1. Nabiﷺ menjelaskan kepada Uqbah bin Amir رضي الله عنه bahwa di antara wahyu yang diturunkan kepada beliau, terdapat dua surah yang tidak ada bandingannya, terutama dalam meminta perlindungan. Semua ayat dalam dua surah tersebut mengandung permintaan perlindungan bagi pembacanya. Pada dua surah tersebut juga dapat menolak kedengkian dan menjaga keburukan para pendengki yang tidak ada pada surah-surah lain. [1][1]

2. Dua surah ini adalah Surah Al-Falaq dan An-Nas. Nabi رضي الله عنه menyebut dua surah ini dengan menyebut salah satunya karena masyhur dengannya. Keduanya juga masyhur dengan sebutan ‘Al-Mu’awwiæatain’ (dua surah yang mengandung doa perlindungan) karena keduanya diawali dengan kata, “Qul A’úæu (katakanlah, aku memohon perlindungan). Makna Al-Falaq adalah segala sesuatu yang keluar dari sesuatu yang terbelah. Misalnya seperti fajar dan biji.

Sedangkan istiazah sendiri bermakna berlindung kepada Allah Ta’ala dan berpegang erat kepada-Nya agar mendapatkan penjagaan dari keburukan, tipu daya, dan bisikan setan. Juga agar dijaga dari segala sesuatu yang mempunyai keburukan. [2]

Ada beberapa hadis yang menjelaskan mengenai istiazah dan rukiah dengan Al-Mu’awwiæatain. Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudrí رضي الله عنه, beliau berkata, “Dahulu Rasulullah berlindung dari jin dan penyakit ‘ain hingga turunlah dua surah Al-Mu’awwiæatain. Setelah turun, Rasulullah selalu membacanya dan meninggalkan doa yang lain.” [3]

Nabi  membaca kedua surah tersebut dan meninggalkan doa dan ruqyah yang lain karena keduanya sudah mencukupi. [4]

 


1. Nabi menggunakan gaya bahasa dalam Bahasa Arab yang disebut dengan Uslub Ta’ajjub [5] , yaitu sabda beliau, “Tahukah engkau?”  Gaya bahasa ini sering digunakan dalam Al-Qur`an. Gaya bahasa yang menarik perhatian orang lain, sehingga ilmu yang akan disampaikan lebih mudah dipahami. Oleh karenanya, sudah selayaknya para ulama, dai, dan pendidik untuk sering menggunakan berbagai gaya bahasa ketika menyampaikan pembicaraan agar orang yang mendengarkan lebih fokus dan lebih mudah memahami yang disampaikan.

2. Hadis ini menunjukkan bahwa Al-Mu’awwiæatain merupakan doa yang paling utama dalam rukiah dan memohon perlindungan. Namun demikian, hal ini tidak menghalangi seseorang untuk memohon perlindungan dengan doa dan zikir lain yang disyariatkan. Demikian juga tidak menghalanginya untuk melakukan ikhtiar dengan usaha yang mungkin dilakukan untuk menghindari keburukan. Akan tetapi dua surah ini yang paling utama dan paling diharapkan dalam mencapai tujuan.

3. Dalam Surah An-Nas terdapat penjelasan mengenai sifat setan yaitu khannás yang berarti kabur dan bersembunyi ketika seorang hamba berzikir kepada Allah. Semakin sering seorang hamba berzikir dan berdoa kepada Allah, maka setan akan semakin jauh. Sudah seyogianya kita antusias berzikir kepada Allah Ta'ala setiap saat. Dan ketika ada bisikan untuk melakukan dosa, hendaknya kita segera berlindung kepada Allah جَلَّ جَلالُه.

4. Perhatikanlah surah-surah yang diagungkan oleh Allah جَلَّ جَلالُه dengan menghafal, mempelajari, menadaburi ayat-ayatnya, baik di rumah-rumah, sekolah-sekolah dan kajian para ulama. Surah-surah tersebut seharusnya didahulukan daripada yang lain.

5. Hadis dan ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa menghindari gangguan orang yang dengki dan serangan tukang sihir tidak dapat dilakukan kecuali dengan meminta pertolongan kepada Allah جَلَّ جَلالُه. Dialah satu-satunya Tuhan manusia dan pencipta mereka. Dia mengusai seluruh urusan mereka. Maka tidak ada sesuatu pun yang terjadi di dalam kerajaan-Nya kecuali dengan izin-Nya.

Referensi

1. Lihat: At-Tanwír Syarñ Al-Jámi’ Aÿ-Ÿagír karya Aÿ-Ÿan’ani (4/280) dan Al-Bañr Al-Muñíþ Aš-Šajjáj karya Al-Ityubí (16/426).

2. Lihat: Tafsír Ibnu Kašír (1/114).

3. HR. An-Nasa`í (7804) dan At-Tirmizi (2058).

4. Al-Kásyif ‘an Ôaqá`iq As-Sunan karya At-Tibi (5/1650).

5. Yaitu gaya bahasa untuk menunjukkan rasa takjub, kagum dan sejenisnya (penerjemah).

1. Seorang sahabat yang mulia yaitu Ámir bin Wasilah  menyebutkan bahwa Náfi’ bin Al-ôariš diangkat oleh Umar bin Khaþþab  sebagai gubernur Makkah. Suatu hari, beliau meninggalkan Makkah karena suatu kepentingan dan kebetulan bertemu dengan Umar di Usfán. Usfán adalah sebuah negeri yang berjarak sekitar 80 km dari Makkah. Maka Umar bertanya kepadanya siapa yang diangkat menjadi wakilnya mengurus Makkah, menjadi imam shalat dan tugas-tugas semisalnya? 

2. Náfi’ memberitahukan bahwa beliau menunjuk seorang laki-laki bernama Ibnu Abza. [1]  Karena Umar tidak mengenalnya, maka beliau bertanya tentang orang tersebut. Náfi’ berkata kepada Umar, “Dahulu ia atau nenek moyangnya adalah budak yang kami merdekakan.” 

3. Umar perbuatan Náfi’ yang mengangkat bekas budak mengurusi urusan khalayak manusia. Padahal di Makkah banyak orang-orang merdeka dan para tokoh dari kalangan sahabat Nabi ﷺ dan para tabiin yang mampu memikul tanggung jawab tersebut. Ini bukan berarti tidak boleh mengangkat bekas budak sebagai pejabat. Bukan pula Umar menghina para budak dan bekas budak. Atau menganggap mereka lebih rendah derajatnya dari orang yang merdeka. Yang diinginkan Umar hanyalah terwujudnya kemaslahatan bagi orang banyak dan tidak terjadinya kekacauan. Karena tujuan diangkatnya gubernur adalah menata urusan publik dan mewujudkan kemaslahatan. Ini membutuhkan seorang yang cerdas, berpendirian kuat, dan mempunyai wibawa agar tidak ada yang berani merendahkannya. Maka dibutuhkan seseorang yang merdeka, dari nasab yang mulia, dan mempunyai status sebagai pemimpin di kalangan masyarakat. Jika tidak, maka orang akan meremehkannya dan tidak mau menaatinya. 

4. Kemudian Náfi’ menjelaskan bahwa beliau mengangkat Ibnu Abza karena ia orang yang hafal Al-Qur`an dan orang yang memahami hukum fikih dan faraid. Walaupun ia bekas budak, akan tetapi Allah جَلَّ جَلالُه telah mengangkat derajatnya dengan kelebihan-kelebihan ini. Dan masyarakat juga mengetahui hal itu. Maka mereka menghormati dan menaatinya. Dengan demikian, urusan publik akan berjalan dengan baik dan masyarakat juga merasa tenteram. 

5. Ketika mendengar itu, Umar menyetujui keputusan Náfi’. Dan kemudian beliau juga menguatkan bahwa tindakannya sudah benar karena Nabi ﷺ pernah bersabda bahwa Al-Qur`an Al-Karim bisa memuliakan dan mengangkat derajat manusia di dunia dan akhirat. Seandainya tanpa Al-Qur`an, mereka tetap menjadi orang-orang yang mempunyai derajat yang rendah. Sebagaimana Al-Qur`an juga merendahkan orang yang kafir terhadapnya dan tidak mau mengamalkan isinya, walaupun ia orang yang mulia dan mempunyai kehormatan.

 

1. Seorang yang mempunyai tanggung jawab haruslah sadar akan tanggung jawabnya dan mempunyai kepekaan dalam setiap situasi. Ketika Umar melihat gubernur yang diangkatnya tidak berada di tempat seharusnya, beliau bertanya, “Siapa yang ditunjuk untuk menggantikannya? Bagaimana status orang itu? Mengapa melakukan ini dan tidak melakukan itu?” 

2. Jika seseorang menunjuk orang lain untuk menggantikan atau mewakilinya hendaklah ia memperhatikan kualifikasi yang dibutuhkan untuk memikul tanggung jawab tersebut dan konsekuensinya. Misalnya ketika seorang ayah, atau pemilik perusahaan atau kontraktor mengirimkan salah satu bawahannya untuk melakukan sesuatu, hendaknya ia memastikan bahwa orang tersebut amanah dan profesional. Atau misalnya ketika seorang menteri atau gubernur menunjuk orang untuk menggantikan atau mewakilinya maka orang tersebut disyaratkan mempunyai kemampuan manajerial yang baik dan mampu mewujudkan kemaslahatan bagi orang banyak. 

3. Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang mengetahui hukum dalam kitab Allah an sunnah Rasulullah didahulukan untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum Muslimin. Walaupun keadaannya miskin dan bekas budak, dengan syarat ia mampu mewujudkan kemaslahatan kaum Muslimin dan menghindari kekacauan. Umar pun pernah mencopot tokoh para sahabat dari jabatannya demi kemaslahatan umum. Sebagaimana beliau lakukan terhadap Sa’ad bin Abi Waqqáÿ, Khalid bin Walid dan lainnya.

4. Hendaklah setiap orang bertanya kepada dirinya sendiri, “Bagaimana interaksinya dengan Kitabullah? Apakah beriman kepadanya, membenarkannya, dan membiasakan tilawah, sehingga Allah جَلَّ جَلالُه mengangkat derajatnya? Ataukah ia melupakan Al-Qur`an hingga Allah merendahkannya? Itu hanya dua hal dan tidak ada yang ketiga untuknya. Qatadah berkata, “Tidak ada seorang pun yang bermajelis dengan Al-Qur`an kecuali ia keluar dengan tambahan atau kekurangan.” [2]

5. Nilai seseorang tergantung dari ilmu yang dimilikinya. Maka hendaknya para penuntut ilmu mencurahkan perhatiannya untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Karena itu adalah kemuliaannya di dunia dan akhirat. 

6. Jika Al-Qur`an mengangkat derajat orang yang menghafalnya di dunia hingga menjadi pemimpin dan pemuka bagi manusia, maka sesungguhnya kedudukan yang lebih agung juga akan ia dapatkan di akhirat. Dari Abdullah bin Amr bin Al-Aÿ رضي الله عنه dari Nabi Muhammad , beliau bersabda, “Akan dikatakan kepada orang yang membaca Al-Qur`an, ‘Bacalah, naiklah dan perindah bacaanmu sebagaimana dahulu kamu memperindah bacaanmu di dunia. Sesungguhnya kedudukanmu ada pada akhir ayat yang engkau baca.” 

7. Seorang penyair menuturkan, Demikianlah wahai ruh, jadilah lebah ia tidak ingin tidur atau tergoda untuk tidur Di sisimu ada Al-Qur`an, sebuah taman hijau maka hiruplah sesukamu dari embunnya Persembahkan untuk semesta bunganya yang mengandung madu yang terkenal manisnya Jangan mencari taman lain, betapa sering aku membiarkan yang baik, menyendiri dari selainnya Petunjuk dengan ikut petunjuknya dan keberuntungan dengan meniti jalannya, dan kegemilangan dengan memuliakannya


Referensi

1. Beliau adalah Abdurrahman bin Abza Al-Khuza’í. Para ahli sejarah berbeda pendapat mengenai statusnya sebagai sahabat. Sebagian besar berpendapat bahwa beliau adalah seorang sahabat yang pernah bertemu Nabi, shalat di belakangnya dan meriwayatkan hadis darinya. Lihat: Tahæíb Al-Kamál karya Al-Mizzi (16/501) dan Siyar A’lám An-Nubalá’ (3/201).

2. Al-Bañr Al-Muñíþ Aš-Šajjáj karya Muhammad bin Ali Ityubí (16/458).

1. Tuhan kita mengabarkan bahwa Dia akan membela orang-orang. Barang siapa yang memusuhi dan menyakiti salah satu wali Allah –mereka adalah para hamba yang saleh, yang mewujudkan keimanan mereka dengan mengerjakan ketaatan, sehingga Tuhan mereka menolong semua urusan mereka-, maka Allah Ta’ala memberikan peringatan berupa peperangan sebagai balasan untuk wali-wali-Nya dan pembelaan terhadap mereka. Dan siapakah gerangan yang mampu berperang melawan Allah ?! 

2. Kemudian Dia menjelaskan bahwa amal ibadah yang paling utama dari seorang hamba yang dikerjakan untuk Tuhannya adalah menunaikan ibadah-ibadah wajib, karena sesungguhnya Dia tidaklah mewajibkan berbagai macam ketaatan dan mengharamkan berbagai kemaksiatan melainkan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. 

3. Apabila seorang hamba antusias untuk mengerjakan amalan yang wajib, kemudian beribadah kepada Rabbnya dengan ibadah-ibadah yang tidak diwajibkan baginya, hanya disunnahkan saja –seperti: shalat-shalat sunnah, puasa, sedekah, merutinkan zikir, membaca Al-Qur`an, memenuhi kebutuhan orang-orang yang membutuhkan, dan yang semisal- niscaya Allah Ta’ala akan mencintainya. 

4. Jika Dia sudah mencintainya, maka Dia akan menjaga indra-indranya; ia tidak akan mendengar kecuali yang membuat Allah Ta’ala rida, tidak membiarkan penglihatannya kepada perkara-perkara yang haram, tidak pula membiarkan tangannya untuk melakukan sesuatu yang tidak dibolehkan syariat, sehingga ia tidak akan mengambil apa-apa kecuali yang memang menjadi miliknya, tidak akan memukul kecuali atas dasar kebenaran, kakinya tidak digunakan untuk kemaksiatan. Hal ini sebagaimana tertera di dalam sabda beliau, “Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu, jagalah Allah, niscaya engkau mendapati-Nya berada di hadapanmu.” [1]

5. Di antara balasan yang besar bagi para wali yang dicintai Allah dan mereka pun mencintai-Nya adalah jika mereka berdoa, maka akan dikabulkan dan permintaan mereka akan diijabah, apa pun itu. Apabila mereka meminta perlindungan karena ketakutan dari suatu keburukan atau gangguan, maka Dia akan menghilangkan apa yang mereka takutkan tersebut dan melindungi mereka. Nabi  bersabda, “Sesungguhnya ada di antara hamba-hamba Allah, jika ia bersumpah atas nama Allah, niscaya akan Dia kabulkan.” [2]

6. Kemudian Allah  memberitahukan bahwa Dia menyukai apa yang disukai oleh seorang mukmin dan tidak menyukai ada sesuatu yang menimpa serta menyakitinya, sampai kematian pun yang sudah Allah Ta’ala tentukan bagi seluruh makhluk-Nya dan dikehendaki oleh-Nya, Dia tidak suka jika hal itu menimpa hamba-Nya yang mukmin, sebab hamba-Nya tersebut pun tidak suka dan takut terhadapnya, sehingga kematian itu di satu sisi memang sudah menjadi kehendak Allah Ta’ala, namun di sisi lain, Dia juga tidak menyukainya. Inilah yang disebut keraguan. Sesungguhnya Dia  menetapkan kematian bagi hamba-Nya yang mukmin disertai rasa cinta kepadanya dan tidak suka menyakitinya. Berbeda dengan kondisi orang kafir yang Allah Ta’ala membencinya dan ingin menyiksanya. [3]

Rasa ketidaksukaan seorang hamba yang saleh terhadap kematian merupakan perasaan alamiah yang Allah ciptakan pada semua manusia, mereka takut dan tidak menyukai kematian. Hanya saja, jika ajalnya tiba, maka Allah Ta’ala memberikannya kabar gembira berupa kenikmatan akhirat kelak baginya, sehingga saat itu ia sama sekali tidak menyukai apa pun selain kematian itu. Nabi  bersabda, “Barang siapa yang suka bertemu dengan Allah, niscaya Allah pun suka bertemu dengannya, dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah pun benci untuk bertemu dengannya.” Aisyah atau salah satu dari istri beliau berkata, “Sesungguhnya kami sangat tidak menyukai kematian.” Beliau bersabda, “Bukan itu yang dimaksud, tetapi, jika ajal seorang mukmin tiba, maka ia diberi kabar gembira berupa rida Allah dan kemuliaan-Nya. Tidak ada sesuatu yang lebih ia sukai melainkan apa yang ada di depannya, sehingga ia pun ingin bertemu dengan Allah, dan Allah juga ingin bertemu dengannya. Sementara orang kafir, jika ajalnya tiba, maka akan diberi kabar gembira berupa azab Allah dan siksaan-Nya, dan tidak ada sesuatu yang paling ia benci selain apa yang ada di hadapannya, ia tidak suka bertemu dengan Allah, dan Allah pun tidak ingin bertemu dengannya.” [4]


1. (1) Barang siapa yang ingin berlindung pada tempat yang aman, tidak akan tertimpa mara bahaya apa pun maka hendaknya dia berpegang teguh dengan agama Allah, karena sungguh †at Yang Mahakuasa yang akan langsung memberikan perlindungan bagi para wali-Nya.

2. (1) Apabila Allah Ta’ala bersamamu, lantas siapa yang akan berani melawanmu? Siapakah yang mampu memerangi Allah Ta’ala?!

3. (1) Status kewalian bukanlah pengakuan belaka, tetapi ia disertai dengan keimanan, takwa, dan tawakal yang baik kepada Allah Ta’ala. Jika tidak demikian maka betapa banyak orang yang sengsara mengaku sebagai wali Allah Ta’ala!

4. (1) Satu-satunya jalan untuk mencapai status kewalian adalah dengan mengikuti syariat-Nya yang dibawa oleh Rasul-Nya, kalau tidak demikian, maka bangsa Yahudi dan Nasrani mereka pun mengaku sebagai wali-wali Allah dan orang-orang dicintai-Nya, sementara mereka mendustakan Rasul-Nya serta berpaling dari syariat-Nya.

5. (1) Jangan sampai engkau memerangi para wali Allah Ta’ala, sungguh engkau tidak mempunyai kemampuan untuk memerangi Allah Ta’ala.

6. (2) Apabila engkau hendak mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala serta meraih cinta-Nya, maka tunaikanlah apa yang diperintahkan kepadamu, dan berhentilah dari apa yang dilarang oleh-Nya, karena cinta sejati adalah mencintai apa yang dicintai-Nya dan tunduk kepada perintah-Nya.

7. (2) Jangan sampai engkau mengaku cinta, sementara dirimu lalai dalam kesenangan yang memalingkan dari ketaatan kepada †at yang engkau cintai; orang yang mencintai tidak akan tenang kecuali jika ia melakukan apa yang disukai oleh kekasihnya dan rida terhadapnya.

8. (2) Umar bin Abdul Aziz  berkata di dalam khotbahnya, “Ibadah yang paling utama adalah menunaikan ibadah yang wajib dan menjauhi hal-hal yang haram, karena Allah mewajibkan perkara-perkara yang wajib tersebut terhadap hamba-hamba-Nya untuk mendekatkan mereka kepada-Nya dan memberikan kepada mereka rida serta rahmat-Nya.” [5]

9. (3) Dekatkanlah dirimu kepada Allah Ta’ala dengan beragam amalan sunnah dan amalan lain yang dianjurkan. Barang siapa yang menunaikan kewajiban serta menjauhi kemaksiatan, kemudian bergegas menjalankan apa yang dicintai Allah Ta’ala, yang tidak Dia wajibkan, niscaya ia berhak mendapatkan cinta Allah Ta’ala.

10. (3) Janganlah meremehkan amalan-amalan sunnah, karena Allah Ta’ala menyanjung para nabi dan wali-Nya melalui firman-Nya,

“Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Kami.”

(QS. Al-Anbiyā`: 90)

11. (3) Pilihlah untuk dirimu salah satu dari dua kedudukan ini: kedudukan orang-orang yang mencukupkan diri mengerjakan amalan-amalan yang wajib saja dan menjauhi hal-hal yang terlarang; atau kedudukan orang-orang terdepan yang mencapai derajat kewalian dan kecintaan, dengan bersungguh-sungguh dalam menjalankan amalan-amalan sunnah, bersikap warak terhadap perkara yang makruh dan hal-hal yang melalaikan dari ketaatan kepada Allah Ta’ala.

12. (3) Jauhilah prasangka bahwa amalan-amalan sunnah saja tanpa mengerjakan amalan wajib akan bermanfaat bagimu dan dapat mendekatkan diri kepada Tuhanmu. Akan tetapi seseorang harus menjalankan amalan-amalan wajib. Abu Bakar  pernah berkata kepada Umar bin Al-Khaþþab, “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan menerima sebuah amalan sunnah sampai engkau menunaikan amalan wajib.” [6]

13. (4) Kecintaan Allah Ta’ala adalah sesuatu yang paling agung, yang bisa diraih oleh seorang hamba. Dahulu Daud pernah berkata, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu cinta-Mu, dan cinta orang yang mencintai-Mu, dan kecintaan terhadap amalan yang bisa menghantarkanku kepada rasa cinta kepada-Mu. Ya Allah, jadikanlah rasa cinta kepada-Mu sesuatu yang lebih aku cintai daripada diriku, keluargaku, hartaku, dan air yang sejuk.” [7]

14. (4) Apabila hawa nafsumu menguasaimu sehingga sampai melakukan kemaksiatan, maka tambahkanlah kedekatanmu dengan Allah Ta’ala dengan mengerjakan amalan yang wajib dan amalan sunnah, niscaya Dia akan menjaga dirimu dan anggota tubuhmu. Janganlah engkau cenderung melakukan dosa dan janganlah tergoda dengan kemaksiatan.

15. (4) Balasan itu sesuai dengan perbuatan. Apabila engkau sudah menjaga batasan-batasan Allah Ta’ala, memenuhi perintah-Nya, niscaya Dia akan menjaga indramu. Namun bila engkau menyia-nyiakan syariat-Nya, niscaya engkau akan binasa dan Dia akan meninggalkanmu sendiri bersama hawa nafsu.

16. (4) Di antara manfaat yang paling besar dari rasa cinta Allah terhadap hamba-Nya adalah Dia akan memerintahkan segenap makhluk agar menyukainya. Nabi  bersabda, “Sesungguhnya Allah, jika Dia mencintai seorang hamba, maka Dia menyeru kepada Jibril, ‘Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah ia, maka Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru di langit, ‘Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah ia’, sehingga penghuni langit pun mencintainya, dan ia pun dicintai oleh segenap penduduk bumi.’” [8]

17. (5) Apabila engkau ingin doamu dikabulkan, maka lakukanlah faktor-faktor penyebabnya, yaitu penuhilah hak cinta kepada Allah Ta’ala dengan mendekatkan diri kepada-Nya melalui amalan-amalan ketaatan.

18. (5) Jika engkau melihat bahwa doamu masih menggantung, belum kunjung dikabulkan, padahal sudah terus-menerus memohon kepada Rabbmu, maka doronglah doamu dengan menambah amalan ibadah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa engkau belum mencapai kedudukan wali.

19. (5) Barang siapa yang memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala, menjaga diri dengan amalan ketaatan dan ibadah kepada-Nya, niscaya Dia akan melindunginya dari segala mara bahaya dan menepis dari segala keburukan.

20. (5) Allah Ta’ala berfirman, “Ingatlah! Wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.”

