Nabi ﷺ mengutus Muaz bin Jabal رضي الله عنه ke Yaman sebagai dai dan gubernur sekitar tahun 9 H: 

  1. Beliau menjelaskan kepadanya bahwa ia akan mendatangi orang-orang Yahudi dan Nasrani yang memiliki kitab Taurat dan Injil. Ini agar ia mempersiapkan diri dengan baik karena mereka tentunya mempunyai ilmu tentang agama secara umum.[1]

  2. Kemudian beliau berwasiat agar Muaz رضي الله عنه memulai dakwahnya dengan mengajak mereka bersyahadat akan keesaan Allah dan kenabian Rasulullah. Karena ini adalah pokok agama yang menjadi tolok ukur diterima atau tidaknya semua perbuatan manusia. Mereka dituntut untuk menyatakan kedua syahadat ini[2], karena sejatinya mereka belum bertauhid dan belum mengakui risalah Nabi Muhammad ﷺ. Mereka menyekutukan Allah dengan Uzair dan Isa, dan mereka juga mendustakan risalah Nabi Muhammad ﷺ.[3]

  3. Kemudian beliau menjelaskan, apabila mereka telah tunduk dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, dan mereka mengakui keesaan Allah dan risalah Nabi ﷺ, maka sampaikan kepada mereka mengenai kewajiban shalat lima waktu sehari semalam, kemudian ajarkan cara melaksanakannya. 

Sabda Rasulullah, “Jika mereka mematuhimu hal tersebut,” menunjukkan keharusan untuk patuh dan melaksanakan shalat, bukan sekadar mengakui kewajibannya. Maka seorang yang bersyahadat wajib untuk meyakini kewajiban shalat dan melaksanakannya pada waktunya.[4]

4.   Kemudian beliau menyuruh Muaz رضي الله عنه untuk secara bertahap setelah menjelaskan kewajiban shalat, untuk menunaikan zakat. Lalu beliau memerintahkan Muaz رضي الله عنه untuk mengajarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan zakat kepada orang-orang kaya. Yaitu berupa kadar yang kecil yang diambil dari harta mereka, kemudian didistribusikan kepada orang-orang miskin.

5.   Setelah mereka mematuhi perintah zakat dan mau mengeluarkan kadar zakat dari harta mereka, Rasulullah mewanti-wanti Muaz رضي الله عنه untuk tidak mengambil harta yang paling berharga yang disukai oleh pemiliknya yang hatinya terikat dengan harta tersebut. Misalnya seekor kambing yang disukai dan dirawatnya dengan baik karena menghasilkan susu yang banyak atau karena sebab lain. Tidak boleh mengambil kambing tersebut untuk zakat dengan sebagai kasih sayang kepada pemiliknya. Karena memberikan kebahagiaan kepada orang miskin tidak harus dengan menyakiti hati orang kaya. Kecuali jika pemilik harta tersebut dengan rela mengeluarkan zakat dari hartanya yang paling baik, maka hal itu boleh. Dalam konteks ini, Umar bin Khattab pernah berkata kepada seseorang yang ia utus untuk mengumpulkan zakat, “Jangan kamu mengambil hewan yang digemukkan untuk disembelih, hewan yang dirawat di rumah dan tidak dibolehkan mencari makan di luar karena sangat berharga bagi pemiliknya, hewan yang akan melahirkan dan kambing pejantan.” [5]

6.   Setelah itu, Rasulullah ﷺ memperingatkan Muaz رضي الله عنه akibat berbuat zalim dalam mengambil zakat atau dalam urusan pemerintahan secara umum. Yang dimaksud dengan sabda Nabi, “Berhati-hatilah terhadap doa orang yang teraniaya,” artinya menjauhi penyebab doa tersebut, yaitu perbuatan zalim itu sendiri. Karena perbuatan zalimlah yang memicu doa atas orang yang menzalimi.

Doa seorang yang teraniaya itu didengar, diijabah, dan tidak ditolak oleh Allah. Pintu tujuh langit dibuka untuk doa tersebut, dan tidak ada yang menghalangi.[6] Dalam sebuah hadis disebutkan, “Tiga orang yang doanya tidak tertolak: orang yang berpuasa sampai ia berbuka, pemimpin yang adil, dan doa orang yang terzalimi. Allah akan mengangkatnya di bawah naungan awan, pintu-pintu langit akan dibukakan untuknya seraya berfirman, ‘Demi keagungan-Ku, sungguh Aku akan menolongmu meski setelah beberapa saat.’”[7]

Implementasi

  1. Rasulullah ﷺ mengutus Muaz رضي الله عنه ke Yaman ketika beliau berumur dua puluhan tahun. Beliau sanggup memikul tanggung jawab tersebut dan sanggup terasing dari rumah dan keluarganya dalam rangka berjuang di jalan Allah Ta’ala dan taat kepada Rasulullah ﷺ. Sanggupkah kita memikul tanggung jawab yang sama?

  2. Rasulullah ﷺ sering memberikan tanggung jawab yang besar kepada para sahabat pada usia muda mereka. Dan para sahabat tidak pernah lari dari tanggung jawab tersebut. Oleh karena itu, hendaknya para ayah, pengajar, pendidik, dan orang-orang yang seperti mereka membiasakan anak-anak yang berada dalam asuhan mereka untuk memikul tanggung jawab. Jangan menganggap kecil mereka. Dan hendaknya anak-anak tersebut menjadikan diri mereka layak untuk melaksanakan tanggung jawab yang dibebankan. 

  3. Ambillah hadis sahih dari Rasulullah ﷺ walaupun orang yang meriwayatkannya hanya satu. Nabi ﷺ mengutus Muaz h dengan membawa urusan-urusan yang besar, mengajarkan masalah akidah dan fikih, bahkan mengurus harta orang banyak. Ini semua menunjukkan bahwa hadis ahad bisa dijadikan sebagai dalil. 

  4. Kenali tabiat orang yang engkau temui. Nabi ﷺ menjelaskan kepada Muaz رضي الله عنه bahwa beliau akan mendatangi Ahli Kitab, agar mempersiapkan diri untuk berdakwah kepada mereka dengan tepat,[8] baik metode, prioritas, argumentasi dan lain-lain, karena mereka mempunyai pengetahuan tentang agama dan suka berdebat. Oleh karena itu, usahakan untuk mengumpulkan informasi yang bermanfaat sebelum memulai tugasnya. 

  5. Nabi ﷺ mempunyai perhatian untuk mengarahkan dan menasihati para bawahannya. Beliau tidak mengutus Muaz رضي الله عنه sebelum menjelaskan kondisi realitasnya, mengatur tugas pekerjaannya, memerintahkan untuk berbuat adil dan melarang berbuat zalim. Walaupun Muaz رضي الله عنه mempunyai pemahaman agama dan ilmu yang sempurna. Maka jangan abai untuk menasihati orang-orang di sekitarmu. Dan bagi yang dinasihati, hendaknya tidak merasa sombong untuk dinasihati.

  6. Nabi ﷺ mempunyai perhatian terhadap perkara-perkara yang prioritas dan bertahap dalam melaksanakannya. Beliau tidak menyuruh Muaz رضي الله عنهuntuk memulai dengan menjelaskan dosa-dosa yang sering dilakukan oleh manusia dalam kesehariannya, -walaupun hal itu juga penting-, akan tetapi memulainya dengan pokok agama dan kunci keimanan yaitu syahádatain (dua kalimat syahadat). Kemudian menjelaskan masalah shalat kemudian zakat. Maka sudah seharusnya demikian juga kita dalam mendidik, mendakwahkan, dan aktivitas pengajaran kita. Bahkan dalam semua usaha kita secara umum. Hendaknya kita memulai dari yang paling penting, kemudian yang penting dan seterusnya. Aisyah i berkata, “Sesungguhnya yang pertama-tama kali turun darinya adalah surat Al-Mufaÿÿal yang di dalamnya disebutkan tentang surga dan neraka. Dan ketika manusia telah condong ke Islam, maka turunlah kemudian ayat-ayat tentang halal dan haram. Sekiranya yang pertama kali turun adalah ayat, 'Janganlah kalian minum khamar.' Niscaya mereka akan mengatakan, 'Sekali-kali kami tidak akan bisa meninggalkan khamar selama-lamanya.' Dan sekiranya juga yang pertama kali turun adalah ayat, "Janganlah kalian berzina..' niscaya mereka akan berkata, 'Kami tidak akan meninggalkan zina selama-lamanya.’” [9]

  7. Iman, shalat, dan zakat adalah pokok keimanan yang agung yang banyak disebutkan secara berulang-ulang dan bergandengan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah. Di dalam ketiganya terdapat pahala dan dampak terhadap keimanan yang besar yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala. Maka kalaupun engkau sudah melaksanakannya, usahakanlah untuk menyempurnakannya.

  8. Nabi ﷺ mengingatkan Muaz رضي الله عنه untuk tidak mengambil zakat dari harta yang paling baik yang hati pemiliknya terikat dengannya. Dan beliau menyuruhnya untuk berbuat adil. Dalam hadis ini, terdapat pelajaran untuk berbuat adil dan menjaga perasaan orang serta memahami tabiat manusia yang bisa dicontoh oleh para dai, ayah, pendidik dan penanggung jawab agar bisa melaksanakannya. Maka hendaknya mereka selalu berbuat adil ketika menyuruh atau melarang. 

  9. Usahakan engkau tidur dalam kondisi tidak ada orang yang terzalimi yang sedang bersedih karena perkataan atau perbuatanmu. Baik itu anak, murid, pekerja, penjual, sopir angkutan umum dan lain-lain. Jangan mudah menzalimi orang yang engkau lihat lebih rendah darimu, sekalipun ia orang yang sering berbuat maksiat. Dalam hadis ini, Nabi ﷺ melarang Muaz رضي الله عنه dengan sangat keras untuk berbuat zalim, termasuk dalam interaksinya dengan orang kafir dari kalangan Ahli Kitab, yang bisa jadi di antara mereka ada yang beriman dan juga ada yang tidak beriman.

  10. Seorang penyair menuturkan,Jangan sekali-kali berbuat zalim ketika engkau berkuasa karena kezaliman selalu membawa penyesalan di akhirnyaMatamu tidur sedangkan orang yang terzalimi terus terjaga mendoakan keburukan untukmu, dan mata Allah tidak pernah tidur

Referensi

  1. Fatḥ Al-Bārī karya Ibnu Ḥajar (3/538).
  2. Kasy Al-Lisān Syarḥ ‘Umdah Al-Aḥkām karya As-Safarini (3/400).
  3. Ikmāl Al-Mu’lim bi Fawā`id Muslim karya Al-Qaḍi Iyaḍ (1/239).
  4. Lihat: Al-‘Uddah fī Syarḥ Al-‘Umdah karya Ibn Al-Aṭṭar (2/798).
  5. HR. Malik (2/372), Aṭ-Ṭabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabīr (6395), dan disahihkan oleh An-Nawawi dalam Al-Majmū’ (5/427). Sanadnya dianggap baik oleh Ibnu Kaṡir dalam Irsyad Al-Faqīh (1/248).
  6. Fatḥ Al-Mun’im Syarḥ Ṣaḥiḥ Muslim karya Musa Syahin Lasyin (1/70).
  7. HR. At-Tirmizi (3598) dan Ibnu Majah (1752) dari Abu Hurairah. Hadis ini disahihkan oleh Ibn Al-Mulaqqin dalam Al-Badr Al-Munīr (5/152).
  8. Fatḥ Al-Bārī karya Ibnu Ḥajar (3/358).
  9. HR. Al-Bukhari (4993).



  1. Pada waktu itu, Muaz رضي الله عنه membonceng di belakang Nabi ﷺ di atas keledai.

  2. Rasulullah ﷺ ingin menumbuhkan rasa ingin tahunya, maka beliau bertanya, “Apakah kau tahu apa hak Allah yang menjadi kewajiban hamba-Nya? Dan apa hak hamba yang Allah wajibkan atas Diri-Nya?” 

  3. Lalu Muaz h menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Artinya, saya tidak tahu. Ungkapan ini disampaikan dalam urusan agama. Adapun jika seseorang ditanya mengenai urusan dunia atau masalah gaib dan yang semisalnya, maka hendaknya dia mengatakan, “Allahu A’lam (Allah lebih mengetahui).”

  4. Kemudian Nabi ﷺ menjelaskan jawaban atas pertanyaan tersebut. Rasulullah ﷺ menyebutkan bahwa hak Allah e atas hamba-Nya adalah agar mereka mempersembahkan ibadah hanya untuk-Nya. Ibadah sendiri adalah istilah untuk segala hal yang dicintai dan diridai oleh Allah, baik berupa ucapan maupun perbuatan yang lahir,[1] maupun yang batin. Ibadah merupakan bentuk kerendahan diri dan ketaatan serta menghadapkan hatinya kepada Allah, Żat yang disembah. Ibadah tersebut,[2] diiringi dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun, baik seorang nabi, malaikat ataupun orang saleh. Tidak boleh menyekutukan Allah sedikit pun, walaupun hanya berupa ucapan (tanpa keyakinan).

    Ini adalah hak Allah,

    “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia.” 

    (QS. Al-Isra`: 23)

Allah Ta’ala juga berfirman,

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki agar mereka memberi makan kepada-Ku. Sungguh Allah, Dialah Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.”

(QS. Aæ- Żáriyát: 56-58)

5.   Hak hamba atas Allah –yaitu suatu hak yang Allah mewajibkan Żat-Nya sendiri untuk melakukannya sebagai bentuk kemurahan-Nya bukan kewajiban-Nya-;[3] bahwa jika para hamba menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya, maka Dia tidak memasukkan mereka ke dalam neraka. Nabi  bersabda, “Barang siapa yang bertemu dengan Allah dalam keadaan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, ia akan masuk surga, dan barang siapa yang bertemu Allah dalam keadaan menyekutukan-Nya maka ia akan masuk neraka.”

Allah berfirman,

“Sesungguhnya barang siapa mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh, Allah mengharamkan surga baginya, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang yang zalim itu.”

(QS. Al-Mā`idah: 72)

Hal ini menunjukkan bahwa seorang Muslim yang bertauhid tidak akan kekal di dalam neraka.[4] Jika amal kebaikannya lebih banyak, maka ia akan masuk surga dan tidak masuk neraka. Dan jika ia banyak bermaksiat sehingga dosanya lebih banyak, maka nasibnya di akhirat ditentukan oleh Allah. Jika berkehendak, Allah menyiksanya dalam jangka waktu yang dikehendaki-Nya, kemudian memindahkannya ke surga. Dan jika berkehendak, Allah mengampuninya dan langsung memasukkannya ke dalam surga. 

Adapun orang yang mati dalam keadaan menyekutukan Allah, maka ia tidak akan masuk surga dan akan kekal di dalam neraka selama-lamanya, dan terus menerus mendapatkan siksa.

Allah berfirman,

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar.”

(QS. An-Nisá`: 48)[5]

6.   Ketika Muaz h mendengar kabar gembira dari Nabi Muhammad ﷺ tersebut, beliau ingin menyampaikannya kepada orang lain. Maka beliau pun meminta izin kepada Rasulullah ﷺ. Rasulullah tidak mengizinkannya, karena barang kali sebagian orang akan bersandar atas tauhidnya dan malas melakukan ketaatan ketika mengetahui sabda Nabi Muhammad ﷺ tersebut.

Dalam riwayat lain dijelaskan bahwa Muaz رضي الله عنه memahami wasiat Nabi untuk tidak menyampaikan hadis ini kepada orang lain demi mencegah orang lain bersandar atas tauhid dan tidak beramal. Akan tetapi hal ini tidak membuat menyampaikan hadis ini dengan tujuan menyebarkan ilmu dan sejenisnya juga terlarang. Oleh karena itu, Muaz رضي الله عنه menyampaikan hadis ini sesaat sebelum kematiannya karena khawatir termasuk golongan orang yang menyembunyikan ilmu. 

Implementasi

  1. Jangan sombong hingga tidak mau menaiki kendaraan kecuali yang mewah. Segera introspeksi diri jika ada keengganan untuk bergaul dan makan bersama orang-orang yang tidak mempunyai kedudukan sosial yang tinggi. Ini semua menunjukkan kesombongan yang jelas ataupun tersembunyi. Rasulullah ﷺ pun mengendarai keledai, bahkan membonceng Muaz رضي الله عنه di belakangnya. Dan beliau adalah qudwah kita dalam tawaduk dan bergaul dengan manusia.

  2. Jangan menolak mengambil manfaat dari hewan tunggangan yang telah Allah tundukkan bagi manusia. Gunakan secara bijaksana. Rasulullah ﷺ dan Muaz h pun menaiki secara bersamaan di atas satu keledai yang sama.

  3. Nabi ﷺ menggunakan metode tanya jawab ketika mengajarkan kepada Muaz رضي الله عنه. Hal ini bertujuan untuk merangsang untuk berpikir, sehingga jawaban atas pertanyaan tersebut akan lebih terpatri dalam otaknya setelah tidak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan. Maka hendaknya seorang dai memilih metode-metode dakwah yang menumbuhkan semangat, merangsang otak dan menarik mata dan hati untuk menyimak. 

  4. Bukanlah aib ketika seseorang tidak mengetahui sesuatu, baik dalam urusan agama maupun dunia. Maka Muaz رضي الله عنه pun tidak merasa malu untuk mengatakan, “Allahu A’lam (Allah lebih mengetahui).” Padahal beliau adalah sahabat yang dikenal paling mengetahui masalah halal dan haram. Maka jangan sampai engkau berfatwa dalam masalah agama tanpa ilmu; baik karena sombong ataupun karena malu.

    Allah Ta’ala berfirman,

    “Dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu. Sesungguhnya (setan) itu hanya menyuruh kamu agar berbuat jahat dan keji, dan mengatakan apa yang tidak kamu ketahui tentang Allah.” . 

    (QS. Al-Baqarah: 168-169)

Dalam ayat yang lain,

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta, ‘Ini halal dan ini haram,’ untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak akan beruntung. (Itu adalah) kesenangan yang sedikit; dan mereka akan mendapat azab yang pedih.”

(QS. An-Nañl: 116-117).

