggil dengan nama yang mereka sukai. Hal ini akan memberikan dampak yang luar biasa terhadap jiwa mereka. 


2. Biasakan lidahmu untuk mengatakan, “Allahu A’lam (Allah lebih tahu).”  Karena ini lebih selamat, lebih mulia, dan merupakan akhlak para ulama. Ubay bin Ka’ab yang merupakan seorang ulama dalam bidang Al-Qur`an hingga Nabi ﷺ bersabda, “Ambillah Al-Qur`an dari empat orang: Ibnu Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Muaæ bin Jabal, dan Salim bekas budak Abu Huæaifah,”[5]  dan beliau merasa mempunyai pengetahuan untuk menjawab pertanyaan Nabi ﷺ mengenai ayat yang paling agung, -walaupun demikian- beliau memilih untuk mengatakan, “Allahu A’lam” untuk menyandarkan ilmu kepada Allah Ta’ala.

3. Di antara metode pengajaran efektif yang besar pengaruhnya bagi murid dan guru adalah tanya jawab. Karena orang yang ditanya dengan tiba-tiba -yang ia tidak tahu jawabannya- maka ia akan antusias untuk mengetahui jawabannya. Selain itu, metode tersebut akan membuat pengetahuan itu lebih lengket dalam ingatannya dan tidak mudah lupa. Berbeda dengan metode dikte atau ceramah yang lebih mudah dilupakan.

4. Di antara adab yang bagus adalah adab ketika pertanyaan dilontarkan. Ada beberapa keadaan, bisa jadi seseorang mengetahui jawabannya namun diam untuk menghormati orang yang bertanya. Di sisi lain, agar orang yang bertanya menjelaskan jawaban lebih daripada yang diketahuinya. Keadaan lain, bisa jadi seseorang berusaha menjawab dengan keberadaan gurunya yang akan mengoreksinya jika salah.

5. Perhatikanlah Ayat Kursi, yang merupakan ayat yang paling agung. Maka menghafalnya, mempelajarinya, menadaburi maknanya dan mengajarkannya merupakan hal yang agung. Baik di rumah, di sekolah maupun dalam penelitian para ulama. 

6. Tepukan Nabi  di dada Ubay setelah beliau menjawabnya merupakan bentuk keakraban secara fisik dan untuk meneguhkan ilmunya. Oleh karena itu, hal ini tetap diingatnya dan diingat oleh para perawi sesudahnya.

7. Jika engkau melihat muridmu, anakmu atau teman-temanmu menjawab benar maka doakanlah mereka. Pujilah mereka dan berikan pengakuan, jangan mengingkarinya. Berikanlah hak kepada setiap orang yang berhak, sebagaimana dilakukan oleh Nabi ﷺ kepada Ubay bin Ka’ab . 

8. Hadis ini menunjukkan bahwa seseorang boleh memuji orang lain di depannya jika ada kemaslahatan. Misalnya untuk motivasi agar lebih konsisten dan bersungguh-sungguh dalam belajar dan mencapai kebaikan.

Referensi

  1. Al-Bañr Al-Muñíþ Aš-Šajjáj karya Al-Ityubí (15/395).
  2. Al-Mufhim karya Abu Al-Abbas Al-Qurtubí (2/436).
  3. Al-Kásyif ‘An Haqáiq As-Sunan karya At-Tibí (5/1644).
  4. Lihat: Tafsír Ibnu Kašír ayat (255).
  5. HR. Al-Bukhari (4999) dan Muslim (2464).



1. Nabi ﷺ bertanya kepada para sahabatnya , “Tidak mampukah kalian membaca sepertiga Al-Qur`an setiap malam?”

2. Sahabat merasa heran dengan pertanyaan tersebut. Itu adalah hal berat bagi mereka. Dan bukan kebiasaan Nabi ﷺ membebani dengan sesuatu yang tidak mampu dilakukan.

3. Nabi Muhammad ﷺ kemudian memberitahukan kepada mereka bahwa surah ‘Alláhul Wáhiduÿ Ÿamad’, keutamaan dan pahalanya setara dengan sepertiga Al-Qur`an. Disebut Surah Al-Ikhlas karena mengandung makna tersebut yaitu firman Allah,

‘Qul Huwalláhu Añad. Allahuÿ Ÿamad.’ (Katakanlah (Muhammad), “Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu) .

(QS. Al-Ikhláÿ: 1-2)

Kata Aÿ-Ÿamad mengandung beberapa sifat Allah Ta’ala di antaranya: 1) Allah Ta’ala  tidak mempunyai perut sehingga tidak membutuhkan makan dan minum. 2) Allah ﷺ tidak menyerupai siapa pun. 3) Allah  menjadi tempat meminta, karena Allah Mahakaya dan seluruh makhluk membutuhkan-Nya. 4) Allah  kekal setelah seluruh makhluk fana. [1]

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah

beliau berkata, “Rasulullah ﷺ keluar kepada kami kemudian bersabda, ‘Aku akan membacakan sepertiga Al-Qur`an. Kemudian beliau membaca, Qul Huwalláhu Añad. Allahuÿ Ÿamad. (Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu).’ (QS. Al-Ikhláÿ: 1-2) sampai akhir surah.” [2]