(QS. Yúnus: 62)

. Selama Allah Ta’ala bersamanya, lantas apa yang membuatnya sedih dan takut?! Tidakkah engkau mendengar sabda Nabi  kepada sahabatnya Abu Bakar, “Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40)

21. (6) Allah  tidak menyukai bila hamba-Nya yang mukmin tertimpa musibah, lantas bagaimana mungkin seseorang memperlihatkan kepada Tuhannya kemaksiatan yang Dia benci?!

22. (6) Keraguan merupakan sifat kekurangan, tidak layak Allah  disifati semacam ini, hanya saja maksudnya di sini adalah bahwa sesuatu di sisi-Nya mempunyai dua sisi; di satu sisi sudah dikehendaki-Nya namun di sisi lain dibenci-Nya, tanpa disertai kebimbangan sedikit pun, sebagaimana yang dialami manusia yang sedang ragu. Maka jangan sampai kita menyematkan kepada Allah Ta’ala sesuatu yang tidak pantas, yang merupakan sifat-sifat kekurangan.

23. Hadis tersebut berisi penetapan dua sifat Allah : cinta dan benci, maka kita meyakini kedua sifat itu bagi Allah Ta’ala tanpa memikirkan bagaimana bentuknya, atau menakwil, atau meniadakan maknanya.

24. Seorang penyair menuturkan,

Kau bermaksiat kepada Tuhan, tapi kau tampakkan rasa cinta

Ini merupakan analogi yang mustahil dan mengherankan

Sekiranya cintamu tulus, maka kau akan mematuhi-Nya

orang yang mencintai akan tunduk kepada yang ia cintai

Setiap hari kau meraih nikmat dari-Nya Sedangkan dirimu tak tahu berterima kasih

Referensi

1. HR. Ahmad (2669) dan At-Tirmizi (2516).

2. HR. Al-Bukhari (2703) dan Muslim (1675). 

3. Majmú’ Al-Fatāwā karya Ibnu Taimiyah (18/130).

4. HR. Al-Bukhari (6507) dan Muslim (2683).

5. Jāmi’ Al-‘Ulúm wa Al-ôikam karya Ibnu Rajab (2/336).

6. Az-Zuhd karya Hannad bin As-Surri (1/284).

7.  Jāmi’ Al-‘Ulúm wa Al-ôikam karya Ibnu Rajab (2/340).

8.  HR. Al-Bukhari (7485) dan Muslim (2637).




1. Ibnu Mas’ud bertanya kepada Nabi tentang amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala agar beliau dapat memperbanyak melakukannya dan mendahulukannya atas amalan lain. Nabi menjelaskan bahwa amalan yang paling utama adalah shalat pada waktunya. Shalat adalah tiang agama Islam, fondasi hubungan seorang hamba dengan Tuhannya dan rukun Islam yang kedua. Oleh karena itu, melaksanakan shalat pada waktu yang ditetapkan oleh Allah Ta’ala menjadi amalan yang paling dicintai-Nya.

Allah memuji hamba-hamba-Nya yang beriman karena mereka menjaga shalatnya dan melaksanakannya sebagaimana mestinya. Allah berfirman,

“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang yang khusyuk dalam shalatnya. Dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna. Dan orang yang menunaikan zakat. Dan orang yang memelihara kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki. Tetapi barang siapa mencari di balik itu (zina, dan sebagainya), maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan (sungguh beruntung) orang yang memelihara amanat-amanat dan janjinya. Serta orang yang memelihara shalatnya. Mereka itulah orang yang akan mewarisi. (Yakni) yang akan mewarisi (surga) Firdaus. Mereka kekal di dalamnya.”

(QS. Al-Mu`minún: 1-11)

Allah menyebutkan sifat hamba-hamba-Nya yang beriman bahwa mereka khusyuk dalam shalat dan menjaga shalat mereka.

Allah juga mengancam orang yang mengabaikan shalat dan menunda pelaksanaannya hingga habis waktunya,

“Kemudian datanglah setelah mereka, pengganti yang mengabaikan shalat dan mengikuti keinginannya, maka mereka kelak akan tersesat.”

(QS. Maryam: 59)

Para ahli tafsir berkata, “Mereka mengabaikan waktu shalat. Seandainya mereka meninggalkan shalat, maka mereka menjadi kafir.” [1]

2. Selanjutnya Ibnu Mas’ud bertanya mengenai amalan yang paling utama setelah melaksanakan shalat pada waktunya. Nabi  menunjukkan kepadanya yaitu berbakti kepada kedua orang tua. Allah memberikan perhatian lebih kepada kedua orang tua dengan mendampingkan berbakti kepada keduanya dengan ibadah dan tauhid kepada Allah dalam banyak ayat-ayat Al-Qur`an, seperti firman Allah Ta’ala,

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua.”

(QS. An-Nisá`: 36)

Dan firman Allah, “Katakanlah (Muhammad),

“Marilah aku bacakan apa yang diharamkan ini kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepada ibu bapak.”

(QS. Al-An’ám: 151)

Berbakti kepada orang tua berarti berbuat baik kepada mereka, bergaul dengan baik, memberikan nasihat, melayani dan tidak durhaka kepada keduanya.

Allah berfirman,

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.’”

(QS. Al-Isrá`: 33-34)

Rasulullah juga menjelaskan bahwa durhaka kepada kedua orang tua termasuk deretan dosa yang paling besar. Nabi bersabda, “Maukah kalian aku beritahukan tentang dosa yang paling besar?” Nabi mengucapkannya tiga kali. Para sahabat menjawab, “Iya, wahai Rasulullah.” Nabi bersabda, “Menyekutukan Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” Kemudian Nabi duduk, dan sebelumnya beliau bersandar, “Ingatlah juga kesaksian palsu.” Beliau terus-menerus mengulanginya sampai kami berkata, “Andai saja beliau diam (berhenti).” [2]

3. Ibnu Mas’ud kemudian bertanya mengenai amalan yang paling dicintai oleh Allah setelah shalat pada waktunya dan berbakti kepada kedua orang tua. Nabi menjelaskan bahwa amalan itu adalah jihad di jalan Allah Ta’ala. Jihad adalah memerangi orang kafir untuk menegakkan kalimat Allah dan memenangkan syiar Islam dengan jiwa dan harta. Jihad merupakan puncak agama Islam. Dengannya, bendera Islam akan terangkat dan simbol kebenaran akan terusung hingga hari kiamat. Dengannya juga Allah memuliakan kaum Mukminin dan menghinakan musuh-musuh Islam. Allah memuji orang-orang yang berjihad di jalan Allah dalam firman-Nya,

“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah, sehingga mereka membunuh atau terbunuh, (sebagai) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur`an. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung.”

(QS. At-Taubah: 111)

Rasulullah  juga menjelaskan bahwa tidak ada amalan yang menyamai pahala jihad di jalan Allah . Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan bertanya, “Tunjukkan kepadaku amalan yang menyamai jihad!” Nabi menjawab, “Tidak ada.” Nabi menambahkan, “Apakah engkau mampu masuk ke dalam masjidmu untuk shalat tanpa henti dan berpuasa tanpa pernah berbuka, ketika seorang mujahid keluar untuk berjihad?” Laki-laki itu menjawab, “Siapakah orang yang mampu melakukan hal itu?” [3]

4. Setelah itu, Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa beliau mencukupkan diri bertanya tiga amalan tersebut kepada Rasulullah . Seandainya beliau meminta kepada Nabi untuk menambahkannya, pasti Rasulullah akan menambahnya. Beliau berhenti bertanya karena sayang kepada Nabi.


1. (1) Para sahabat antusias untuk memanfaatkan waktu mereka dalam ketaatan, sehingga mereka bertanya kepada Nabi mengenai ibadah yang paling mendekatkan kepada Allah Ta’ala, yang paling disukai-Nya, serta paling banyak pahala dan ganjarannya. Alangkah baiknya setiap muslim meneladan mereka. 

2. (1) Sahabat yang bertanya mengenai amalan yang paling dicintai oleh Allah bukan hanya satu orang. Setiap kali ditanya, Rasulullah menjawab dengan jawaban yang berbeda menyesuaikan kondisi orang yang bertanya. Jawaban beliau sesuai dengan yang paling dibutuhkan dan paling sesuai dengan orang yang bertanya. Maka hendaknya para dai, ulama, dan pendidik memperhatikan kondisi dan karakter orang-orang yang bertanya dalam fatwa dan nasihat.
3. (1) Nabi mengajarkan untuk selalu melakukan shalat pada waktunya. Bahkan ketika terjadi perang Khandaq dan kaum Muslimin dikepung oleh kaum musyrikin, Nabi bersabda, “Semoga Allah memenuhi rumah dan kuburan mereka dengan api. Mereka menyibukkan kita dari shalat Asar hingga matahari tenggelam.” [4]
Nabi menyesal melewatkan shalat Asar walaupun sebenarnya beliau mempunyai uzur yang syar’i dalam masalah ini. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang meninggalkan shalat tanpa alasan syar’i?

4. (1) Ibnu Mas’ud bertanya kepada Nabi beberapa pertanyaan pada satu kesempatan yang sama. Walaupun demikian, Nabi tidak marah dan menggerutu. Maka hendaknya para dai dan ulama selalu bersikap sabar menghadapi masyarakat.

5. (2) Berbakti kepada kedua orang tua termasuk ibadah yang agung di sisi Allah Ta’ala. Barang siapa yang kedua orang tuanya atau salah satu dari mereka masih hidup maka hendaknya ia memaksimalkannya untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dengan berbakti kepadanya.

6. (2) Berbakti kepada kedua orang tua dapat menggugurkan dosa. Dalam hadis dari Ibnu Umar  disebutkan bahwa seorang laki-laki datang kepada Nabi dan bertanya, “Wahai Rasulullah, aku telah melakukan dosa yang besar. Apakah ada tobat untukku?” Nabi bertanya, “Apakah engkau mempunyai ibu?” Ia menjawab, “Tidak.” Nabi bertanya lagi, “Apakah engkau mempunyai bibi?” Ia menjawab, “Iya.” Nabi bersabda, “Berbaktilah kepadanya.” [5]

7. (3) Jihad di jalan Allah Ta’ala adalah amalan dan ibadah yang paling agung, tidak ada amalan apapun yang menyamainya. Nabi pernah ditanya, “Siapakah orang yang paling utama?” Nabi menjawab, “Orang mukmin yang berjihad di jalan Allah dengan jiwa dan hartanya.” [6]

8. (3) Termasuk jihad di jalan Allah Ta’ala mengerahkan tenaga dan harta untuk menyebarkan agama Allah Ta’ala dan menyampaikan dakwah kepada manusia serta melakukan amar makruf nahi munkar.

9. (4) Hendaknya setiap orang merasa sayang kepada para ulama dengan tidak terlalu banyak bertanya kepada mereka. Ini dilakukan agar tidak membebani mereka dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Hendaknya dipilih waktu saat mereka tidak sedang merasa lelah, lemah dan lain sebagainya.

Referensi

  1. Tafsir Ibnu Katsir (5/243).
  2. HR. Al-Bukhari (2654) dan Muslim (87).
  3. HR. Al-Bukhari (2785) dan Muslim (1878).
  4. HR. Al-Bukhari (2931) dan Muslim (627).
  5. HR. At-Tirmizi (1904).
  6. HR. Al-Bukhari (2786) dan Muslim (1888).


1. Nabi menyebutkan balasan bagi siapa yang mau menolong orang lain dalam memenuhi kebutuhan dan meringankan beban mereka. Beliau menyebutkan bahwa barang siapa yang meringankan dan mengatasi kesulitan yang sangat berat yang dialami mukmin lainnya, niscaya Allah akan mengatasi kesulitannya yang sangat  dahsyat kelak hari kiamat, sebagaimana yang dikabarkan oleh-Nya  melalui firman-Nya,

“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu; sungguh, guncangan (hari) Kiamat itu adalah suatu (kejadian) yang sangat besar. (Ingatlah) pada hari ketika kamu melihatnya (guncangan itu), semua perempuan yang menyusui anaknya akan lalai terhadap anak yang disusuinya, dan setiap perempuan yang hamil akan keguguran kandungannya, dan kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, tetapi azab Allah itu sangat keras.”

(QS. Al-ôajj: 1-2)

2. Barang siapa yang memudahkan urusan orang yang berutang dan belum mampu melunasi, dengan menangguhkan temponya sampai ia mampu, menggugurkan semua utangnya atau sebagiannya, atau memberikan sesuatu yang dapat mengatasi kesulitannya, maka pahalanya, Allah Ta’ala akan memudahkan dirinya, sehingga ia tidak akan mengalami kesempitan, dan segala musibah yang ia alami akan dimudahkan Allah, dan di akhirat, Allah Ta’ala akan memudahkan hisabnya, sehingga Allah Ta’ala akan merahmatinya dan mengampuninya. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”

(QS. Al-Baqarah: 280)

Nabi bersabda, “Dahulu ada seorang saudagar yang biasa meminjamkan uang kepada orang-orang, jika ia mendapati ada yang belum mampu melunasi, maka ia akan mengatakan kepada pegawainya, maafkanlah ia; semoga Allah kelak akan memaafkanku, maka Allah pun memaafkannya.” [1]

3. Barang siapa yang menutup aib sesama Muslim, niscaya Allah Ta’ala akan menutup aibnya di dunia. Dia tidak akan membuka aibnya, tidak pula menyingkap auratnya di depan manusia atau memberitahu keburukan dan kemaksiatannya kepada siapa pun. Kelak di akhirat, Dia akan meletakkan tabir dan rahmat-Nya di atas orang tersebut, sehingga tidak akan ada satu makhluk pun yang akan mendengar hisabnya sama sekali, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah mendekati seorang mukmin, lalu Dia letakkan tabir dan rahmat-Nya dan menutupinya, seraya berfirman, ‘Apakah kamu masih ingat dengan dosa ini dan dosa ini?’ Ia menjawab, ‘Iya, benar wahai tuhanku’, sampai akhirnya saat ia mengakui dosa-dosanya, dan ia merasa dirinya akan binasa. Dia berfirman, ‘Aku tutup dosamu di dunia, dan sekarang Aku ampuni dosa-dosamu.’ Lantas ia diberi catatan amal kebaikannya. Sedangkan, orang-orang kafir dan munafik, maka para saksi akan mengatakan, “Orang-orang inilah yang telah berbohong terhadap Tuhan mereka.” Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) kepada orang yang zalim.” (QS. Húd: 18) [2]

Seorang Muslim menutup aib saudara sesama Muslim ada dua macam: menutup auratnya secara fisik, ia memberikannya sesuatu yang bisa ia pakai dan menutup aurat tubuhnya; dan menutup auratnya secara maknawi, yaitu maksiatnya. 

Jika seorang Muslim melihat saudaranya sedang bermaksiat maka ia wajib mengingkarinya serta menasihatinya karena Allah Ta’ala. Kemudian setelah itu, jangan sampai ia mengungkap atau menyebar kemaksiatannya tersebut, bahkan seharusnya ia menutupinya dan mendoakannya agar diberi hidayah. Allah Ta’ala 

berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Núr: 19).

Nabi  bersabda, “Wahai sekalian yang mengaku beriman dengan lisannya namun keimanan belum merasuk ke dalam hatinya, janganlah kalian menggunjing sesama kaum Muslimin, jangan pula mencari-cari kesalahan mereka; karena siapa pun yang mencari-cari kesalahan mereka, niscaya Allah akan cari kesalahannya, dan disingkap meski ia di dalam rumahnya sendiri.” [3]

Para pelaku maksiat ada dua jenis: orang yang tertutupi dan tidak diketahui kemaksiatannya serta tidak terang-terangan melakukannya, maka jenis ini yang harus ditutupi, karena itulah Nabi  berpaling dari penerapan hukuman had atas seorang laki-laki yang mengatakan, “Aku melakukan perbuatan yang layak dihukum had, terapkanlah kepadaku.” Beliau tidak bertanya lebih rinci, bahkan beliau bersabda, “Bukankah kamu shalat bersama kami?” Ia menjawab, “Iya.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosamu -atau beliau bersabda,- “Mengampuni hukuman hadmu.” [4]

Jenis pelaku maksiat kedua: ia melakukannya secara terang-terangan, tidak peduli terhadap dosa yang ia lakukan, maka jenis ini tidak perlu ditutup-tutupi, bahkan perkaranya harus dilaporkan kepada pimpinan setempat agar berhenti dari perbuatan buruknya, sehingga orang yang semisal dirinya akan menjadi jera. [5]

4. Kemudian, Nabi mengabarkan bahwa Allah Ta’ala akan menolong seorang Muslim, selama ia mau menolong sesama Muslim lainnya, ia berusaha untuk membantu saudaranya. Rasulullah bersabda, “Dan barang siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, niscaya Allah akan memenuhi kebutuhannya.” [6] Dan beliau juga bersabda, “Manusia yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain, dan amalan yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau berikan kepada seorang Muslim, mengatasi kesulitannya, atau melunasi utangnya, atau membuatnya kenyang. Dan sungguh, aku berjalan bersama seseorang guna memenuhi kebutuhannya lebih aku sukai daripada beriktikaf di masjid ini -yakni masjid Madinah- selama sebulan… dan barang siapa yang berjalan bersama saudaranya untuk memenuhi kebutuhannya, sampai terpenuhi keperluannya, niscaya Allah akan meneguhkan kedua kakinya kelak pada hari semua kaki akan bergeser.” [7]

Kemudian Nabi berpindah untuk menjelaskan keutamaan seorang penuntut ilmu. Beliau mengabarkan bahwa jika seorang hamba menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Karena ilmu itu akan menumbuhkan perasaan di dalam hati seorang hamba untuk mengagungkan Allah Ta’ala dan kuasa-Nya; dan menjadikannya paham terhadap hukum-hukum syariat terkait yang halal dan haram, lantas ia mengamalkannya sambil berharap ampunan dan rida  dari Allah Ta’ala.

Nabi menggunakan kata ‘jalan’ secara nakirah (bersifat umum), agar maknanya mencakup seluruh jenis jalan fisik, berupa perpindahan dari rumah menuju masjid, sekolah, kampus, Islamic Center, dan lain sebagainya. Begitu juga mencakup makna perjalanan menuntut ilmu untuk menimba ilmu dari para ulama. Kata ‘jalan’ di sini juga bersifat maknawi, yaitu menimba ilmu dengan membaca buku-buku, membaca melalui situs-situs para ulama, serta karya tulis mereka, mempelajari dan mengkaji ilmu dari berbagai sumber, maka semua metode serta jalan tersebut termasuk jalan menuntut ilmu. [8]

Demikian juga, beliau menyebutkan kata ilmu secara nakirah, agar mencakup semua disiplin keilmuan, bukan hanya berlaku pada menuntut ilmu syar’i. Meskipun memang ilmu syar’i adalah yang tertinggi dari sisi kedudukan dan pahalanya. Hal ini supaya kedudukan keilmuan lainnya berada pada urutan di bawahnya entah ilmu itu sedikit atau banyak. Barang siapa yang berjalan pada suatu jalan, ingin menggali suatu hukum pada satu permasalahan, maka ia berhak meraih pahala tersebut. [9]

6. Kemudian beliau memberitahukan tentang keutamaan berkumpul di masjid-masjid untuk membaca Al-Qur`an dan mengkajinya; karena ketenangan akan dirasakan oleh orang-orang yang duduk di situ, mereka akan diliputi rahmat, akan dikelilingi oleh para malaikat dari setiap sudut tempatnya agar terlindung dari godaan setan, dan Allah Sang Maha Pengasih akan menyebut-nyebutnya di hadapan para malaikat. Allah Ta’ala berfirman,

“(Cahaya itu) di rumah-rumah yang di sana telah diperintahkan Allah untuk memuliakan dan menyebut nama-Nya, di sana bertasbih (menyucikan) nama-Nya pada waktu pagi dan petang, orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, melaksanakan salat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat). (Mereka melakukan itu) agar Allah memberi balasan kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan, dan agar Dia menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang Dia kehendaki tanpa batas.”

(QS. An-Núr: 36-38)


7. Lalu beliau menjelaskan bahwa yang menjadi tolok ukur adalah amalan, maka hubungan nasab pada hari kiamat tidak berlaku. Barang siapa yang kadar amalnya sedikit untuk menyelamatkannya dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka hubungan nasabnya tidak akan berguna, meski ia merupakan anak salah seorang nabi. Jika tidak demikian, maka seharusnya ayah Nabi Ibrahim bisa mendapatkannya, atau putra dan istri dari seorang rasul pertama, Nuh pun akan mendapatkan manfaatnya. Demikian pula istri Nabi Luþ , kedua orang tua Nabi  serta paman beliau, Abu Talib juga sama, dan yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

“Apabila sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi pertalian keluarga di antara mereka pada hari itu (Hari Kiamat), dan tidak (pula) mereka saling bertanya. Barang siapa berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa ringan timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahanam. Wajah mereka dibakar api neraka, dan mereka di neraka dalam keadaan muram dengan bibir yang cacat.”

(QS. Al-Mu`minún: 101-104)

 

1. (1) Balasan itu sejalan dengan jenis amalannya, barang siapa yang membantu kesulitan saudaranya, niscaya Allah akan membantunya. Barang siapa yang menyayangi sesama makhluk, niscaya Allah akan menyayanginya. Barang siapa yang mempersulit urusan sesama manusia, kelak Allah akan mempersulitnya. Dan barang siapa yang menutupi aib orang lain, maka aibnya akan ditutup juga. Maka pilihlah untuk dirimu.

 2. (1) Betapa banyak kesulitan yang kelak akan dihadapi pada hari kiamat! menyeberangi sirat, hisab, catatan amal dibentangkan, melewati neraka, dan lain sebagainya. Sungguh kita sangat membutuhkan untuk bisa memberikan kemudahan kepada manusia; semoga kelak Allah akan memudahkan kesulitan kita yang sangat besar! 

3. (2) Mempermudah urusan orang yang berutang termasuk ibadah yang paling utama yang bisa menyelamatkan seseorang pada hari kiamat. Nabi  bersabda, “Barang siapa yang ingin Allah selamatkan dari kesusahan pada hari kiamat, maka mudahkanlah urusan orang yang berutang, atau gugurkanlah utangnya.” [10]

4. (2) Membantu melunasi utang atau menggugurkan utang seseorang yang sedang dalam kesulitan ekonomi termasuk penyebab diampuninya dosa-dosa. Nabi bersabda, “Ada seorang laki-laki dari umat terdahulu sebelum kalian sedang dihisab, ia tidak memiliki kebaikan apa-apa, hanya saja ia kerap berinteraksi dengan manusia, dan ia sosok yang kaya raya, dan ia biasa memerintahkan para pegawainya agar memaafkan orang yang belum bisa melunasi utangnya.” Beliau melanjutkan, “Allah berfirman, ‘Kami lebih berhak darinya atas perbuatan tersebut, maafkanlah ia.’” [11]

5. (3) Jagalah lisan dan pandanganmu dari aib dan aurat orang lain, niscaya Allah Ta’ala akan menjaga auratmu, sehingga tidak ada seorang pun yang akan menodainya.

6. (3) Sebagian salaf menuturkan, “Aku pernah mendapati suatu kaum yang tidak memiliki aib, lantas mereka menceritakan aib orang lain, lantas orang-orang pun menyebutkan aib mereka. Dan aku pernah mendapati suatu kaum yang mempunyai aib, lantas mereka tidak pernah menghiraukan aib orang lain, sehingga aib mereka pun terlupakan.” 

7. (3) Seseorang harus menutupi aib sesama kaum Muslimin yang tidak dikenal sebagai pelaku maksiat, dan ini setelah menasihati mereka serta mengingkarinya dengan cara terbaik. Ada beberapa menteri yang saleh berkata kepada beberapa orang yang bertugas memerintahkan kebaikan, “Berusahalah untuk menutupi identitas pelaku maksiat, karena tersebarnya kemaksiatan mereka merupakan aib bagi kaum Muslimin, dan yang terbaik adalah menutup aib mereka.” [12]

8. (3) Apabila ada seorang Muslim yang terus-menerus melakukan kemaksiatan, sampai pada kondisi tidak peduli dengan sekitarnya, maka tidak boleh menutupi aibnya, bahkan ia harus dilaporkan kepada pihak berwenang agar dijatuhi hukuman, sehingga manusia akan selamat dari kejahatannya, dan akan membuat jera orang-orang yang semisalnya.