5.   Ketahuilah bahwa semua hak, -baik yang engkau tuntut dari orang lain, ataupun yang orang lain tuntut darimu-, ada hak yang lebih besar dari semua itu yaitu hak Tuhanmu atasmu. Itu adalah hak yang lebih besar dari setiap nikmat Allah atasmu. Maka selalu ingatlah hal itu, dan jadikan hidupmu berjalan untuk melaksanakannya.

Allah Ta’ala berfirman,

“Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam, tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim).”

(QS. Al-An’ám: 162-163).

6.   Allah menginginkanmu untuk tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun, dengan apapun itu. Sebagaimana engkau menjauhi syirik akbar (besar) seperti: menyembah berhala, meminta tolong kepada bintang, merapal mantra kepada kekuatan yang tersembunyi, maka jauhilah syirik aṣgar (kecil) seperti bersumpah atas nama makhluk -walaupun dengan Nabi Muhammad-, memakai jimat untuk menghindari penyakit ‘ain, atau menyekutukan Allah untuk tujuan orang lain, seperti membaguskan shalat ketika dilihat orang dan yang sejenisnya. Dalam hadis Qudsi dijelaskan, “Aku (Allah) paling tidak butuh pada sekutu. Siapa yang beramal dengan mempersekutukan diri-Ku dalam amalnya, maka Aku tinggalkan dia bersama sekutunya.”[6]

7.   Selalu mawas diri, lawan setiap keburukan yang menyerang hatimu dan bergembiralah dengan kebaikan yang dijanjikan, sebagaimana dalam hadis, “Sesungguhnya Allah akan membebaskan seseorang dari umatku di hadapan seluruh makhluk pada hari kiamat. Lalu dibukakan kepadanya sembilan puluh sembilan catatan amal (dosa-dosanya). Setiap catatan sejauh mata memandang. Allah berfirman, ‘Apakah ada yang engkau ingkari dari semua hal ini? Apakah pencatatan-Ku (malaikat) itu telah menzalimimu?’ Orang itu berkata, ‘Tidak, wahai Tuhanku. Allah lalu berfirman, ‘Apakah engkau mempunyai alasan?’ Orang itu pun berkata, ‘Tidak wahai Rabb.’ Allah berfirman, ‘Bahkan engkau mempunyai satu kebaikan di sisi kami. Tidak ada kezaliman terhadapmu pada hari ini.’ Lalu dikeluarkanlah padanya sebuah kartu (biaqah) yang tertulis: Asyhadu an Lā ilāha illallāh wa anna Muhammadan ‘abduhu wa Rasūluh (aku bersaksi bahwasanya tidak ada tuhan yang berhak diibadahi selain Allah, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya). Allah berfirman, ‘Pergilah menuju timbangan amalmu!’ Orang itu berkata, ‘Wahai Rabb, apalah artinya kartu ini dengan seluruh catatan amal kejelekan ini?’ Allah berfirman, ‘Engkau tidak akan dizalimi.’ Nabi ﷺ bersabda, “Lalu diletakkanlah catatan-catatan amal kejelekan itu di satu sisi timbangan. Ternyata catatan-catatan itu ringan dan kartu itulah yang jauh lebih berat. Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat daripada nama Allah.”[7]

8.   Hadis-hadis tentang rukhsah (keringanan atau kemudahan) tidak sesuai untuk disampaikan kepada orang awam, agar tidak terjadi salah persepsi dari makna yang sebenarnya. Seperti hadis ini, ketika Muaz رضي الله عنهmendengarnya justru semakin membuatnya bersungguh-sungguh dalam beramal dan takut kepada Allah . Akan tetapi bagi orang yang belum sampai derajatnya, sangat mungkin akan membuatnya malas beramal dan hanya bersandar kepada tauhid karena salah memahami.[8] Hal ini senada dengan ucapan Ibnu Mas’ud رضي الله عنه, “Tidaklah engkau menyampaikan kepada sekelompok orang tentang sesuatu yang tidak dijangkau akal mereka, kecuali hal itu justru akan menyebabkan fitnah (kesalahpahaman) bagi mereka.”[9]

Referensi

  1. Majmū’ Al-Fatāwā (10/149, 150).
  2. Fatḥ Al-Bārī Syarḥ Ṣaḥīḥ Al-Bukhārī karya Ibnu Ḥajar (11/339).
  3. Al-Kauṡar Al-Jārī īlā Riyāḍ Ahādīṡ Al-Bukhārī karya Al-Kaurani (5/438).
  4. HR. Muslim (93) dari Jabir bin Abdillah
  5. Al-Mufhim Limā Usykil Min Talkhīs Kitāb Muslim karya Abu Al-Abbas Al-Qurṭubi (1/290).
  6. HR. Muslim (2985) dari riwayat Abu Hurairah h.
  7. HR. At-Tirmizi (2639) dan Ibnu Majah (4300).
  8. Fatḥ Al-Bārī Syarḥ Ṣaḥīḥ Al-Bukhārī karya Ibnu Ḥajar (11/340).
  9. Lihat: Muslim, setelah hadis nomor (5).

  1. Nabi  menyatakan bahwa setiap umatnya akan masuk surga, kecuali orang-orang yang menolak hal itu.

Yang dimaksud dengan umat di sini adalah umat dakwah, manusia dan jin, yang dakwah Nabi ﷺ menjangkau mereka. Maka, setiap orang yang mendengar Nabi dan mendengar ayat-ayat Allah  serta syariat-Nya, maka ia adalah umat Nabi  yang beliau diutus kepada mereka.

2.   Para sahabat pun terheran-heran akan hal ini, bagaimana mungkin orang yang berakal enggan masuk surga yang di dalamnya terdapat berbagai jenis kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, dan tidak pernah terlintas dalam pikiran manusia? Pertanyaan mereka ini mengandung pengingkaran sekaligus keheranan. 

3.   Nabi ﷺ menjelaskan kepada mereka hakikat hal tersebut, yaitu barang siapa yang mengikuti beliau, patuh kepada perintah beliau, dan menjauhi larangan beliau, maka ia beruntung dengan masuk surga dan dijauhkan dari api neraka. Adapun orang yang durhaka kepada beliau, melanggar perintah, menentang dan menghalang-halangi dari Sunnah beliau. Maka ia telah terhalang masuk surga dengan perbuatan buruk dan keyakinannya.

Orang yang digambarkan enggan masuk surga ini bisa jadi orang-orang kafir yang berpaling dari Islam secara total. Maka, golongan ini tidak akan pernah masuk surga, berdasarkan firman Allah ,

“Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.”

(QS. Áli Imrán: 85).

Allah  juga berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, tidak akan dibukakan pintu-pintu langit bagi mereka dan mereka tidak akan masuk surga, sebelum unta masuk ke dalam lubang jarum. Demikian kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat.”

(QS. Al-A’ráf: 40).

Atau bisa jadi dari kalangan umat Islam yang mengikuti hawa nafsu, meninggalkan perintah, dan mengikuti jalan orang-orang fasik. Atau mereka yang membuat-buat ajaran agama yang tidak diizinkan oleh Allah تبارك وتعالى. Mereka tidak kekal di neraka, sebab tidak ada seorang Muslim pun yang abadi di dalam neraka. Sehingga, maksudnya adalah mereka tidak masuk surga bersama orang-orang yang lebih dahulu dan pertama-tama masuk surga. Ia hanya masuk surga setelah menerima azab, perdebatan, dan celaan sebelumnya.

Implementasi

  1. Abu Hurairah  banyak meriwayatkan hadis yang tidak diriwayatkan oleh orang lain. Hal itu karena kesungguhan dan fokus terhadap hadis Rasulullah , sampai-sampai beliau bermalam dengan ahlussuffah (orang yang tinggal di serambi masjid) di masjid, makan dari apa yang mereka makan, dan minum dari apa yang mereka minum. Tidak ada sesuatu pun yang bisa mengalihkan perhatiannya dari Rasulullah . Hal tersebut adalah salah satu bentuk kesungguhan yang besar dan kemauan tinggi yang beliau miliki. Maka, sudah sepantasnya bagi siapa pun yang ingin memiliki kemauan tinggi dalam menuntut ilmu atau bersungguh-sungguh dalam suatu urusan untuk mencontoh tindakan dan kesabaran Abu Hurairah, serta senantiasa menyertai ﷺ Rasulullah .

  2. Nabi   mengucapkan perkataannya secara global yang perlu penjelasan dan perincian, agar jiwa menjadi terikat untuk mendengarkan dan menghafalnya. Oleh sebab itulah, para sahabat segera meminta penjelasan tentang hal yang samar-samar itu. Maka, setiap guru, pendidik, atau dai harus berupaya untuk menggunakan berbagai metode yang dapat menarik perhatian dan memudahkan pendengar untuk fokus dan menghafal.

  3. Masuk surga adalah keberuntungan besar yang membutuhkan hal yang mudah, yaitu mengikuti dan taat kepada Nabi  . Maka, barang siapa yang melalaikan ganimah tersebut dan mendapatkan kerugian yang nyata, maka dialah orang yang menyia-nyiakan kesempatan dan menolak masuk surga.

  4. Betapa terang dan mudahnya jalan agama ini. Demikian pula, betapa jauh agama ini dari kesusahan dan beban dalam beribadah. Sebab, itu adalah ketaatan kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya ﷺ . Abdullah bin Mas’ud   berkata, “Sesungguhnya kita hanya meneladan, tidak membuat sesuatu yang baru. Kita mengikuti (Nabi  ) dan tidak mengadakan bidah yang tidak ada dasarnya. Kita tidak akan tersesat selama kita berpegang dengan asar (jejak Rasulullah  ).”[1] 

  5. Seorang penyair menuturkan,Apabila engkau tidak mengikuti Muhammad maka katakanlah, “Aku tidak mendapat petunjuk.”Bagaimana duniamu setelah itu selama engkau tidak abadi?Apakah dunia ini negeri keabadian? Ataukah kebahagiaan? Bersikap zuhudlahBersabarlah dengan segala penderitaannya Bersungguh-sungguhlah untuk kebahagiaan hari esok

Referensi

  1. I’lám Al-Muwaqqi’īn ‘an Rabb Al-Álamīn karya Ibn Al-Qayyim (4/115).


Hadis ini merupakan salah satu hadis paling penting dalam menjelaskan tingkatan agama Islam dan merangkum prinsip-prinsipnya. Oleh karena itu, Al-Qaði Iyað berkata, “Ini adalah hadis yang sangat agung yang mencakup seluruh kewajiban dan amalan agama yang lahir maupun yang batin. Semua ilmu syariat bersumber kepadanya, dan merupakan cabang darinya.”[1]

Umar رضي الله عنه meriwayatkan bahwa:

  1. Suatu ketika mereka sedang duduk bersama Rasulullah ﷺ, tiba-tiba datang seorang laki-laki dengan ciri-ciri yang mengagumkan; seorang pemuda dengan rambut yang sangat hitam, bukan termasuk di antara sahabat Nabi ﷺ yang dikenal dan tidak terlihat datang dari jauh karena tidak ada tanda-tanda bekas melakukan perjalanan jauh seperti rambut yang kusut, muka dan pakaian yang berdebu.

  2. Laki-laki ini kemudian menerobos lingkaran sahabat yang sedang duduk dan langsung duduk di depan Nabi Muhammad ﷺ. Kemudian ia menempelkan lututnya ke lutut Nabi ﷺ, dan meletakkan tangannya di atas pahanya sendiri.  Ini menunjukkan bahwa ia menyiapkan diri untuk menuntut ilmu dan duduk dengan tawaduk di depan Nabi ﷺ.

  3. Kemudian ia berkata, “Wahai Muhammad, beritahukan kepadaku tentang Islam.” Ia mengatakan, “Wahai Muhammad,” hanya agar orang menyangka bahwa ia adalah seorang Arab Badui. Karena biasanya orang badui ketika memanggil Nabi ﷺ, mereka memanggil dengan namanya saja. Ini karena mereka tidak mempunyai ilmu dan adab seperti yang dimiliki para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Ansar yang telah mengetahui dan melaksanakan perintah Allah dalam firman-Nya,

    “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul (Muhammad) di antara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain).”

    (QS. An-Núr: 63)

    . Maksudnya, janganlah kalian memanggil Rasulullah seperti sebagian kalian memanggil teman atau saudaranya. Jangan kalian mengatakan, “Wahai Muhammad!” Tapi, katakanlah, “Wahai Rasulullah!”[2]

  4. Nabi ﷺ menjawabnya tentang Islam. Beliau menyebutkan bahwa Islam berdiri di atas lima rukun yang sudah makruf, yaitu: pertama, syahadat tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah. Ini adalah kalimat tauhid yang dengannya Allah mengutus seluruh nabi dan rasul. Syahadat yang wajib diucapkan dengan lisan, diyakini dengan hati, dan mengamalkan konsekuensinya dengan anggota badan. Sehingga dia tidak menyembah kecuali Allah; tidak merasa takut kecuali kepada Allah; tidak bertawasul kecuali kepada Allah; tidak berdoa kepada selain Allah; tidak takut dalam bentuk takut yang tersembunyi [3]kepada selain Allah; tidak boleh menyekutukan Allah dalam mahabah (kecintaan), raja’ (harapan), nazar, dan seluruh bentuk peribadatan. Harus meyakini bahwa Allah adalah satu-satunya Zat yang bisa memberikan manfaat dan mudarat. Dan bahwa tidak ada satupun makhluk yang bisa memberikan manfaat dan mudarat kepada makhluk lain kecuali dengan izin Allah. Dia-lah satu-satunya yang berhak disembah, dan semua sembahan selain-Nya adalah batil.

  5. Di antara konsekuensi kalimat tauhid adalah membenarkan apa yang dibawa oleh Rasul-Nya ﷺ, mengimani bahwa beliau diutus oleh Allah dan membenarkan risalah yang beliau dari Allah. Hal itu menuntut kita untuk beriman kepada syariatnya, melaksanakan perintahnya, dan meninggalkan larangannya. Selain itu, kita juga harus memuliakan, menghormati, menolong, membela syariatnya dan berjihad bersamanya. 

  6. Rukun Islam yang kedua ialah mendirikan shalat. Yaitu menegakkannya dengan layak dan sebagaimana mestinya ketika menunaikannya, dengan memenuhi syarat dan rukunnya serta khusyuk dan merasakan keagungan Allah dalam shalat. Oleh karena itu, Rasulullah g tidak mengatakan, “Melakukan shalat.” 

  7. Rukun yang ketiga ialah menunaikan zakat. Yaitu kewajiban terkait harta manusia dari rezeki yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya, sesuai dengan detail yang dijelaskan oleh syariat. Seorang Muslim hendaklah mengeluarkan zakat hartanya dengan hati yang ikhlas, dengan meyakini kewajibannya dan mengharapkan pahala dari Allah. Dan hendaklah ia tidak memilih harta yang paling buruk untuk dikeluarkan sebagai zakat. Hendaknya ia lebih mengutamakan rida dan pahala dari Allah.

  8. Rukun yang keempat ialah puasa. Puasa adalah menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya, berupa makan, minum dan hubungan suami istri pada bulan Ramadan, sejak terbit fajar hingga matahari tenggelam. Penjelasan mengenai hal itu bisa kita temukan dalam buku-buku fikih. Seorang mukmin hendaknya melakukan puasa atas landasan iman, mengharap pahala dari Allah, penuh ketaatan, dan tidak merasa terpaksa atau dengan menggerutu.

  9. Rukun yang kelima ialah haji ke di Makkah, dengan seluruh manasik dan ibadah yang menyertainya dan dengan ketentuan-ketentuan khusus. Haji diwajibkan sekali seumur hidup dengan syarat mempunyai kemampuan secara fisik dan finansial.

Bisa kita perhatikan dalam hadis ini, bahwa Rasulullah ﷺ merangkum definisi Islam dengan menyebutkan rukun-rukun yang Islam dibangun di atasnya. Hal ini senada dengan hadis riwayat Abdullah bin Umar رضي الله عنهما, beliau berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Islam dibangun di atas lima perkara: syahadat tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji ke Baitullah, dan puasa Ramaðán.”[4] 

Ini tidak berarti Islam hanya terbatas pada lima ibadah saja. Yang disebut dalam hadis ini adalah rukun yang membuat Islam tidak akan berdiri tanpanya. Sedangkan ibadah-ibadah yang lain merupakan penyempurna bangunan Islam yang ketiadaannya hanya berpengaruh terhadap buruknya bentuk bangunan tersebut, dan masih bisa berdiri. Berbeda dengan rukun yang ketiadaannya membuat bangunan itu menjadi roboh.

10.  Setelah Rasulullah ﷺ selesai menyampaikan jawabannya, orang itu berkata, “Engkau benar.” Maka para sahabat merasa heran, mengapa ia bertanya dengan keinginan untuk mendengar penjelasannya, namun ia juga membenarkannya. Karena orang yang membenarkan lazimnya adalah orang sudah mengetahui jawaban atas pertanyaan tersebut, bukan orang yang tidak tahu.

11.  Kemudian ia bertanya tentang iman yang merupakan tingkatan kedua dalam tingkatan agama setelah Islam. Rasulullah g menjawab, “Iman adalah engkau beriman kepada Allah,” artinya, engkau meyakini-Nya sebagai Tuhan, pencipta, pemberi rezeki dan penguasa yang mengatur. Engkau juga meyakini-Nya sebagai Tuhan yang disembah dan ditaati. Dan engkau meyakini bahwa Allah c mempunyai nama-nama dan sifat-sifat yang mulia. 

12.  Iman kepada para malaikat bermakna meyakini keberadaannya, mereka diciptakan Allah dari cahaya, tidak pernah membangkang perintah Allah, dan selalu melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya. Engkau juga beriman dengan nama-nama dan tugas-tugas malaikat yang Allah jelaskan, seperti: Malaikat Jibril sebagai penyampai wahyu dan pemimpin para malaikat; Malaikat Mikail mendapatkan tugas untuk menurunkan hujan dan menumbuhkan tanaman; Malaikat Israfil diberi tanggung jawab untuk meniup sangkakala; Malaikat Malik sebagai penjaga neraka, dan seterusnya.

13.  Iman kepada kitab-kitab Allah. Yaitu meyakini bahwa kitab-kitab tersebut diturunkan oleh Allah dari sisi-Nya. Kita dituntut untuk membenarkan isinya dan mengamalkan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi, Al-Qur`an datang sebagai kitab terakhir yang menasakh (menghapus) semua syariat sebelumnya. Dan perlu diketahui bahwa kitab Taurat dan Injil yang sekarang ada di zaman kita tidak bebas dari penyimpangan dan perubahan. 