Surah tersebut ayatnya pendek akan tetapi setara dengan sepertiga Al-Qur`an karena mengandung tauhid dan penjelasan mengenai nama dan sifat Allah Ta’ala serta menafikan kesyirikan, menafikan penyerupaan dan menafikan anak dari Allah. Al-Qur`an mengandung tiga pokok, yaitu: penjelasan tentang tauhid dan sifat Allah Ta’ala, penjelasan tentang hukum syariat halal haram, dan kisah umat terdahulu. Surah Al-Ikhláÿ mengandung pokok pertama yaitu tentang tauhid. Maka barang siapa yang membaca Surah Al-Ikhláÿ akan mendapatkan pahala setara membaca sepertiga Al-Qur`an. [3]


1. Perhatikanlah seni berbicara. Apabila suatu ucapan benar dan bermanfaat akan mudah diterima. Perhatikanlah hal tersebut dalam pembicaraanmu dengan anak-anakmu, keluargamu, dan murid-muridmu. Dan juga dengan orang yang engkau interaksi dengan mereka, baik ketika memberikan nasihat, melakukan akad jual beli dll.

2. Nabi  melontarkan kepada para sahabat  pertanyaan yang aneh sebagai prolog untuk sampai pada jawaban dan persiapan menerima ilmu. Beliau melontarkan pertanyaan yang sangat sulit untuk mereka lakukan. Hal tersebut menjadikan pendengaran dan akal mereka lebih siap untuk memahami perkataan beliau, supaya mereka mengetahui bagaimana cara seseorang membaca Al-Qur`an sebanyak itu dalam satu malam. Alangkah baiknya jika para dai, ulama, guru, dan pendidik berusaha menarik atensi orang-orang di sekelilingnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang aneh dan kisah-kisah yang unik yang bisa menarik perhatian dan pendengaran mereka. 

3. Hadis ini menunjukkan bagusnya Nabi ﷺ dalam mengajar para sahabatnya. Beliau mengarahkan mereka untuk melakukan sesuatu dengan pemaparan, bukan dengan memerintah mereka. Hendaknya para guru bisa meniru metode Nabi  dalam mengajar. Karena metode ini paling efektif untuk memotivasi murid-murid melakukan suatu perintah.

4. Syariat datang dengan memerintahkan beberapa kewajiban yang ringan, akan tetapi mengandung kebaikan dan keutamaan yang besar. Tidak layak seorang Muslim mengabaikan karunia tersebut. Sebaliknya, ia harus bersungguh-sungguh untuk mengambil manfaat sebanyak-banyaknya dari karunia Ilahi tersebut.

5. Hadis ini menunjukkan bagusnya adab para sahabat . Mereka tidak membantah atau menafikan pertanyaan Nabi ﷺ yang aneh. Akan tetapi mereka mencari alasan dengan penuh sopan santun. Maka hendaknya setiap murid mengikuti sikap para sahabat ini dalam berinteraksi dengan gurunya.

6. Curahkanlah perhatian kepada Surah Al-Ikhlas. Rasulullah ﷺ mengagungkannya karena memang agung. Maka berusahalah untuk menghafalnya, mempelajarinya, menadaburi ayat-ayatnya dan kemudian mengajarkannya. Baik di rumah-rumah, di sekolah-sekolah atau dalam kajian para ulama. Inilah yang seharusnya dilakukan kepada sesuatu yang diagungkan oleh Allah Ta’ala. 

7.

Dari Aisyah  bahwa Nabi ﷺ pernah mengutus seorang laki-laki dalam sebuah ekspedisi militer

, lantas laki-laki tersebut membaca untuk sahabatnya dalam shalatnya dengan Qul huwalláhu Añad (Surah Al-Ikhlas) dan menutupnya juga dengan surah itu. Ketika mereka pulang, mereka menceritakan hal ini kepada Nabi ﷺ, lantas Nabi ﷺ bersabda, “Tanyakan kepadanya, mengapa dia berbuat sedemikian?” Mereka pun menanyainya, dan sahabat tadi menjawab, “Sebab surah itu menggambarkan sifat Ar-Rahman, dan aku sangat suka membacanya.” Maka Nabi ﷺ bersabda, “Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah mencintainya.” [4]

8. Seorang penyair menuturkan, 
Wahai †at yang tidak ada yang pelindung bagiku darinya 
Aku mohon perlindungan dari siksa-Mu dengan ampunan-Mu
Aku hamba yang mengakui segala dosa 
Sedangkan Engkau adalah Tuhan yang kekal lagi Maha Pengampun
Jika Engkau menyiksaku, sesungguhnya dosa itu berasal dariku 
Jika mengampuni, maka Engkau berhak melakukannya

Referensi

  1. Zád Al-Masír fí ‘Ilm At-Tafsír karya Ibn Al-Jauzi (4/506).
  2. HR. Muslim (262).
  3. Al-Istiækár karya Ibn Abdil Barr (2/512).
  4. HR. Al-Bukhari (7375) dan Muslim (813).