9. (3) Apabila manusia butuh untuk menyingkap kejahatan beberapa pelaku maksiat yang tidak melakukan maksiat dengan terang-terangan, maka ini dibolehkan, sebagai contoh, pelaku maksiat tersebut sebagai saksi dalam suatu perkara atau orang yang dipercaya atas sebuah wakaf, atau yang alasan lainnya yang serupa. 

10. (3) Seorang penyair menuturkan, 

Jika engkau ingin hidup dan agamamu selamat

Jika engkau ingin hidup dan agamamu selamat

Hidup sejahtera dan kehormatanmu terjaga

Lisanmu tidak menyebut-nyebut aib orang lain

Dirimu punya banyak aib, dan orang-orang punya lisan

Jika ada aib suatu kaum terlihat di depanmu

Ucapkanlah, ‘Wahai mata, mereka juga punya mata’

Bergaul dengan baik dan hindari orang yang semena-mena

Dan tinggalkan, namun dengan cara yang terbaik

11. (4) Nabi senang memenuhi keperluan orang lain, dan beliau pernah bersabda, “Barang siapa yang mampu memberi manfaat bagi saudaranya, maka lakukanlah.” [13] Suatu ketika ada anak kecil perempuan menarik tangan beliau mengajak ke mana pun ia kehendaki. [14] Para sahabat pun mengikuti langkah beliau. Sebagai contoh: Abu Bakar , beliau menginfakkan hartanya di jalan Allah ; Umar bin Al-Khaþþab memenuhi kebutuhan pangan para janda di malam hari; dan Ušman bin Affan membeli sumur Rumah dan mewakafkannya untuk kaum Muslimin. Maka bagi siapa pun yang ingin meneladan seseorang, maka Nabi dan para sahabatlah teladannya. 

12. (4) Al-Hasan Al-Baÿri mengutus beberapa orang kawannya untuk memenuhi kebutuhan seorang laki-laki, beliau berkata kepada mereka, “Perintahkan Šabit Al-Bunani, agar ikut bersama kalian.’ Mereka mendatangi Šabit, dan ia berkata, ‘Aku sedang beriktikaf.’ Mereka pun kembali kepada Al-Hasan dan memberitahukan hasilnya, lantas Al-Hasan berkata, ‘Katakan kepadanya, wahai A’masy (orang yang penglihatannya lemah), tahukah engkau bahwa aktivitasmu berjalan guna memenuhi kebutuhan saudaramu sesama Muslim, itu lebih baik daripada dua kali ibadah haji?! Lantas mereka kembali ke Šabit, dan ia pun meninggalkan iktikafnya, seraya pergi bersama mereka.

13. (5) Nabi memberikan perhatian untuk mempermudah seorang penuntut ilmu masuk surga. Barang siapa yang ingin masuk ke dalam surga, maka tempuhlah jalan para ulama. 

14. (6) Allah akan memberikan pahala kepada orang-orang yang berkumpul di rumah-Nya untuk berzikir; ketenangan turun kepada mereka, dikelilingi para malaikat, diliputi rahmat, dan disebut-sebut oleh Allah Ta’ala di sisi-Nya. Apakah ada pahala yang lebih besar daripada ini?! 

15. (6) Bayangkan dirimu disebut-sebut oleh Tuhanmu dengan nama dan sifatmu, dan dibanggakan di hadapan para malaikat-Nya, seraya berfirman, “Hamba-Ku bernama Fulan berzikir kepada-Ku.” Ini merupakan keutamaan yang luar biasa dan kedudukan yang mulia sebagai balasan atas amalan yang ringan yang bisa dilakukan oleh setiap Muslim. 

16. Seorang penyair menuturkan, Jika ilmumu tidak menjadikanmu baik Maka lebih baik, seandainya dirimu bodoh Jika pemahamanmu menjerumuskanmu ke dalam jurang Sekiranya dirimu dan sekiranya dirimu tidak memahaminya Engkau akan petik kebodohan dari buah kemalasan Dan saat menua engkau akan dipandang remeh 

17. (7) Jauhilah prasangka bahwa hubungan nasabmu kelak bermanfaat di akhirat, karena pilihannya hanya antara beramal baik, engkau akan selamat; atau beramal buruk, engkau akan binasa. Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala yang diturunkan-Nya,

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat.”

(QS. Asy-Syu’ara`: 214)

. Nabi berdiri seraya bersabda, “Wahai sekalian kaum Quraisy, tebuslah diri kalian, sungguh aku tidak bisa memberikan manfaat apa-apa kepada kalian di sisi Allah. Wahai Bani Abdu Manaf aku tidak mampu memberi manfaat apa pun bagi kalian di sisi Allah. Wahai Abbas bin Abdul Muþþalib aku tidak bisa memberikan manfaat apa-apa untukmu di sisi Allah. Wahai Ÿafiyah bibi Rasulullah, aku tidak bisa membantumu sama sekali di sisi Allah. Wahai Fatimah binti Muhammad, minta apa saja kepadaku sekehendakmu dari hartaku, karena sungguh aku sama sekali tidak bisa memberi manfaat apa-apa kepadamu di sisi Allah.” [15]

18.Seorang penyair menuturkan,

Demi Allah, manusia mulia karena agamanya

Jangan kau tinggalkan takwa karena bersandar pada nasab

Islam telah mengangkat derajat Salman orang Persia

Kesyirikan menjadikan Abu Lahab dalam kesengsaraan 


Referensi

1. HR. Al-Bukhari (2078) dan Muslim (1562).

2. HR. Al-Bukhari (2441) dan Muslim (2768).

3. HR. Ahmad (20014) dan Abu Daud (4880).

4. HR. Al-Bukhari (6823) dan Muslim (2764).

5. Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab (2/291-293).

6. HR. Al-Bukhari (2442) dan Muslim (2580).

7. HR. Aþ-±abarání di dalam Al-Mu’jam Al-Ausaþ (6026).

8. Syarñ Riyáð Aÿ-Ÿáliñín karya Ibnu Ušaimin (5/433-434).

9. Fatñ Al-Bári karya Ibnu ôajar (1/160).

10. HR. Muslim (1563). 

11. HR. Muslim (1561).

12. Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab (2/291-293).

13. HR. Muslim (2199). 

14. HR. Al-Bukhari (6072).

15. HR. Al-Bukhari (2753) dan Muslim (204).



1. Nabi  menyebutkan bahwa taharah yang maknanya secara umum yaitu membersihkan diri, di antaranya: wudu untuk shalat dan saat hendak menunaikan ibadah-ibadah lainnya, setara dengan separuh keimanan. Dengan demikian seorang mukmin diperintahkan untuk membersihkan dirinya baik lahir maupun batin, sehingga kebersihan lahir merupakan separuhnya. Bisa juga yang dimaksud iman di sini adalah shalat, seperti di dalam firman Allah Ta’ala,

“Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu.”

(QS. Al-Baqarah: 143)

yakni shalat kalian, dan wudu statusnya separuh dari shalat, karena ia merupakan syarat sahnya, tidak akan sah jika tanpanya. Taharah termasuk ibadah yang terbesar dan cara mendekatkan diri yang paling mulia, yang dikerjakan oleh seorang hamba guna mendekatkan diri kepada Tuhannya. Allah berfirman,

“Sungguh, Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang yang menyucikan diri.”

(QS. Al-Baqarah: 222)

Ini menjadi dalil bahwa amalan fisik termasuk kategori iman. Iman bisa bertambah melalui ketaatan serta dapat berkurang lantaran kemaksiatan. 

2. Nabi  mengabarkan bahwa ucapan seorang hamba ‘Alñamdulillāh’ bisa memenuhi timbangan seorang hamba kelak di hari kiamat, karena saking besarnya pahala. Dan kata Alñamdu maknanya sanjungan kepada Allah Ta’ala. Dan timbangan di sini adalah sesuatu yang Allah Ta’ala siapkan untuk menimbang amalan para hamba pada hari kiamat, ia memiliki dua sisi, amalan kebaikan seorang hamba diletakkan pada salah satu sisi dan amalan keburukan diletakkan di sisi yang lain. Jika sisi amalan kebaikan lebih berat, maka ia termasuk orang-orang yang beruntung. Jika sebaliknya, maka termasuk gagal dan merugi. Allah  berfirman,

“Timbangan pada hari itu (menjadi ukuran) kebenaran. Maka barang siapa berat timbangan (kebaikan)nya, mereka itulah orang-orang yang beruntung dan barang siapa yang ringan timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang yang telah merugikan dirinya sendiri, karena mereka mengingkari ayat-ayat Kami.”

(QS. Al-A’rāf: 8-9)

 3. Seorang hamba yang mengucapkan, “Subñānallāh walñamdulillāh”, tasbih adalah menyucikan Allah Ta’ala dari segala kekurangan dan aib, maka ia berhak mendapatkan pahala yang besar, sampai-sampai jika pahala tersebut dapat terlihat, niscaya akan memenuhi antara langit dan bumi. Apabila ucapan, “Alñamdulillāh” pahalanya mampu memenuhi timbangan, dan jika seorang hamba menambahnya dengan ucapan, “Subñānallāh”, maka pahala kedua ucapan tersebut akan melampau batas, sampai memenuhi antara langit dan bumi, hal itu dikarenakan ia telah memuji Tuhannya dengan pujian yang memang Dia layak menyandangnya, dan menyucikan-Nya dari segala jenis aib dan kekurangan. [1]

Tuhannya dengan pujian yang memang Dia layak menyandangnya, dan menyucikan-Nya dari segala jenis aib dan kekurangan. 4. Kemudian beliau  mengabarkan, bahwa shalat adalah cahaya, yang akan menjadi petunjuk bagi seorang hamba menuju kebenaran, sehingga hati orang yang menjaga shalatnya akan dipenuhi cahaya hikmah, hidayah, dan makrifat (mengenal Allah). Sungguh tidak akan menyatu antara shalat dan perbuatan keji sampai kapan pun. Allah berfirman,

“Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.”

(QS. Al-Ankabút: 45) 

5. Sedekah merupakan bukti ketulusan iman seorang hamba, karena fitrah manusia itu menyukai harta. Jika ia bermurah hati maka ia akan mendermakannya, dan ini menjadi salah satu bukti keimanan dan ketulusannya. Sedekah juga merupakan bukti dan hujah baginya kelak di hadapan Tuhannya pada hari kiamat, manakala ia ditanya mengenai hartanya, ke manakah ia belanjakan? [2]

6. Kesabaran, dengan segala jenisnya: sabar dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala, sabar untuk meninggalkan maksiat kepada-Nya , dan sabar terhadap takdir-takdir-Nya, adalah sinar yang mampu menerangi seorang hamba saat menyusuri jalan kebenaran. 

7. Al-Qur`an kelak akan menjadi pembelamu yang akan bermanfaat bagimu di hari kiamat di hadapan Allah Ta’ala; engkau membacanya, meyakininya, dan mengambil faedah di dalamnya, atau justru menjadi penuntutmu, tatkala engkau berpaling darinya serta enggan mengamalkannya.

8. Kemudian Nabi menutup perkataannya, bahwa segenap manusia sedang berjalan berusaha memenuhi keperluan masing-masing, –dan beliau menyebutkan kata al-guduw artinya berjalan di pagi hari yang biasanya manusia bersegera mencari rezeki mereka-, baik usaha tersebut sesuai dengan syariat, berarti ia telah menjual jiwanya kepada Allah Ta’ala, dan Dia-lah yang akan membebaskan serta menyelamatkannya dari azab Allah Ta’ala. Dia berfirman,

“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” ;

(QS. At-Taubah: 111)

atau usaha tersebut sesuai dengan hawa nafsunya yang menyelisihi perintah Allah, maka ia telah menjual jiwanya kepada setan, ia pun membinasakannya dan patut mendapatkan azab.


1. (1) Bersemangatlah untuk menjaga kesucian lahirmu, pakaian dan tubuhmu, dan semangat pula untuk menyucikan batinmu, dari kemunafikan dan kemaksiatan, karena kesucian separuh dari keimanan. 


2. (1) Kesucian termasuk pintu masuk paling penting untuk meraih kecintaan Allah Ta’ala kepada seorang hamba, manfaatkanlah jalan tersebut guna meraih rida-Nya. 

3. (2) Ucapan “Alñamdulillāh” merupakan sebuah rangkaian kata yang ringan di lisan, dan seorang Muslim tidak memerlukan tenaga ekstra untuk mengulang-ulanginya, dan ia memiliki nilai pahala yang sangat besar, tidak ada yang mampu mengetahui seberapa besarnya kecuali Allah Ta’ala. Maka jangan sampai engkau tidak merutinkan zikir ini. 

4. (2) Allah  menjadikan pahala yang besar atas sebuah amalan yang ringan, untuk mempermudah hamba-hamba-Nya dan sebagai bentuk kasih sayang kepada mereka. Karena Dia  adalah Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha Lembut. 

5. (2) Timbangan itu benar-benar nyata, disebutkan di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, maka seorang mukmin harus meyakininya.

 6. (3) Jagalah lisanmu agar tetap basah dengan mengucapkan, “Subñānallāh walñamdulillāh,” sebab pahalanya sangat besar. 

7. (4) Jagalah shalat, karena shalat adalah cahaya bagi seorang mukmin yang tersemat di dalam hatinya, mengarahkannya kepada yang benar dan menyingkap kesesatan. 

8. (4) Dirikanlah shalat tepat waktu, karena shalat adalah cahaya yang akan menyinari kuburan seorang hamba, sehingga di hari yang mengerikan tersebut ia akan merasa tenang. 

9. (4) Jangan sampai engkau meninggalkan shalat, karena dengan shalat, Nabimu  akan mengenalimu pada hari hisab. Cahaya akan terpancar dari tubuhmu, lantas beliau akan memanggilmu untuk datang ke telaganya dan memberikan syafaat kepadamu. Beliau  bersabda, “Sesungguhnya umatku akan dipanggil pada hari kiamat dalam kondisi wajahnya bersinar lantaran bekas wudu.” [3]

10. (4) Manusia yang paling kuat pancaran cahayanya ialah manusia yang paling kuat menjaga shalatnya, menunaikan syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, wajib-wajibnya, dan sunnah-sunnahnya. 

11. (5) Lihatlah dirimu, jika engkau dapati bahwa dirimu berjiwa baik, dengan berinfak di jalan Allah Ta’ala, maka tenanglah, dan ketahuilah bahwa itu bukti keimananmu. Jika tidak demikian, maka bersungguh-sungguhlah untuk melawan hawa nafsumu dan setan. 

12. (5) Ketahuilah, sungguh kelak engkau akan ditanya pada hari hisab tentang hartamu, bersumber dari mana dan digunakan untuk apa? Jika engkau menggunakan apa yang Allah berikan itu di dalam perkara-perkara yang diridai-Nya, maka kelak ia akan menjadi pembelamu saat ditanya. 

13. (6) Kesabaran terasa berat dan membebani, hanya saja ia menghasilkan cahaya sehingga mampu menyinari jalan orang yang bimbang, melembutkan orang yang gusar, dan meredam yang sedang terluka. 

14. (6) Seorang penyair menuturkan, Kesabaran seperti namanya, rasanya pahit Tetapi kesudahannya lebih manis daripada madu

15. (7) Jadikanlah Al-Qur`an sebagai pembelamu, segeralah untuk membacanya, menadaburi makna-maknanya, dan mengamalkan hukum-hukumnya. Sungguh, kelak itu semua akan menjadi syafaat bagi manusia pada hari kiamat. Nanti dia (Al-Qur`an) akan berkata, ‘Aku menahannya untuk tidur malam, maka izinkan aku untuk memberinya syafaat.” [4]

 16. (7) Tidak ada seorang pun yang berhak untuk mendapatkan kehinaan dan siksaan yang lebih besar, melebihi seseorang yang Allah berikan kepadanya hafal Al-Qur`an dan menjadikan paham terhadapnya, namun kemudian malah ia mundur ke belakang dan berpaling, tidak mengamalkan apa yang ada di dalamnya. 

17. (8) Manakah golongan yang engkau pilih: golongan yang membebaskan jiwanya dengan cara mengikuti syariat ataukah golongan yang binasa lantaran mengikuti hawa nafsu?! 

18. (8) Wahai sosok yang pasti menjual jiwanya, pilihlah tawaran yang terbaik: engkau itu menjualnya dengan kebinasaan dan siksaan, atau menjualnya untuk meraih surga dan keridaan Allah Ta’ala.

19. Seorang penyair menuturkan,

Bacalah kitabullah dan pahamilah hukumnya

 Niscaya kau akan tahu karunia Allah adalah yang terbaik

 Firman-Nya ditujukan kepada setiap pemilik akal sehat

Dia adalah cahaya dengan sinar dari Rabb 

Ia menunjukkan kebaikan yang menyeluruh dan sungguh

Hati akan merasa aman dan tubuh pun tenteram 

Al-Qur`an diturunkan oleh Tuhan Yang Maha Menjaga 

Guna mengajarkan manusia dengan penjelasan terbaik

Referensi

1. Lihat: Al-Mufhim Limā Asykala min Talkhiÿ Kitab Muslim karya Abu Al-Abbas Al-Qurþubi (3/102). 

2.Lihat: Dalíl Al-Fāliñín li ±uruq Riyað Aÿ-Ÿāliñín karya Ibnu ‘Allān (1/150).

3. HR. Al-Bukhari (136) dan Muslim (246).

4. HR. Ahmad (6626).


1. Nabi mengabarkan tentang tujuh golongan dari kalangan Mukminin, mereka berhak mendapatkan naungan Allah Ta’ala pada hari kiamat, pada waktu yang tidak ada naungan atau apa pun yang bisa melindungi seorang hamba dari panas matahari yang berada dekat dengan kepala seluruh makhluk.

Bukan berarti mereka benar-benar di bawah naungan †at Sang Maha Pengasih, karena hal itu berarti bahwa matahari berada di atas †at Tuhan seluruh alam, dan ini batil. Akan tetapi maksudnya, bahwa Allah Ta’ala menciptakan sesuatu untuk menaungi mereka. Atau, mereka mendapatkan rahmat-Nya, keamanan-Nya, dan perlindungan-Nya, sehingga menyandarkan kata naungan kepada-Nya  atau Arasy-Nya sebagai penyandaran, bertujuan sebagai pemuliaan, penghormatan, dan menunjukkan kedekatan. [1]

Namun hadis ini bukan berati membatasi golongan yang berhak mendapatkan naungan Allah hanya mereka saja, karena disebutkan dalam banyak hadis yang menyebutkan bahwa selain tujuh golongan tersebut juga mendapatkan naungan dari Sang Maha Pengasih, seperti sabda beliau , “Barang siapa yang menangguhkan tempo utang seseorang atau menggugurkannya, niscaya Allah akan menaunginya dengan naungan-Nya.” [2] Sehingga maksudnya di sini, penyebutan sebagian dari mereka, bukan untuk membatasi.

2. Golongan pertama, pemimpin yang adil. Dia adalah sosok yang berlaku adil dalam urusan rakyat yang ia pimpin, termasuk juga pemerintah beserta para wakilnya, baik di tingkat daerah ataupun kota, dalam skala kecil atau besar, bahkan termasuk juga seorang hakim yang memutuskan perkara dengan adil antara dua orang yang sedang bersengketa. Demikian juga, kepala keluarga yang memperhatikan keluarganya dengan baik serta bersikap adil terhadap mereka. Beliau memulai dengan menyebutkan sosok pemimpin yang adil, karena lebih layak untuk disebut pertama kali, sebab ia merupakan manusia paling dekat dengan Allah kelak pada hari kiamat. Nabi bersabda, “Sesungguhnya orang-orang yang adil berada di sisi Allah di atas mimbar-mimbar dari cahaya, di sebelah kanan †at Sang Maha Pengasih, dan kedua tangan-Nya kanan, mereka orang-orang yang telah berlaku adil ketika memutuskan perkara, dalam keluarga, dan siapa pun yang mereka pimpin.”[3]  Hal itu merupakan balasan atas perbuatannya melawan hawa nafsu, dan kesabarannya terhadap bujuk rayu hawa nafsunya, ketamakannya, dan kemarahannya, yang sebenarnya ia mampu melampiaskan itu semua, karena sesungguhnya pemimpin yang adil itu dibujuk oleh rayuan duniawi untuk memenuhi semua keinginannya, namun ia berkata, “Aku takut kepada Allah Rabb seluruh alam.” Dan ini merupakan makhluk yang paling bermanfaat bagi hamba-hamba Allah, karena jika dirinya baik, maka rakyatnya pun akan menjadi baik semua.[4] 

3. Golongan kedua, sosok pemuda yang tumbuh dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala. Dikhususkan pemuda di sini, lantaran masa muda merupakan masa yang paling rawan untuk terjerumus ke dalam syahwat dan maksiat. Pemuda kerap terlena dengan fisiknya yang masih kuat, sehat, dan bentuk postur, semua ini bisa mendorong jiwa untuk memenuhi hawa nafsu duniawi dan kenikmatan-kenikmatan yang terlarang. [5] Lain halnya dengan orang yang sudah renta; ia melihat pada dirinya tanda-tanda penuaan dan fisik yang lemah, serta dekatnya maut, yang lebih mendekatkan dirinya untuk beribadah dan menjauhkannya dari kemaksiatan. Apabila seorang pemuda, dengan potensi yang cukup besar tadi, namun ia justru mengalihkan potensi tersebut pada ketaatan kepada Allah Ta’ala, karena rasa takut kepada-Nya, maka ia berhak meraih derajat tersebut. Karenanya, Nabi  bersabda, “Sesungguhnya Allah sangat takjub terhadap seorang pemuda yang tidak cenderung untuk bermaksiat.” [6]

4. Golongan ketiga, laki-laki yang hatinya selalu terpaut dengan rumah-rumah Allah Ta’ala, ia tidak keluar darinya melainkan dalam kondisi kurang senang. Ketika keluar darinya, maka kerinduannya kepada rumah-rumah Allah lebih panas dibandingkan dengan bara api. Ini akan dirasakan oleh seseorang yang bisa mengendalikan jiwanya dan mengarahkannya pada ketaatan kepada Allah, dan jiwanya pun tunduk kepadanya. Karena sesungguhnya, biasanya jiwa mengajak untuk suka pada tempat-tempat hawa nafsu dan permainan, entah itu yang mubah atau pun yang haram, serta tempat-tempat perdagangan dan yang menghasilkan uang. Seseorang tidak ada yang bisa membatasi jiwanya hanya pada tempat-tempat ibadah, kecuali orang yang mampu melawan hawa nafsunya, dan lebih mengedepankan cinta kepada Tuhannya.[7]

Golongan keempat, orang-orang yang saling mencintai karena Allah Ta’ala. Yang menyatukan mereka bukanlah kepentingan tertentu atau kesepakatan terhadap suatu kemaksiatan atau karena satu nasab, atau besan, atau komunitas kesukuan. Akan tetapi mereka berkumpul dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala, mereka saling menyayangi, mencintai, dan menjalin hubungan persaudaraan karena Allah . Mereka tidak bertindak karena sekadar suka atau benci, kecuali atas dasar wala dan bara` (loyal terhadap kaum Muslimin dan berlepas diri dari orang kafir). Siapa yang mencintai Allah Ta’ala, maka mereka mencintai orang tersebut, dan barang siapa yang membenci Allah Ta’ala dan memusuhi agama-Nya, maka mereka pun membenci dan berlepas diri dari orang tersebut meskipun dia termasuk kerabat dekat. Allah berfirman,

“Engkau (Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat; saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau keluarganya.”