14.  Iman kepada para rasul, yaitu membenarkan risalah yang mereka bawa dan Allah menurunkan wahyu kepada mereka, dan mereka adalah sebaik-baik makhluk Allah Ta’ala. Kita wajib mengimani mereka semua, baik yang disebutkan namanya dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, dan kita mengetahui kisahnya ataupun yang tidak kita ketahui. Kita tidak membeda-bedakan di antara mereka. 

Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya orang-orang yang ingkar kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud membeda-bedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, ‘Kami beriman kepada sebagian dan kami mengingkari sebagian (yang lain),’ serta bermaksud mengambil jalan tengah (iman atau kafir). Merekalah orang-orang kafir yang sebenarnya. Dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir itu azab yang menghinakan. Adapun orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan tidak membeda-bedakan di antara mereka (para rasul), kelak Allah akan memberikan pahala kepada mereka. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

(QS. An-Nisá`: 150-152)

15.  Iman kepada hari akhir. Yaitu beriman terhadap kebangkitan, perhitungan amalan, surga, neraka, ÿiráþ (jembatan), timbangan, syafaat, telaga Al-Kaušar dan semua yang dijelaskan oleh dalil-dalil yang sahih mengenai hari kiamat.

16.  Iman kepada qada dan qadar. Yaitu kita meyakini bahwa Allah تبارك وتعالى mengetahui perbuatan manusia dan apa yang akan terjadi kepada mereka. Allah c telah menuliskan hal itu di sisi-Nya di Al-Lauñ Al-MañfuÈ sebelum Dia menciptakan mereka. Perbuatan manusia akan berjalan sesuai dengan ilmu Allah Ta’ala dan apa yang sudah tertulis. Sesungguhnya seluruh amalan manusia telah diciptakan oleh Allah Ta’ala, baik berupa kekufuran dan keimanan, ketaatan dan kemaksiatan.[5]

17.  Kemudian ia bertanya tentang ihsan. Ihsan adalah tingkatan ketiga dari tingkatan beragama. Rasulullah ﷺ menjelaskan bahwa ihsan adalah seseorang menyembah Allah dalam bentuk yang paling sempurna seakan-akan ia melihat-Nya di hadapannya. Jika ia belum mampu sampai pada tingkatan tersebut, maka tingkatan yang lebih rendah dari itu dengan merasa selalu diawasi oleh Allah, dan merasa bahwa Allah melihatnya di mana pun ia berada. Allah berfirman,

“Dan bertakwalah kepada (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Penyayang. Yang melihat engkau ketika engkau berdiri (untuk shalat). Dan (melihat) perubahan gerakan badanmu di antara orang-orang yang sujud. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”  

(QS. Asy-Syu’ará`: 217-220)

Tingkatan-tingkatan agama ini saling beririsan. Islam lebih umum daripada iman dan ihsan, akan tetapi keduanya masuk ke dalam makna Islam. Iman lebih umum daripada ihsan, maka siapa saja yang keluar dari lingkaran iman, ia tetap dianggap Muslim. Dan siapa saja yang keluar dari lingkaran ihsan, ia tetap dianggap sebagai mukmin. Allah Ta’ala berfirman,

“Orang-orang Arab Badui berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka), ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ‘Kami telah tunduk (Islam),’ karena iman belum masuk ke dalam hatimu.”

(QS. Al-Ôujurát: 14)

18.  Kemudian ia bertanya tentang hari kiamat, kapan terjadi? Rasulullah ﷺ menjawab, “Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya.” Artinya, pengetahuanku tentang hal itu tidak lebih banyak dari pengetahuanmu, karena yang mengetahui kapan hari kiamat terjadi hanya Allah جل جلاله. Sebagaimana firman-Nya,

“Sesungguhnya hanya di sisi Allah ilmu tentang hari Kiamat;”

(QS. Luqmán: 34)

19.   Kemudian ia mengganti pertanyaan dengan bertanya mengenai tanda-tandanya. Rasulullah ﷺ menjawab bahwa di antara tanda-tandanya adalah seorang budak perempuan melahirkan tuannya. Artinya, keberadaan hamba sahaya sangat banyak hingga seorang budak perempuan melahirkan anak perempuan dari tuannya. Sehingga anak itu menjadi seorang yang merdeka, sedangkan ibunya masih sebagai budak. [6]

Pendapat yang lain mengatakan bahwa maksudnya adalah budak-budak perempuan melahirkan anak-anak yang kemudian menjadi para raja. Pendapat ketiga mengatakan yang dimaksud adalah orang-orang non-Arab melahirkan orang-orang Arab, padahal orang-orang Arab adalah pemimpin bagi manusia dan orang-orang yang mulia di antara mereka. [7]

20.  Tanda yang lain adalah orang-orang Arab Badui yang miskin, yang sebelumnya berjalan tanpa alas kaki, tidak memakai baju yang lengkap, tidak mempunyai kehidupan yang layak, para penggembala kambing, mereka berubah menjadi kaya dan berkemampuan hingga dapat membangun gedung-gedung yang tinggi dan saling berkompetisi dalam hal tersebut. Barangkali yang dimaksud seperti yang disebutkan dalam hadis, “Jika suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah waktu (kehancurannya).”[8] Banyak wewenang yang diserahkan kepada mereka yang tidak cakap sehingga orang-orang Arab Badui yang jahil dan tidak mempunyai etika menjadi pemimpin bagi kaumnya, karena mereka mempunyai kekayaan dan kedudukan.[9]

21.  Kemudian laki-laki itu pergi meninggalkan Rasulullah ﷺ dan para sahabat. Umar tetap duduk bersama Rasulullah beberapa saat. Kemudian Rasulullah g bertanya kepada Umar, “Tahukah engkau siapa laki-laki itu?” Umar menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Itu adalah Jibril datang kepada kalian untuk mengajarkan urusan agama kalian.” 

Allah سبحان الله memberikan kemampuan kepada para malaikat untuk berubah bentuk dan menyerupai manusia dan selainnya. Jibril عليه السلام seringkali mendatangi Nabi Muhammad ﷺ dalam bentuk yang mirip dengan seorang sahabat yang bernama Dihyah Al-Kalbi رضي الله عنه.


Implementasi


  1. Ketika Jibril n mendatangi Nabi Muhammad ﷺ, ia duduk sebagai seorang penuntut ilmu yang dengan hikmat menyiapkan dirinya untuk mendengar dan menerima ilmu yang akan disampaikan oleh Rasulullah ﷺ. Ia tidak merasa tinggi dengan kedudukan dan keutamaannya. Padahal ia adalah penyampai wahyu dan Rúh al-Qudus. Ini menunjukkan kesempurnaan adab untuk menjadi teladan bagi setiap orang yang bertanya kepada ulama. Hendaknya, ia duduk dengan penuh adab, dan tidak bertanya dengan nada sombong atau seperti tidak butuh. Misalnya duduk sambil bersandar dengan posisi yang tidak pantas, atau bertanya dengan intonasi yang tidak sopan.

  2. Rukun-rukun Islam merupakan hal yang paling penting untuk diperhatikan oleh seorang Muslim dalam agenda harian dan tahunannya. Hendaknya ia terus mengintrospeksi diri dengan berusaha menyempurnakan pelaksanaan setiap rukun tersebut dan menambahnya dengan melakukan amalan-amalan yang sejenis. Hendaklah ia melihat kuatnya persaksiannya kepada Allah dan menyempurnakannya dengan sering berzikir dengannya. Ia mendirikan shalat yang wajib dan menambahnya dengan yang sunnah seperti shalat witir, shalat rawatib, dan zikir sesudah shalat. Ia menunaikan zakat dengan hati yang ikhlas, dan menambahnya dengan berbagai jenis sedekah. Ia puasa Ramadan dan tidak merusaknya dengan perbuatan dosa, dan kemudian menambahnya dengan puasa sunnah. Ia berhaji ke Baitullah walaupun hanya sekali seumur hidup, dan berusaha menambahnya dengan umrah. 

  3. Berhentilah sejenak pada setiap rukun iman, dan lihatlah apa yang ada hatimu terkait setiap rukun tersebut? Bagaimana imanmu kepada Rububiyyah, Uluhiyyah, nama dan sifat Allah? Apa pengaruh keimananmu kepada malaikat dan sejauh mana engkau menghormati mereka? Seberapa bahagia engkau dengan kitab-kitab Allah yang diturunkan? Seberapa besar pengagunganmu terhadap kitab-kitab itu, terutama kepada Al-Qur`an yang menjadi kitab terakhir dan penghapus syariat sebelumnya? Seberapa besar penghormatanmu kepada para rasul? Seberapa jauh cintamu kepada mereka hingga mampu menggerakkanmu untuk mempelajari lebih jauh kisah hidup mereka dan ajaran yang mereka bawa? Seberapa besar pengagunganmu terhadap hari akhir, dan apakah engkau selalu mengingatnya? Seberapa besar imanmu terhadap takdir Allah dan apakah engkau benar-benar rida dengan segala sesuatu yang terjadi atas dirimu?

  4. Tingkatan beragama yang paling tinggi adalah ihsan. Pernahkah engkau memosisikan dirimu ketika beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya? Jika engkau belum mampu menghadirkan perasaan itu, maka hadirkanlah perasaan bahwa Allah selalu melihatmu. Pengawasan Allah terhadapmu jauh lebih besar dari semua mata dan semua kamera, jangan jadikan Dia yang paling tidak engkau pedulikan.

  5. Jika seseorang meyakini dan merasakan kebersamaan dengan Allah, Dia melihat dan mengawasinya, ia akan malu bermalas-malasan dalam melakukan ketaatan, apalagi sampai jatuh kepada kemaksiatan. Allah berfirman,

    “Dan bertakwalah kepada (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Penyayang. Yang melihat engkau ketika engkau berdiri (untuk shalat). Dan (melihat) perubahan gerakan badanmu di antara orang-orang yang sujud. Sungguh, Dia Maha Mendengar, Maha Mengetahui.”  

    (QS. Asy-Syu’ará`: 217-220)

  6. Agama Islam menganggap penting masalah hari kiamat. Walaupun tidak menjelaskan kapan akan terjadi, akan tetapi Islam mengabarkan mengenai tanda-tandanya. Hal ini memberikan motivasi untuk selalu mengingatnya. Kapankah kita duduk bersama jiwa kita dan memikirkan hari kiamat yang pasti akan terjadi?

Referensi

  1. Ikmāl Al-Mu’lim bi Fawā`id Muslim karya Al-Qaði Iyað (1/204).
  2. Syarñ Riyáð Aÿ-Ÿáliñín karya Ibnu Ušaimin (1/347).
  3. Ketakutan yang tersembunyi (Khauf As-Sirr) adalah istilah yang digunakan para ulama yang bermakna takut terhadap seseorang atau sesuatu yang akan menimpakan penyakit, kemiskinan dan musibah secara umum kepadanya. Maka bentuk ketakutan ini tidak boleh ditujukan kepada selain Allah. (penerjemah).
  4. HR. Al-Bukhari (8) dan Muslim (16).
  5. Jāmi’ Al-Ulūm wa Al-Ôikam karya Ibn Rajab Al-Hanbali (1/103)
  6. Dalam Islam, apabila seorang hamba sahaya melahirkan anak keturunan dari tuannya, maka anak tersebut otomatis menjadi orang yang merdeka, dan ibunya tetap menjadi budak dan disebut dengan Umm Al-Walad (penerjemah).
  7. Lihat: Jāmi’ Al-Ulūm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab Al-Ôanbali (1/136-137).
  8. HR. Al-Bukhari (59) dari Abu Hurairah h.
  9. Lihat: Jāmi’ Al-Ulūm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab Al-Ôanbali (1/139).


  1. Nabi ﷺ menjelaskan bahwa agama adalah nasihat. Nasihat adalah ucapan secara umum yang menunjukkan tindakan seseorang mengerahkan usahanya yang tulus untuk orang lain. Kata nasihat diambil dari kata “Yanÿáhu” yang berarti murni, seperti murninya madu dari segala sesuatu yang mengotorinya.[1] Rasulullah menjadikan agama seluruhnya masuk dalam nasihat, untuk menunjukkan agungnya nasihat itu sendiri. Walaupun sebenarnya agama Islam mengandung banyak ajaran lain selain nasihat. Hal ini seperti ungkapan orang Arab, “Harta adalah unta.”[2][3]

  2. Sahabat kemudian meminta penjelasan, “Untuk siapakah nasihat itu diberikan? Rasulullah ﷺ kemudian menjelaskannya dan bersabda,

  3. “Untuk Allah.” Makna nasihat untuk Allah عز وجل adalah bersungguh-sungguh dan memurnikan amal sesuai dengan tuntutan-Nya, baik berupa keyakinan maupun perbuatan. 

  4. Nasihat untuk kitab-Nya. Maknanya, bersungguh-sungguh dan memurnikan amal dengan mengagungkan, mengikuti, dan mencintainya.

  5. Nasihat untuk Rasul-Nya. Maknanya, bersungguh-sungguh dan memurnikan amal dengan mengagungkannya, mengikutinya dan mencintainya juga. Di antara nasihat untuk Rasulullah ﷺ adalah mendahulukan hal-hal tersebut untuk keluarga dan para sahabatnya .

  6. Yang dimaksud dengan para pemimpin kaum Muslimin adalah para umara[4] dan ulama. Nasihat untuk mereka dilakukan dengan mengerahkan usaha yang tulus dalam melaksanakan perintah Allah Ta’ala terhadap mereka; di antaranya taat kepada mereka dalam hal yang makruf, menolong dalam kebaikan, shalat di belakang mereka, berjihad bersama mereka[5], tidak membangkang kepada mereka, tidak mencari-cari kesalahan mereka, dan membela mereka dalam kebenaran[6].

  7. Adapun nasihat untuk kaum Muslimin secara umum adalah dengan mengerahkan segala usaha yang tulus dalam melaksanakan perintah Allah Ta’ala kepada mereka untuk mewujudkan kemaslahatan di dunia dan di akhirat bagi mereka.Nasihat mempunyai makna yang komprehensif, hingga Rasulullah ﷺ pun membaiat para sahabatnya untuk melakukan nasihat, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Jarir bin Abdillah Al-Bajali رضي الله عنه, beliau berkata, “Aku membaiat Nabi Muhammad ﷺ untuk mendengar dan taat. Dan beliau mengajariku untuk menambahkan, “Sesuai kemampuanku dan untuk menasihati setiap Muslim[7].”Dan sebenarnya, manfaat dari nasihat seluruhnya akan kembali kepada seorang hamba, karena ia akan mendapatkan pahala atas hal itu. Sedangkan Allah sendiri tidak membutuhkan nasihat siapa pun.

Implementasi

  1. Tamim Ad-Dárí dahulu adalah seorang Nasrani, kemudian masuk Islam di akhir hayat Nabi Muhammad g, dan turut berperang bersama beliau. Dia menjadi seorang ahli ibadah, banyak melaksanakan shalat dan selalu membaca Al-Qur`an. Jika ini bisa dilakukan oleh seorang yang sebelumnya Nasrani, maka janganlah berputus asa untuk menjadi seorang yang saleh dan mengubah orang lain menjadi saleh. Bersungguh-sungguhlah!

  2. Mengemban tanggung jawab dan jujur dalam melaksanakannya adalah salah satu makna nasihat. Yaitu dengan mempertanggung jawabkan amanah yang dibebankannya di hadapan Allah Ta’ala, kitab-Nya, Rasul-Nya ﷺ, para pemimpin kaum Muslimin dan umat Islam secara umum dengan ikhlas dan penuh kesungguhan.

  3. Sudahkah engkau mengerahkan kesungguhanmu yang tulus untuk Allah Ta’ala?  Introspeksi dirimu dan ingatlah hak Allah atasmu, di antaranya: beriman kepada-Nya, tidak menyekutukan-Nya, taat dan patuh kepada-Nya, memenuhi panggilannya untuk shalat dan lainnya, beramal dengan ikhlas dalam melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya, mengagungkan rasa cinta kepada-Nya serta merendahkan diri di hadapan-Nya.

  4. Sudahkah engkau mengerahkan kesungguhanmu yang tulus untuk kitab Allah Ta’ala? Introspeksi dirimu dan ingatlah hak Al-Qur`an terhadapmu, di antaranya: mengagungkan keimanan kepadanya, sering membacanya, menadaburi kandungan maknanya, mengajak manusia untuk mengimani dan membacanya serta membelanya dari kejahatan orang-orang yang berusaha mengubah dan menyelewengkan redaksi dan maknanya. Termasuk dalam hak Al-Qur`an yang harus kita tunaikan adalah menghormati kesuciannya dengan tidak menyentuhnya kecuali dalam keadaan suci dari hadas besar dan kecil (kecuali jika menyentuhnya dengan alas kain dan sejenisnya) dan tidak meletakkannya di tempat yang buruk[8].

  5. Sudahkah engkau mengerahkan kesungguhanmu yang tulus untuk Rasulullah ﷺ? Introspeksi dirimu dan ingatlah hak Nabi Muhammad atasmu, di antaranya: membenarkannya, taat kepada apa yang disyariatkannya, tidak mendahulukan selainnya dalam segala hal, mengagungkan haknya, menguatkannya, memuliakannya, menyokongnya, menolongnya, menghidupkan jalan dakwahnya, menyebarkan sunnah-sunnahnya dan membantah tuduhan-tuduhan terhadap sabda-sabdanya[9]. Termasuk dalam menunaikan hak Rasulullah ﷺ adalah memuliakan, mengagungkan, dan mencintai sahabat-sahabatnya, karena sahabat seseorang adalah orang terdekat baginya.

  6. Sudahkah engkau mengerahkan kesungguhanmu yang tulus untuk para pemimpin kaum Muslimin, yaitu: para umara, ulama, dan orang-orang yang mengemban tanggung jawab atasmu? Di antara bentuk nasihat kepada mereka ialah menaati mereka dalam kebenaran, membantu mereka mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat, mengingatkan jika mereka lalai, salah atau tidak tahu dan mendoakan kebaikan bagi mereka. Tidak termasuk dalam kategori nasihat ialah berbohong (untuk menyenangkan hati mereka), memuji secara berlebihan, dan menganggap kebatilan sebagai hal yang baik di hadapan mereka[10].

