1. Seorang sahabat yang mulia yaitu Ámir bin Wasilah menyebutkan bahwa Náfi’ bin Al-ôariš diangkat oleh Umar bin Khaþþab sebagai gubernur Makkah. Suatu hari, beliau meninggalkan Makkah karena suatu kepentingan dan kebetulan bertemu dengan Umar di Usfán. Usfán adalah sebuah negeri yang berjarak sekitar 80 km dari Makkah. Maka Umar bertanya kepadanya siapa yang diangkat menjadi wakilnya mengurus Makkah, menjadi imam shalat dan tugas-tugas semisalnya?
2. Náfi’ memberitahukan bahwa beliau menunjuk seorang laki-laki bernama Ibnu Abza. [1] Karena Umar tidak mengenalnya, maka beliau bertanya tentang orang tersebut. Náfi’ berkata kepada Umar, “Dahulu ia atau nenek moyangnya adalah budak yang kami merdekakan.”
3. Umar perbuatan Náfi’ yang mengangkat bekas budak mengurusi urusan khalayak manusia. Padahal di Makkah banyak orang-orang merdeka dan para tokoh dari kalangan sahabat Nabi ﷺ dan para tabiin yang mampu memikul tanggung jawab tersebut. Ini bukan berarti tidak boleh mengangkat bekas budak sebagai pejabat. Bukan pula Umar menghina para budak dan bekas budak. Atau menganggap mereka lebih rendah derajatnya dari orang yang merdeka. Yang diinginkan Umar hanyalah terwujudnya kemaslahatan bagi orang banyak dan tidak terjadinya kekacauan. Karena tujuan diangkatnya gubernur adalah menata urusan publik dan mewujudkan kemaslahatan. Ini membutuhkan seorang yang cerdas, berpendirian kuat, dan mempunyai wibawa agar tidak ada yang berani merendahkannya. Maka dibutuhkan seseorang yang merdeka, dari nasab yang mulia, dan mempunyai status sebagai pemimpin di kalangan masyarakat. Jika tidak, maka orang akan meremehkannya dan tidak mau menaatinya.
4. Kemudian Náfi’ menjelaskan bahwa beliau mengangkat Ibnu Abza karena ia orang yang hafal Al-Qur`an dan orang yang memahami hukum fikih dan faraid. Walaupun ia bekas budak, akan tetapi Allah جَلَّ جَلالُه telah mengangkat derajatnya dengan kelebihan-kelebihan ini. Dan masyarakat juga mengetahui hal itu. Maka mereka menghormati dan menaatinya. Dengan demikian, urusan publik akan berjalan dengan baik dan masyarakat juga merasa tenteram.
5. Ketika mendengar itu, Umar menyetujui keputusan Náfi’. Dan kemudian beliau juga menguatkan bahwa tindakannya sudah benar karena Nabi ﷺ pernah bersabda bahwa Al-Qur`an Al-Karim bisa memuliakan dan mengangkat derajat manusia di dunia dan akhirat. Seandainya tanpa Al-Qur`an, mereka tetap menjadi orang-orang yang mempunyai derajat yang rendah. Sebagaimana Al-Qur`an juga merendahkan orang yang kafir terhadapnya dan tidak mau mengamalkan isinya, walaupun ia orang yang mulia dan mempunyai kehormatan.
1. Seorang yang mempunyai tanggung jawab haruslah sadar akan tanggung jawabnya dan mempunyai kepekaan dalam setiap situasi. Ketika Umar melihat gubernur yang diangkatnya tidak berada di tempat seharusnya, beliau bertanya, “Siapa yang ditunjuk untuk menggantikannya? Bagaimana status orang itu? Mengapa melakukan ini dan tidak melakukan itu?”
2. Jika seseorang menunjuk orang lain untuk menggantikan atau mewakilinya hendaklah ia memperhatikan kualifikasi yang dibutuhkan untuk memikul tanggung jawab tersebut dan konsekuensinya. Misalnya ketika seorang ayah, atau pemilik perusahaan atau kontraktor mengirimkan salah satu bawahannya untuk melakukan sesuatu, hendaknya ia memastikan bahwa orang tersebut amanah dan profesional. Atau misalnya ketika seorang menteri atau gubernur menunjuk orang untuk menggantikan atau mewakilinya maka orang tersebut disyaratkan mempunyai kemampuan manajerial yang baik dan mampu mewujudkan kemaslahatan bagi orang banyak.
3. Hadis ini menunjukkan bahwa orang yang mengetahui hukum dalam kitab Allah an sunnah Rasulullah didahulukan untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum Muslimin. Walaupun keadaannya miskin dan bekas budak, dengan syarat ia mampu mewujudkan kemaslahatan kaum Muslimin dan menghindari kekacauan. Umar pun pernah mencopot tokoh para sahabat dari jabatannya demi kemaslahatan umum. Sebagaimana beliau lakukan terhadap Sa’ad bin Abi Waqqáÿ, Khalid bin Walid dan lainnya.
4. Hendaklah setiap orang bertanya kepada dirinya sendiri, “Bagaimana interaksinya dengan Kitabullah? Apakah beriman kepadanya, membenarkannya, dan membiasakan tilawah, sehingga Allah جَلَّ جَلالُه mengangkat derajatnya? Ataukah ia melupakan Al-Qur`an hingga Allah merendahkannya? Itu hanya dua hal dan tidak ada yang ketiga untuknya. Qatadah berkata, “Tidak ada seorang pun yang bermajelis dengan Al-Qur`an kecuali ia keluar dengan tambahan atau kekurangan.” [2]
5. Nilai seseorang tergantung dari ilmu yang dimilikinya. Maka hendaknya para penuntut ilmu mencurahkan perhatiannya untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Karena itu adalah kemuliaannya di dunia dan akhirat.
6. Jika Al-Qur`an mengangkat derajat orang yang menghafalnya di dunia hingga menjadi pemimpin dan pemuka bagi manusia, maka sesungguhnya kedudukan yang lebih agung juga akan ia dapatkan di akhirat. Dari Abdullah bin Amr bin Al-Aÿ رضي الله عنه dari Nabi Muhammad , beliau bersabda, “Akan dikatakan kepada orang yang membaca Al-Qur`an, ‘Bacalah, naiklah dan perindah bacaanmu sebagaimana dahulu kamu memperindah bacaanmu di dunia. Sesungguhnya kedudukanmu ada pada akhir ayat yang engkau baca.”
7. Seorang penyair menuturkan, Demikianlah wahai ruh, jadilah lebah ia tidak ingin tidur atau tergoda untuk tidur Di sisimu ada Al-Qur`an, sebuah taman hijau maka hiruplah sesukamu dari embunnya Persembahkan untuk semesta bunganya yang mengandung madu yang terkenal manisnya Jangan mencari taman lain, betapa sering aku membiarkan yang baik, menyendiri dari selainnya Petunjuk dengan ikut petunjuknya dan keberuntungan dengan meniti jalannya, dan kegemilangan dengan memuliakannya
1. Beliau adalah Abdurrahman bin Abza Al-Khuza’í. Para ahli sejarah berbeda pendapat mengenai statusnya sebagai sahabat. Sebagian besar berpendapat bahwa beliau adalah seorang sahabat yang pernah bertemu Nabi, shalat di belakangnya dan meriwayatkan hadis darinya. Lihat: Tahæíb Al-Kamál karya Al-Mizzi (16/501) dan Siyar A’lám An-Nubalá’ (3/201).
2. Al-Bañr Al-Muñíþ Aš-Šajjáj karya Muhammad bin Ali Ityubí (16/458).