(QS. Al-Mujádilah: 22)

5.. Kemudian, laki-laki yang dirayu oleh seorang wanita cantik, memiliki nasab mulia, status sosial yang tinggi, dan kaya untu berzina dengannya, lalu ia ingat kepada Rabbnya seraya berkata, “Aku takut kepada Allah,” lalu ia meninggalkannya. Nabi menyebutkan secara khusus wanita yang berparas cantik, memiliki status sosial yang terhormat, karena jika berkumpul padanya kecantikan, kehormatan, dan kedudukan tinggi, maka perkaranya menjadi lengkap dan kuat. Jika dengan kondisi yang sedemikian bagusnya, namun ternyata dia yang meminta dan mengajak untuk bersama dirinya, maka perkaranya lebih besar dan besar lagi; ia tidak perlu lagi merayunya. Sehingga ketika pemuda tadi menolaknya dengan itu semua, maka itu menunjukkan bahwa ia lebih mengedepankan takut kepada Allah 

daripada menuruti hawa nafsunya, dan pelakunya termasuk di dalam firman-Nya Ta’ala,

“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya.”.

(QS. An-Názi’át: 40)

Ini sebagaimana yang dialami oleh Yusuf [8].

6. Kemudian laki-laki yang berinfak di jalan Allah Ta’ala, lalu ia menyembunyikannya dari seluruh manusia -baik itu kerabat atau orang asing-. Beliau menggambarkan perbuatannya tersebut karena saking tersembunyi amalnya itu, yaitu ia menyembunyikan infak yang dilakukan oleh tangan kanannya dari tangan kirinya. Dianjurkan berinfak secara sembunyi-sembunyi karena hal itu bisa lebih ikhlas dan jauh dari sikap ria, karena itulah Allah  berfirman,

“Jika kamu menampakkan sedekah-sedekahmu, maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu.”

(QS. Al-Baqarah: 271)

. Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang dimaksud di sini adalah sedekah yang sifatnya sunnah. Adapun sedekah yang wajib yaitu zakat-zakat dan yang semisalnya yang statusnya wajib, maka harus ditampakkan untuk menunjukkan hukum-hukum syariat dan menunjukkan bahwa orang-orang pun mengamalkannya.[9] Dan golongan ketujuh, laki-laki yang berzikir kepada Allah Ta’ala dalam kesendiriannya, jauh dari pandangan serta pendengaran manusia. Lantas ia merasa diawasi oleh-Nya, mengingat azab-Nya, dan surga yang dijanjikan bagi orang-orang yang bertakwa, lalu kedua matanya pun meneteskan air karena takut dan cinta kepada Allah. Dan disebutkan secara khusus kesendirian di sini, sebab kondisi tersebut lebih jauh dari kata ria dan ingin didengar orang lain, dan lebih dekat untuk ikhlas, cinta dan takut yang tulus.


1. (1) Semangatlah untuk berhias dengan semua sifat yang tersebut di atas atau dengan sebagian besarnya, agar engkau mendapatkan rasa aman yang lebih dari azab Allah Ta’ala.

2. (1) Renungkanlah sifat-sifat setiap golongan tersebut; engkau dapati bahwa mereka mempunyai amalan yang berbeda-beda bentuknya, namun memiliki satu makna, yaitu mereka sama-sama melawan dan menyelisihi hawa nafsunya. Upaya yang pertama kali untuk meraih hal itu membutuhkan kesungguhan yang besar melawan hawa nafsu dan sabar menahan diri dari hal-hal yang bisa mengajak kepada syahwat, murka, atau ambisi. Menghadapi hal itu akan terasa sangat berat bagi jiwa dan akan merasa sangat sakit, karena hati bisa saja terbakar oleh panasnya api syahwat atau kemarahan ketika bergejolak apabila tidak segera dipadamkan dengan melampiaskannya. Sehingga sudah barang tentu bahwa balasan atas kesabaran terhadap hal itu, yaitu ketika manusia berada di tempat pemberhentian dengan kondisi panas yang sangat menyengat, manusia tidak mempunyai naungan yang bisa menaungi dan melindungi mereka dari panasnya matahari kala itu, maka ketujuh golongan tersebut berada di bawah naungan Allah . Mereka tidak merasakan panas yang menyakitkan pada masa penantian itu, sebagai balasan atas kesabaran mereka terhadap panasnya api syahwat atau kemarahan di dunia.[10]

3. (1) Setiap dai, pengasuh, dan orang alim hendaknya menggunakan berbagai metode dalam mengkhususkan makna-makna yang ingin disampaikan kepada khalayak manusia, karena jika di awal ia mendengar angka, maka akan timbul semangat untuk mengetahui apa yang disebutkan dalam bilangan tersebut dan ingin menghafalnya.

4. (2) Jangan sampai engkau terlena dengan kekuasaan dan kedudukanmu. Jangan sampai hal tersebut menjerumuskanmu ke dalam kezaliman terhadap orang lain, karena kezaliman merupakan kegelapan kelak pada hari kiamat.

5. (2) Apabila engkau mengampu sebuah jabatan, maka bersikap adillah terhadap manusia, jangan sampai menzalimi mereka, sebab manusia pertama yang mendapatkan rasa aman dari panasnya matahari dan azab neraka pada hari kiamat adalah pemimpin yang adil.

6. (3) Wahai pemuda, inilah kesempatanmu untuk mendapatkan naungan Allah Ta’ala nantinya pada hari yang penuh dengan kengerian, maka tekunlah dalam menjalankan ketaatan dan jauhilah segala bentuk kemaksiatan.

7. (3) Sesungguhnya Allah Ta’ala memuji para penghuni gua (Ashabul Kahfi) karena mereka para pemuda, meskipun demikian, mereka memutuskan diri dari dunia, syahwat, dan kenikmatan-kenikmatannya menuju peribadatan kepada Allah Ta’ala semata. Allah berfirman,

Sesungguhnya mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambahkan petunjuk kepada mereka.”

(QS. Al-Kahfi: 13)

8. (4) Seorang mukmin saat berada di masjid, bak seekor ikan di dalam air, sedangkan seorang munafik saat berada di masjid, bak seekor burung di dalam sangkar. [11]  Maka lihatlah, termasuk yang manakah dirimu!

9. (4) Sebagaimana ribuan penduduk dunia merindukan rumah yang mereka berkumpul di dalamnya, dan merasa senang di rumah-rumah tersebut bersama saudara-saudaranya; begitu pula kaum Mukminin, hati mereka terpaut dengan masjid. Di sana mereka akan mengenal saudara mereka seiman. Masjid adalah salah satu tempat di muka bumi ini yang disandarkan namanya kepada Allah, karena masjid merupakan rumah-rumah-Nya. [12]Maka jadilah bagian dari kaum Mukminin yang rindu kepada rumah-rumah Allah Ta’ala, dan hatinya terpaut dengannya.

10. (5) Cinta dan benci karena Allah termasuk tanda keimanan. Maka semangatlah untuk selalu memiliki sifat tersebut.

11. (5) Nabi mengabarkan bahwa seorang laki-laki mengunjungi saudaranya di sebuah kampung, lantas Allah mengutus malaikat untuk mengawasi jalannya. Ketika malaikat itu mendatanginya, ia bertanya, “Ke mana engkau akan pergi?’ Ia menjawab, ‘Aku ingin menemui saudaraku di kampung ini.’ Malaikat berkata, ‘Apakah engkau menginginkan harta darinya? Ia menjawab, ‘Tidak, aku mencintainya hanya karena Allah.’ Malaikat berkata, ‘Sesungguhnya aku adalah utusan yang diutus oleh Allah kepadamu, untuk menyampaikan bahwa Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu itu karena Allah.’”[13]

12. (5) Seorang ulama salaf mengatakan, “Apabila engkau memiliki saudara yang engkau cintai karena Allah, lalu ia membuat suatu bidah, namun engkau tidak membencinya karena Allah, maka cintamu bukan karena Allah.”[14]

13. (6) Jika engkau menahan hawa nafsu karena mengharap rida Allah Ta’ala, takut terhadap murka dan siksa-Nya, niscaya Allah Ta’ala akan mengganti kenikmatan yang terluput darimu dengan kenikmatan di surga dan selamat dari azab neraka.

14. (7) Semangatlah untuk bersedekah secara sembunyi-sembunyi, karena ia mampu memadamkan murka Rabb.

15. (7) Apabila engkau bersedekah secara terang-terangan akan diikuti oleh banyak orang, maka lakukanlah secara terang-terangan dan hadirkanlah di dalam hati rasa ikhlas karena Allah Ta’ala, meskipun sedekah sunnah. Adapun jika engkau khawatir merusak keikhlasan, maka sedekah secara sembunyi-sembunyi lebih utama.

16. (8) Syarat menyendiri saat berzikir merupakan anjuran dan motivasi agar seseorang mengkhususkan waktu untuk menyendiri menyesali dosa-dosanya, bergegas kembali kepada Allah Ta’ala dengan ikhlas dari hatinya, dan tunduk kepada-Nya, berharap ampunan-Nya. Karena sungguh Dia mengabulkan doa orang dalam kondisi terdesak. Janganlah seseorang menjadikan seluruh waktu kesendiriannya dalam kenikmatan, seperti perilaku hewan yang aman dari hisab tentang pertanyaan yang detail di hadapan seluruh makhluk. Seyogianya siapa pun yang tidak merasa aman akan hal itu, sebaiknya berlama-lama dalam kesendiriannya dengan menangis, mengadukan keluhannya melalui hatinya, dan menjadikan dunia sebagai penjara baginya lantaran dosa-dosanya yang telah berlalu.[15]

17. (8) Khalwat (menyendiri) yang benar ialah dengan berzikir kepada Allah Ta’ala serta tafakur terhadap keagungan-Nya, kemuliaan-Nya, siksa-Nya, serta hukuman-Nya. Diiringi pula dengan introspeksi diri atas penunaian hak yang belum sempurna kepada Rabbnya, tidak sebagaimana yang dilakukan para pelaku bidah yang menyendiri dengan wirid-wirid, zikir-zikir yang batil, dan dengan tata cara yang bidah, kemudian mengaku-aku setelah itu bahwa dirinya mampu menyingkap alam gaib! (8) Yazid Ar-Raqásyi  pernah menuturkan, “Sungguh kasihan! Para ahli ibadah mendahuluiku dan aku telah terputus, Nuh menangisi kesalahannya, sedangkan Yazid tidak menangisi kesalahannya.”[16]


Referensi

1. Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawi (7/121).

2.HR. Muslim (3006).

3. HR. Muslim (1827).

4. Fatñ Al-Bárí karya Ibnu Rajab (6/46). 

5.Fatñ Al-Bárí karya Ibnu Rajab (6/46).

HR. Ahmad (17371). 6.

7. Fatñ Al-Bárí karya Ibnu Rajab (6/47).

8.Fatñ Al-Bárí karya Ibnu Rajab (6/49) dan Al-Kawákib Ad-Dararí karya Al-Kirmaní (5/46).

9. Al-Mufhim Lima Asykala min Talkhiÿ Kitab Muslim karya Al-Qurþubí (3/76).

10. Fatñ Al-Bárí karya Ibnu Rajab (6/46).

11. Tuñfah Al-Añwaæi karya Al-Mubárakfurí (7/58).

12. Al-Ifÿáh ‘an Ma’aní Aÿ-Ÿiññáh karya Ibnu Hubairah (6/236).

13. HR. Muslim (2567).

14. Fatñ Al-Bárí karya Ibnu Rajab (6/48).

15. At-Tauðíñ li Syarñ Al-Jámi’ Aÿ-Ÿañiñ karya Ibn Al-Mulaqqin (6/454).

16. Syarñ Ÿañiñ Al-Bukhári karya Ibnu Baþþál (10/187).




1. Orang-orang fakir dari kalangan sahabat mendatangi Nabi mengadukan tentang pahala dan derajat yang tinggi di surga yang hanya dimiliki oleh orang-orang kaya yang berlimpah harta, karena selain menunaikan ibadah fisik, seperti: shalat, puasa, dan jihad, mereka juga memiliki kelebihan dengan ibadah harta, dengan bersedekah dan berinfak di jalan-jalan kebaikan.

Hal tersebut bukan karena hasad terhadap orang-orang kaya, bukan juga karena menentang takdir Allah Ta’ala. Mereka mendatangi Nabi hanya untuk mendapatkan suatu amalan yang bisa menyamai pahala sedekah mereka, sehingga mereka mampu menyaingi amal saleh orang-orang kaya. [1]

2. Lalu Nabi  mengarahkan mereka untuk mengerjakan amalan yang setara dengan sedekah, dan berhak mendapatkan pahala yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dan merupakan amal saleh.

3. Beliau memberitahukan kepada mereka bahwa zikir itu setara dengan pahala bersedekah seperti: takbir, tahmid, tasbih, dan tahlil -yakni ucapan: lá iláha illalláh- merupakan sedekah yang seorang hamba akan diberi pahala atas amalan tersebut, bahkan ia merupakan jenis sedekah yang paling dicintai Allah Ta’ala. Hal ini berdasarkan sabda beliau, “Maukah kalian aku beritahu amalan yang paling baik dan paling suci di sisi Maharaja kalian, lebih tinggi derajatnya, dan lebih baik bagi kalian daripada berinfak dengan emas dan perak, lebih baik daripada pertemuan kalian dengan musuh kalian lalu kalian membunuhnya serta mereka pun membunuh kalian?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, ‘Zikir kepada Allah ’.” [2]

4. Memerintahkan orang lain untuk berbuat yang makruf dan menunjukkan mereka kepada kebenaran merupakan sedekah. Demikian pula, mencegah mereka dari kemungkaran merupakan sedekah, bahkan termasuk jenis ibadah yang paling tinggi, karena Allah Ta’ala memberikan keistimewaan dengan perbuatan tersebut. Allah  berfirman,

“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”

(QS. Áli Imrán: 110)

            Sesungguhnya hukum amar makruf nahi mungkar adalah fardu kifayah, namun bisa menjadi fardu ain. Adapun bertasbih, bertahmid, dan bertahlil termasuk amalan sunnah, dan sudah maklum bahwa pahala amalan fardu lebih banyak daripada pahala amalan sunnah. Hal ini berdasarkan firman-Nya di dalam hadis qudsi, “Dan tidaklah  hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Aku wajibkan kepadanya.” [3] [4]

Sedekah tanpa harta ada dua jenis: ibadah yang hanya berdampak pada pelakunya saja, seperti: berzikir dan menunaikan amalan-amalan sunnah; dan ibadah yang berdampak kepada orang lain, seperti: amar makruf nahi mungkar, termasuk di dalamnya menyebarkan ilmu, menebar manfaat bagi kaum Muslimin, dan mencegah marabahaya yang akan menimpa mereka. Jenis yang kedua ini lebih utama daripada jenis yang pertama, lantaran keutamaannya bersifat luas.

Sedekah tidak hanya terbatas pada amalan saleh yang tersebut di atas saja, tetapi setiap aktivitas ketaatan yang dilakukan oleh seorang Muslim termasuk sedekah. Disebutkan di dalam sebuah hadis, “Setiap perbuatan baik adalah sedekah.” [5]

5. Bahkan, seorang laki-laki yang menggauli istrinya, maka ia mendapatkan pahala sedekah. Hal itu bila ia niatkan untuk menjaga kehormatan dirinya, menjaga kehormatan istrinya dan bentuk memperlakukan istri dengan baik, niat ingin memiliki anak yang saleh, atau niat lain yang termasuk hal-hal yang baik. [6] 

6. Para sahabat pun  keheranan; bagaimana mungkin seseorang yang melampiaskan nafsu syahwatnya bisa mendapatkan pahala?! Lalu beliau memberitahukan kepada mereka bahwa apabila seseorang melampiaskan syahwatnya pada perkara yang haram maka dia berdosa, demikian pula sebaliknya, ia akan mendapatkan pahala tatkala melampiaskannya pada tempat yang halal.


1. (1) Semangat para sahabat  untuk saling berlomba dalam kebaikan, dan gibtah terhadap saudara mereka dengan ketaatan yang dapat mereka raih. Inilah yang disebut dengan berlomba-lomba yang sesungguhnya, setiap Muslim harus termotivasi untuk melakukannya.

2. (1) Gibtah ialah seorang Muslim berharap mendapatkan kebaikan seperti yang diraih oleh saudaranya, dan mendoakan keberkahan baginya atas apa yang ia raih. Ini hukumnya sunnah dalam amalan ketaatan, berdasarkan sabda beliau , “Tidak boleh seseorang berlaku hasad, kecuali terhadap dua hal: seorang laki-laki yang dikaruniai harta oleh Allah, lalu ia gunakan dalam kebenaran, dan laki-laki yang Allah berikan hikmah (ilmu) kepadanya, lalu ia memutuskan perkara dengan itu dan mengajarkannya.” 

3. (2) Di antara bentuk rahmat dan keadilan Allah Ta’ala, Dia menjadikan kaum fakir dapat mencapai apa yang dicapai oleh orang-orang kaya, maka seyogianya setiap Muslim bergegas dalam menjalankan ketaatan kepada Allah  sesuai dengan kemampuannya.

4. (3) Merutinkan zikir kepada Allah Ta’ala termasuk pintu amal kebaikan yang paling utama. Seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat Islam cukup banyak bagiku, beritahukanlah kepadaku sesuatu yang bisa aku pegang teguh,” beliau bersabda, “Basahilah selalu lisanmu dengan zikir kepada Allah.” [7] 

5. (3) Tidak ada kelezatan yang dirasakan oleh seseorang melebihi kelezatan berzikir kepada Allah. Tidak ada amalan yang lebih ringan, lebih nikmat, lebih menyenangkan, dan lebih menenteramkan hati daripada zikir kepada Allah. [8]


6. (4) Semangatlah untuk melakukan amar makruf nahi mungkar. Hal itu merupakan keistimewaan yang Allah Ta’ala khususkan bagi makhluk pilihan-Nya, dan menyanjung umat tersebut, serta menjadikannya umat terbaik dengan sebab amalan tersebut.

7. (4) Di antara bentuk amar makruf ialah seluruh amal ketaatan yang berdampak luas, seperti mengajarkan Al-Qur`an, mengajarkan ilmu yang bermanfaat, berupaya untuk mencurahkan kebaikan  orang lain, dan mencegah keburukan agar tidak menimpa mereka.

8. (5) Seseorang akan meraih pahala melalui niat baiknya yang ingin mengerjakan ketaatan, maka manfaatkanlah hal itu dalam seluruh aktivitas kehidupanmu. Ketika makan niatkanlah untuk mengisi kekuatan guna mengerjakan ketaatan; ketika hendak tidur niatkanlah untuk mengambil bagian waktu untuk beristirahat guna melanjutkan ibadah-ibadah lainnya nanti; ketika bersenang-senang dengan istri dan anak, niatkanlah untuk menunaikan hak-hak mereka dan memperlakukan mereka dengan baik; ketika mengkaji suatu ilmu, niatkan untuk menuntut ilmu guna memberikan manfaat bagi kaum Muslimin; dan ketika bekerja, niatkanlah untuk menyejahterakan kaum Muslimin. Demikianlah dalam setiap perkara mubah yang dapat berubah menjadi sebuah amalan yang bernilai pahala. Mu’aæ bin Jabal  pernah mengatakan, “Aku berharap pahala dari tidurku sebagaimana aku berharap pahala dalam kondisi terjaga.” [9]

9. (6) Di antara bentuk kemuliaan Allah Ta’ala, Dia memberikan kebaikan kepada seorang Muslim atas seluruh aktivitasnya yang mubah apabila ia menahan dirinya untuk tidak berbuat maksiat; Dia memberikan pahala atas makanan halal yang dimakan seseorang lantaran ia meninggalkan yang haram, dan melampiaskan nafsu syahwatnya pada tempat yang halal sebab ia meninggalkan yang haram, dan tatkala mencari rezeki dari yang halal bukan yang haram. 

10. (6) Di dalam hadis ini terkandung faedah bahwa orang yang meminta fatwa boleh bertanya tentang beberapa permasalahan yang tersembunyi (tidak jelas) dalilnya. Hal itu boleh dilakukan ketika penyanya melihat bahwa orang yang ditanya tidak mempermasalahkannya dan dalam pertanyaan tersebut tidak terkandung adab yang buruk. [10]

11. Seorang penyair menuturkan,

Berzikirlah kepada Allah, wahai pencari pahala

            Wahai pengharap kebaikan, keutamaan, dan kebajikan

Berzikirlah, semua kebutuhanmu akan terpenuhi

            Akan dicukupkan semua beban dan (dilindungi dari) bahaya

Siapa berzikir kepada Ar-Rahmán, Dia dekat

            Siapa yang berzikir kepada Allah, dia disebut-sebut oleh-Nya

Siapa yang berpaling dari zikir kepada Tuhannya,             

Sungguh kawannya adalah setan di dalam dadanya

Siapa yang melupakan Al-Karím, maka Tuhannya pun

            Akan melupakannya, sungguh itu merupakan kesedihan terbesar

Setan menguasainya dengan menjadikannya lupa berzikir

            Kepada †at yang telah menciptakannya pertama kali

 


Referensi

1. Lihat: Syarñ Riyað Aÿ-Ÿáliñín karya Ibnu Ušaimin (2/161).

2. HR. Ahmad (21702) dan At-Tirmiæi (3377).

3. HR. Al-Bukhari (6502).

4. Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawí (7/92).

5. HR. Al-Bukhari (6021) dan Muslim (1005).

6. Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawí (7/92).

7. HR. Ahmad (18167), Ibnu Majah (3793), dan At-Tirmiæi (3375).

8. Al-Wábil Aÿ-Ÿayyib min Al-Kalim Aþ-±ayyib karya Ibn Al-Qayyim (hal. 81)

9. HR. Al-Bukhari (4341) dan Muslim (1733).

10. Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawí (7/93).


1. Nabi mengabarkan bahwa Allah Ta’ala memberi keutamaan pada sepuluh hari pertama bulan †ulhijjah dibandingkan hari-hari lainnya sepanjang tahun. Amal saleh akan dilipatgandakan pahalanya pada hari-hari tersebut, sehingga tidak ada sedikit pun amalan yang sama dengan amalan yang dikerjakan di hari-hari lainnya.

2. Para sahabat berkata, “Tidak pula berjihad di jalan Allah bisa menyamai amalan-amalan saleh di sepuluh hari tersebut?” Jihad mempunyai pahala yang sangat besar, lantas apakah keutamaan amal saleh itu bisa melebihi jihad? 

3. Lalu beliau  menjawab bahwa jihad di jalan Allah Ta’ala tidak sampai kepada keutamaan amalan saleh yang dilakukan di sepuluh hari tersebut, kecuali jika ada seorang laki-laki yang keluar membawa harta dan jiwanya di jalan Allah, hartanya ia infakkan untuk persiapan pasukan, dan ia berperang di jalan Allah sampai terbunuh.



1. (1) Seorang Muslim hendaknya memanfaatkan sepuluh hari ini dalam ketaatan kepada Allah Ta’ala, karena pahalanya sangat besar.

2. (1) Di antara bentuk karunia Allah  kepada kita, Dia menjadikan untuk kita hari-hari tertentu dalam satu tahun memiliki  utamaan

 yang pahalanya dilipatgandakan; puasa hari Arafah dapat menghapuskan dosa dua tahun, puasa hari Asyura dapat menghapus dosa-dosa satu tahun, pada hari Jumat ada saat-saat yang mustajab, dan Lailatulqadar lebih baik daripada 1000 bulan, serta ibadah pada sepuluh hari pertama di bulan †ulhijjah akan dilipatgandakan. Maka orang yang cerdas tidak akan melewatkannya begitu saja tanpa membekali diri dengan berbagai ketaatan.

3. (1) Di antara bentuk sikap terbaik dalam memanfaatkan hari-hari tersebut adalah bersegera untuk bertobat kepada Allah Ta’ala serta kembali kepada-Nya dalam momen tersebut, menjauhi perbuatan syirik dan kemaksiatan.