  7. Sudahkah engkau mengerahkan kesungguhanmu yang tulus untuk kaum Muslimin secara umum? Di antara bentuk nasihat untuk mereka adalah membimbing mereka menuju kebaikan, menolong mereka dalam urusan dunia dan akhirat dengan ucapan dan perbuatan, mengingatkan yang lalai, mengajari yang jahil, memenuhi hajat yang membutuhkan, menutup aib, menolak kemudaratan, mencurahkan hal yang bermanfaat dalam urusan dunia dan akhirat, menginginkan kebaikan bagi mereka di dunia dan akhirat, menyingkirkan segala yang mengganggu dan menyakiti dan mencintai kebaikan untuk mereka sebagaimana engkau mencintainya untuk dirimu sendiri[11].

  8. Di antara makna nasihat adalah mengingatkan orang lain ketika jatuh dalam sebuah kesalahan. Jika berupa kemungkaran, maka ubahlah kemungkaran tersebut sesuai tingkatannya dan kemaslahatannya. Walaupun harus melaporkannya kepada waliyul amri (pemerintah) dan pihak yang berwenang. Ini termasuk dalam kategori nasihat untuk Allah عز وجل. Di antara petunjuk yang diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabatnya –(rahum)- dalam menasihati adalah menasihati secara diam-diam. Karena menasihati seseorang di depan khalayak ramai sama dengan mempermalukannya. Dalam konteks ini, Al-Fuðail bin Iyað berkata, “Seorang mukmin menutupi aib dan menasihati, sedangkan seorang fajir [12] mengumbar aib dan mempermalukan.[13]” 

  9. Memberi nasihat kepada pemilik kekuasaan dan harus sesuai dengan kemampuan. Jika yakin akan selamat dari kekejaman mereka, maka hendaklah menyampaikan nasihat kepadanya. Namun jika khawatir akan mendapatkan kemudaratan, maka hendaklah mengubah kemungkaran dengan hatinya saja (membenci kemungkaran tersebut serta menjauhinya). Dan jika ia tahu bahwa dia tidak mampu menasihati mereka, maka janganlah memprovokasi orang-orang yang yakin akan mendukungnya. Karena hal itu termasuk perbuatan yang menjerumuskan dan mengorbankan mereka ke dalam fitnah (ujian). Dan pada akhirnya, ia menghilangkan ketaatan bersama mereka.

  10. Di antara sifat bijak dalam menasihati adalah menasihati dengan kiasan, tidak menasihati secara terang-terangan, kecuali orang yang dinasihati tidak memahami nasihat dengan cara kiasan. Hendaklah ia menasihati tanpa mensyaratkan nasihat kita harus diterima, akan tetapi yang menjadi kewajiban adalah menyampaikan nasihat. Jika yang dinasihati menerima dan melakukannya, itulah yang kita harapkan. Namun jika ia tidak menerimanya, kita akan tetap mendapatkan pahala atas nasihat tersebut dan atas perkataan yang tulus terhadap sesama saudara Muslim.

  11. Di antara bentuk memberi nasihat adalah menjelaskan hadis yang sahih dan yang lemah. Demikian juga, menjelaskan keadaan para perawi hadis yang layak diambil riwayatnya dan siapa yang tidak layak.  Ditanyakan kepada Imam Ahmad, “Seseorang yang berpuasa, shalat, dan iktikaf apakah lebih engkau senangi daripada mereka yang berbicara tentang ahli bidah?” Imam Ahmad menjawab, “Jika ia puasa, shalat, dan iktikaf, maka kebaikan itu hanya untuk dirinya sendiri. Dan jika ia berbicara mengenai ahli bidah, maka kebaikannya berlaku untuk kaum Muslimin seluruhnya, dan ini lebih utama.” [14] Maka hendaklah para dai dan para ulama berbicara tentang masalah tersebut dengan ikhlas dan mengharap rida Allah Ta’ala dalam rangka memberikan nasihat kepada Allah dan Rasul-Nya. 

12.  Dahulu, Jabir bin Abdillah رضي الله عنه jika menawarkan barang dagangannya, ia menjelaskan cacatnya kepada pembeli. Setelah itu, ia memberi pilihan: Jika engkau mau, silakan beli. Jika tidak, silakan tinggalkan dan beli di tempat yang lain. Maka orang-orang berkata kepadanya, “Jika engkau terus melakukan hal itu, maka tidak akan ada orang yang membeli barang daganganmu.”  Jabir kemudian menjawab, “Kami berbaiat kepada Rasulullah g untuk berbuat yang tulus kepada setiap muslim.” 

Maka nasihat itu bukan sekadar menyampaikan pendapat dan menolong agama Islam, tapi  bisa mencakup semua urusan kehidupan. Seorang pekerja melakukan nasihat dalam pekerjaannya dengan cara melaksanakannya dengan sebaik mungkin. Seorang pedagang menjelaskan kepada pembeli cacat barang dagangannya. Seorang dokter melakukan nasihat dengan melakukan pekerjaannya secara profesional dan meresepkan obat yang efektif walaupun harganya murah. Seorang pelajar melakukan nasihat dengan cara bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu dan membantu temannya melakukan hal tersebut agar nantinya bisa memberikan manfaat bagi diri dan umatnya, dan seterusnya. 

13.   Seorang penyair menuturkan,Berilah aku nasihat ketika aku sendiriandan jangan nasihati aku di depan khalayak ramaiKarena menasihati di depan orang banyak seperti mempermalukanku, dan aku tidak akan mau mendengarnyaJika engkau bersikeras dan menentang ucapanku ini maka jangan bersedih jika aku tidak mau taat kepadamu

Referensi

  1. Lihat: A’lám Al-Ôadíš karya Al-Khaþþábí (1/189) dan Al-Mu’lim bi Fawá`id Muslim karya Al-Mázirí (1/293).
  2. Untuk menunjukkan bahwa unta adalah harta yang sangat penting bagi orang Arab (penerjemah).
  3. Lihat: Kasyf Al-Musykil Min Ôadíš Aÿ-Ÿañiñain karya Ibn Al-Jauzí (4/219) dan Riyáð Al-Afhám fí Syarñ ‘Umdah Al-Añkám karya Al-Fákihání (1/346).
  4. Yaitu mereka yang diamanahi untuk mengemban kepemimpinan bagi umat Islam dalam semua level (penerjemah).
  5. Menjadikan mereka sebagai imam shalat (penerjemah).
  6. Syarñ Riyáð Aÿ-Ÿáliñín karya Ibnu Ušaimin (2/393).
  7. HR. Muslim (56).
  8. Lihat: Al-Mufhim Limā Usykil Min Talkhīs Kitāb Muslim karya Abu Al-Abbas Al-Qurþubí (1/243) dan Syarñ Riyáð Aÿ-Ÿáliñín karya Ibnu Ušaimin (2/388).
  9. A’lám Al-Ôadíš (Syarñ Ÿañíñ Al-Bukhárí) karya Al-Khaþþábí (1/192).
  10. Lihat: A’lám Al-Ôadíš (Syarñ Ÿañíñ Al-Bukhárí) karya Al-Khaþþábí (1/193) dan Al-Mufhim Limá Usykil Min Talkhīs Kitāb Muslim karya Abu Al-Abbās Al-Qurþubí (1/244).
  11. Lihat: Ikmāl Al-Mu’lim bi Fawā`id Muslim karya Al-Qaði Iyað (1/307) dan Al-Kawákib Ad-Darárí fí Syarñ Ÿañíñ Al-Bukhárí karya Al-Kirmání (1/218).
  12. Seorang pendosa yang selalu berbuat maksiat (penerjemah).
  13. Jāmi’ Al-Ulūm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab Al-Hanbalí (1/225).
  14. Majmú’ Al-Fatáwá karya Ibnu Taimiyyah (28/231).

Al-Abbás رضي الله عنه memberitahukan hadis ini dari Nabi yang di dalamnya terkandung beberapa perkara berikut:

  1. Iman mempunyai rasa, kelezatan, dan kemanisan. Dalam hadis ini, Rasulullah g menggunakan diksi “æáqa”[1] bersama kata iman. Padahal, iman bukanlah sesuatu yang bersifat material. Ini bertujuan untuk mengantarkan pada makna yang diinginkan. Jika manusia bisa mencicipi makanan dan minuman dan merasakan kelezatannya, maka ia pun bisa merasakan dampak keimanan dalam jiwanya dalam bentuk kelezatan. Hal ini diketahui oleh orang yang pernah mencobanya.Di antara bentuk kelezatan ini adalah rasa lapang, tenang, dan merasa dibersamai oleh Allah. Karenanya, maksiat terasa tidak bernilai, sehingga ia pun menjauhinya. Kewajiban terasa ringan, maka ia pun mampu melaksanakannya sesulit apapun. Ia tidak berputus asa atas rahmat Allah, dan rida dengan ketentuan-Nya. Kelezatan ini tidak akan dicapai kecuali dengan syarat-syarat tertentu.

2. Syarat pertama: Rida Allah sebagai Tuhannya. Rida adalah merasa cukup dengan sesuatu sehingga tidak membutuhkan selainnya. Di antara bentuk rida kepada Allah Ta’ala adalah membenarkan ayat-ayat-Nya, tunduk kepada hukum syariat-Nya dan sabar serta menerima qada dan qadar-Nya. Rida yang diinginkan bukan sekadar mengakui keberadaan dan rububiyah Allah Ta’ala. Ini adalah syarat keislaman. Bahkan sebagian orang kafir pun mengakuinya. Yang dimaksud rida di sini adalah rida yang khusus, yaitu rida kepada Allah sebagai Pengatur, Pencipta dan Pembuat hukum. Ia rida dengan hukum dan menerima syariat-Nya. Sehingga ia pun menyembah-Nya, mencintai-Nya, merasa puas dengan-Nya, bertawakal kepada-Nya dan berserah diri dengan tulus kepada-Nya. Ia tidak takut kepada selain-Nya dalam bentuk ketakutan yang tersembunyi[2] . Ia rida dengan qada’ dan qadar-Nya, sehingga tidak akan berkata atau melakukan sesuatu yang membuat-Nya murka. 

3. Syarat kedua: Rida Islam sebagai agamanya. Artinya, ia rida Islam sebagai syariat yang mengaturnya. Maka ia pun melaksanakan perintah dan meninggalkan larangannya. Ia memilihnya di antara semua agama dan menjadikannya pegangan hidup. Ia berkawan dengan seseorang atau memusuhinya atas petunjuk Islam. Ia pun rela berkorban dengan semua yang dimiliki untuknya. 

4.  Syarat ketiga: Rida Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasulnya. Ini mencakup ikrar dan membenarkan Muhammad sebagai utusan Allah, rida dengan apa yang dibawanya berupa perintah dan larangan, menerima syariat tersebut dan membenarkannya serta tunduk, patuh dan mengamalkannya. Ini adalah ridanya orang-orang yang mencintai, mengikuti, mengambil petunjuk, mencontohnya, taat, mengerahkan semua yang dimiliki untuk membela sunnahnya dan rindu bertemu dengannya.Dari sini bisa dipahami bahwa seseorang tidak benar-benar mencapai iman yang sebenarnya kecuali jika mampu merealisasikan tiga pokok agama, yaitu: iman kepada Allah, kepada Nabi-Nya, dan kepada agama-Nya.

Implementasi

  1. Al-Abbás bin Abd Al-Muþþalib رضي الله عنه beriman kepada keponakannya, yaitu Nabi Muhammad , padahal beliau jauh lebih tua. Dengan menempuh jalan tersebut, beliau pun harus menghadapi permusuhan dari kaum dan keluarganya. Ini adalah sifat yang mendorong orang yang cerdas untuk mau menerima kebenaran dari siapa pun kebenaran itu datang, baik orang tua maupun anak muda, orang yang kuat maupun orang yang lemah, baik orang yang kaya, ataupun orang yang miskin. 

  2. Al-Abbás رضي الله عنه tetap menyertai Nabi  ketika sebagian besar sahabatnya lari dari medan perang pada perang Hunain. Ini menunjukkan keislamannya yang jujur dan ia benar-benar telah merasakan manisnya iman, walaupun baru sebentar memeluknya. Lalu bagaimana dengan orang yang lahir sebagai Muslim atau telah memeluk agama Islam bertahun-tahun akan tetapi masih menyembah Allah hanya di tepian saja?[3] Sudah selayaknya iman benar-benar wujud dalam diri kita, hingga kita akan sampai pada kondisi seperti yang difirmankan oleh Allah Ta’ala,

    “Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah.”

    (QS. Al-Añzáb: 23)

  3. Iman mempunyai kelezatan yang tidak akan dirasakan oleh orang yang hidup bersamanya dalam jangka waktu yang lama karena ia tidak merealisasikan hakikatnya. Atau karena ia tidak mencoba membandingkannya dengan selainnya. Maka setiap kali engkau melihat jiwamu terpengaruh oleh kelezatan dunia dan lupa akan kelezatan iman, ingatkanlah agar mencari jiwamu kembali mencari kemanisan iman. 

  4. Rida Allah sebagai Tuhan menuntutmu untuk mengingat bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Maha Mengetahui segala sesuatu dan sifat-sifat lain yang akan membuat jiwamu merasa tenang sehingga engkau membenarkan ayat-ayat-Nya, tunduk kepada perintah dan larangan-Nya; merasa tenang dengan ketentuan takdir-Nya dan selalu mengingat nikmat-nikmat-Nya lahir dan batin. Dan nikmat-Nya yang tidak kita ketahui jauh lebih banyak daripada yang kita ketahui, sebagaimana penciptaan dan hikmah pengaturan-Nya yang tidak kita ketahui jauh lebih agung daripada yang kita ketahui.

  5. Rida Islam sebagai agama menuntutmu untuk mengingat bahwa Islam adalah syariat Allah Ta’ala, Zat yang tiada yang lebih mengetahui, lebih bijaksana dan lebih penyayang daripada-Nya. Orang yang cerdas akan mengetahui  kesempurnaan yang ada pada beberapa urusan agama Islam yang detail cukup untuk membuatnya merasa yakin terhadap kesempurnaan perkara yang tidak ia ketahui.

  6. Rida Nabi Muhammad sebagai nabi dan utusan Allah menuntutmu untuk mengingat sifat-sifat kemanusiaannya yang sempurna. Di antaranya adalah kesempurnaan ilmu, akal serta pertolongan dan penjagaannya dari Allah. Ingatlah juga besarnya jasa yang diberikannya kepada umat, agungnya kasih sayangnya kepada mereka. Seandainya dibandingkan dengan makhluk lain, pasti akan terlihat kekurangan semua makhluk dibandingkan dengannya.

  7. Dunia ini dengan semua cobaan, rasa penat, kesulitan, dan penderitaan yang menyertainya akan terasa seperti surga bagi seorang Mukmin, jika ia mengarunginya rasa rida, berserah diri, dan keimanan kepada Allah. Oleh karena itu, dikatakan, “Rida adalah surga dunia dan tempat beristirahat para ‘árifín[4]. Lalu mengapa kita tidak menanami surga kita di dunia dengan tangan-tangan keridaan? Jika seorang Muslim mendapatkan musibah atau terlewat peluang untuk mendapat pintu rezeki dan kebaikan, maka ia menyerahkan urusannya kepada Allah. Ia meyakini bahwa tiada sesuatu pun yang menimpanya kecuali yang Allah takdirkan. Dengan hal tersebut, akan muncul ketenangan hati dan hilang rasa putus asa atau meratapi sesuatu yang tidak didapatkan.

  8. Dahulu, Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz melantunkan doa ini, “Alláhumma raððiní biqaðá`ik, wabárik lí fí qadarik, hattá lá uhibba ta’jíla má akhkharta, walá ta`khíra má ‘ajjalta. (Ya Allah, jadikan aku rida dengan ketentuanmu, berkahilah aku dalam takdirmu, hingga aku tidak ingin menyegerakan sesuatu yang Engkau akhirkan, atau ingin mengakhirkan sesuatu yang Engkau segerakan)[5].”

  9. Yahya bin Muaz ditanya, “Kapan seorang hamba sampai pada maqam (kedudukan/tingkatan) rida?” Ia menjawab, “Jika ia mampu menguasai dirinya untuk tunduk pada empat prinsip dalam berinteraksi dengan Tuhannya, yaitu dengan mengatakan: Jika Engkau memberiku aku menerimanya, jika Engkau tidak memberiku aku rida, jika Engkau meninggalkanku aku akan menyembah-Mu dan jika Engkau memanggilku aku akan memenuhi panggilan-Mu.”[6] Maka hendaklah kita memeriksa kembali diri kita masing-masing, apakah prinsip itu ada dalam jiwa kita? Sampainya kita pada kedudukan rida diukur dengan seberapa mampu kita mencapai setiap prinsip dari empat prinsip tersebut.

  10. Seorang penyair menuturkan, 

    Rida-Mu lebih baik daripada dunia dan seisinya 

    Wahai Pemilik Jiwa, yang jauh maupun yang dekat

    Ruh tidak mempunyai angan-angan untuk diwujudkan 

    Kecuali untuk mencapai rida-Mu, ini adalah keinginan terbesarnya

    Satu pandangan dari-Mu wahai tempat memintaku dan harapanku 

    Itu lebih baik bagiku daripada dunia dan seisinya

Referensi

  1. Secara bahasa mempunyai makna merasakan atau mencicipi. Secara denotatif, kata ini digunakan untuk makanan atau minuman. Maka penggunaannya untuk iman merupakan makna metaforis/kiasan. (penerjemah).
  2. Ketakutan yang tersembunyi (Khauf As-Sirr) adalah istilah yang digunakan para ulama yang bermakna takut terhadap seseorang atau sesuatu yang akan menimpakan penyakit, kemiskinan dan musibah secara umum kepadanya. Maka bentuk ketakutan ini tidak boleh ditujukan kepada selain Allah. (penerjemah).
  3. Yang dimaksud dengan beragama atau menyembah Allah di tepi adalah orang yang rasa beragamanya tidak meresap ke dalam hati dan tidak mengakar ke dalam jiwa, sehingga mudah terombang-ambingkan (penerjemah).
  4. ‘Árifín adalah istilah untuk orang-orang yang benar-benar mengenal Allah (penerjemah).
  5. Lihat: Adab Al-Murta’í fí ‘Ilm Ad-Du’á karya Ibnu Abd Al-Hadí (164).
  6. Lawámi’ Al-Anwār Al-Bahiyyah karya As-Safárini (1/359).


  1. Salah seorang ulama Yahudi datang -yaitu Ka’ab Al-Ahbar yang setelah itu masuk Islam [1]- menemui Umar bin Al-Khaþþab , memberitahukannya bahwa ia iri terhadap kaum Muslimin terkait sebuah ayat yang turun di dalam Al-Qur`an Al-Karim, dan segenap kaum Yahudi berharap sekiranya mereka juga mendapatkan ayat yang semisal turun kepada mereka, maka kelak mereka akan mengagungkan hari turunnya ayat tersebut, dan menjadikannya sebagai hari raya bagi mereka.

  2. Lantas Umar رضي الله عنه bertanya kepadanya tentang ayat itu, dan laki-laki itu memberitahukannya bahwa ayat itu ialah firman-Nya Ta’ala,

    “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu.”

    (QS. Al-Má`idah: 3)

Kaum Yahudi mengagungkan ayat tersebut hanya karena di dalamnya terdapat pemberitahuan bahwa agama ini telah disempurnakan. Hal tersebut terwujud dengan berbagai hal, di antaranya: syariat, hukuman had, dan berbagai kewajiban sudah sempurna; kaum musyrik diusir dan dilarang memasuki Masjidilharam; Islam dimuliakan dan dimenangkan; kesyirikan dan para penganutnya dihinakan; hilangnya rasa takut terhadap musuh; tidak ada lagi nasakh di dalam agama, sehingga tidak ada lagi ketentuan dan agama baru yang turun untuk menasakh agama Islam karena Islam adalah agama penutup serta terjadinya Fatñu Makkah.[2] Di antara kesempurnaannya juga, tidak ada kontradiksi antara nas-nasnya; tidak kontradiksi antara nas syariat dengan akal. Islam adalah agama yang sesuai untuk manusia dan jin, sesuai kapan pun dan di mana pun. Syariat Islam sesuai dengan kebutuhan manusia dan menjawab berbagai tuntutan, mewujudkan keamanan dan keteraturan antar individu.Di dalamnya nikmat disempurnakan, syariat dimenangkan, terwujudnya keamanan, tersebarnya Islam di segala penjuru dunia, dan Allah memberitahukan bahwa Dia rida terhadap agama Islam, maka tidak ada nasakh lagi setelah hari itu. Tidak akan ada lagi syariat lain yang akan menghapusnya, karena Islam merupakan agama penutup[3].

3.   Lantas Umar رضي الله عنه memberitahukan kepadanya bahwa perhatian kaum Muslimin terhadap wahyu tersebut lebih besar daripada kalian, karena kami mengetahui kapan dan di mana ayat itu turun. Kami pun mengagungkan kedua hal tersebut; ayat tersebut turun kepada Nabi ketika beliau sedang wukuf di Arafah, ketika itu hari Jumat, bagi kami hari tersebut adalah dua hari raya, bukan hanya satu saja: hari raya pekanan yaitu hari Jumat, dan hari Arafah yang itu juga hari raya bagi kaum Muslimin. Beliau bersabda, “Hari Arafah, hari menyembelih, dan hari-hari tasyrik merupakan hari raya kita orang-orang Islam, yaitu hari-hari makan dan minum.”[4]

Implementasi :

  1. (1) Para musuh Islam sangat serius mempelajari agama ini, tujuannya untuk mencari syubhat-syubhat yang ingin dilancarkan, maka setiap penuntut ilmu harus bersiap-siap untuk membela Islam dan menepis syubhat-syubhat orang-orang yang mengembuskan keraguan.

  2. (1) Jangan terlena dengan sikap damai orang-orang kafir, karena mereka merupakan manusia yang paling besar rasa irinya terhadap kaum Muslimin lantaran kenikmatan yang diperoleh.

  3. (1) Orang-orang non Muslim hasad terhadap kita terkait wahyu yang telah diberikan Allah Ta’ala kepada kita. Akan tetapi, engkau ternyata lalai untuk membacanya dan memahami maknanya!.

  4. (2) Ketahuilah, bahwa Islam adalah agama yang komprehensif, tidak ada kekurangan, tidak ada kontradiksi antara nas-nasnya, tidak juga kontradiksi dengan akal manusia. Jika engkau mendapati ada kontradiksi atau menyangka ada kekurangan, maka merujuklah kepada ahli ilmu, mereka akan memberikan solusi atas permasalahan tersebut dan menjelaskan kepadamu hal yang terlihat susah dan samar, serta menghilangkan persangkaan adanya kontradiksi. 

  5. (3) Penentuan hari raya bukanlah dengan sekadar pendapat atau ijtihad, namun ditentukan berdasarkan nas syariat. Maka jangan sampai engkau merayakan hari raya umat-umat terdahulu bila tidak ada nas syariat.

  6. (3) Seorang Muslim harus mulia dengan agamanya dan mempelajari ilmu syar’i, dan tetap merasa bangga ketika berada di hadapan orang kafir yang penampilannya tidak mencerminkan agamanya atau memang ia bodoh terhadap agamanya.

  7. Seorang penyair menuturkan,

Dan Al-Qur`an turun untuk membangun umat

Sampai disempurnakan agama dan nikmat 

Wahai penghulu manusia, wahai pemimpin yang mulia

Wahai pembawa rahmat bagi seluruh alam nan berlanjut

Kau telah menunaikan perintah Allah, sendiri membawa

sebuah perintah, yang terasa berat ketika diemban oleh para tokoh

8.   Penyair lain menuturkan,

Para nabi datang dengan ayat-ayat dan telah berlalu

Kau datang kepada kami dengan Al-Qur`an yang tak kan sirna

Ayat-ayatnya, semakin berlalu satu masa, terasa tetap baru

Terhias oleh kemuliaan, keautentikan, dan keantikannya

Hampir setiap lafaznya yang mulia 

Mewasiatimu dengan kebenaran, takwa, dan silaturahmi

Referensi

  1. Lihat: Fatñ Al-Bárí karya Ibnu ôajar Al-Asqalání (8/270).
  2. Lihat: Zad Al-Masir fi Ilmi At-Tafsir karya Ibn Al-Jauzi (1/513), Al-Mufhim Lima Asykala min Talkhiÿ Kitab Muslim karya Al-Qurþubí (7/339), dan Tafsir Ibni Rajab Al-Hanbali (1/384).
  3. Lihat: Al-Mufhim Lima Asykala min Talkhiÿ Kitab Muslim karya Al-Qurþubi (7/339).
  4. HR. Abu Daud (2419), At-Tirmiæi (773), dan An-Nasa`í (4186).

  1. Nabi ﷺ memberitahukan bahwa iman itu seperti pohon yang memiliki banyak cabang. Beberapa cabang tersebut lebih tinggi derajatnya daripada cabang-cabang yang lain. Beliau juga menyebutkan bahwa iman itu ada tujuh puluh sekian cabang dan rangkaian. Yang dimaksud dengan kata (al-bið’u) adalah bilangan antara tiga sampai sembilan. Seolah-olah Nabi mengatakan, “Iman itu antara tujuh puluh tiga sampai tujuh puluh sembilan rangkaian.” 

Sedangkan potongan hadis, “atau enam puluh sekian,” merupakan bentuk keraguan dari perawi. Dalam hal ini, perbedaan riwayat dalam penentuan jumlah tidaklah menjadi masalah, karena yang dimaksud adalah menjelaskan banyaknya cabang iman. Sebagian ulama telah berusaha menjelaskan cabang-cabang tersebut dengan menyebutkan amalan-amalan utama dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi , kendati hal tersebut hanyalah ijtihad yang bersifat perkiraan.

2.   Kemudian Nabi ﷺ menjelaskan bahwa cabang iman yang paling utama adalah merealisasikan tauhid, yaitu ucapan lā ilāha illallāh (tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi selain Allah). Yang dimaksud dengan ucapan tersebut tentu bukan sekadar pernyataan lisan saja, akan tetapi mengokohkan ucapan tersebut dengan mengamalkan kandungannya berupa ilmu, yakin, jujur, ikhlas, cinta, tunduk, menerima segala konsekuensi cabang iman tersebut, mengingkari sembahan selain Allah Ta’ala, dan menghindari lawan dari syarat iman, baik berupa syirik besar, syirik kecil, maupun syirik khafi (tersembunyi).

Cabang ini sejatinya adalah pokok iman. Sebab, semua cabang tersebut tidak akan diterima tanpa adanya cabang tersebut.

Allah berfirman

“Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.”

(QS. Áli Imrán: 85)

3.   Cabang iman yang keutamaannya paling rendah adalah menjauhkan segala sesuatu yang dapat mengganggu orang lain di jalan mereka, seperti: duri, batu, kotoran, paku, roda-roda yang terlepas, dan lain-lain.

Apabila seseorang diperintahkan untuk menyingkirkan gangguan dari jalan meskipun bukan dia yang mendatangkan gangguan, maka mencegah timbulnya gangguan lebih diperintahkan.

4.   Di antara cabang-cabang iman adalah sifat malu, yang merupakan akhlak di dalam jiwa. Akhlak ini mengajak jiwa untuk melakukan kebajikan dan menjauhi kehinaan, baik akhlak ini ada pada diri seseorang dan ia menjaganya, atau tidak ada pada dirinya dan ia berusaha keras untuk memilikinya. Sifat malu merupakan sifat yang bisa diketahui oleh seseorang dari dirinya walaupun hanya dalam kondisi tertentu. Buah dari sifat malu terhimpun pada ungkapan, “Jangan sampai Allah عز وجل melihatmu melakukan apa yang dilarang-Nya, dan jangan sampai Dia tidak mendapatimu ketika Dia memerintahkanmu.”Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa iman adalah perkataan, perbuatan, dan keyakinan. Oleh karena itu, kalimat lā ilāha illallāh (tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi selain Allah) adalah pernyataan dengan lisan dan hati, diikuti dengan perbuatan anggota badan, menyingkirkan gangguan termasuk amalan anggota badan, dan munculnya rasa malu termasuk amalan hati, meskipun pengaruhnya terlihat di lidah dan anggota badan.

Implementasi

  1. Abu Hurairah  adalah sahabat Rasulullah ﷺ dan seorang ulama besar. Beliau pernah memegang kekuasaan beberapa kota besar. Kendati demikian, beliau adalah orang yang rendah hati, lemah lembut, dan ahli ibadah. Lalu, seberapa besar sifat rendah hati kita dibanding dengan ilmu, jabatan, dan harta yang dianugerahkan Allah عز وجل kepada kita?

  2. Iman adalah sesuatu yang paling agung, dan inilah yang diinginkan oleh Allah عز وجل dari makhluk-Nya. Namun demikian, iman itu luas dan memiliki banyak cabang. Lalu, seberapa banyak kita mempelajarinya, dan seberapa banyak kita berusaha untuk menyempurnakan diri kita dengan cabang-cabang iman yang diinginkan oleh Allah عز وجل dari kita? Atau apakah kita membatasi diri pada beberapa cabang iman saja mengabaikan cabang-cabang lainnya?

  3. Sebagian orang mencela orang lain karena mereka mengabaikan sejumlah cabang iman, sedangkan mereka sendiri mungkin mengabaikan cabang-cabang iman yang lain, seperti orang yang rajin beribadah puasa dan shalat, namun mengabaikan ibadah berupa akhlak yang baik dan memperhatikan kepentingan keluarga. Atau peduli dengan akhlak namun melupakan kewajiban untuk beramar makruf nahi munkar. Semua ini membawa kita kepada untuk bersikap lembut kepada orang lain dan mengintrospeksi diri kita sendiri dengan tolok ukur syariah, bukan dengan yang biasa kita lakukan.

  4. Iman itu memiliki beberapa tingkatan. Ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah, dan semuanya berasal dari iman yang dicintai Allah Ta’ala. Akan tetapi, tidak boleh memberikan perhatian dengan tingkatan yang lebih rendah dengan mengabaikan tingkatan yang lebih tinggi. Sebab, antara satu tingkatan dengan tingkatan yang lain ada lebih dari tujuh puluh derajat. Maka, usaha kita dan sedekah yang kita keluarkan pada derajat yang lebih tinggi tentu lebih utama dan lebih agung. Selain itu, hendaklah kita mengetahui kebutuhan kita kepada ulama. Mari pula kita tingkatkan ilmu agama dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya ﷺ, agar kita mengetahui berbagai prioritas dalam syariat.

  5. Cabang iman yang paling utama adalah kalimat lā ilāha illallāh. Sehingga, betapa kita sangat perlu untuk mempelajari maknanya, bagaimana menyempurnakan konsekuensi ucapan tersebut, dan mengucapkannya sembari kita mengisi hati dengan cinta, tunduk, dan menerima konsekuensi dari keyakinan, ucapan, dan amal perbuatan.

  6. Menyingkirkan gangguan dari jalan mencakup berbagai bentuk tindakan manusia dalam kehidupan sehari-hari, termasuk menyingkirkan segala sesuatu yang membahayakan pejalan kaki dan mobil, seperti: batu, paku, dan ban bekas, baik ia menyingkirkannya sendiri atau menyampaikan kepada pihak terkait untuk menyingkirkannya.

  7. Jika menyingkirkan gangguan dari jalan termasuk bagian dari iman, maka mencegah timbulnya gangguan  adalah pangkal dari perbuatan baik. Mengganggu kaum Muslimin termasuk perbuatan buruk. Gangguan bersifat umum, mencakup fisik dan non fisik, seperti membuang sisa bungkus makanan, suara yang mengganggu, bau yang tidak sedap, dan cara yang membahayakan, baik ketika mengemudi atau memarkir mobil. Apabila menimbulkan bahaya di jalan dilarang, maka lawannya adalah perkara yang diperintahkan, seperti memberikan kemudahan bagi orang lain, menyediakan fasilitas kenyamanan dan keamanan di jalan, seperti tempat berteduh dan tempat-tempat istirahat. Di antara contohnya adalah sabda Nabi ﷺ, “Janganlah duduk-duduk di jalan.” Para sahabat berkata, “Kami tidak dapat meninggalkannya, karena merupakan tempat kami untuk bercakap-cakap.” Lalu Nabi ﷺ bersabda, “Jika kalian enggan meninggalkan duduk-duduk di jalan, maka berikanlah hak jalan.” Para sahabat bertanya, “Apa hak jalan itu?” Beliau bersabda, “Menundukkan pandangan, menyingkirkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan kebaikan, dan mencegah dari kemungkaran.” [1]

  8. Ada pahala dari menyingkirkan gangguan dari jalan, meskipun orang-orang tidak tinggal di jalan, meskipun mungkin sedikit yang melewatinya dan melintas dengan cepat. Maka, menyingkirkan gangguan dari tempat perkumpulan dan tempat tinggal orang banyak, seperti lokasi kerja, pendidikan, dan tempat tinggal lebih diutamakan. Demikian pula, membersihkan rumah sendiri memiliki pahala yang banyak, karena akan mempererat hubungan mereka dan memenuhi hak-hak mereka. Di samping itu, masjid juga memiliki keutamaan yang banyak. Sebab, masjid adalah rumah Allah عز وجل yang dimuliakan. Oleh karena itu, hendaklah kita hadirkan ibadah ini dalam setiap detail hidup kita.

  9. Jika menyingkirkan gangguan dari jalan termasuk dari iman, maka menyingkirkan gangguan dari hati manusia lebih utama lagi, dengan mengangkat kebodohan dari mereka, menjauhkan syubhat, waswas, perasaan sedih, dan depresi.

  10. Malu adalah salah satu cabang iman yang secara khusus disebutkan karena memiliki pengaruh yang istimewa. Malu adalah karakter yang bersemayam dalam jiwa dan mengajak pada banyak sifat terpuji dan mencegah dari banyak perilaku buruk. Terkadang malu ada pada diri seseorang namun ia tidak menyadarinya, atau bahkan sudah mati dan ia juga tidak merasakannya, terlebih lagi ketika sifat malu ini mati perlahan-lahan karena banyaknya perilaku-perilaku keji dan hina yang melemahkannya. Untuk apa kita menjaga rasa malu ini dalam jiwa kita? Apakah kita berusaha untuk menjaganya?

  11. Sifat malu bukanlah perilaku negatif yang membuat seseorang malu untuk beramal, akan tetapi perilaku positif yang dapat mendorong untuk meninggalkan keburukan dan sekaligus berbuat baik, seperti orang yang malu ketika Allah عز وجل melihatnya dikaruniai ilmu namun ia tidak menyebarkannya, atau dikaruniai harta namun tidak menyedekahkannya, atau dikaruniai suara atau kemampuan berbicara namun tidak mengoptimalkannya. Atau seseorang yang malu membuka aurat, menampakkan suatu dosa, atau memiliki suatu perilaku yang tercela, seperti penakut, pelit, dan malas.

12.   Sifat malu yang paling besar adalah malu kepada Allah. Apabila engkau ingin memahami maknanya dalam hidupmu, maka ingatlah asar, “Aku wasiatkan kepadamu untuk malu kepada Allah sebagaimana engkau malu kepada orang saleh dari kaummu.”[2]

Referensi

  1. HR. Al-Bukhari (2465) dan Muslim (2121) dari Abu Sa’id Al-Khudri
  2. HR. Ahmad dalam kitab “Az-Zuhd” (46), Al-Baihaqi dalam kitab “Syu’ab Al-Imān”, marfu’marfuk, dari hadis Sa’id bin Yazid


  1. Imrán bin Huÿain masuk menemui Nabi Muhammad ﷺ dan mengikat kaki untanya agar tidak kabur.

  2. Ketika duduk bersama Nabi, tiba-tiba datang utusan dari Bani Tamim. Maka Nabi bersabda, “Terimalah kabar gembira!” Tentunya, hal yang seharusnya mereka lakukan adalah menerima kabar gembira dari datang Rasulullah , -dalam bentuk apa pun-. Terlebih Nabi memberikan kabar gembira kepada mereka bahwa orang yang masuk Islam akan selamat dari kekekalan siksa neraka.[1]

  3. Ketika Bani Tamim mendengar kabar gembira dari Rasulullah ﷺ, mereka justru lebih memilih meminta dunia. Mereka berkata, “Engkau telah memberi kabar gembira kepada kami, maka berilah kami (harta).” Rasulullah ﷺ marah karena mereka tidak memedulikan kabar gembira yang diberikan. Mereka menggantungkan harapan mereka kepada dunia yang fana, dan tidak memahami kabar gembira kecuali berupa pemberian material saja.