4. (1) Di antara bentuk ibadah terbaik yang harus dikerjakan oleh seorang Muslim pada sepuluh hari tersebut adalah berpuasa, terlebih puasa hari Arafah yang pernah disabdakan oleh beliau , “Aku berharap pahala kepada Allah, (puasa hari Arafah) akan menghapus dosa setahun yang lalu dan dosa setahun yang akan datang.” [1]

5. (1) Seorang Muslim harus menjaga sepuluh hari ini dengan bertasbih, tahmid, takbir, dan tahlil. Allah  berfirman,

“Dan agar mereka menyebut nama Allah pada beberapa hari yang telah ditentukan.” .

(QS. Al-ôajj: 28)

Yang dimaksud dengan beberapa hari yang ditentukan adalah sepuluh hari bulan †ulhijjah. Nabi bersabda, “Tidaklah ada hari-hari yang lebih mulia di sisi Allah dan paling dicintai oleh-Nya daripada amalan yang dikerjakan di sepuluh hari ini, maka perbanyaklah di hari-hari tersebut dengan tahlil, takbir, dan tahmid.” [2]

6. (2) Janganlah merasa malu untuk bertanya tentang agamamu karena para sahabat tidak malu untuk bertanya kepada Nabi mengenai perbandingan antara jihad dan amal saleh di sepuluh hari bulan †ulhijjah.

7. (2), (3) Hadis ini menunjukkan keutamaan berjihad, sampai-sampai para sahabat membandingkannya dengan semua amalan. Maka setiap Muslim wajib menanamkan di dalam dirinya keinginan untuk berjihad, berniat untuk berjihad pada saat yang tepat, dan berharap mati syahid di jalan Allah . 

8. (3) Kelalaian dalam ibadah dan ketaatan pada hari-hari yang penuh berkah tersebut hanya dilakukan oleh orang yang tidak beruntung. Amalan-amalan pada hari itu dilipatgandakan hingga tidak ada pahala amalan yang setara dengannya yang dikerjakan pada selain hari-hari itu, sedekah dengan sedikit harta, dua rakaat shalat, puasa sehari, atau zikir kepada Allah Ta’ala dengan lisan tanpa susah payah dan berat; semua ini meski terlihat sederhana, tidak bisa disetarakan dengan suatu amalan apa pun, kecuali dengan amalan seorang laki-laki yang keluar berjihad dengan jiwa dan hartanya kemudian mati syahid.

Referensi

1. HR. Muslim (1162).

2. HR. Ahmad (5446).

Nabi senang menggunakan anggota tubuh sebelah kanan dan memulai darinya dalam setiap aktivitas yang baik dan mulia. Ketika memakai sandal dan khuf (sepatu), beliau memulainya dengan kaki kanannya. Ketika menyisir rambut, beliau memulainya dari kepalanya sebelah kanan. Ketika berwudu dan mandi, beliau mengawalinya dengan sebelah kanan; beliau membasuh tangan kanannya sebelum tangan kirinya, dan membasuh kakinya juga yang sebelah kanan, dan ketika mandi mengawalinya dari tubuh sebelah kanan sebelum bagian tubuh sebelah kiri.

Di dalam semua urusan beliau pun demikian, setiap aktivitas yang baik dan mulia, beliau memulainya dengan sebelah kanan. Beliau makan, minum, menerima, mengambil, memberi, menyentuh hajar Aswad dengan tangan kanannya. Beliau memasuki rumah dan masjid diawali dengan kaki kanan, memulai sebelah kanan ketika mencukur kumis. Apabila beliau berjabat tangan dengan sekelompok kaum atau memberi mereka sesuatu, maka diawali dengan sebelah kanan. Dan untuk aktivitas selain itu maka menggunakan sebelah kiri; beliau masuk toilet dengann mendahulukan kaki kiri, keluar dari masjid dengan kaki kiri terlebih dahulu, istinja, melepas pakaian, membuang ingus dengan tangan kirinya. Manakala beliau hendak melepas pakaian, sandal, dan khuf maka dengan sebelah kiri, lalu bagian kanan. [1] 

 

1. Semangatlah untuk mengikuti sunnah Nabi  dengan mendahulukan sebelah kanan semampumu.

2. Jauhilah penggunaan sebelah kiri dalam kehidupanmu, karena itu termasuk tabiat dan perangai setan, beliau bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian makan, mulailah dengan tangan kanan. Apabila minum, gunakanlah tangan kanan, karena setan makan menggunakan tangan kiri dan minum menggunakan tangan kiri.” [1]

3. Menggunakan anggota tubuh sebelah kanan merupakan keberkahan yang diperoleh seorang hamba lantaran mengikuti Nabi-Nya . 

4. Muliakanlah sebelah kanan, jangan engkau pergunakan untuk membersihkan najis (istinja) atau melakukan aktivitas remeh.

Referensi

1. Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawi (3/160).

2. HR. Muslim (2020).

1. Nabi  memberikan perhatian terhadap umatnya dengan mengajarkan umatnya tata cara shalat istikharah, apabila mereka mengalami kebimbangan dalam menghadapi urusan-urusan duniawi; atau ketika seseorang tidak tahu, apa yang harus dilakukan atau yang tidak boleh dilakukan, atau harus melakukan ini atau itu. Nabi sangat ingin supaya umatnya menghafal doa tersebut, layaknya mengajarkan mereka surah Al-Qur`an, karena seorang Muslim sangat butuh untuk mendapatkan pilihan terbaik dari Tuhannya, seperti halnya ia pun sangat membutuhkan Al-Qur`an dalam shalat, zikir dan muamalahnya. 

2. Apabila seorang hamba menginginkan pilihan terbaik dari Tuhannya, maka seharusnya ia mengerjakan shalat sunnah dua rakaat untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, sebagai mukadimah untuk doanya sehingga diharapkan untuk dikabulkan. Shalat ini berlaku bagi selain wanita yang sedang haid dan nifas, karena bentuk istikharah bagi keduanya cukup dengan berdoa. 

3. Kemudian ia membaca doa istikharah, dan di dalam doa itu ia memohon kepada Tuhannya agar memilihkan yang baik baginya, karena Dialah †at Yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Dan memohon kemampuan kepada Tuhannya untuk mengerjakan perkara yang terbaik baginya, sebab Dia  Yang Mahakuasa, tidak ada sesuatu pun yang mampu melemahkan-Nya. Hendaklah ia berharap kepada †at Yang Mahamulia supaya memberikan karunia-Nya yang luas, dan menyebutkan alasannya, karena hanya Dialah Tuhan  yang Mahakuasa lagi Maha Mengetahui. Tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya, dan tidak ada sesuatu pun yang berada di luar kuasa-Nya. 

4. Lalu ia bermunajat kepada Tuhannya berucap, “Alláhumma in kunta ta’lamu anna haæa al-amra (Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini -menyebutkan keperluannya, misal: pernikahanku dengan fulanah atau pekerjaanku di perusahaan ini, atau lain sebagainya-), khairun lí fí díní wama’ásyí wa’áqibati amrí -au qala: ‘ájili amrí wa`ájilihi- (baik bagiku untuk agama dan kehidupanku, serta kesudahan urusanku di dunia dan akhiratku), faqdurhu lí wayassirhu lí wabárik lí fíh (maka takdirkanlah hal itu untukku, dan mudahkanlah bagiku, kemudian limpahkanlah keberkahan kepadaku). 

5. “Wa in kunta ta’lamu anna haæa al-amra syarrun lí fí díní wama’ásyí wa’áqibati amrí -au qala: ‘ájili amrí wa`ájilihi- faÿrifhu ‘aní, waÿrifní ‘anhu.(Dan jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini buruk bagi agama dan kehidupanku, serta kesudahanku, maka jauhkanlah ia dariku dan jauhkanlah diriku darinya.)” maksudnya, jika perkara tersebut berakibat buruk terhadap agamanya, hidupnya, masa depan dan akhiratnya, maka Allah akan menjauhkannya dan tidak menakdirkan baginya, serta menjauhkan hatinya dari perkara itu, sehingga ia tidak lagi menginginkannya atau berusaha mencari tahu tentangnya. 

6. Lantas takdirkanlah bagiku kebaikan dalam segala urusanku di mana pun berada, kemudian jadikanlah diriku rida dengan apa yang Engkau takdirkan bagiku, karena bisa saja sesuatu yang baik namun terkadang seseorang merasa tidak rela menerimanya, sehingga ia hidup dalam kegelisahan dan merasa tersiksa. 

7. Bagi orang yang sedang beristikharah, sebaiknya ia menyebutkan keperluannya di dalam doanya dengan mengucapkan, “Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa pernikahanku atau pekerjaanku atau pembelianku atau penjualanku atau perihal lainnya.”


1. (1) Seorang dai dan pendidik seharusnya memperhatikan kaum Muslimin dengan mengajarkan apa yang mereka butuhkan dalam kehidupan sehari-harinya; baik itu terkait hukum-hukum taharah, shalat, puasa, dan lain sebagainya, serta kebutuhan mereka berupa doa dan zikir: seperti zikir pagi dan petang, adab ketika makan, minum, berpakaian, doa istikharah, buang hajat, dan hal lain yang semisal. 

2. (1) Bersemangatlah untuk meminta pilihan terbaik kepada Tuhanmu dalam segala urusan, sebab seorang Muslim sangat perlu untuk berdoa kepada Tuhannya agar memilihkan sesuatu yang baik baginya. 

3. (1) Janganlah engkau anggap remeh hal-hal yang kecil atau sepele, mohonlah pilihan terbaik pada setiap perkara yang menghampirimu, yang dirimu tidak mengetahui risiko atau akhir kesudahannya. Betapa banyak urusan yang ringan, namun ternyata engkau salah pilih, sehingga engkau dirundung kesedihan dan kesempitan dalam hidup. Dahulu Nabi pernah mengajarkan istikharah kepada para sahabatnya dalam setiap urusannya.

4. (1) Para sahabat sudah terbiasa beristikharah kepada Allah Ta’ala di segala urusan dalam kehidupan mereka, sebagai bentuk meneladan Nabi. Abu Ayyub Al-Anÿárí ingin meminang seorang wanita, lalu beliau bersabda kepadanya, “Urungkan dulu niat melamar, berwudulah dengan sebaik mungkin, dan shalatlah semampumu yang Allah kehendaki bagimu, lalu pujilah dan agungkanlah Tuhanmu, lalu ucapkanlah, ‘Ya Allah, sungguh Engkau Mahamampu, sedangkan aku tidak mampu, dan Engkau Maha Mengetahui, sementara aku tidak mengetahui. Sesungguhnya Engkau †at Yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang gaib, jika menurut Engkau pernikahanku dengan fulanah, engkau sebutkan namanya, baik bagi agamaku, duniaku, serta akhiratku, (maka mudahkanlah pernikahanku). Namun bila ada wanita lain yang lebih baik bagiku untuk urusan agamaku, duniaku, dan akhiratku, maka tetapkanlah ia bagiku, atau mengucapkan, “Takdirkanlah ia untukku”. [1]  Bahkan tatkala Nabi hendak menikahi Zainab binti Jahsy , beliau mengatakan, “Aku tidak melakukan apa pun sampai memohon ketetapan dari Tuhanku.” [2]

5. (2) Apabila seorang Muslim hendak memohon ketetapan terbaik dari Tuhannya, maka hendaklah ia mendekatkan diri kepada-Nya dengan mengerjakan shalat sunnah dua rakaat, sebagai mukadimah untuk berdoa, setelahnya memohon pilihan terbaik dan lebih besar kemungkinan doanya terkabul. 

6. (2) Dari hadis ini, kita mendapatkan pelajaran bahwa seyogianya seorang Muslim sebelum memanjatkan doa, dia memulainya dengan mengerjakan ibadah-ibadah yang diharapkan menjadikan doanya dikabulkan: seperti shalat, sedekah, puasa, dan amar makruf nahi mungkar. 

7. (2) Di antara etika shalat istikharah, hendaknya seseorang memilih waktu shalat dan doa yang tepat. Dia memilih waktu-waktu yang mustajab, seperti: sepertiga akhir malam, waktu Asar pada hari Jumat. Hendaknya menghindari waktu-waktu terlarang, kecuali bila urusan yang ingin ia panjatkan tidak mungkin untuk ditunda dan khawatir akan terluput, maka tak mengapa shalat meski pada waktu yang terlarang. 

8. (3) Tidak boleh tergesa-gesa ketika berdoa. Awali doamu dengan memuji dan menyanjung Allah Ta’ala. Rasulullah pernah mendengar seorang laki-laki berdoa di dalam shalatnya, namun ia tidak menyebut Allah , tidak pula berselawat kepada Nabi , lantas Rasulullah  bersabda, “Orang ini tergesa-gesa.” Kemudian beliau memanggilnya, bersabda kepadanya dan orang-orang yang berada di sekitarnya, “Apabila salah seorang di antara kalian berdoa, maka mulailah dengan memuji dan menyanjung Tuhannya, lalu berselawat kepada Nabi, kemudian setelah itu berdoalah sekehendaknya.” [3]

9. (3) Mohonlah pertolongan kepada Allah Ta’ala dengan shalat Istikharah dan berdoa, karena Dia semata Yang Mahakuasa lagi Maha Mengetahui, yang mengetahui perkara tersembunyi dan tidak tampak, orang yang beristikharah tidak akan menyesal. 

10. (4) Usahakan agar urusan yang diminta dalam istikharah merupakan perkara yang bermanfaat bagi agamamu, juga bermanfaat bagi duniamu, dan harus sesuai dengan syariat. 

11. (4) Mintalah kepada Tuhanmu agar engkau dimudahkan untuk meraih kebaikan, karena terkadang apa yang ditakdirkan untukmu harus diraih dengan kesulitan dan susah payah. 

12. (4) Berdoalah kepada Allah agar memberkahi apa yang engkau minta, karena jika keberkahan dicabut, maka kebaikan pun akan sirna. 

13. (5) Apabila engkau beristikharah kepada Allah Ta’ala, maka iringilah dengan amalan yang membuat-Nya rida dan dapat memudahkanmu untuk meraihnya. Jangan engkau turuti hawa nafsu yang mengakibatkan istikharahmu sia-sia. 

14. (5) Takdir Allah Ta’ala pasti akan terjadi. Bisa jadi engkau mendapatkan pahala dan keberkahan, serta dimudahkan dalam menjalaninya, atau terasa berat seolah dipaksa. Abdullah bin Umar  berkata, “Sungguh ada seorang laki-laki yang benar-benar beristikharah, lalu diberi pilihan yang terbaik baginya, namun ia tidak rela dengan ketetapan Tuhannya, dan ia senantiasa menanti-nanti hasil lainnya, padahal itulah pilihan yang terbaik baginya.” [4]

15. (5) Jangan sampai engkau lupa saat berdoa, terkait urusan yang diminta agar mengucapkan, jika urusan ini buruk, “Jauhkanlah ia dariku dan jauhkanlah diriku darinya,” karena terkadang Allah  sudah menjauhkan perkara tersebut darimu, namun hatimu masih menginginkannya, sehingga justru engkau berharap permintaanmu tidak terwujud. 

16. (6) Hal terpenting dalam istikharah ialah memohon kepada Allah agar Dia menakdirkan yang terbaik bagimu dalam kondisi apa pun, karena bisa jadi engkau tidak mengetahui perkara yang di dalamnya terdapat maslahat bagi agama dan duniamu, lalu Allah Ta’ala menakdirkan bagimu tanpa istikharah atau tanpa permohonan sebelumnya. 

17. (6) Mohonlah kepada Tuhanmu  agar menjadikanmu rida terhadap apa yang sudah ditentukan untukmu. Rida merupakan kebahagiaan dan ketenteraman hati. Betapa banyak orang yang bergelimang dengan berbagai kenikmatan dari Allah , namun ia masih tidak rida dengan nikmat tersebut dan menggerutu. 

18. (7) Janganlah engkau merasa malu kepada Tuhanmu untuk menyebutkan perkara yang diistikharahkan; entah itu hal yang remeh atau besar, karena Dia  menyukai hamba-Nya yang beristikharah dan bersandar kepada-Nya dalam perkara yang kecil maupun yang besar. 

19. Seorang penyair menuturkan, 

Betapa banyak perkara yang kau hindari Ternyata itulah yang sebenarnya terbaik bagimu Hal yang disukai tersembunyi baginya Dan yang tampak adalah yang dibencinya


Referensi

1. HR. Ahmad (23994) dan Aþ-±abarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabír (3901).

2. HR. Muslim (1428). 

3. HR. Ahmad (23937), Abu Daud (1481), At-Tirmiæi (3476).

4. Syifá` Al-‘Alíl karya Ibn Al-Qayyim (hal. 94).



1. An-Nawwas bertanya kepada Nabi tentang kebajikan. Kebajikan adalah satu istilah yang mencakup semua jenis kebaikan dan perkara-perkara yang makruf. Beliau juga bertanya tentang dosa. Dosa adalah seluruh perbuatan buruk dan jelek; yang besar maupun yang kecil. An-Nawwas menanyakan hakikat keduanya dan tanda-tandanya.

2. Nabi menjelaskan bahwa kebajikan adalah akhlak yang mulia. Ini mencakup akhlak yang baik kepada Allah dengan menerima hukum-hukum syariat-Nya dengan rida dan berserah diri tanpa merasa keberatan dan terbebani. Jika Allah memerintahkanmu untuk shalat, zakat, puasa dan lain sebagainya, engkau menyambut perintah tersebut dengan hati yang lapang, kemudian engkau melakukan semua perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Kebajikan juga mencakup akhlak yang baik kepada orang lain dengan memberikan sesuatu yang bermanfaat, tidak menyakiti, bersabar atas gangguan mereka dan berwajah ceria. [1]

3. Kemudian Nabi menjelaskan tentang dosa. Beliau mengabarkan bahwa seorang manusia merasakan keraguan dan kegelisahan di  dalam hatinya karena hal itu. Ia merasa tidak tenang melakukan perbuatan tersebut karena hatinya ragu dan takut akan dosanya. Selain itu, ia juga merasa khawatir jika orang lain mengetahui perbuatannya.

Nabi telah menjelaskan mengenai keutamaan akhlak yang mulia, bahwa perkara yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga adalah akhlak yang baik.[2] Nabi juga menjelaskan bahwa seorang mukmin dapat mencapai derajat ahli puasa dan ahli shalat dengan akhlaknya yang mulia. [3]

Ini semakna dengan sabda Nabi, “Tinggalkan apa yang meragukanmu menuju apa yang tidak meragukanmu. Karena sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan dan dosa adalah kegelisahan.” [4]

Ini adalah sesuatu yang fitrah yang Allah tanamkan di dalam hati hamba-hamba-Nya. Hati akan merasa lapang ketika melakukan ibadah dan ketaatan; dan merasa sempit serta jijik ketika melakukan maksiat. Tentu ini berlaku untuk orang yang hatinya suci dan bersih, yang tidak dikotori dengan berbagai dosa dan kemaksiatan. Karena hati yang dipenuhi dosa akan ditutup oleh Allah sehingga tidak mampu mengenali yang baik dan mengingkari yang mungkar. Ketika hatinya sudah tertutup, ia merasa bangga melakukan maksiat dan dosa di depan khalayak ramai.

Ini semua menunjukkan bahwa yang hak dan yang batil tidak mungkin bercampur bagi seorang mukmin yang cerdas. Ia mengetahui yang hak dengan cahaya yang ada padanya, sehingga hatinya akan menerima yang hak, dan menjauhi serta mengingkari yang batil. Hal ini sesuai dengan makna sabda Nabi, “Akan ada di zaman akhir umatku sekelompok orang yang memberitahukan kepada kalian sesuatu yang kalian dan ayah-ayah kalian belum pernah dengar. Maka jauhilah mereka dan jauhkanlah mereka dari kalian.” [5] Artinya, mereka menyampaikan sesuatu yang diingkari dan tidak diterima oleh hati orang-orang mukmin.


1. (1) Bersemangatlah untuk bertanya, karena bertanya adalah separuh ilmu. Dahulu, para sahabat Nabi tidak malu untuk bertanya kepada beliau.

2. (2) Siapa yang ingin mendapatkan derajat yang tinggi di surga maka hendaklah ia memperbagus akhlaknya. Nabi bersabda, “Aku akan menjamin rumah di tepi surga bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun benar. Aku juga menjamin rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan kedustaan meskipun hanya bercanda. Dan aku juga menjamin rumah di surga yang paling tinggi bagi orang yang berakhlak mulia.” [6] Nabi juga bersabda, “Sesungguhnya di antara kalian yang paling aku cintai dan paling dekat kedudukannya denganku pada hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya di antara kalian.”[7]

3. (2) Agama Islam secara keseluruhan adalah akhlak. Barang siapa yang lebik baik akhlaknya darimu maka berarti agamanya juga lebih baik darimu. [8]

4. (2) Beratkan timbangan amalmu dengan akhlak yang mulia. Nabi bersabda, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan amal di hari kiamat kecuali akhlak yang baik. Dan sungguh Allah Ta’ala membenci orang yang keji (ucapan maupun perbuatannya) dan suka berkata kotor.”[9]

5. (3) Perasaan tenang dan lapang di dalam dada bukan menjadi kaidah untuk menentukan yang halal dan haram. Untuk menentukan yang halal dan haram harus merujuk kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah. Akan tetapi, hati hanya bisa membantu meyakinkan hal itu ketika terjadi perbedaan pendapat atau tidak ada nas mengenainya.

6. (3) Ketenangan hati yang membantu menentukan baik buruknya sesuatu adalah untuk hati yang bersih dan sesuai fitrah yang suci. Hati yang seperti ini mampu mengidentifikasi dosa dengan munculnya perasaan ragu-ragu dan khawatir diketahui orang lain. Adapun orang-orang yang hatinya rusak, pemahamannya dan pengetahuannya lemah, mereka wajib mendapatkan arahan dan bimbingan untuk mengetahui detail hukum syariat, agar tidak melakukan apapun yang mereka inginkan.

7. (3) Fatwa tidak bisa menghilangkan syubhat dan keraguan jika orang yang meminta fatwa mempunyai hati yang bersih. Seorang mufti hanyalah berfatwa dengan sangkaan atau cenderung kepada hawa nafsu tanpa didasari dalil syar’i. Namun jika mufti menyampaikan fatwanya berdasarkan dalil syar’i, maka orang meminta fatwa wajib untuk menerimanya, walaupun hatinya tidak merasa tenang dengan hal itu. Misalnya sepeti hukum mengqasar shalat ketika melakukan perjalanan dan ketika hujan, menjamak antara dua shalat ketika sakit, mengusap kedua khuf (sepatu) yang membuat hati tidak tenang bagi banyak orang yang tidak paham.[10]


Referensi

1. Syarñ Al-Arba’ín An-Nawawiyyah karya Ibnu Ušaimin (hal. 278).

2. HR. At-Tirmizi (2004).

3. HR. Abu Daud (4798).

4. HR. At-Tirmizi (2518) dan An-Nasá`í (5711).

5. HR. Muslim (6).

6. HR. Abu Daud (4800) dan Aþ-±abarání dalam Al-Mu’jam Al-Kabír (7488).

7. HR. At-Tirmizi (2017).

8. Madárij As-Sálikín karya Ibn Al-Qayyim (2/307).

9. HR. At-Tirmizi (2002).

10. At-Tuñfah Ar-Rabbániyyah fī Syarñ Al-Arba’ín Hadíšan An-Nawawiyyah karya Ismail bin Muhammad Al-Anÿari (hal 63).

1. Nabi menjelaskan bahwa Allah Ta’ala telah menakdirkan amalan kebaikan dan keburukan sejak dahulu kala, sesuai dengan ilmu-Nya . Kemudian Allah memberitahukannya kepada para malaikat pencatat amal dan cara pencatatannya, atau Allah memerintahkan kepada para malaikat pencatat untuk mencatat semua amal kebaikan dan keburukan yang dilakukan para hamba, lalu Dia memberitahukan bagaimana cara perhitungannya dan pencatatannya. 