  4. Setelah itu, datanglah sekelompok orang dari Yaman. Mereka adalah Al-Asy’ariyyún, yaitu kaum Abu Musa Al-Asy’ari رضي الله عنه. Rasulullah ﷺ berkata kepada mereka, “Terimalah kabar gembira,” ternyata tidak diterima oleh Bani Tamim. Walaupun Bani Tamim telah masuk Islam, akan tetapi karena mereka baru masuk Islam pada saat itu, mereka tidak menerima kabar gembira dari Nabi  sebagaimana mestinya. Mereka mau menerima kabar gembira dengan dibarengi permintaan untuk diberi harta. Sehingga hal itu menunjukkan seakan-akan mereka tidak mau menerima kabar gembira tersebut.[2]

  5. Penduduk Yaman lebih paham daripada Bani Tamim. Mereka menerima kabar gembira tanpa syarat dan tanpa permintaan apa pun. Oleh karena itu, Nabi  pernah bersabda, “(Ahli) iman adalah (penduduk) Yaman, dan kebijaksanaan juga dari Yaman.”[3]

  6. Setelah menerima kabar gembira, mereka bertanya kepada Rasulullah  tentang alam semesta dan peristiwa-peristiwa yang mereka saksikan. Hal ini tidak tampak dalam pertanyaan yang mereka tanyakan, akan tetapi bisa kita pahami dari jawaban Rasulullah . 

  7. Lantas Rasulullah ﷺ menjawab pertanyaan mereka, yaitu bahwa Allah تبارك وتعالى sudah ada ketika tidak ada apa pun bersama-Nya termasuk alam semesta yang kita lihat ini. Tidak ada langit dan tidak ada bumi. Hal ini tidak menafikan Allah telah menciptakan hal-hal lain sebelum itu. Karena sebagaimana kita bisa pahami dari hadis ini, Arasy diciptakan sebelum alam semesta. Dan Allah menciptakan apa pun yang Dia kehendaki.[4] 

  8. Kemudian Rasulullah ﷺ memberitahu para sahabat bahwa Allah تبارك وتعالى menciptakan Arasy di atas air sebelum menciptakan langit dan bumi.

    Allah berfirman

    “Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, dan Arasy-Nya di atas air.”

    (QS. Húd: 7).

    Setelah menciptakan langit dan bumi,

    Allah bersemayam di atas Arasy-Nya yang ada di atas langit. Allah  berfirman, “Sungguh, Tuhanmu (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy.”

    (QS. Al-A’ráf: 54)

    . Dengan demikian, Arasy merupakan makhluk yang paling tinggi dan paling agung. Arasy sendiri secara bahasa berarti singgasana raja.

  9. Kemudian Nabi  menjelaskan bahwa Allah  menulis takdir seluruh hamba-Nya dan segala sesuatu yang akan terjadi di alam semesta ini di Al-Lauñ Al-MahfuÈ, sebagaimana dijelaskan juga dalam hadis riwayat Abdullah bin Amr bin Al-Aÿ, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah  bersabda, ‘Allah mencatat takdir semua makhluk lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. Dan Arasy-Nya berada di atas air.’”[5]

  10. Setelah itu, Nabi Muhammad menjelaskan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi setelah menciptakan Arasy di atas air dan mencatat takdir seluruh makhluk di Al-Lauñ Al-MahfuÈ. Allah  telah memberikan sedikit gambaran mengenai penciptaan langit dan bumi dalam firman-Nya,

    “Katakanlah, ‘Pantaskah kamu ingkar kepada Tuhan yang menciptakan bumi dalam dua masa dan kamu adakan sekutu-sekutu bagi-Nya? Itulah Tuhan seluruh alam.’ Dan Dia ciptakan padanya gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dan kemudian Dia berkahi, dan Dia tentukan makanan-makanan (bagi penghuni)nya dalam empat masa, memadai untuk (memenuhi kebutuhan) mereka yang memerlukannya. Kemudian Dia menuju ke langit dan (langit) itu masih berupa asap, lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi, ‘Datanglah kamu berdua menurut perintah-Ku dengan patuh atau terpaksa.’ Keduanya menjawab, ‘Kami datang dengan patuh.’ Lalu diciptakan-Nya tujuh langit dalam dua masa dan pada setiap langit Dia mewahyukan urusan masing-masing. Kemudian, langit yang dekat (dengan bumi), Kami hiasi dengan bintang-bintang, dan (Kami ciptakan itu) untuk memelihara. Demikianlah ketentuan (Allah) Yang Mahaperkasa, Maha Mengetahui.” 

    (QS. Fuÿÿilat: 9-12).

  11. Kemudian seseorang memberitahu Imrán  bahwa untanya terlepas dari talinya dan kabur. Lantas dia keluar untuk melihatnya. Ternyata untanya telah hilang dari pandangan dan terhalang oleh fatamorgana. Fatamorgana yang dimaksud di sini adalah sesuatu di padang pasir yang terlihat seperti air karena sangat panasnya udara.

  12. Imrán bin Huÿain  kemudian merasa menyesal karena telah meninggalkan majelisnya bersama Rasulullah ﷺ sehingga tidak mendengar kelanjutan dari sabdanya.

Implementasi


  1. Imrán bin Huÿain mengikat untanya di depan masjid Nabi ﷺ. Ini adalah bentuk tawakal kepada Allah تبارك وتعالى yaitu dengan melakukan usaha dan kemudian menyerahkan urusan kepada Allah تبارك وتعالى. Beliau tidak membiarkan untanya tanpa diikat dan mengatakan, “Aku bertawakal.” Imam Tirmizi meriwayatkan dari Anas bin Malik  رضي الله عنه bahwa ada seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, apakah saya mengikatnya dan bertawakal, atau saya melepasnya dan bertawakal?” Rasul menjawab, “Ikatlah dia dan bertawakallah.”[6] Maka Nabi ﷺ menjelaskan dan mengajarkan sahabatnya untuk bertawakal dan melakukan sebab serta menyerahkan urusan kepada Allah. Seorang pelajar dikatakan bertawakal jika dia berusaha dan bersungguh-sungguh mengulangi pelajarannya dan mencari ilmu. Seorang pekerja harus melakukan pekerjaannya dengan baik, seorang petani harus bersungguh-sungguh menyirami tanah dan memberi racun untuk menjaga tanamannya, dan demikian seterusnya. Itu semua harus diikuti dengan keyakinan bahwa usaha yang dilakukan tidak menjadi jaminan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, karena semua itu ada di tangan Allah.

  2. Dahulu, Nabi senang untuk memberikan kabar gembira mengenai hal-hal yang baik kepada para sahabat. Ini adalah salah satu bentuk sunnah yang sudah banyak ditinggalkan oleh para ulama, murabbi, dan guru. Oleh karena itu, mereka hendaknya menghiasi majelis mereka dengan berbagai macam berita gembira, menceritakan tentang surga, syafaat, dan lainnya, serta tidak hanya menjelaskan hukum fikih, akidah dan lainnya.

  3. Seorang Muslim harus lebih  fokus dengan akhiratnya, bukan kepada dunia saja.

  4. Keberuntungan di akhirat tidak bisa dibandingkan dengan apa pun. Oleh karena itu, Nabi marah kepada Bani Tamim ketika tidak merasa cukup dengan kabar gembira, justru meminta harta. 

  5. Jangan malu bertanya tentang masalah agama, baik mengenai hukum syariat, yang halal dan yang haram, ataupun mengenai hari kiamat dan kisah-kisah umat terdahulu

  6. Berbaik sangkalah kepada Tuhanmu, karena Dia berkuasa untuk mewujudkan harapan dan cita-citamu. Bukankah †at yang mampu menciptakan alam semesta yang sangat luas ini dan menggenggamnya dengan tangan-Nya pasti mampu untuk mengabulkan doamu?

  7. Jika Allah عز وجل telah mencatat takdir makhluk-Nya sebelum menciptakan langit dan bumi, maka tidak seharusnya seorang hamba meratapi kebaikan yang terluput darinya. Juga tidak mengeluh atas keburukan yang menimpanya. Jika seorang hamba melakukan hal itu, berarti ia membenci takdir Allah . 

  8. Imrán bin Huÿain menyesal ketika keluar untuk melihat untanya dan meninggalkan majelisnya bersama Rasulullah. Ini menunjukkan keutamaan ilmu syar’i. Dan bahwa mencari dan memahaminya jauh lebih utama daripada menyibukkan diri dengan dunia dan yang berhubungan dengannya. Maka tidak pantas bagi seorang yang berakal lalai akan keutamaan ini.

Referensi

  1. Lihat: Fatñ Al-Bárí karya Ibnu Ôajar (13/409).
  2. Lihat: Fatñ Al-Bárí karya Ibnu Ôajar (13/409).
  3. HR. Al-Bukhari (3499) dan Muslim (52).
  4. Lihat: Majmú’ Al-Fatáwá karya Ibnu Taimiyah dan bandingkan dengan Fatñ Al-Bárí karya Ibnu Ôajar (6/289).
  5. HR. Muslim (2653).
  6. HR. Tirmizi (2517).

Nabi meriwayatkan dari Rabbnya  sebuah hadis qudsi. Hadis qudsi adalah firman Allah Ta’ala selain Al-Qur`an Al-Karim, lafaz-lafaznya bersumber dari Nabi  ﷺ dan maknanya dari Allah Ta’ala, lain halnya dengan Al-Qur`an, yang merupakan firman Allah secara lafaz dan makna. Oleh karena itu, membaca Al-Qur`an itu merupakan ibadah, dan setiap suratnya berisi tantangan, berbeda dengan hadis qudsi, jadi harus dibedakan antara keduanya.

  1. Allah تبارك وتعالى menyebutkan bahwa Dia mengharamkan dan melarang kezaliman bagi diri-Nya sendiri. Allah Ta’ala berfirman,

    “Sungguh, Allah tidak akan menzalimi seseorang walaupun sebesar zarah.”

    (QS. An-Nisá`: 40).

    Dan Allah  berfirman,

    “Barang siapa yang mengerjakan kebajikan, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang berbuat jahat, maka (dosanya) tanggungan dirinya sendiri. Dan Tuhanmu sama sekali tidak menzalimi hamba-hamba-(Nya).”

    (QS. Fuÿÿilat: 46).

    Itu berarti bahwa manusia juga tidak boleh saling menzalimi, karena Allah yang memiliki dunia dan akhirta mengharamkan kezaliman atas dirinya, maka bagaimana dengan makhluk? Tentu lebih diharamkan lagi.

Kezaliman terbesar adalah ketika seorang manusia menzalimi dirinya dengan melakuakn kemusyrikan dan maksiat yang akan menyeretnya ke neraka pada hari kiamat.

Allah Ta'ala berfirman

“Sungguh, syirik adalah kezaliman yang besar.”

(QS. Luqmán: 13).

Kemudian di bawahnya adalah kezaliman yang dilakukan seseorang kepada orang lain dengan memakan hak-hak mereka. Oleh karena itu Allah mengancam pelaku kezaliman dengan azab yang pedih.

Allah pun memerintahkan bersikap adil terhadap semua orang, baik Muslim ataupun kafir, dan melarang dari kezaliman terhadap orang lain meskipun terhadap musuh,

“Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa.”

(QS. Al-Má`idah: 8).

2.  Kemudian Allah Ta'ala menunjuki para hamba menuju-Nya. Dia adalah Pecipta, Pemberi rezeki dan Penguasa mereka. Semuga makhluk berada dalam kesesatan yang nyata, kecuali orang yang Allah tunjukkan kepada kebenaran, diberi taufik kepadanya, dan diterangi jalannya. Allah mengutus para rasul untuk membimbing makhluk kepada-Nya. Siapa yang diinginkan oleh Allah untuk mendapat kebaikan maka Dia akan memberi taufik kepadanya untuk menerima apa yang dibawa oleh para rasul. Orang yang mendapat petunjuk adalah orang yang diberi petunjuk oleh Allah Ta’ala dan diteguhkan di atas kebenaran, karena itulah Allah  memerintahkan mereka agar meminta hidayah kepada-Nya.[1] 

Hidayah itu tidak sebdtas diberi petunjuk untuk menerima dan memeluk Islam semata, tetapi mencakup pengetahuan terhadap hukum-hukum dan syariat-syariat-Nya, tunduk kepada apa yang dibawa oleh Nabi  baik berupa perintah maupun larangan. Oleh sebab itulah, Allah memerintahkan para hamba-Nya yang beriman untuk mengulang-ulang di dalam shalatnya,

“Tunjukilah kami jalan yang lurus.”

(QS. Al-Fátiñah: 6).[2]

3.  Kemudian Allah  mengabarkan bahwa seluruh makhluk membutuhkan rezeki sebagaimana mereka membutuhkan hidayah.

“Sungguh Allah, Dialah Pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.”

(QS. Aæ-†áriyat: 58).

Kalaulah bukan karena kemurahan, kemuliaan dan keluasan rezeki Allah niscaya semua makhluk akan kelaparan, dan mereka tidak akan mendapati apa yang bisa menutup aurat mereka. Jangan sampai orang kaya mengira bahwa harta yang ada di tangannya semata-mata karena hasil usaha dan ilmunya. Semua itu adalah karunia Allah yang diberikan-Nya kepada orang yang dikehendaki-Nya. Oleh karena itu Allah memerintahkan para makhluk untuk meminta makan, minum, dan pakaian dari-Nya, sehingga Dia pun memberi mereka makan, minum, dan pakaian.

4.  Kemudian Allah تبارك وتعالى menyampaikan kasih sayang-Nya terhadap hamba-Nya dan bahwa dia mengampuni semua dosa mereka, karena mereka sangat membutuhkan ampunan tersebut akibat dari kemaksiatan yang terus-menerus mereka lakukan di malam maupun di siang hari.

Allah Ta'ala berfirman

“Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

(QS. Az-Zumar: 53).

Nabi ﷺ memberitahukan bahwa Allah Ta’ala membentangkan tangan-Nya di malam hari, supaya pelaku dosa di siang hari bertobat, dan membentangkan tangan-Nya di siang hari supaya pelaku dosa di malam hari bertobat, hingga datang waktunya matahari terbit dari arah barat.”[3]

5.  Allah  تبارك وتعالى kemudian menyampaikan bahwa Dia adalah Mahakuat, dan Penguasa, tidak ada yang bisa membahayakan ataupun memberi manfaat kepada-Nya.

Allah Ta’ala berfirman

“Dan janganlah engkau (Muhammad) dirisaukan oleh orang-orang yang dengan mudah kembali menjadi kafir; sesungguhnya sedikit pun mereka tidak merugikan Allah. Allah berkehendak tidak akan memberi bagian (pahala) kepada mereka di akhirat, dan mereka akan mendapat azab yang besar. Sesungguhnya orang-orang yang membeli kekafiran dengan iman, sedikit pun tidak merugikan Allah; dan mereka akan mendapat azab yang pedih.”

(QS. Áli ‘Imrán: 176-177)

6.   Allah تبارك وتعالى menyampaikan bahwa Dia Mahakaya. Ketaatan semua hamba tidak akan bermanfaat untuk-Nya, sebagaimana kemaksiatan mereka pun tidak akan merusak-Nya. Semua itu tidak akan berpengaruh positif ataupun negatif terhadap kekuasaan-Nya. Kalaupun keimanan seluruh manusia dan jin seperti imannya Nabi  ﷺ, hal itu sama sekali tidak menambah kerajaan Allah. Sebaliknya, seandainya kekafiran dan kejahatan mereka semua seperti kekafiran Iblis yang dilaknat oleh Allah, maka semua itu tidak akan mengurangi sedikitpun dari kerajaan-Nya.

Allah Ta’ala berfirman

“Dan barang siapa berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu untuk dirinya sendiri. Sungguh, Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam.”

(QS. Al-‘Ankabút: 6)

7.   Kemudian Allah  تبارك وتعالى menyebutkan keagungan karunia-Nya dan nikmat-Nya yang tidak bisa dihitung. Dia menyebutkan bahwa seandainya seluruh makhluk, semenjak diciptakannya langit dan bumi hingga hari kiamat, jika mereka serentak berdiri di atas satu bumi, lalu setiap mereka berdoa, memohon pemberian dan rezeki, lalu Allah Ta’ala memberikan semua yang mereka minta, hal itu sama sekali tidak memengaruhi kerajaan Allah, dan tidak mengurangi sedikit pun anugerah dan karunia-Nya. Allah memberikan perumpamaan dengan menggambarkan sebuah jarum jika dicelupkan ke dalam laut, apakah engkau mendapati airnya berkurang?! Demikianlah karunia Allah Ta’ala yang tak berujung.

8.   Kemudian Allah memberitahukan bahwa kesudahan seseorang tergantung pada amalannya, karena Allah  mencatat amalan kita, lalu memberi balasan untuk amalan tersebut. Barang siapa yang mendapati kebaikan yang Allah siapkan baginya pada hari kiamat, maka hendaknya ia memuji Allah yang telah memberinya petunjuk kepada keimanan dan memberi taufik untuk berbuat kebaikan. Namun bila mendapatinya dalam kondisi yang buruk, sesungguhnya itulah hasil amalannya, ia layak dicela dan disiksa, dan janganlah ia mencela kecuali dirinya sendiri.

Implementasi

  1. Bentuk kezaliman terbesar adalah kezaliman manusia terhadap dirinya sehingga menyeretnya ke dalam nereka dengan melakukan kekufuran dan mempersekutukan Allah.

  2. Seorang hamba hendaknya senantiasa memohon hidayah dan rezeki kepada Rabbnya; karena hal tersebut hanya ada di tangan Allah, dan Dia sangat suka mendengar doa hamba-Nya.

  3. Hadis ini menjelaskan sejauh mana kefakiran dan kebutuhan kita terhadap Allah Ta'ala. Kita semua berada dalam kondisi telanjang, kelaparan dan kesesatan kecuali karena karunia dari Allah. Oleh karena itu kita harus senantiasa tawaduk dan tidak boleh sombong kepada manusia.

  4. Seorang Muslim tidak boleh terpedaya oleh ketaatan dan ibadahnya, atau mengira bahwa Allah membutuhkan semua itu, karena Allah  Mahakaya dari semua makhluk.