2. Apabila seorang hamba berniat untuk melakukan suatu ketaatan dan bertekad kuat ingin mengerjakannya, kemudian ternyata tidak dikerjakan, maka hal itu tetap terhitung sebagai satu kebaikan yang sempurna. Maksudnya di sini adalah adanya tekad dan keinginan untuk mengerjakannya, bukan hanya sekadar terbetik di dalam benak seorang hamba lalu lenyap tanpa disertai niat untuk mengerjakannya. Hal ini berdasarkan sabda beliau, “Barang siapa yang berencana melakukan satu kebaikan namun ternyata dia tidak mengerjakannya, dan Allah Maha Mengetahui bahwa ia telah menggerakkan hatinya dan antusias untuk mengerjakannya, maka akan dicatat sebagai satu kebaikan baginya.” [1]

3. Apabila ia mengerjakan ketaatan, maka akan dibalas dengan berlipat-lipat ganda, dan satu kebaikan akan dilipatgandakan sebanyak sepuluh, tidak kurang dari itu, sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya Ta’ala,

“Barang siapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya."

(QS. Al-An’ām: 160)

. Pahala amalan tersebut dilipatgandakan sesuai dengan kehendak Allah Ta’ala, hingga mencapai tujuh ratus kali lipat atau lebih dari itu. Dia berfirman,  

“Perumpamaan orang-orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui.”

(QS. Al-Baqarah: 261)

4. Adapun jika seorang hamba berniat melakukan suatu kemaksiatan dan sudah bertekad ingin mengerjakannya, kemudian ia ingat kepada Tuhannya dan bertobat kepada-Nya, serta mencegah dirinya dari perbuatan maksiat tersebut, maka Allah akan memberinya balasan karena pencegahan tersebut dengan mencatatnya sebagai satu kebaikan. Dia diberi balasan itu karena ia melawan hawa nafsunya dan menentang setannya, serta berniat baik dengan mencegah keburukan. Ini merupakan amalan hati yang pemiliknya berhak mendapatkan balasan. Dalilnya sabda Nabi, “Setiap Muslim harus bersedekah.” Mereka berkata, “Bagaimana jika ia tidak melakukannya?” Beliau bersabda, “Menahan diri untuk tidak berbuat keburukan, maka itu sebuah sedekah.” [2]

 Karena itu, sesungguhnya orang yang berniat melakukan maksiat, lalu luput darinya atau ada halangan, maka tidak termasuk yang dimaksud di dalam hadis ini dan ia tidak berhak mendapat pahala yang disebutkan, berdasarkan firman Allah di dalam hadis qudsi, “Sesungguhnya ia meninggalkannya karena Aku.” [3]

5. Apabila seorang hamba melakukan sebuah kemaksiatan, maka Allah Ta’ala tetapkan sebagai satu dosa tanpa dilipatgandakan. Dia  berfirman,

“Barang siapa yang mengerjakan perbuatan jahat, maka dia akan dibalas sebanding dengan kejahatan itu.” .

(QS. Gāfir: 40)

Bahkan Allah akan menerima tobat seseorang yang bertobat, akan menghapus dosanya, dan Dia akan mengampuni siapa pun yang Dia kehendaki meski tanpa tobat. Hanya saja, terkadang suatu dosa akan dilipatgandakan karena dilakukan di tempat yang dimuliakan, sebagaimana firman-Nya Ta’ala,

“Dan dari Masjidilharam yang telah Kami jadikan terbuka untuk semua manusia, baik yang bermukim di sana maupun yang datang dari luar dan siapa saja yang bermaksud melakukan kejahatan secara zalim di dalamnya, niscaya akan kami rasakan kepadanya siksa yang pedih.”

(QS. Al-ôajj: 25)

Allah  menimpakan siksa yang sangat pedih karena keinginan berbuat maksiat di tempat tersebut. Dosa juga akan dilipatgandakan siksanya karena dilakukan pada waktu yang dimuliakan, seperti bermaksiat di bulan-bulan haram. Dan juga akan dilipatgandakan sebab kedudukan pelakunya yang terhormat, maka maksiat yang dilakukan oleh para nabi atau para wali-Nya maka dosanya akan lebih besar daripada maksiat yang dilakukan oleh selain mereka. Hal ini sebagaimana firman-Nya,

“Dan sekiranya Kami tidak memperteguh (hati)mu, niscaya engkau hampir saja condong sedikit kepada mereka. Jika demikian, tentu akan Kami rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan berlipat ganda setelah mati, dan engkau (Muhammad) tidak akan mendapat seorang penolong pun terhadap Kami.”

(QS. Al-Isrā`: 74-75)

. Dan Dia berfirman,

“Wahai istri-istri Nabi! Barang siapa di antara kamu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya azab-Nya akan dilipatgandakan dua kali lipat kepadanya. Dan yang demikian itu, mudah bagi Allah.”

(QS. Al-Añzāb: 30)


1. (1) Apabila seorang hamba mau merenung, bagaimana Allah  menghisab hamba-hamba-Nya atas perbuatan mereka, lalu melihat kelembutan serta kasih sayang-Nya kepada mereka, niscaya akan semakin bertambah rasa cinta dan kepatuhannya kepada Tuhannya. Jika bukan lantaran karunia dan kasih sayang-Nya, maka tidak ada seorang pun dari makhluk-Nya yang akan masuk ke dalam surga.

2. (2) Seorang Muslim harus bertekad untuk melakukan ketaatan meski belum dapat dilakukan, karena ia akan tetap diberi pahala, walaupun belum dikerjakan.

3. (2) Seorang Muslim bisa meraih banyak kebaikan tanpa harus lelah dan bersusah payah. Dia hanya berniat melakukan kebaikan yang sekiranya ia mampu. Dia berniat sedekah jika kelak mendapat harta, dan berniat berjihad jika nanti mampu, serta bertekad untuk mengerjakan amalan-amalan sunnah dan membaca Al-Qur`an.

4. (3) Nabi bersabda, “Barang siapa yang mendatangi tempat tidurnya sambil berniat akan bangun malam untuk mengerjakan shalat, lantas ia ketiduran sampai bangun di waktu Subuh, maka itu tetap tercatat sesuai dengan niatnya, dan tidurnya dianggap sebagai sedekah baginya dari Tuhannya.” [4] 

5. (3) Bergegaslah untuk mengerjakan ketaatan dan ibadah, karena Allah  akan membalas satu kebaikan dengan berlipat ganda.

6. (3) Perhatikanlah, bagaimana Allah Ta’ala menyiapkan berbagai ketaatan bagi para hamba-Nya, kemudian membalas mereka dengan balasan yang besar? Mahasuci Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, Dia mendekatkan berbagai kenikmatan kepada hamba-hamba-Nya. Dia menyukai hamba-hamba-Nya beribadah kepada-Nya dengan ketaatan, lantas menambahkan balasannya untuk mereka dengan pahala yang sangat besar.

7. (4) Allah Ta’ala menjadikan para malaikat pencatat amal mengetahui apa yang diniatkan oleh seorang hamba dan dipikirkan olehnya. Tidakkah hal itu membuat kita merasa malu, sebab mereka mengetahui diri kita saat bersemangat melakukan maksiat kepada Allah Ta’ala?! 

8. (4) Jangan sekali-kali engkau menyangka bahwa engkau akan mendapatkan karena ada yang menghalangimu melakukan kemaksiatan, akan tetapi engkau hanya akan diberi pahala ketika engkau mencegah diri sendiri dari kemaksiatan, menyesal, dan bertobat darinya.

9. (4) Jangan sampai engkau menanggung dosa kemaksiatan yang belum engkau lakukan. Barang siapa yang bertekad mengerjakan salah satu kemaksiatan, kemudian tidak ada kesempatan untuk mengerjakannya, maka akan disiksa sebagaimana orang yang sudah mengerjakannya. Beliau bersabda, “Jika ada dua orang Muslim yang saling berkelahi dengan pedang masing-masing, maka yang membunuh dan yang terbunuh keduanya masuk neraka.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, si pembunuh layak memang, lantas mengapa yang terbunuh pun sama?” Beliau menjawab, “Karena sesungguhnya ia berkeinginan untuk membunuh temannya.” [5]

10. (5) Di antara bentuk rahmat Allah Ta’ala, Dia menjadikan satu kesalahan hanya dicatat sebagai satu dosa, tanpa dilipatgandakan, sebaliknya Dia menjadikan satu kebajikan menjadi berlipat ganda. Sehingga orang yang bermaksiat dan orang yang berbuat zalim atas dirinya dengan kemaksiatan tidak boleh berputus asa dari rahmat-Nya.

11. Seorang penyair menuturkan,

Sungguh kita diawasi oleh para malaikat

Yang mulia sebagai wakil untuk mencatat penghuni bumi

Mereka mencatat semua perkataan keturunan Adam

Dan seluruh perbuatannya, tak tertinggal sedikit pun



Referensi

1. HR. Ahmad (19244).

2. HR. Al-Bukhari (1445) dan Muslim (1008).

3. HR. Muslim (129). 

4. HR. An-Nasā`i (1787) dan Ibnu Majah (1344).

5. HR. Al-Bukhari (31) dan Muslim (2888).






1. Nabiﷺ memperingatkan umatnya dari tujuh perkara yang membinasakan. Yakni yang membinasakan pelakunya dan menjerumuskannya ke dalam neraka Jahanam, wal’iyáæu billáh. Ketujuh perkara tersebut adalah dosa besar yang disebutkan di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah diiringi dengan ancaman siksa neraka, laknat ataupun murka Allah Ta’ala. Namun dosa-dosa besar tidak terbatas dengan apa yang disebut oleh Nabi ﷺ dalam hadis ini. Dosa-dosa besar yang lain banyak seperti berzina, mencuri, durhaka kepada kedua orang tua dan lain sebagainya. Hanya saja, Nabi ﷺ menyebutkan tujuh perkara ini karena paling buruk dan paling besar dosanya. Dan dosa-dosa tersebut banyak dilakukan orang pada zaman Nabi ﷺ.

2. Perkara yang membinasakan yang pertama adalah menyekutukan Allah Ta’ala (syirik). Ini adalah dosa besar yang paling besar. Ibnu Mas’ud berkata, “Aku bertanya kepada Nabi, ‘Dosa apa yang paling besar di sisi Allah ?’ Nabi menjawab, ‘Engkau menjadikan sesuatu sebagai tandingan Allah, padahal Dia yang menciptakanmu.’ [1] ” Syirik adalah dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah Ta’ala kecuali jika seorang hamba bertobat kepada Allah Ta’aladan mengganti kesyirikan dengan memperbagus tauhid dan ibadahnya. Allah  berfirman,

“Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (mempersekutukan Allah dengan sesuatu), dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sungguh, dia telah tersesat jauh sekali.”  

(QS. An-Nisá`: 116)

3. Yang kedua, sihir. Makna aslinya adalah membelokkan sesuatu dari hakikatnya, baik dengan menggunakan jin dan memperalatnya, menggunakan benda-benda dan ramuan-ramuan tertentu, atau semacamnya. Sihir termasuk dosa besar karena mengandung tipuan untuk menutup dan menyelubungi hakikat sebenarnya, menutupi pandangan mata manusia dari hakikat tersebut, menipu masyarakat dan merusak akidah mereka dalam masalah sebab akibat. Terlebih lagi, sihir sering digunakan untuk menimbulkan kemudaratan kepada orang yang disihir sehingga ia menjadi sakit, lupa ingatan dan bahkan bisa jadi untuk membunuhnya. Oleh karena itu, mempelajari, mengajarkan, dan mempraktikkan sihir hukumnya dosa besar. 

Kebanyakan sihir dilakukan dengan menundukkan dan memanfaatkan setan. Hal ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan melakukan kekufuran kepada Allah Ta’ala. Karena pada dasarnya, setan tidak mau melakukannya kecuali si tukang sihir kafir kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman,

“Tetapi setan-setan itulah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babilonia yaitu Harut dan Marut. Padahal keduanya tidak mengajarkan sesuatu kepada seseorang sebelum mengatakan, ‘Sesungguhnya kami hanyalah cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kafir.’”  

(QS. Al-Baqarah: 102)

Oleh karena itu, sebagian besar ulama berpendapat bahwa hukuman bagi tukang sihir adalah hukuman mati sesuai dengan had kafir dan murtad, entah sihirnya menyebabkan terbunuhnya orang lain ataupun tidak. 

4. Yang ketiga, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan haknya. Darah seluruh umat Islam adalah haram untuk ditumpahkan, sesuai dengan sabda Nabiﷺ  , “... karena sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian adalah haram di antara kalian, sebagaimana kehormatan hari ini, di bulan ini, di negeri ini.” [2]

Allah  memberikan ancaman orang yang membunuh seorang Muslim dengan azab yang pedih dalam firman-Nya,

“Dan barang siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.”

(QS. An-Nisá`: 93)

Allah juga mengharamkan membunuh kafir æimmi, kafir musta’min dan kafir mu’ahad [3] . Allah berfirman,

“Allah tiada melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”

(QS. Al-Mumtañanah: 8)

Rasulullah juga bersabda, “Barang siapa yang membunuh kafir mu’ahad, ia tidak akan mencium aroma surga. Dan sesungguhnya aroma surga dapat tercium sejauh perjalanan empat puluh tahun.” [4]

Yang keempat, memakan harta riba. Riba adalah kelebihan yang didapatkan dari barter komoditi ribawi atau dengan menunda serah terima barang yang disyaratkan harus diserahterimakan secara kontan pada komoditi ribawi.[5] Penjelasannya, misalnya seseorang menukar satu gram emas lama dengan dua gram emas baru. Atau menukar satu ÿa’ kurma bagus dengan dua ÿa’ kurma jelek. Ini disebut dengan ribá al-faðl (kelebihan), yaitu menukar barang yang termasuk dalam komoditi ribawi –emas, perak, kurma, terigu, jawawut dan garam- dengan sejenisnya tapi dengan perbedaan kadarnya. Padahal, jual beli barang-barang tersebut disyaratkan untuk sama nilainya, satu ÿa’ dengan satu ÿa’, satu gram dengan satu gram, satu dirham dengan satu dirham tanpa ada kelebihan. Jenis yang kedua disebut ribá an-nasi`ah. Ini adalah jenis transaksi riba yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat. Bentuknya, seseorang memberikan pinjaman uang kepada orang lain dengan tambahan yang disyaratkan ketika pelunasan. Seseorang meminjamkan seratus dinar dengan syarat pengutang membayar seratus sepuluh dinar setelah satu bulan. 

 Allah  mengharamkan riba dan mengancam dengan siksa yang keras bagi orang yang memakan harta riba. Allah berfirman,

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa.”

(QS. Al-Baqarah: 276) 

Allah juga berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya.”

(QS. Al-Baqarah: 278-279) 

Jabir berkata, “Rasulullah g melaknat pemakan riba, pengutang riba, penulis transaksi riba, dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba. Beliau menambahkan, “(Dosa) mereka semua sama.” [6]

6. Yang kelima, memakan harta anak yatim. Rasulullah menyebut secara khusus harta anak yatim -walaupun memakan harta manusia secara umum termasuk dalam dosa besar-, karena anak yatim masih kecil sehingga tidak mampu menghidupi dirinya sendiri. Ia juga tidak bisa menghalangi tangan orang zalim yang merampas hartanya, berbeda dengan orang dewasa. Allah g berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”

 (QS. An-Nisá`: 7)

Yang diharamkan bukan hanya memakan harta anak yatim, sehingga mengambil atau menggunakan hartanya tidak dianggap dosa. Yang dimaksud adalah menguasai harta anak yatim, sehingga masuk di dalamnya memakannya, mengambilnya, dan menggunakannya. Penggunaan diksi ‘memakan’ karena hal itu yang paling umum dilakukan. [7] 

7. Yang keenam, lari dari medan perang. Seorang muslim tidak boleh lari dari medan pertempuran ketika memerangi orang-orang kafir, karena hal itu menunjukkan sifat penakut yang bisa menyebabkan kaum Muslimin kalah atau lemah semangat. Oleh karena itu, Allah mewajibkan kaum Mukminin untuk tegar di medan 

perang dan tidak lari. Allah berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu pasukan (musuh), maka berteguh hatilah dan sebutlah (nama) Allah banyak-banyak (berzikir dan berdoa) agar kamu beruntung.”

(QS. Al-Anfál: 45)

Allah membatasi larangan itu jika jumlah kaum musyrikin dua kali lipat atau kurang dari jumlah kaum Muslimin atau lebih sedikit. Artinya, apabila jumlah kaum musyrikin dua kali lipat daripada jumlah kaum Muslimin atau sama atau bahkan lebih sedikit, maka kaum Muslimin wajib untuk teguh berperang; dan lari dari medan perang menjadi dosa besar. Dikecualikan dari hal itu, jika larinya dari medan perang untuk bergabung dengan pasukan Islam yang akan menolongnya atau memberi pertolongan kepada mereka, bukan untuk kabur. Demikian juga, apabila jumlah kaum musyrikin lebih dari dua kali lipat jumlah kaum Muslimin, maka dibolehkan untuk lari. Allah  berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang akan menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Dan barang siapa mundur pada waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sungguh, orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah. Tempatnya ialah neraka Jahanam, dan ia seburuk-buruk tempat kembali.”

(QS. Al-Anfál: 15-16)

Allah juga berfirman, “Sekarang Allah telah meringankan kamu karena Dia mengetahui bahwa ada kelemahan padamu. Maka jika di antara kamu ada seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus (orang musuh); dan jika di antara kamu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Allah beserta orang-orang yang sabar.”

(QS. Al-Anfál: 66) 

8. Yang ketujuh, melakukan qaæaf terhadap wanita yang menjaga kehormatannya. Artinya, memfitnahnya melakukan zina, padahal ia tidak melakukannya. Yang dimaksud dengan wanita yang menjaga kehormatannya adalah wanita mukminah yang suci. [8] Maka menuduh wanita kafir yang jelas-jelas melakukan zina tidak termasuk dalam dosa besar.

 Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh, orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik, yang polos dan yang beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan di akhirat, dan mereka mendapat azab yang besar.”

(QS. An-Núr: 23)

Yang termasuk dosa besar bukan hanya menuduh wanita berzina, tetapi menuduh laki-laki juga. Sama hukumnya menuduh wanita mukminah dan lelaki mukmin, yaitu sama-sama mendapatkan hukuman had qaæaf di dunia dan siksaan di akhirat. Hal ini telah disepakati oleh para ulama. [9]  Penyebutan wanita yang polos [10] bukan berarti boleh menuduh berzina wanita yang tidak polos, atau menuduhnya berzina tidak termasuk dosa besar. Penyebutan ini untuk menunjukkan besarnya dosa yang dilakukan; menuduh wanita yang polos dan tidak melakukan perbuatan yang keji. Bahkan, wanita tersebut tidak tahu apa-apa tentang hal tersebut. [11]

 


1. (1) Para dai dan pendidik hendaklah antusias memperingatkan manusia dari dosa-dosa besar dan hal-hal yang menyebabkan turunnya murka dan siksa Allah Ta’ala.

2. (1) Dosa-dosa manusia bisa dihapuskan dengan amal saleh, seperti shalat Jumat, mengiringi haji dengan umrah dan lain sebagainya, kecuali dosa-dosa besar. Oleh karena itu, Rasulullah  bersabda, “Shalat yang lima waktu, antara Jumat yang satu dan Jumat berikutnya, antara Ramadan yang satu dan Ramadan berikutnya, adalah penghapus dosa di antara keduanya selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar.” [12] Maka jauhilah perkara yang bisa menghapuskan pahala dan jauhilah dosa yang tidak bisa dihapus dengan amal saleh.

3. (1) Jangan meremehkan dosa hanya karena tidak termasuk dosa besar, karena dosa kecil yang diremehkan bisa menjadi dosa besar. Hendaknya seorang mukmin melihat dosanya seperti gunung. Al-Fuðail bin Iyað berkata, “Jika engkau meremehkan dosa, maka dosa itu menjadi besar di sisi Allah . Sebaliknya, jika engkau menganggap besar suatu dosa, maka dosa itu menjadi kecil di sisi Allah.”  [13] Ibnu Mas’ud  juga berkata, “Sesungguhnya seorang mukmin itu melihat dosanya seakan-akan ia sedang duduk di bawah gunung yang akan runtuh menimpanya. Sedangkan seorang fajir melihat dosanya seperti lalat yang hinggap pada hidungnya. Maka ia menepisnya seperti ini.”[14]

4. (2) Berhati-hatilah dengan dosa syirik dan semua yang menyebabkan atau menjadi sarana yang menjerumuskan ke dalam kesyirikan, karena syirik itu menimbulkan kemurkaan dan siksa Allah Ta’ala serta menghapuskan pahala amal saleh. Syirik itu lebih samar daripada langkah kaki semut.

5. (2) Jika engkau ingin mendapatkan rasa aman pada hari kiamat, maka engkau harus menauhidkan Allah dan berhati-hati agar tidak melakukan syirik. Ibnu Mas’ud  berkata,

“Ketika ayat ini turun, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.’ ,

(QS. Al-An’ám: 82)

kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak menzalimi dirinya sendiri?’ Kemudian Nabi bersabda, ‘Bukan seperti ucapan kalian.’ (Yang dimaksud) ‘tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman’ adalah (tidak mencampurkan iman mereka) dengan kesyirikan. Bukankah kalian pernah mendengar ucapan Luqman kepada anaknya, Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, ‘Wahai anakku! Janganlah engkau menyekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’” (QS. Luqmán: 13). [15]

6. (3) Berhati-hatilah jangan sampai engkau mendatangi tukang sihir atau tukang ramal karena perbuatan tersebut merupakan kekufuran kepada Allah yang Mahaagung. Nabi bersabda, “Barang siapa mendatangi tukang tenung dan tukang ramal kemudian ia membenarkan ucapannya, maka ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.” [16]

7. (3) Mempelajari dan mengajarkan sihir adalah kekufuran kepada Allah Ta’ala, maka jauhilah.

8. (3) Penguasa wajib untuk menegakkan hudud (hukuman had) kepada tukang sihir, tukang tenung, dan tukang ramal agar berhenti melakukan kerusakan.

9. (4) Membunuh jiwa tanpa alasan yang benar merupakan dosa besar yang diancam oleh Allah Ta’ala dengan azab yang pedih. Bahkan, Rasulullah menegaskan bahwa semua jenis dosa berada di bawah masyí`ah (kehendak) Allah, [17] kecuali dosa syirik dan membunuh. Tujuan penegasan Rasulullah  ini adalah untuk mengancam pelaku dosa tersebut. Nabi bersabda, “Semua dosa ada kemungkinan Allah mengampuninya, kecuali seseorang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, atau seseorang yang mati dalam keadaan kafir.” [18]

10. (5) Allah Ta’ala sangat murka kepada orang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja tanpa alasan yang dibenarkan. Oleh karena itu, Allah  memberikan siksa yang tidak sama dengan dosa lainnya. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan barang siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.”

(QS. An-Nisá`: 93) [19]

11. (5) Allah Ta’ala memperingatkan pemakan harta riba, jika ia tidak meninggalkan perbuatannya maka berarti ia menantang Allah Ta’ala dan Rasul-Nya untuk berperang. Apakah engkau mampu berperang melawan Allah dan Rasul-Nya?

12. (5) Nabi bersabda, “Tadi malam aku bermimpi, ada dua orang menemuiku lalu keduanya membawaku keluar menuju tanah suci. Kemudian kami berangkat hingga tiba di suatu sungai yang airnya dari darah. Di sana ada seorang yang berdiri di tengah sungai dan satu orang lagi berada (di tepinya) memegang batu. Lalu laki-laki yang berada di tengah sungai menghampirinya, dan setiap kali dia hendak keluar dari sungai itu maka laki-laki yang memegang batu melemparnya dengan batu ke arah mulutnya hingga dia kembali ke tempatnya semula di tengah sungai, dan begitu seterusnya, setiap dia hendak keluar dari sungai, akan dilempar dengan batu sehingga kembali ke tempatnya semula. Aku bertanya, ‘Apa maksudnya ini?’ Lalu orang yang aku lihat dalam mimpiku itu berkata, ‘Orang yang engkau lihat dalam sungai adalah pemakan riba.’” [20]

13. (6) Jangan mengambil harta orang lain dengan cara yang batil, karena hal itu termasuk dosa besar. Apalagi jika pemilik harta tersebut adalah orang yang lemah. Misalnya anak yatim yang belum mampu menjaga hartanya.