  5. Firman-Nya, “Sungguh kalian melakukan dosa di malam dan siang hari,” merupakan celaan terhadap makhluk, karena mereka semua diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Dia menjadikan siang dan malam untuk waktu beribadah kepada-Nya, namun manusia ceroboh dengan melakukan maksiat kepada Allah siang dan malam. Oleh karena itu, seorang Muslim harus segera menghadap Allah Ta'ala, memenuhi hari-harinya dengan zikir, tasbih, shalat, dan berbagai ibadah lainnya.

  6. Allah  ﷺ mengharamkan kezaliman atas diri-Nya, padahal Dia adalah Maharaja, Mahakuasa, dan Maha Mengatur langit dan bumi. Jika Allah sendiri mengharamkan kezaliman atas diri-Nya, padahal tidak ada sekutu bagi-Nya di kerajaan-Nya, dan tidak ada yang bisa menegur-Nya terkait apa yang dilakukan-Nya, maka bagaimana mungkin seorang hamba yang fakir lagi lemah melakukan kezaliman itu, padahal dia tahu bahwa Tuhannya sudah melarangnya?

  7. Allah membimbing kita untuk memperbanyak istigfar dan selalu melakukannya. Allah mengetahui kelemahan kita di hadapan kemaksiatan dan syahwat, oleh karena itu Dia memerintahkan kita untuk segera beristigfar supaya Dia mengampuni kita.

  8. Hadis ini menunjukkan keagungan dan keluasan karunia Allah. Oleh karena itu, seorang Muslim jangan sampai lupa berdoa meminta kepada Allah untuk diberi rezeki dari karunia-Nya yang luas. Apa yang ada di sisi Allah tidak akan pernah berkurang ataupun habis, sebagaimana disebutkan oleh Nabi dalam hadis lain, “Tangan Allah berlimpah, tidak berkurang sedikit pun dengan sekali infak, memberi dengan berlimpah di malam dan siang hari; bukanlah kalian tahu, apa yang telah Dia infakkan sejak diciptakannya langit dan bumi? Sesungguhnya sama sekali tidak berkurang sedikit pun apa yang ada di tangan kanan-Nya.”[4]

  9. Jika seorang hamba melakukan ketaatan maka hendaknya dia menyandarkannya kepada Allah Ta'ala, memuji-Nya atas hidayah dan taufik-Nya. Jangan sampai dia menyandarkannya pada dirinya sendiri, sehingga membuatnya merasa sombong, dan menganggap kecil nikmat Allah di hadapannya.

  10. Hadis tersebut menunjukkan bahwa berkumpulnya manusia di suatu tempat untuk berdoa kepada Allah lebih baik daripada bercerai berai. Oleh karena itu disyariatkan shalat istisqa`, shalat khusuf, dan lainnya untuk mencapai tujuan tersebut.

  11. Memberikan contoh merupakan metode yang efektif dan berpengaruh dalam berdakwah dan mengajarkan ilmu. Oleh karena itu, seorang guru dan murabbai hendaknya mendekatkan makna ke fikiran manusia dengan memberikan contoh yang dapat diindra, yang mendekatkan pemahaman mereka.[5]

  12. Meneladan murabbi dan guru merupakan sarana terbaik dalam belajar. Jika seorang murabbi ingin menanamkan sebuah nilai kebaikan dalam diri anak-anaknya maka dia wajib untuk melakukan nilai tersebut terlebih dahulu. Oleh karena itu Allah berfirman, “Sungguh Aku haramkan kezaliman atas Diri-Ku.”

  13. Seorang penyair menuturkan,

Ketahuilah, demi Allah, kezaliman itu tercela

Akan tetapi lebih zalim lagi pelaku dosa

Hanya kepada Allah pada hari pembalasan kita kembali

dan di sisi Allah semua permusuhan akan disidangkanPenyair lain menuturkan,

Janganlah kau meminta sebuah hajat kepada manusia 

Mintalah kepada †at yang pintu-pintu-Nya tak pernah ditutup 

Allah akan murka, jika kau tak meminta kepada-Nya

Sedangkan, manusia akan murka saat diminta 

Referensi

  1. Lihat: Al-Mufhim limá Asykala min Talkhíÿ Kitáb Muslim karya Al-Qurþubí (6/552-553).
  2. Lihat: Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab Al-ôanbali (2/40).
  3. HR. Muslim (2759) dari Abu Musa Al-Asy’ari
  4. HR. Al-Bukhari (7419) dan Muslim (993).
  5. Lihat: Syarñ Riyáð Aÿ-Ÿálihin karya Ibnu Ušaimin (2/433).


Hadis ini termasuk hadis pokok tentang Al-Asma’ Al-Husna (nama-nama Allah yang terbaik): 

  1. Nabi Muhammad ﷺ menyebutkan bahwa Allah Ta’ala mempunyai sembilan puluh sembilan nama.

Para ulama sepakat bahwa hadis ini bukan berarti bahwa Allah c hanya mempunyai sembilan puluh sembilan nama saja. Makna hadis ini ialah mengabarkan bahwa siapa saja yang menghitung sembilan puluh sembilan nama Allah ini, ia akan masuk surga[1]. Pada hakikatnya, Allah memiliki nama-nama yang baik dan sifat-sifat mulia yang tidak bisa dihitung, sebagaimana dijelaskan dalam doa yang diajarkan oleh Nabi ﷺ, “As`aluka bikulli ismin huwa laka, sammaita bihí nafsaka, au anzaltahu fi kitábik, au ‘allamtahu añadan min khalqik, au ista`šarta bihí fí ilmil gaibi indaka. (Aku memohon kepada-Mu dengan semua nama yang Engkau miliki, nama yang Engkau sematkan sendiri untuk diri-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang di antara hamba-Mu, atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau khususkan pengetahuan mengenainya untuk diri-Mu dalam ilmu gaib di sisi-Mu).”[2]

2.   Nama-nama yang dimaksudkan di sini berjumlah “seratus kurang satu”. Frasa ini menguatkan bahwa jumlah yang disebut dalam hadis adalah sembilan puluh sembilan. Agar pembaca atau pendengar tidak salah memahami.

3.   Allah عز وجل memberikan karunia kepada hamba-Nya bahwa ganjaran dari menghitung nama-nama tersebut adalah dimasukkan ke dalam surga. Ini adalah karunia dan pahala yang besar. Kata “menghitung” yang membuat seorang hamba masuk ke dalam surga mengandung banyak makna, sebagaimana bisa dipahami dari Al-Qur`an dan bahasa Arab, di antaranya: menghafalnya, menyebutnya satu persatu, mengerahkan kekuatan untuk mengamalkannya dan menguasainya secara menyeluruh dengan membaca seluruh Al-Qur`an, karena Al-Qur`an mengandung semua nama-nama tersebut.[3]

Dengan demikian, maka siapa saja yang beriman kepada nama-nama tersebut, menyebutnya satu persatu, menghafalkan dan mengamalkannya akan masuk surga.[4]

Nabi ﷺ tidak menyebutkan secara spesifik nama-nama tersebut agar manusia menggunakan akalnya untuk menadaburi Al-Qur`an dan As-Sunnah dan melakukan penelitian secara serius agar mengetahuinya. Dengan demikian, mereka akan semakin memahami makna Al-Qur`an. Sebagaimana Rasulullah g juga merahasiakan waktu doa mustajab pada hari Jumat, dan juga tidak menyebut secara spesifik kapan terjadinya Lailatulqadar. 

4.   Setelah itu, Rasulullah ﷺ menjelaskan mengenai suatu nama yang sangat agung di antara nama-nama Allah Ta’ala yaitu “Al-Witr” yang berarti tunggal. Karena Allah c tidak mempunyai sekutu dan tidak ada yang menandinginya. Oleh karena itu, Allah menyukai bilangan ganjil. Dia menjadikan banyak amalan dalam bilangan ganjil: shalat fardu lima kali sehari, bersuci sebanyak tiga kali, tawaf sebanyak tujuh putaran, hari Tasyrik tiga hari, bumi dan langit berjumlah tujuh.[5]

Implementasi

  1. Allah memberikan karunia kepada hamba-hamba-Nya dan menjelaskan nama apa yang Dia suka dipanggil dengan-Nya. Allah berfirman,

    “Dan bagi Allah nama-nama yang baik, maka berdoalah kepada Allah dengannya.”

    (QS. Al-A’ráf: 180)

Nabi ﷺ menyebutkan bahwa siapa pun yang berdoa kepada Allah dengan nama-nama ini akan masuk surga. Maka tidak pantas bagi seorang Muslim yang berakal dan mengetahui nama yang disukai oleh Allah untuk disebut dalam doa, dan Allah menyediakan surga bagi orang yang berdoa kepada Allah dengan nama tersebut, kemudian ia bermalas-malasan untuk melakukannya!

2.   Orang yang akan mendapatkan kebahagiaan adalah mereka yang mau menggunakan akalnya untuk menadaburi Kitabullah dan sunnah Nabi-Nya. Ia berusaha menemukan nama-nama Allah yang mulia tersebut, memahami maknanya, mengamalkan sesuai dengan tuntutannya dan mendakwahkannya. Ini untuk menjamin keberuntungan mendapatkan surga.

3.   Di antara bentuk menghitung nama Allah adalah menyebutkannya satu persatu dalam doa, dengan memperbanyak berdoa menggunakan nama Allah, dan menyebut nama Allah sesuai dengan kandungan doanya. Misalnya dengan mengatakan, “Ya Rañīm (Wahai Zat Yang Maha Pengasih), kasihilah aku.” Atau: “Ya Gafúr (Wahai Zat Yang Maha Pengampun), ampunilah aku.” Atau: “Ya Razzáq (Wahai Zat Yang Memberi Rezeki), berilah aku rezeki!” Dan seterusnya.

4.   Di antara bentuk menghitung nama Allah سبحانه وتعالى adalah berusaha menunaikan hak nama-nama ini dengan mengamalkan sesuai tuntutannya. Jika ia mengetahui bahwa Allah Maha Memberi Rezeki, maka seharusnya ia mempunyai keyakinan yang kuat bahwa Allah akan memberinya rezeki. Mengamalkan nama Ar-Rahīm dengan mengharap rahmat-Nya dan mengasihi sesama agar mendapat kasih sayang dari Allah. Mengamalkan nama Ar-Razzáq menuntutnya untuk mencintai nikmat yang diberikan oleh Allah dan tidak mencari rezeki dengan cara yang diharamkan-Nya, karena rezeki hanya bersumber dari Allah dan Dia-lah Yang Maha Luas pemberian-Nya.

5.   Jika terjadi sesuatu padamu, baik memperoleh nikmat atau mendapatkan musibah, atau permasalahan yang memerlukan pemikiran maka hadirkanlah nama-nama Allah Ta’ala. Kenali tuntutan nama-nama itu sesuai dengan situasi dan kondisi yang engkau hadapi. Berdoalah kepada Allah dengan nama-nama tersebut, maka engkau akan menemukan kesejukan hati dan ketenangan jiwa. 

6.   Tadaburilah nama-nama Allah Ta’ala. Nama-nama yang sesuai untuk diamalkan oleh manusia, maka amalkanlah. Seperti: Ar-Rahīm (Yang Maha Pengasih), Al-Karím (Yang Mahamulia), Al-‘Afuw (Yang Maha Pemaaf), Al-Ġafúr (Yang Maha Mengampuni), Asy-Syakúr (Yang Maha Bersyukur), dan lain sebagainya. Adapun nama yang hanya layak disematkan untuk Allah Yang Maha Agung, -seperti Al-Mutakabbir (Yang Mahasombong)- maka biarkanlah nama itu dipakai oleh yang berhak yaitu Allah c dan rendahkanlah dirimu kepada-Nya.

7.   Hendaknya engkau mempunyai wirid bersama dirimu, keluarga, dan teman-temanmu. Kalian mempelajari bersama nama-nama Allah Ta’ala. Kalian hidup bersamanya, memahami maknanya, dan  mengetahui pengaruh keimanan dengan mengetahuinya. Hendaknya kalian menggunakan buku-buku yang tepercaya untuk mempelajari makna nama-nama Allah Ta’ala, yaitu buku-buku yang mendasarkan argumentasinya pada penjelasan Rasulullah ﷺ dalam hadis-hadisnya dan para imam terdahulu, bukan yang sekadar menggunakan sangkaan-sangkaan.

8.   Seorang penyair menuturkan, Aku berdoa kepada-Mu dengan nama-nama yang baik, maka kabulkanlah  Aku telah menghitungnya agar mendapatkan nikmat-Nya Jumlahnya ada sembilan puluh sembilan yang terpatri pada  hatiku, dan ruhku siap berkorban untuk Allah Dengan nama-nama itu aku selalu mempelajari dan meneliti  bak seekor burung mengharap tetesan air, basah  ema siulannya  Apakah mungkin kedermawanan-Mu menolak seorang yang mengharapkan dan berdoa  Aku menghidupkan malamku karena mengharapkan-Mu wahai Allah!

Referensi

  1. Lihat: Al-Minháj Syarñ Ÿañīñ Muslim (5/17).
  2. HR. Ahmad (4318) dan Ibnu Ôibban (972) dari riwayat Ibnu Mas’ud h dan disahihkan oleh Al-Haišami dalam Majma’ Az-Zawá`id (10/126).
  3. Lihat: A’lám Al-Ôadīš (Syarñ Ÿañíñ Al-Bukhárí) karya Al-Khaþþábí (2/1342) dan Syarñ Ÿañíñ Al-Bukhárí karya Ibnu Baþþál (10/420).
  4. Lihat: At-Tauðíñ li Syarñ Al-Jámi’ Aÿ-Ÿañíñ karya Ibn Al-Mulaqqin (33/230).
  5. Lihat: Ikmāl Al-Mu’lim bi Fawā`id Muslim karya Al-Qaði Iyað (8/177) dan Al-Minñáj Syarñ Ÿañíñ Muslim (6/17)

Nabi Muhammad  memberitahukan beberapa sifat Allah yang bagus, beliau menjelaskannya dalam lima pesan, yaitu:  

  1. Allah  سبحانه وتعالى tidak tidur, karena tidur adalah kekurangan. Allah سبحانه وتعالى tidak memiliki kekurangan dan tidak layak memilikinya. Sementara makhluk membutuhkan tidur untuk beristirahat dari lelah dan penat, maka Allah سبحانه وتعالى tidak memerlukan hal itu sama sekali. Dia menciptakan bumi, langit dan seluruh isinya tanpa merasa lelah. Oleh karena itu,

    Allah berfirman

    “Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang Mahahidup, Yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur.”

     (QS. Al-Baqarah: 255)

  2. Rasulullah   menegaskan sifat tersebut dengan menjelaskan bahwa mustahil bagi Allah untuk tidur. Kalimat pertama menunjukkan bahwa Allah tidak mungkin tidur. Kalimat kedua menunjukkan bahwa hal itu memang mustahil bagi Allah.[1]Mustahil bagi Allah untuk tidur karena tidur adalah kondisi lalai yang tidak sesuai dengan sifat-Nya yang selalu membersamai hamba-Nya, melingkupi seluruh makhluk-Nya, menahan langit dengan tangan-Nya. Seandainya Allah tidur, maka langit akan runtuh ke atas bumi, dan rusaklah keteraturan alam semesta. 

3.  Kemudian Nabi  menyebut sifat Allah yang lain, yaitu Allah سبحانه وتعالى menimbanbg amalan yang diangkat kepada-Nya dengan adil. Ada amal saleh yang diterima-Nya dan ada yang ditolak.

Allah berfirman سبحانه وتعالى

“Kepada-Nyalah akan naik perkataan-perkataan yang baik, dan amal kebajikan Dia akan mengangkatnya.”

(QS. Fáþir: 10) 

4.   Kemudian Allah  menjelaskan bahwa seluruh amal perbuatan hamba akan diangkat kepada Allah تبارك وتعالى setiap hari. Para malaikat yang mendapatkan tugas untuk mencatat amalan manusia pada siang hari mengangkatnya sebelum malam tiba; dan mereka mengangkat amalan malam hari sebelum siang menjelang. Tidak terlambat sedikitpun. Rasulullah bersabda, “Ada malaikat yang silih berganti pada waktu malam dan siang di tengah-tengah kalian. Mereka berkumpul ketika shalat Subuh dan shalat Asar. Malaikat yang semula berada bersama pada kalian, lalu naik ke langit dan selanjutnya Rabb mereka menanyai mereka, -sementara Dia lebih mengetahui keadaan para hamba-Nya tersebut-, ‘Bagaimana keadaan hamba-hamba-Ku ketika kalian tinggalkan?’ Para malaikat menjawab, ‘Kami meninggalkan mereka, sedang mereka tengah mengerjakan shalat dan kami mendatangi mereka, sedang mereka juga tengah mengerjakan shalat.’”[2]

5.   Kemudian Allah سبحانه وتعالى menyebutkan bahwa Dia tersembunyi dari hamba-Nya dengan penghalang berupa cahaya. Dalam riwayat yang lain, berupa api. Karena Allah  sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,

“Tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Mahahalus, Mahateliti.”

(QS. Al-An’ám: 103)

Tidak ada kontradiksi antara riwayat yang menyebutkan cahaya dan riwayat yang menyebutkan api. Karena api itu mengandung dua sifat: memancarkan cahaya dan membakar. Sangat mungkin Allah سبحانه وتعالى menghilangkan sifat membakar dari api dan membiarkan sifat memancarkan cahaya, berbeda dengan api neraka Jahanam. Apinya adalah api yang membakar yang tidak bercahaya. Berbeda dengan semua sumber cahaya yang ada di dunia seperti matahari, lampu, dan lain-lain. Semuanya mempunyai cahaya dan bisa membakar.[3]

6.   Seandainya Allah membuka penghalang itu, pastilah keindahan, kecemerlangan dan pancaran cahaya wajah-Nya membakar segala sesuatu yang dilihat oleh Allah Ta’ala atau yang melihat Allah Ta’ala. Artinya, seluruh makhluknya akan terbakar dan binasa. Ketika Allah  menampakkan diri kepada gunung, gunung itu tidak mampu menahannya. Padahal gunung adalah benda padat yang sangat keras. Allah Ta’ala menggambarkannya dalam firman-Nya,

“Ketika Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, gunung itu hancur luluh ...”

(QS. Al-A’ráf: 143)

Jika itu yang terjadi kepada gunung, lalu bagaimana jika Allah menampakkan diri kepada manusia?