14. (6) Berhati-hatilah terhadap bahaya memakan harta anak yatim, karena hal itu termasuk perkara yang membinasakan.

15. (7) Jika engkau berperang bersama kaum Muslimin untuk memerangi orang kafir maka yakinlah kepada Allah dan bertawakallah kepada-Nya. Ketahuilah, engkau sedang menjaga salah satu tapal batas Islam yang bisa dimasuki musuh. Katakan dalam hatimu, “Jangan sampai Islam dikalahkan dari sisiku.” Tetap teguhlah seraya memohon pertolongan dari Allah Ta’ala.

16. (7) Jangan sampai engkau menjadi sebab kekalahan kaum Muslimin karena menampakkan kelemahan dan kekalahan hingga berpengaruh kepada seluruh pasukan.

17. (8) Jaga lisanmu, jangan sampai menyakiti orang lain, karena lisan adalah anggota tubuh yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam neraka.

18. (8) Allah Ta’ala sangat menjaga kehormatan umat Islam dengan mewajibkan orang yang menuduh orang lain berzina untuk mendatangkan empat saksi. Jika tidak mampu, maka tuduhan tersebut termasuk dalam kategori qaæaf dan kedustaan yang pelakunya wajib untuk dijatuhi hukuman cambuk sebanyak delapan puluh kali. Jangan sampai lidahmu menjerumuskanmu dalam kebinasaan.

19. (8) Mencaci antara sesama kaum Muslimin pada masa sekarang termasuk ke dalam qaæaf, walaupun dengan niat bercanda. Jauhilah bentuk candaan seperti itu. Ketahuilah bahwa semua kata yang kau ucapkan akan dihisab.


20. Seorang penyair menuturkan,

Tinggalkan dosa yang kecil

juga yang besar, itulah ketakwaan

Jadilah seperti orang yang berjalan di atas tanah

penuh duri, ia berhati-hati dengan apa yang dilihatnya

Jangan pernah meremehkan dosa kecil

karena sungguh gunung itu hanyalah tumpukan kerikil

21. Penyair lain menuturkan,

Di antara manusia ada yang kebiasaannya menzalimi orang lain

dengan berbagai alasan yang ia kemukakan

Ia berani memakan yang haram dan mengklaim

ada kemungkinan kehalalan pada harta benda itu

Wahai orang yang memakan harta yang haram terangkan kepada kami

dengan dalil kitab mana engkau menghalalkan yang kau makan

Tidak tahukah engkau bahwa Allah mengetahui apa yang terjadi

Dia akan memutuskan seluruh perkara manusia di hari kiamat



Referensi

1. HR. Al-Bukhari (4477) dan Muslim (86).

2. HR. Al-Bukhari (67) dan Muslim (1679).

3. Kafir æimmi adalah orang kafir yang hidup di bawah pemerintahan Islam. Kafir musta’min adalah orang kafir yang meminta suaka kepada kaum Muslimin. Dan kafir mua’had orang kafir yang mempunyai perjanjian damai dengan kaum Muslimin.

4. HR. Al-Bukhari (3166).

5. Lihat: Muntahá Al-Irádát karya Ibn An-Najjar (2/347).

6. HR. Muslim (1598).

7. Yaitu bahwa orang mengambil harta orang lain biasanya dengan tujuan bisa memenuhi kebutuhan primernya, di antaranya adalah makan (penerjemah).

8. Suci bermakna tidak pernah berzina (penerjemah).

9. Lihat: At-Tauðíh Lisyarñ Al-Jámi’ Aÿ-Ÿañíñ karya Ibn Al-Mulaqqin (31/284).

10. Yaitu yang tidak pernah terlintas dalam benak untuk melakukan zina dan perbuatan keji lainnya (penerjemah).

11. Lihat: Fatñ Al-Mun’im Syarñ Ÿañíñ Muslim karya Musa Syahin Lasyin (1/291).

12. HR. Muslim (233).

13. Siyar A’lám An-Nubalá` karya Aæ-†ahabi (8/427).

14.HR. Al-Bukhari (6308).

15. HR. Al-Bukhari (3360) dan Muslim (124).                                                                                                        

16. HR. Abu Dawud (3904), At-Tirmizi (135), An-Nasá`í (9017), dan Ibnu Majah (639).

17. Yang dimaksud berada di bawah kehendak Allah yakni jika Allah berkehendak, pelaku dosa tersebut diampuni di akhirat, walaupun belum bertobat. (penerjemah)

18. HR. An-Nasá`í(3984).

19. HR. Al-Bukhari (3360) dan Muslim (124).                                                                                                        

20. HR. Al-Bukhari (2085).


 

.



1.Antusias Mu’awiyah untuk mengetahui hadis-hadis Rasulullah, sehingga beliau menulis surat kepada salah satu pejabatnya yaitu Al-Mugirah , memintanya agar menuliskan beberapa jawami’ al-kalim (sedikit kata sarat makna) yang pernah beliau dengar langsung dari Rasulullah.

2. Al-Mugirah  pun menuliskan bahwasanya setelah setiap selesai shalat, Nabi  biasanya mengucapkan, “Lá iláha illalláh wañdahu lá syarika lahu, lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘ala kulli syai`in qadír (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya, Dialah pemilik kerajaan, dan segala puji hanya milik-Nya, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu).”
Makna doa tersebut bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah, kerajaan mutlak berada di tangan-Nya . Dialah Yang memiliki kerajaan dunia dan akhirat. Dia Yang berhak mendapatkan seluruh pujian. Dia semata yang berhak mendapatkan pujian tersebut. Dia †at Yang Mahakuasa, tidak ada sesuatu pun yang mampu melemahkan-Nya. Dan Dia memiliki kekuasaan yang tampak maupun yang tersembunyi di langit dan di bumi.


3. Kemudian beliau mengucapkan, “Alláhumma lá máni’a limá a’þaita wa lá mu’þiya lima mana’ta (Ya Allah, tidak ada yang mampu menghalangi apa-apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang mampu memberi apa-apa yang Engkau halangi)”. Tidak ada seorang pun mampu menentang kehendak-Mu, tidak ada seorang pun yang mampu mencegah apa yang sudah Engkau takdirkan, atau memberikan apa yang Engkau cegah.

Allah  berfirman,

“Rahmat apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia, maka tidak ada yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan-Nya maka tidak ada yang sanggup untuk melepaskannya setelah itu. Dan Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.”

(QS. Fáþir: 2)


Nabi menutup doanya dengan ucapan,

4. “... walá yanfa’u æal jaddi minkal jaddu (Dan kekayaan itu tidak bermanfaat bagi pemiliknya dari (takdir)-Mu.” Dalam kalimat ini ada yang posisinya dikedepankan dan diakhirkan, jadi seharusnya “... walá yanfa’ul jaddu minka æal jaddi (Dan tidaklah kekayaan itu bermanfaat bagi pemiliknya dari (takdir)-Mu,” yakni kekayaan itu tidak bermanfaat bagi pemiliknya dari (takdir)-Mu, dan harta yang didapat tidak bermanfaat bagi pemiliknya untuk menolak qada dan takdir-Mu, atau menyelamatkan dirinya dari azab Allah Ta’ala. Tidak ada yang bermanfaat bagi manusia kecuali amalnya, imannya, serta rahmat yang Allah limpahkan kepada dirinya. Ini serupa dengan makna firman-Nya Ta’ala, “(Yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, (kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”

(QS. Asy-Syu’ará`: 88-899


5. Kemudian Al-Mugirah  menuliskan bahwa Nabi pernah melarang banyak berbicara tentang perkara yang tidak berfaedah, sebab membebaskan lisan bertutur kata termasuk jalan masuk yang dapat mencederai kehormatan manusia, karena itu beliaubersabda, “Barang siapa yang [1]beriman kepada Allah dan hari akhir, maka bertutur katalah yang baik atau diam.” 


6.Beliau juga melarang banyak bertanya, yaitu seseorang bertanya berbagai macam pertanyaan yang tidak berfaedah sama sekali, seperti pertanyaan mengenai permasalahan-permasalahan yang belum terjadi. Termasuk kategori banyak bertanya juga adalah banyak bertanya kepada manusia mengenai kondisi mereka sampai membuatnya tidak nyaman, yang sebenarnya merupakan urusan pribadi yang tidak ingin diketahui orang lain, dan bisa pula maksudnya meminta-minta harta kepada manusia.[2]


7.Beliau melarang seseorang menyia-nyiakan harta, yaitu membelanjakannya pada hal-hal yang diharamkan, atau berlaku boros dalam perkara-perkara yang mubah seperti dalam makanan, minuman, pakaian, dan yang semisalnya.

“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”

(QS. Al-A’ráf: 31)


8.Beliau melarang pula manusia membangkang terhadap ayah dan ibu serta menyakiti mereka, meremehkan hak mereka, dan melukai perasaan mereka. Ibu disebut secara khusus pada hadis tersebut karena haknya yang agung. Berbakti kepada ibu lebih didahulukan daripada berbakti kepada ayah, dan dikarenakan kaum wanita lebih lemah daripada kaum pria, sehingga sikap durhaka kepada para ibu lebih terasa daripada kepada para ayah.


9.Beliau melarang manusia mengubur anak perempuan dalam kondisi hidup, sebagaimana dahulu kebiasaan kaum jahiliah, sebagai bentuk kebencian mereka terhadap anak-anak perempuan dan anggapan sial terhadap mereka. Mereka menyangka bahwa anak perempuan membawa aib.

Allah  berfirman,

“Padahal apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah. Dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu.”

(QS. An-Nañl: 58-59)


10.Nabi melarang seseorang yang mencegah orang lain untuk mendapatkan apa yang menjadi haknya, berupa harta, pernyataan, perbuatan, perilaku; dan melarang seseorang untuk menuntut apa yang tidak layak untuk didapatkannya.[3] Ini termasuk gambaran terburuk dari perangai rakus, seseorang berambisi untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya, sementara hak orang lain yang ada padanya tidak dia serahkan kepada mereka.

 


1.(1) Lihatlah betapa antusiasnya para sahabat  dalam mencari ilmu dan menghafal hadis. Mu’awiyah  meski dalam kondisi sibuk sebagai khalifah dan sibuk dengan kekuasaan, beliau tidak lupa dengan porsi waktu untuk dirinya yang berkaitan dengan urusan agama dan pengetahuan hukum-hukum. Jangan sampai engkau lemah semangat dalam mencari ilmu.


2.(1) Para sahabat  bersungguh-sungguh dalam menghafal dan menyampaikan hadis-hadis Nabi , mereka adalah sosok orang-orang mulia dan alim. Setiap Muslim wajib memuliakan dan menghormati mereka, serta menutup mata dari apa yang pernah terjadi di antara mereka berkaitan dengan masalah-masalah duniawi.


3.(2) Usahakanlah menutup shalatmu dengan zikir-zikir setelah shalat yang maklum, di antaranya zikir ini, “Lá iláha illalláh wañdahu lá syarika lahu, lahul mulku walahul hamdu wahuwa ‘ala kulli syai`in qadír. Alláhumma lá máni’a limá a’þaita wa lá mu’þiya lima mana’ta walá yanfa’u æal jaddi minkal jaddu (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata tidak ada sekutu bagi-Nya, Dialah pemilik kerajaan, dan segala puji hanya milik-Nya, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Ya Allah, tidak ada yang mampu menghalangi apa-apa yang Engkau berikan, dan tidak ada yang mampu memberi apa-apa yang Engkau halangi. Dan kekayaan itu tidak bermanfaat bagi pemiliknya di sisi-Mu (untuk mencegah siksa-Mu)).”


4.(3) Percayalah dan bertawakallah kepada Allah Ta’ala, karena tidak ada seorang pun yang mampu mencegah apa yang telah Dia takdirkan, dan tidak pula menimpakan sesuatu yang tidak tertulis baginya.


5.(3) Jangan sampai engkau merasa putus asa dan putus harapan dari rahmat Allah. Jangan merasa gelisah atas takdir Allah yang menimpamu, karena apa yang ditakdirkan tidak menimpamu, maka tidak mungkin menimpamu, dan apa yang ditakdirkan akan menimpamu, tidak mungkin meleset darimu.

6.(4) Tidak ada yang bermanfaat bagimu melainkan amalmu, maka nasab, harta, kekuatan, dan kekayaan tidak berguna bagimu terhadap (azab) Allah.


7.(5) Janganlah engkau membicarakan hal yang tidak bermanfaat; karena lisan itu sumber kebinasaan. Abu Bakar  pernah memegang lidahnya seraya berkata, “Sesungguhnya ini bisa mengantarkanku pada kebinasaan.”[4]

8.(5) Pikirkan terlebih dahulu apa yang akan engkau katakan, sebelum lisanmu bergerak. Syumaiþ bin Ajlan  pernah mengatakan, “Wahai bani Adam, sungguh selama dirimu bisa diam, niscaya engkau akan selamat. Dan jika engkau berbicara, waspadalah, karena akibatnya bisa baik atau buruk bagimu.”[5]


9.(5) Umar bin Al-Khaþþab  pernah mengatakan, “Barang siapa yang banyak bicara, banyak pula kekeliruannya, dan barang siapa yang banyak kekeliruannya, banyak juga dosanya, dan barang siapa yang banyak dosanya, maka neraka lebih layak baginya.”[6]


10.(6) Janganlah engkau bertanya hal-hal yang tidak bermanfaat bagimu. Jika pertanyaan tersebut tentang sesuatu yang berkaitan dengan urusan agama, maka janganlah bertanya hal yang jika diketahui pun tidak berfaedah seperti pertanyaan tentang perkara yang belum terjadi, atau perkara-perkara yang tidak bermanfaat atau membahayakan si penanya. Usahakan pertanyaan yang diajukan merupakan hal yang bermanfaat bagimu di dunia dan akhirat.

11.(6) Jangan membuat orang lain merasa berat hati dalam menjawab pertanyaanmu, mengenai kondisinya, kabar keluarganya, yang seolah mengharuskan ia membeberkan rahasia rumah tangganya.


12.(7) Membelanjakan harta pada perkara kebajikan dan ketaatan tidak termasuk menyia-nyiakan harta, maka dari itulah Abu Bakar  membelanjakan seluruh hartanya di jalan Allah Ta’ala, dan Umar  pun membelanjakan separuh hartanya, dan itu semua tidak termasuk menyia-nyiakan harta.

13.(7) Seorang Muslim tidak dilarang untuk membelanjakan hartanya dalam berbagai kenikmatan dan hal-hal yang baik, namun ia dilarang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam hal tersebut.


14.(8) Jangan sampai engkau berbuat durhaka karena hukumannya disegerakan di dunia sebelum di akhirat kelak.


15.(8) Apabila perbuatan durhaka kepada orang tua hukumnya haram, maka durhaka kepada ibu lebih diharamkan lagi, janganlah kelembutan dan kelemahannya menjadikanmu durhaka kepadanya.


16.(9) Allah mengharamkan membunuh anak perempuan dan menguburnya hidup-hidup karena khawatir akan jatuh miskin dan membawa aib. Allah mewajibkan kepada seorang ayah untuk mendidik anak perempuannya dengan benar, dan diharamkan mengurangi haknya atau menzaliminya dalam pembagian warisan.


17.(10) Tunaikanlah kewajibanmu, jangan bersikap bakhil.

18.(10) Jangan sampai engkau bersikap rakus terhadap apa yang dimiliki orang lain. Ridalah dengan apa yang Allah bagi untukmu, niscaya engkau akan menjadi orang yang paling kaya.

 

Referensi

  1.  HR. Al-Bukhari (6019) dan Muslim (48)
  2.  Masyáriq Al-Anwár ‘alá Ÿiññah Al-Ášár karya Al-Qáði ‘Iyað (2/201)
  3. Al-Kásyif ‘an Haqá`iq As-Sunan karya Aþ-±ibbi (10/3157)
  4. Jāmi’ Al-‘Ulúm wa Al-ôikam karya Ibnu Rajab (1/340).
  5. Jāmi’ Al-‘Ulúm wa Al-ôikam karya Ibnu Rajab (1/340)
  6. Jāmi’ Al-‘Ulúm wa Al-ôikam karya Ibnu Rajab (1/339).



Dalam hadis ini, Nabi  menyebutkan salah satu bukti rahmat Allah kepada hamba-Nya yang beriman. Allah tidak menganggap dosa atas sesuatu yang terlintas dalam hati manusia berupa pikiran dan bisikan-bisikan hati selama belum diwujudkan dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Sama saja apakah pikiran yang terlintas itu mengarah pada maksiat, gibah, kesyirikan dan lain sebagainya, selama hal itu terlintas dalam pikirannya tanpa sengaja. Hal ini tidak dianggap dosa selama dia berusaha menyingkirkannya dari pikiran dan tidak terus menerus memikirkannya.

Sejumlah sahabat datang kepada Nabi ﷺ dan bertanya, “Kami menemukan dalam hati kami sesuatu yang dianggap dosa besar jika kami ucapkan.” Nabi bertanya, “Kalian benar-benar merasakan dalam hati kalian?” Mereka menjawab, “Betul.” Nabi ﷺ bersabda, “Itu adalah iman yang nyata.[1]” Artinya, sebab munculnya perasaan waswas tersebut adalah bentuk keimanan yang murni dan nyata, karena orang yang tidak beriman tidak akan merasakan hal itu.

Akan tetapi, jika terlintas pikiran dalam hati seseorang kemudian ia berniat untuk melakukannya ketika ada kesempatan untuk itu, maka ia berdosa, sehingga dia seperti orang yang melakukannya, karena ketika itu sudah bukan lagi pikiran yang terlintas, tetapi sudah berubah menjadi niat di dalam hati. Nabi bersabda, “Permisalan umat ini seperti empat orang. Seorang dari mereka dianugerahi harta dan ilmu oleh Allah, kemudian ia mengamalkan ilmunya dan bersedekah dengan hartanya sesuai haknya. Yang lain dianugerahi ilmu oleh Allah tapi tidak dianugerahi harta. Ia kemudian berkata, ‘Seandainya aku mempunyai (harta) seperti orang itu, pasti aku melakukan seperti apa yang ia lakukan.’ Rasulullah bersabda, ‘Mereka berdua mendapatkan pahala yang sama.’ Kemudian permisalan yang lain, seseorang dianugerahi harta oleh Allah dan tidak dianugerahi ilmu. Ia bertindak ceroboh dengan hartanya dan membelanjakannya tidak sesuai haknya. Yang lain tidak diberikan ilmu dan harta oleh Allah dan kemudian berkata, ‘Seandainya aku mempunyai (harta) seperti orang itu, pasti aku melakukan seperti apa yang ia lakukan.’ Rasulullah bersabda, ‘Mereka berdua mendapatkan dosa yang sama.[2]’

Pada awal-awal masa Islam, seorang hamba dihisab atas pikiran yang terlintas yang ia sembunyikan di dalam hati, kemudian Allah menurunkan rahmat-Nya dan berbelas kasih kepada umat Islam dengan tidak menjadikan hal tersebut sebagai dosa.

 

1.Seorang mukmin tidak selayaknya bersedih hati dengan waswas yang menghampirinya yang membuatnya ragu dalam masalah agama dan ibadahnya. Karena hal itu menunjukkan keimanannya dan usaha Iblis untuk menyesatkannya.

2.Jika seorang hamba merasakan bisikan dalam hatinya yang berhubungan dengan sifat Allah, hakikat wujud-Nya, dan sejenisnya yang bisa membuatnya ragu-ragu, maka hendaknya ia memohon perlindungan kepada Allah dengan tidak meneruskan waswasnya tersebut. Nabi bersabda, “Setan mendatangi salah seorang di antara kalian dan mengatakan, ‘Siapa yang menciptakan ini, siapa yang menciptakan ini, hingga dia mengatakan dalam hatinya: Siapa yang menciptakan Tuhanmu?’ Jika sampai pada hal itu, hendaklah ia berlindung kepada Allah dan berhenti (memikirkan waswas tersebut).[3]” Dalam riwayat Muslim disebutkan, “Hendaklah ia mengatakan, ‘Aku beriman kepada Allah.’”

3.Jangan pernah menyepelekan niat. Bisa jadi, engkau diazab karena niat burukmu walaupun belum engkau lakukan. Bayangkan engkau diazab dengan azab yang ditimpakan kepada Qarun, Firaun, dan Hamman karena berniat melakukan apa yang mereka lakukan jika engkau dianugerahi harta dan kekuasaan, padahal engkau orang miskin yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa. 


4.Kendalikan niatmu semampumu. Usahakan untuk selalu berniat melakukan kebaikan sepanjang hidupmu agar engkau diberikan pahala walaupun belum mampu mewujudkannya. Rasulullahﷺ  bersabda, “Barang siapa yang memohon kepada Allah mati syahid dengan tulus, maka Allah akan mengantarkannya pada derajat para syuhada walaupun ia meninggal di atas ranjangnya.”[4]


5.Apabila engkau mendapati dalam hatimu pikiran maksiat, maka hentikan pikiran tersebut, jangan menyibukkan diri dengannya, dan janganlah bersedih karena hal tersebut tidak membahayakanmu.

 


Referensi

  1. [1] HR. Muslim (132).
  2. [1] HR. Ibnu Majah (4228) dan Ahmad (18024).
  3. [1] HR. Al-Bukhari (3276) dan Muslim (134).
  4. [1] HR. Muslim (1909).





1. Nabi   memberikan motivasi untuk berdakwah di jalan Allah Ta’ala dan menyebarkan hukum-hukum agama di tengah-tengah manusia. Hal itu beliau lakukan dengan menjelaskan pahala dan keutamaan para dai. Barang siapa yang menyeru kepada salah satu pintu kebaikan -entah amalan itu besar atau kecil-, maka ia mendapatkan pahala yang sama seperti orang yang mengikuti dan meneladannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. 
Dakwah itu tidak terbatas hanya dengan lisan saja, tetapi termasuk juga perbuatan. Jika seorang Muslim mengerjakan suatu amalan sunnah, lantas ada orang lain yang mengikutinya, maka ia mendapatkan pahala sebagaimana yang didapat oleh orang yang mengikutinya.


2.Nabi   memperingatkan agar tidak menyesatkan dan menyimpangkan manusia. Barang siapa yang menyeru kepada kekafiran dan kesyirikan, kepada salah satu perbuatan bidah, atau kepada sebuah kemaksiatan, entah itu berupa ucapan atau perbuatan, maka ia mendapatkan dosa kesesatannya dan dosa orang yang mengikuti kesesatannya. Dosa yang dia dapatkan itu tidak mengurangi dosa orang yang mengikutinya sedikitpun, masing-masing mendapatkan dosa yang utuh.

Allah Ta’ala berfirman,

“ (ucapan mereka) menyebabkan mereka pada hari Kiamat memikul dosa-dosanya sendiri secara sempurna, dan dosa-dosa orang yang mereka sesatkan yang tidak mengetahui sedikit pun (bahwa mereka disesatkan).”

(QS. An-Nañl: 25)

Nabi   juga bersabda, “Tidak satu jiwa pun yang dibunuh secara zalim, melainkan anak Adam yang pertama turut mendapatkan dosanya, karena dialah yang pertama kali melakukan pembunuhan.”[1]

Hadis tersebut dikuatkan dengan hadis lainnya, yaitu sabda beliau, “Barang siapa yang mengerjakan suatu amalan baik di dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya, dan mendapatkan pahala orang yang mengerjakannya setelahnya, tanpa mengurangi sedikit pun pahala mereka. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu amalan buruk di dalam Islam, maka ia mendapatkan dosanya dan mendapatkan dosa orang yang mengerjakannya setelahnya, tanpa mengurangi sedikit pun dosa mereka.[2]”

 


  1. (1) Apabila engkau ingin kebaikanmu bertambah, maka berdakwahlah di jalan Allah Ta’ala, karena engkau akan meraih pahala seperti pahala orang yang mengikutimu.
  2. (1) Para dai di jalan Allah Ta’ala termasuk pelaku sedekah jariah yang akan terus bertambah sepeninggal mereka, pahalnya tidak akan berhenti, maka semangatlah agar kebaikanmu tetap mengalir dan keburukanmu berhenti.
  3. (1) Bergegaslah untuk menghidupkan sunnah-sunnah yang banyak dilalaikan oleh kaum Muslimin, dengan menghidupkan kembali sunnah tersebut, engkau akan meraih rida Allahdan cinta Nabi-Nya   serta pahala orang-orang yang mengikutnya.
  4. (1) Menebarkan ilmu syar’i termasuk metode terpenting dalam berdakwah di jalan Allah . Melalui ilmu tersebut, manusia mengetahui hukum-hukum agama mereka, sehingga mereka pun menunaikan perintah-perintah-Nya dan berhenti melanggar larangan-larangan-Nya
  5. (2) Jauhilah dosa-dosa jariah. Betapa banyak manusia yang sudah mati, namun para malaikat pencatat amal masih mencatat dosa-dosa mereka! Mereka dahulu menyeru kepada kesesatan, kesyirikan, kebidahan, dan kemaksiatan, lantas diikuti oleh orang lain.

6.(2) Orang yang bahagia ialah orang yang menjadi pelopor dalam kebaikan, sedangkan orang yang sengsara ialah orang yang menjadi pelopor menuju Jahanam. Hal ini sebagaimana disebutkan di dalam firman Allah ,

“Dan Kami jadikan mereka para pemimpin yang mengajak (manusia) ke neraka.”

(QS. Al-Qaÿaÿ: 41)

Referensi

  1.  HR. Al-Bukhari (3335) dan Muslim (1677)
  2. . HR. Muslim (1017).






Nabi  membuat perumpamaan untuk menjelaskan betapa pentingnya dakwah di jalan Allah Ta’ala dan nasihat karena Allah. Sekiranya tidak ada yang mengingkari kemungkaran, niscaya semua manusia akan binasa. Beliau menggambarkan orang taat yang menjaga batasan-batasan Allah Ta’ala, menunaikan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya; dan menggambarkan pelaku maksiat yang mengabaikan hukum-hukum syariat, ia terjerumus ke dalam nafsu syahwat dan kesenangannya, diumpamakan seperti suatu kaum yang berada di sebuah kapal yang berlayar di atas air yang tawar, mereka melakukan undian untuk menentukan siapa yang menempati bagian atas perahu dan siapa menempati bagian bawah. Setelah tuntas undiannya, maka semuanya menuju tempatnya masing-masing. Orang-orang yang berada di bawah, saat hendak minum atau mengambil air 

untuk kebutuhan mereka, mereka harus naik ke bagian atas perahu. Mereka mengambil air di sana lalu turun lagi. Lantas mereka mengusulkan jika di bawah perahu -yaitu bagian mereka- dilubangi untuk mendapatkan air, daripada harus naik dan turun. Dengan demikian mereka nyaman dan tidak mengganggu tetangga mereka yang di atas. Jika orang-orang yang di atas membiarkan mereka melakukan apa yang diinginkan, dengan anggapan bahwa itu merupakan hak mereka untuk berbuat sekehendaknya, niscaya semuanya akan binasa, karena dengan melubangi perahu akan menenggelamkannya, hal ini tidak diragukan lagi. Namun bila mereka melarang melakukan hal itu, niscaya semuanya akan selamat.


Begitu juga kondisi antara orang-orang mukmin dan para pelaku maksiat. Jika mereka membiarkan para pelaku maksiat dengan kemaksiatan mereka tanpa ada pengingkaran terhadap mereka, maka semuanya layak mendapatkan hukuman Allah Ta’ala. Para pelaku maksiat dihukum karena kemaksiatan mereka, dan yang diam dihukum karena membiarkan mereka tanpa ada pengingkaran, sebagaimana tercantum di dalam sabda beliau , “Sesungguhnya jika manusia melihat kemungkaran namun tidak mengubahnya, maka dikhawatirkan Allah akan menurunkan hukuman-Nya kepada mereka semua.”[1] Dan Allah telah melaknat Bani Israil tatkala mereka meninggalkan amar makruf nahi mungkar.

Allah  berfirman,

“Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan (ucapan) Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka tidak saling mencegah perbuatan munkar yang selalu mereka perbuat. Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat.”

(QS. Al-Má`idah: 78-79)




1.Membuat contoh permisalan termasuk metode yang efektif dalam dakwah di jalan Allah , demikian pula dalam pembelajaran Karena itu, seyogianya seorang guru dan pendidik mendekatkan suatu makna yang dapat dipahami akal manusia dengan cara membuat permisalan yang konkret supaya makna (apa yang ingin disampaikan) mudah dipahami.[2]


2.Seorang mukmin sejati tidak akan merasa cukup dengan kebaikan pada dirinya saja, tetapi ia juga harus memperhatikan masyarakat sekitarnya, dan berupaya untuk menjelaskan risiko yang mengancam agama dan dunia mereka.

3.Tidak melakukan amar makruf nahi mungkar termasuk penyebab datangnya kehancuran dan terjadinya kebinasaan di dalam masyarakat secara keseluruhan.

Hal ini sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,

“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.”

(QS. Al-Anfál: 25)

4.Jangan sampai engkau mengira bahwa tidak melakukan maksiat sudah cukup mencegah turunnya azab Allah Ta’ala, tetapi engkau tetap wajib untuk mengingkari kemaksiatan semampumu.

5.Jangan sampai engkau mengurungkan niat untuk mengingkari kemungkaran, lantaran engkau sudah mengetahui bahwa orang yang akan engkau nasihati tidak akan mendengarkanmu. Kewajibanmu hanyalah menyampaikan nasihat, dan Allah yang akan memberikan hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki.


6.Seorang Muslim yang melihat sebuah kemungkaran dan dia mampu untuk mengubahnya, maka dia tidak boleh membiarkannya,

karena Allah telah berfirman,

“Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan (ucapan) Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka tidak saling mencegah perbuatan munkar yang selalu mereka perbuat. Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat.”

(QS. Al-Má`idah: 78-79)

Referensi

  1.  HR. Ahmad (1), Ibnu Majah (4005), Abu Daud (4338), dan At-Tirmiæi (3057)
  2. Lihat: Syarñ Riyað Aÿ-Ÿáliñín karya Ibnu Ušaimin (2/433).


  1. Seorang tabiin, Thariq bin Syihab menyebutkan bahwa Marwan bin Al-Hakam adalah orang pertama yang membuat bidah mendahulukan khotbah sebelum shalat Id. Telah kita ketahui, bahwa shalat Id di dalam agama Allah Ta’ala dikerjakan sebelum khotbah, hanya saja Marwan khawatir orang-orang pergi setelah shalat, maka ia ingin menyampaikan khotbah sebelum mereka pergi.[1] Lantas seorang laki-laki berdiri menghampirinya untuk menasihatinya dan menjelaskan tata cara yang sunnah, yaitu mengerjakan shalat terlebih dahulu kemudian khotbah, namun Marwan tidak menerima nasihatnya, dan mengatakan kepadanya, “Orang-orang sudah meninggalkan apa yang engkau sampaikan.”

  2. Kala itu, Abu Sa’id Al-Khudri  berkata, “Adapun laki-laki ini yang sudah menasihati Marwan, maka ia telah menunaikan kewajibannya berupa nasihat dan amar makruf nahi mungkar. Kewajibannya telah gugur, karena Allah tidak akan membebani jiwa di luar kemampuannya.”

    Allah berfirman,

    “Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan (amanat Allah).”

    (QS. Al-Má`idah: 99)

  3. Kemudian Abu Sa’id berdalil dengan hadis yang pernah ia dengar langsung dari Nabi, beliau bersabda, “Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran -yaitu segala sesuatu yang dinilai buruk dan dibenci oleh syariat- hendaklah ia mengubah dengan tangannya.”

Mengubah dengan tangan bukan berarti seorang Muslim bergegas untuk merusak harta benda, barang-barang, atau menumpahkan darah, sehingga justru menjadi penyebab timbulnya fitnah, berisiko menyakiti dan membahayakan orang lain. Namun syarat mengubah dengan tangannya ialah mampu melakukannya tanpa menimbulkan dampak bahaya. Sebagai contoh: pihak berwenang yang mampu mengubah kemungkaran melalui kewenangan yang ia miliki, dan seorang ayah dan suami yang sedang mendidik anak-anaknya serta mencegah kemungkaran terjadi pada keluarganya. Apabila seseorang tidak mampu mengubahnya dengan tangannya, maka sebaiknya meminta bantuan kepada pemimpin atau wakilnya untuk mengubahnya. Jika tidak mampu, maka kewajiban mengubah dengan tangan telah gugur.

4.  Apabila seseorang tidak mampu mengingkari dengan tangannya, seperti kekhawatirannya terhadap bahaya atau fitnah yang muncul setelahnya, hendaklah mengubah kemungkaran dengan lisan, yaitu mengingkari perbuatan maksiat yang dilakukan oleh seseorang, dan mengajaknya untuk kembali ke jalan Allah Ta’ala. Selain itu, hendaklah ia memotivasinya agar bertobat dan menyingkirkan kemungkaran tersebut, serta menggunakan metode yang sesuai dengan kondisi lawan bicaranya seperti lemah lembut atau teguran keras. Hal ini berdasarkan firman-Nya,

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik.”

(QS. An-Nañl: 125)

5.  Apabila ia merasa khawatir dan tidak mampu mengingkari dengan lisannya, maka ia harus mengingkarinya dengan hatinya, yaitu benci terhadap kemungkaran tersebut dan berlepas diri kepada Allah Ta’ala dari kemungkaran tersebut, serta bertekad jika suatu saat ia mampu mengubahnya, dia akan melakukannya.

Mengingkari dengan hati merupakan tingkatan iman yang paling lemah, maka tidak ada lagi tingkatan setelah mengingkari dengan hati, melainkan seseorang merasa nyaman dengan perbuatan maksiat dan rela terhadapnya, meskipun ia tidak melakukannya. Karenanya ada sebuah riwayat lain menyebutkan, “Tidak ada keimanan lagi, bila kondisinya lebih rendah dari itu, walaupun sebesar biji sawi.”[2] 

Amar makruf nahi mungkar merupakan hal paling wajib, dampaknya sangat baik bagi masyarakat dan penegakkan syariat Allah Ta’ala. Hukumnya fardu kifayah, jika sudah ada sebagian orang yang menunaikannya maka yang lainnya tidak berdosa. Namun bisa juga menjadi wajib bagi seseorang, jika tidak ada orang lain yang melihat kemungkaran selain dirinya, atau kemungkaran berada di dalam keluarganya dan siapa pun yang memiliki wewenang terhadap mereka.[3]

Apabila kemungkaran yang hukumnya diketahui oleh orang banyak, seperti meninggalkan shalat dan puasa, durhaka kepada kedua orang tua, minum khamar, zina, dan lain sebagainya, maka setiap individu kaum Muslimin harus mengingkarinya. Adapun jika perkaranya termasuk perkara yang hukumnya tidak diketahui oleh setiap orang, maka mengingkarinya harus dilakukan oleh ulama. 


  1. (1) Di dalam hadis ini terdapat penjelasan bahwa seseorang yang membuat-buat perkara baru di dalam agama yang bukan termasuk bagian darinya, maka amalannya akan tertolak, dan amal seorang manusia tidak akan diterima kecuali bila sesuai dengan petunjuk Rasulullah .

  2. (1) Laki-laki yang beranjak menasihati Marwan bin Al-Hakam tidak merasa takut dari pukulan atau kelalimannya, dan ia tetap menyampaikan nasihat kepadanya. Maka seorang Muslim tidak boleh merasa takut untuk mengingkari kemungkaran selama tidak sampai kepada kondisi yang risikonya tidak bisa dihadapinya.

  3. (2) Jangan sampai engkau mengurungkan niat untuk mengingkari kemungkaran lantaran sudah tahu bahwa orang yang engkau nasihati tidak akan mendengarkanmu. Kewajibanmu hanyalah menyampaikan nasihat, dan Allah yang akan memberikan hidayah kepada siapa saja yang Dia kehendaki.

  4. (2) Jangan sampai engkau mengira bahwa menjauhi kemaksiatan sudah cukup menyelamatkan dirimu, karena sesungguhnya sikap tidak mengingkari bisa mendatangkan hukuman. Nabi bersabda, “Sesungguhnya ketika manusia melihat suatu kemungkaran namun tidak mengubahnya, maka dikhawatirkan Allah akan menurunkan hukuman-Nya secara merata.”[4]

  5. (3) Apabila seorang Muslim melihat kemungkaran dan ia mampu untuk mengubahnya, maka dia tidak boleh membiarkannya tanpa mengubahnya.

    Allah berfirman,

    “Orang-orang kafir dari Bani Israil telah dilaknat melalui lisan (ucapan) Daud dan Isa putra Maryam. Yang demikian itu karena mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka tidak saling mencegah perbuatan munkar yang selalu mereka perbuat. Sungguh, sangat buruk apa yang mereka perbuat.”

    (QS. Al-Má`idah: 78-79)

  6. (3) Jangan sampai engkau mengubah kemungkaran mengakibatkan kemungkaran yang lebih besar darinya, tetapi bersikap bijaklah saat mengubah kemungkaran. Jika engkau melihat bahwa mengingkari kemungkaran dengan lisan lebih efektif daripada mengingkari dengan tangan, maka lakukanlah.

  7. (3) Mengubah kemungkaran dengan tangan syaratnya harus benar-benar mampu, serta aman dari bahaya dan fitnah, jika syarat tersebut terpenuhi, maka lakukanlah.

  8. (3) Di antara bentuk mengubah kemungkaran dengan tangan, seseorang tidak rela membiarkan istrinya, putrinya atau saudara perempuannya keluar rumah dengan bersolek, saat itu ia tidak cukup hanya menyampaikan nasihat, bahkan harus melarang dari perbuatan tersebut.

  9. (3) Di antara bentuk mengubah kemungkaran dengan tangan, seorang Muslim memerintahkan keluarganya untuk shalat dan ibadah lainnya, serta menjatuhkan hukuman ketika hal itu dianggap bisa menyadarkannya.

  10. (3) Di antara bentuk mengubah kemungkaran dengan tangan, seorang Muslim harus menghilangkan semua simbol-simbol kesyirikan dan kemaksiatan, seperti: gambar-gambar (makhluk bernyawa), patung, azimat, dan yang semisal.

  11. (4) Apabila engkau tidak mampu mengubah kemungkaran dengan tangan, namun hanya bisa menasihatinya serta menjelaskan kebenaran dengan bijak tanpa menimbulkan fitnah atau bahaya, maka lakukanlah.

  12. (4) Mengubah kemungkaran dengan lisan bukan dengan celaan, tuduhan, hinaan, dan gibah, namun dengan nasihat memerintahkan kepada kebaikan dengan cara yang baik, dan mencegah kemungkaran bukan dengan kemungkaran.

  13. (4) Seorang Muslim yang tulus wajib menyegerakan amar makruf nahi mungkar, jangan sampai terhalang oleh rasa segan lantaran kedudukan orang yang dinasihati dalam masalah dunia lebih tinggi darinya.

    Allah berfirman,

    “(Yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata, ‘Tuhan kami ialah Allah.’ Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentu telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Allah pasti akan menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sungguh, Allah Mahakuat, Mahaperkasa.”

    (QS. Al-ôajj: 40)

  14. (4) Amar makruf nahi mungkar hanya menjadi kewajiban para pemimpin atau pemerintah, tetapi itu merupakan kewajiban setiap individu kaum Muslimin. Sehingga setiap Muslim wajib memerintah dan melarang, selama mengetahui apa yang ia perintahkan (adalah perkara makruf) dan yang ia larang (adalah perkara munkar).

  15. (4) Di antara bentuk kasih sayang kepada sesama Muslim yang sedang bermaksiat dan nasihat kepada masyarakat Muslim ialah dengan meraih tangannya (kea rah kebaikan).

  16. (4) Seorang mukmin sejati tidak akan merasa cukup dengan kebaikan pada dirinya saja, tetapi ia juga harus memperhatikan kepentingan masyarakat sekitarnya, dan berupaya untuk menjelaskan risiko yang membahayakan agama dan dunia mereka.

  17. (4) Di antara bentuk musibah terbesar bagi seseorang, ia meninggalkan amar makruf nahi mungkar demi mendapatkan rasa simpati dari orang dicintainya, karena hubungan kerabat, kawan karib, atau sikap lemah terhadap pimpinan, karena sesungguhnya laknat yang menimpa Bani Israil disebabkan karena mereka enggan melakukan amar makruf nahi mungkar di antara mereka.

  18. (5) Apabila seorang Muslim tidak mampu mengingkari kemungkaran dengan lisan, maka ia wajib mengingkarinya dengan hatinya dan membenci kemaksiatan tersebut. Selain itu, ia berlepas diri darinya dan bertekad sekiranya memungkinkan maka ia akan mengubah dengan tangan atau lisannya.

  19. (5) Di antara bentuk mengingkari dengan hati adalah berlepas diri dari kesyirikan dan para pelakunya. Seorang Muslim harus membenci orang-orang musyrik dan kafir. Tidak boleh bersikap loyal dan mencintai mereka dengan kebencian mereka kepada Allah Ta’ala dan kebencian-Nya kepada mereka.

  20. (5) Ujilah hati dan imanmu. Jika engkau melihat kemungkaran lantas engkau mengingkari dengan tangan, lisan, atau hati, maka di dalam dirimu masih ada iman sesuai dengan kadar pengingkaranmu. Namun bila engkau bersikap tidak peduli dengan hal itu, juga tidak menaruh perhatian, maka ketahuilah bahwa dirimu jauh dari taman orang-orang mukmin.

  21. (5) Mengingkari kemungkaran dengan hati, padahal ia mampu mengingkarinya dengan tangan atau lisan, maka ini merupakan kelemahan iman seorang hamba, maka berusahalah untuk bisa menjadi bagian dari orang mukmin yang sempurna imannya.

  22. (5) Duduk di majelis yang hanya berisi permainan, gibah, adu domba, dan mengerjakan hal yang haram, maka ini menunjukkan sikap tidak mengingkari kemungkaran dengan hati. Jika memang benar, niscaya engkau membenci majelis tersebut dan beranjak meninggalkannya.

Referensi

  1. Lihat: Kasyf Al-Musykil min Hadíš Aÿ-Ÿañíñain karya Ibn Al-Jauzí (2/173).
  2. HR. Muslim (50).
  3. Syarñ Al-Arba’ín An-Nawawiyah karya Ibnu Daqiq Al-’Id (hal. 112).
  4. HR. Ahmad (1), Ibnu Majah (4005), Abu Daud (4338), dan At-Tirmiæi (3057).


  1. Nabi memberitahukan bahwa agama ini akan tetap ada sampai hari kiamat, selama masih ada orang yang membawa panjinya, membela, dan mendakwahkannya. Senantiasa akan ada sekelompok manusia yang menampakkan dan membela kebenaran atas musuh-musuh mereka, tidak menutup-nutupi agama mereka, bahkan menampakkannya dengan terang-terangan dan mendakwahkannya,[1] hingga hari kiamat datang dan tiba urusan Allah Ta’ala, sedangkan mereka masih dalam kondisi tersebut.

Yang dimaksud dengan urusan Allah Ta’ala di sini adalah angin sejuk yang berembus sebelum terjadinya hari kiamat, yang akan mencabut roh kaum Mukminin. Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah mengutus angin dari Yaman yang terasa lebih lembut daripada sutra, ia tidak meninggalkan siapa pun yang di dalam hatinya terdapat iman walau seukuran sebutir biji.”[2][3]

2.  Dalam riwayat lain, beliau menjelaskan sifat-sifat kelompok tersebut; mereka menegakkan perintah Allah Ta’ala; memerintahkan untuk melakukan kebaikan dan mencegah kemungkaran; memutuskan perkara dengan syariat Allah; menebarkan ilmu di tengah-tengah manusia; dan menasihati kaum Muslimin. Merekalah yang dimaksud di dalam firman-Nya ,

“Dan hendaklah di antara kalian ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

(QS. Ali Imrán: 104)

 Kelompok ini tidak akan celaka meski menyendiri dan menyelisihi kebanyakan manusia; tidak membahayakan mereka, walaupun tidak ada yang membantu dan menolong mereka.

Di dalam hadis ini terdapat isyarat bahwa di muka bumi ini pasti ada orang-orang saleh yang teguh di atas perintah-perintah Allah, menjauhi larangan-larangan-Nya, menjaga perintah-perintah syariat, tidak menghiraukan apakah manusia menentang atau sepakat dengan mereka.[4]

Kelompok yang disebutkan oleh Nabi ini tidak terbatas pada kelompok tertentu, di antaranya ada dari kalangan ahli fikih, ahli hadis, ahli zuhud, para mujahid, dan setiap pelaku ketaatan dengan macam-macamnya.[5]


  1. (1) Di dalam hadis ini terdapat salah satu tanda kenabian beliau; beliau memberitahukan agama ini tetap terjaga dan keteguhan orang-orang yang tulus di atasnya hingga akhir zaman. Hal ini terjadi sebagaimana yang beliau kabarkan. Ini menegaskan kebenaran beliau dan semakin menambah keimanan kita.

  2. (1) Jangan sekali-kali engkau mengira bahwa Islam akan berkurang dan melemah sampai akhirnya lenyap. Agama Allah itu akan kokoh dan tetap ada sampai hari kiamat, dan Allah yang akan menyempurnakan cahaya (agama)-Nya meski orang-orang kafir membencinya.

  3. (1) Para dai dan pendidik seyogianya memberi kabar gembira kepada manusia dengan berita yang meneguhkan mereka dan memasukkan rasa optimis ke dalam hati mereka. Demikian pula tetap memberikan ancaman dan peringatan kepada mereka, sehingga mereka menggabungkan antara motivasi dan ancaman, serta kabar gembira dan peringatan.

  4. (2) Semangatlah untuk menjadi bagian golongan kelompok yang ditolong tersebut. Ikutilah jalan hidayah dan dakwah, dan jauhilah orang-orang sesat dan para pelaku bidah.

  5. (2) Tanda-tanda kelompok yang dijanjikan itu yang dipuji oleh Nabi, mereka menegakkan perintah Allah Ta’ala. Perlihatkanlah hal itu pada diri dan amalanmu; apakah engkau termasuk dari mereka atau tidak?

  6. (2) Keterasinganmu bersama orang-orang yang berjalan menuju Allah Ta’ala tidak akan membahayakanmu, karena para pengikut kebenaran yang akan Allah berikan pertolongan kepada mereka pada setiap waktu dan tempat memang jumlahnya sedikit.

  7. (2) Mukmin sejati tidak akan menghiraukan orang lain yang memusuhi dan menyelisihinya, karena tujuan utama yang mulia adalah keridaan Allah Ta’ala, meski manusia murka kepadanya.

  8. (2) Orang yang berakal lagi cerdas akan menyertai orang-orang jujur di setiap waktu dan tempat, meniti jalan mereka, serta siap menolong dan membantu mereka.

Referensi

  1. Lihat: Fatñ Al-Bárí Syarñ Ÿañíñ Al-Bukhárí karya Ibnu ôajar Al-Asqalání (13/294).
  2. HR. Muslim (117).
  3. Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawí (13/66).
  4. Mirqáh Al-Mafátih Syarñ Misykáh Al-Maÿábíh karya Al-Mullá Alí Al-Qárí (9/4047).
  5. Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawí (13/67).