Implementasi

  1. Dalam hadis di atas disebutkan beberapa sifat Allah . Sifat-sifat Allah termasuk perkara yang gaib dan hanya diketahui berdasarkan wahyu. Kita wajib mengimani sifat-sifat yang disebutkan tanpa tafwid, menyerupakan ataupun mengingkarinya.

    “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat.”

    (QS. Asy-Syúrá: 11)

  2. Sifat-sifat Allah itu ada yang tetap seperti ilmu, hidup, istiwa, mendengar, melihat dan sebagainya. Semua sifat ini wajib diimani dan ditetapkan sesuai dengan yang layak bagi Allah. Di antara sifat-sifat itu ada juga sifat salbiy yang wajib dinafikan dari Allah, seperti tidur, mati, zalim, lemah dan sebagainya. Ketika kita menafikan sifat-sifat tersebut maka harus dibarengi dengan penetapan lawannya dalam bentuk yang sempurna. Maka kita menetapkan bagi Allah sifat hidup, adil, kuasa dan lainnya yang merupakan lawan dari sifat yang dinafikan.

  3. Jika seorang Muslim mengetahui bahwa Allah tidak tidur dan Dia mengetahui segala sesuatu, maka hendaknya dia malu dilihat oleh Allah ketika dia melakukan kemaksiatan.

  4. Seorang Muslim hendaknya bersegera menggunakan waktunya, memanfaatkan malam dan siang untuk melakukan ketaatan. Daud At-Tá`í رحمه الله berkata, “Sesungguhnya malam dan siang adalah tempat persinggahan manusia sampai dia berada pada akhir perjalanannya. Jika engkau mampu menyediakan bekal di setiap tempat persinggahanmu, maka lakukanlah. Berakhirnya safar bisa jadi pada waktu dekat. Namun, perkara akhirat lebih segera daripada itu. Persiapkanlah perjalananmu (menuju negeri akhirat). Tunaikanlah kewajiban yang harus engkau tunaikan. Karena mungkin saja, perjalananmu akan berakhir dengan tiba-tiba.”[4] 

  5. Setiap hamba hendaknya bersegera untuk bertaubat dan beristighfar atas kesalahan dan dosa yang dilakukan sebelum catatan amal diangkat kepada Allah . 

  6. Jika seorang hamba menyadari bahwa Allah Ta'ala tidak pernah lengah sedikitpun darinya, Dia mengatur urusannya, mendengar doanya, dan melihat kondisinya, maka dia akan mendapati bahwa Allah tidak akan menzaliminya atau meninggalkannya sia-sia, sehingga itu akan membuat jiwanya tenang dan hatinya tenteram.

  7. Seorang penyair menuturkan,

Mahasuci †at yang memenuhi alam semesta dengan bukti-bukti

menunjukkan yang tersembunyi dengan apa yang ditampakkan-Nya

Mahasuci †at yang menghidupkan hati hamba-hamba-Nya

dengan goresan pancaran cahaya hidayah-Nya

Apakah setelah mengenal Tuhan ada yang lebih lagi 

kecuali selalu melakukan yang melanggengkan ridha-Nya

Demi Allah, aku tidak akan mencari perlindungan kepada selain-Mu karena 

petunjuk terhalang dari orang yang tidak berlindung kepada-Nya

Referensi

  1. Kifáyah Al-Ôájah fí Syarñ Sunan Ibnu Májah karya As-Sindí (1/85).
  2. HR. Al-Bukhari (555) dan Muslim (632).
  3. Majmú’ Al-Fatáwá karya Ibnu Taimiyah (6/387).
  4. Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab (2/382).


  1. Nabi Muhammad  menyebutkan bahwa Allah ﷺ menciptakan malaikat dari cahaya. Malaikat adalah makhluk Allah yang mempunyai jisim berupa cahaya yang lembut. Mampu berubah bentuk dan menyerupai bentuk-bentuk yang mulia. Juga mempunyai kekuatan yang sangat besar dan mampu berpindah tempat dengan sangat cepat. Jumlah mereka sangat banyak yang hanya diketahui oleh Allah. Allah memilih mereka untuk beribadah kepada-Nya dan melakukan perintah-Nya. Tidak pernah durhaka kepada Allah dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya.[1]

2.    Kemudian Nabi  memberitahu bahwa Allah  menciptakan jin dari nyala api yang bercampur dengan hitamnya api. 

3.    Kemudian Nabi menyebutkan bahwa Allah  menciptakan Adam -bapak umat manusia- dari hal yang sudah dijelaskan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah. Ini dalam rangka meringkas dan menyingkat pembicaraan, karena Rasulullah diberikan Jawámi’ Al-Kalim.[2] Dalam Al-Qur`an, penjelasan mengenai penciptaan Nabi Adam terulang beberapa kali. Allah menciptakannya dari tanah, kemudian ditambahkan air sehingga menjadi tanah liat yang lengket. Kemudian dibiarkan hingga menghitam dan berbau. Ini disebut Al-Ôama’ Al-Masnún.[3] Setelah itu, tanah tersebut dibakar di atas api hingga menjadi Al-Fakhkhár.[4][5]

Nabi Muhammad  menjelaskan bahwa Allah  mengambil setiap genggam tanah dari berbagai tempat dibumi untuk menciptakan Adam. Karenanya, ras dan sifat manusia berbeda-beda. Sebagaimana dalam sebuah hadis riwayat Abu Musa Al-‘Asy’ari, beliau berkata, “Rasulullah  bersabda, ‘Allah menciptakan Adam dari segenggam tanah dari semua jenis tanah. Maka keturunannya beragam sesuai dengan unsur tanahnya. Ada di antara mereka yang berkulit merah, putih, hitam, dan warna antara keduanya. Di antara mereka ada yang lembut dan ada yang kasar, ada yang buruk dan ada yang baik.’”[6]

Sebagaimana penciptaan manusia berbeda-beda, penciptaan Adam juga tidak menyerupai penciptaan Hawa. Demikian juga penciptaan Isa tidak sama dengan keduanya. Dan penciptaan ketiganya tidak sama dengan penciptaan seluruh manusia yang lain. 

Implementasi

  1. Iman kepada malaikat dan jin termasuk keimanan kepada yang gaib. Dan konsekuensi iman kepada Allah تبارك وتعالى dan Rasul-Nya ﷺ adalah membenarkan keduanya dalam segala yang diberitakannya mengenai hal itu. Oleh karena itu, Allah  memuji orang-orang mukmin,

    “Yang beriman kepada yang gaib.”

    (QS. Al-Baqarah: 3).

    Seorang Muslim tidak mempunyai kewajiban untuk beriman dengan keberadaan malaikat secara global, mereka merupakan makhluk yang diciptakan oleh Allah Ta'ala, mereka tidak mendurhakai perintah-perintah Allah. Seorang Mukmin juga wajib mengimani keberadaan jin, mereka diciptakan dari api, mereka juga mukalaf seperti manusia, siapa yang beriman akan masuk surga, dan siapa yang durhaka maka dia berhak masuk neraka. Kita beriman secara terperinci terkait apa yang kita ketahui tentang berita, sifat-sifat, nama-nama mereka, dan lain sebagainya.

  2. Bertafakur tentang ciptaan Allah akan menambah keimanan dalam hati, serta ketakwaan dan rasa pengagungan terhadap Allah. Oleh karena itu Allah memerintahkan dalam banyak ayat Al-Qur`an supaya kita bertafakur terkait ciptaan-Nya.

  3. Hadis ini menjadi dalil agungnya kekuasaan Allah تبارك وتعالى. Dia menciptakan tiga jenis makhluk dari tiga jenis materi yang berbeda, setiap jenis mempunyai karakternya khususnya masing-masing. Memikirkan mengenai ciptaan Allah تبارك وتعالى akan menguatkan keimanan dan kekaguman kepada Allah سبحانه وتعالى. Oleh karena itu, dalam banyak ayat, Allah سبحانه وتعالى menyuruh kita untuk memikirkan ciptaan-Nya.

  4. Allah سبحانه وتعالى memperlihatkan pemuliaannya kepada malaikat dengan menciptakannya dari cahaya. Ini menuntut kita untuk memuliakan dan mencintai mereka. Maka, seorang Muslim hendaknya menjauhi perbuatan yang menafikan hal itu, misalnya dengan membiarkan anjing dan patung berada di dalam rumah –karena hal itu mencegah malaikat memasuki rumah tersebut- atau terus menerus melakukan kemaksiatan padahal ia mengetahui bahwa malaikat mencatat perbuatannya.

  5. Hendaknya para guru dan dai menjelaskan hal-hal yang gaib kepada orang awam berdasarkan apa yang diketahui, disaksikan atau yang sudah betul-betul dipahami. Jika tidak, maka penjelasan mereka akan menjadi obrolan yang sia-sia dan tidak berguna. 

  6. Seorang penyair menuturkan,

Allah memiliki tanda-tanda kekuasaan dalam semesta 

Semoga ayat yang paling kecil bisa menuntun hidayah kepadamu

Barangkali tanda-tanda yang ada dalam diri kita 

adalah sesuatu yang ajaib, jika engkau mampu melihat matamu sendiri

Alam semesta dipenuhi dengan rahasia-rahasia, jika 

engkau berusaha menafsirkannya, pasti engkau akan kelelahan

Referensi

  1. Lihat: ‘Álam Al-Maláikah karya Al-Asyqar dalam beberapa tempat yang terpisah. Juga dalam Fatñ Al-Bárí karya Ibnu Ôajar (6/450).
  2. Ungkapan yang singkat namun memiliki makna yang dalam (penerjemah).
  3. Lumpur hitam yang dibentuk (penerjemah).
  4. Tembikar (penerjemah).
  5. Lihat: At-Tafsír Al-Wasíþ karya Al-Wahidi (3/44) dan Tafsír An-Nasafi (3/411).
  6. HR. Ahmad (19582), Abu Daud (4693), dan At-Tirmizi (2955).

  1. Aisyah رضي الله عنها menceritakan bahwa wahyu yang pertama kali turun kepada Rasulullah  adalah mimpi yang benar. Beliau bermimpi, kemudian mimpi tersebut benar-benar terjadi ketika beliau terjaga, terlihat nyata dan jelas seperti terangnya cahaya subuh. Mimpi tersebut tidak seperti mimpi kosong atau semacamnya seperti yang dialami pada manusia pada umumnya. Sehingga mimpi tersebut seakan sebagai pendahulu untuk perkara yang besar.

Sesungguhnya wahyu dimulai dengan kabar-kabar gembira semacam itu seperti: mimpi yang benar, mendengar batu-batu bertasbih di Makkah sebelum beliau dakwah, dan salam dari batu kepada beliau dengan kenabian, dan sebagainya. Agar hal tersebut menjadi pendahuluan bagi beliau, sehingga beliau merasakan agungnya urusan yang diberikan kepada beliau dan mempersiapkan diri untuk perkara yang dinantikannya, sehingga malaikat tidak membuatnya terkejut dengan sesuatu yang tidak dapat dipikul oleh kekuatan manusia. Akan tetapi, malaikat datang kepada beliau dengan membawa berbagai pendahuluan yang dapat menguatkan hati beliau.[1]

2.   Kemudian beliau merasa senang untuk berkhalwat dan menyendiri, jauh dari pergaulan manusia. Terkadang khalwat menjadikan hati terhindar dari godaan-godaan dunia, sehingga pikiran seseorang akan bersih dan akhlaknya pun akan lurus.

3.   Nabi ﷺ berkhalwat di sebuah gua di gunung Hira` di Makkah selama beberapa malam. Di sana beliau beribadah kepada Allah Ta’ala. Beliau pergi ke gunung tersebut bila beliau ingin berkhalwat dengan membawa bekal yang cukup. Apabila perbekalan sudah habis, beliau kembali kepada istrinya dan mengambil kembali bekal seperti hari-hari sebelumnya. 

4.   Ketika Rasulullah ﷺ dalam salah satu ibadahnya, tiba-tiba wahyu datang kepada beliau secara nyata. Malaikat  turun menemui beliau yakni Jibril  عليه السلام, Sang penyampai wahyu, dan berkata, “Bacalah.” Nabi ﷺ menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Sebab, Nabi ﷺ adalah orang yang ummi (buta huruf), tidak bisa membaca dan tidak bisa menulis, sebagaimana firman

Allah Ta’ala

“Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, (yaitu) Nabi yang ummi.”

(QS. Al-A’ráf: 158).

5.   Ketika Nabi ﷺ mengatakan ucapan tersebut kepadanya, Jibril عليه السلام meraih, mendekap, dan memeluk  beliau hingga beliau kelelahan dan merasakan kepayahan. Kemudian Jibril  melepaskannya dan berkata kepadanya, “Bacalah.” Nabi  menjawab dengan jawaban yang sama dengan sebelumnya. Jibril عليه السلام kembali memeluk lalu melepaskan beliau lagi dan mengatakan seperti yang dikatakan sebelumnya. Namun, Nabi  ﷺ juga menjawab dengan jawaban serupa. Untuk ketiga kalinya, Jibril  عليه السلام memeluk lalu melepaskannya, dan berkata,

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”

(QS. Al-Alaq: 1-3).

   Itulah ayat Al-Qur`an yang pertama kali turun.

6.   Setelah itu, Nabi ﷺ kembali kepada istrinya, Khadijah رضي الله عنها, dalam keadaan takut, jantung beliau berdebar kencang karena rasa takut yang melanda. Nabi ﷺ lalu menemui istrinya sembari meminta untuk menyelimutinya. Sebab, orang yang sedang ketakutan merasa kedinginan pada persendian dan anggota tubuhnya, sehingga Khadijah  رضي الله عنهاmenyelimuti beliau sampai rasa takut yang hebat itu menghilang.

7.   Kemudian beliau menyampaikan berita itu kepadanya dan menceritakan apa yang terjadi pada beliau di dalam gua. Nabi ﷺ berkata, “Sungguh aku mengkhawatirkan diriku.” Artinya, beliau takut jantungnya copot karena ketakutan yang luar biasa terhadap bentuk malaikat yang beliau lihat.[2]

8.   Khadijah رضي الله عنها berkata sambil meyakinkan beliau, “Demi Allah, Allah tidak akan pernah menghinakanmu selamanya, dan apa yang menimpamu bukanlah sesuatu yang dibenci akibat pengaruh setan dan semacamnya. Sebab, perbuatan baik menjaga dari perbuatan yang buruk. Kemudian Khadijah رضي الله عنها menyebutkan beberapa contoh akhlak mulianya:

9.   Menjalin hubungan silaturahmi dengan mereka, dengan cara mengunjungi dan bertanya tentang mereka.

10.   Membantu orang melakukan sesuatu yang tidak mampu dilakukannya sendiri, seperti orang lemah, anak yatim, dan lain-lain.

11.   Memberikan harta kepada seseorang yang tidak punya harta benda.

12.   Memuliakan tamu dan menghidangkan makanan dan minuman kepadanya.

13.   Membantu orang lain ketika musibah menimpa mereka dengan hak, bukan membantu orang yang mengalami musibah karena perbuatan maksiat yang mereka lakukan dan pembangkangan mereka terhadap Allah Ta’ala.

14.   Kemudian Khadijah رضي الله عنها mengajak beliau kepada sepupunya, yaitu Waraqah bin Naufal, yang meninggalkan penyembahan berhala dan memeluk agama Nasrani. Ia mengetahui Taurat dan Injil serta menguasai tulisan dan bahasa Ibrani, yang merupakan bahasa orang-orang Yahudi, hingga ia mampu menulis Injil dalam bahasa Ibrani. Kala itu, Waraqah sudah sangat tua sehingga penglihatannya sudah tidak berfungsi.

15.   Ketika Nabi ﷺ menceritakan kepada Waraqah tentang apa yang beliau lihat, Waraqah mengatakan kepadanya bahwa yang beliau lihat adalah pemilik rahasia yang diturunkan Allah عز وجل kepada Nabi Musa عليه السلام. Yakni Malaikat Jibril عليه السلام. Ia menamakan Malaikat Jibril عليه السلام demikian karena ia mempunyai tugas khusus menyampaikan wahyu, tidak seperti malaikat lainnya. Kesimpulan kata-kata Waraqah adalah beliau akan menjadi seorang nabi yang diutus Allahعز وجل kepada umatnya sebagaimana Nabi  Musa  عليه السلام diutus kepada Bani Israil.

16.    Kemudian Waraqah menyebutkan bahwa kaumnya akan mendustakan dan memerangi beliau sampai mereka mengusir beliau dari negerinya. Ketika itu, Waraqah bersedih masa mudanya yang telah berlalu, dan ia berharap pada saat itu masih menjadi seorang pemuda yang kuat, yang dapat membela Nabi ﷺ dan berjuang bersama beliau, dan berharap masih hidup pada saat itu.

17.   Nabi ﷺ kaget dengan perkataan Waraqah dan menyangkal bahwa kaumnya akan mengusirnya dari Makkah ketika beliau mengajak mereka menuju keselamatan dan mengesakan Allah عز وجل . Sejatinya, orang-orang Quraisy telah mengetahui kejujuran dan sifat amanah beliau sebelum itu. Waraqah menyatakan kepada beliau bahwa hal tersebut adalah keadaan dan kebiasaan seluruh nabi. Tidak seorang pun nabi yang datang kecuali dimusuhi dan diperangi.

18.   Kemudian Waraqah mengatakan kepadanya bahwa jika ia masih hidup ketika beliau menjadi nabi dan agamanya tersebar. Mungkin yang ia maksud, ketika kaumnya mengusir dan mendustakannya, maka kala itu ia benar-benar akan menolongnya dengan seluruh kekuatan yang dimilikinya, dengan pertolongan yang jelas dan nyata dengan bukti dan hujah yang terang akan kebenaran dan kenabiannya.

19.   Kemudian tidak lama berselang, Waraqah pun meninggal, dan wahyu pun terlambat turun beberapa saat. 

Implementasi:

  1. Nabi ﷺ menikahi Aisyah  ketika beliau masih kecil. Ketika turun ayat,

    “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, ‘Jika kamu menginginkan kehidupan di dunia dan perhiasannya, maka kemarilah agar kuberikan kepadamu mutah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu menginginkan Allah dan Rasul-Nya dan negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan pahala yang besar bagi siapa yang berbuat baik di antara kamu.”

    (QS. Al-Añzáb: 28-29).

    Nabi  ﷺ memerintahkan Aisyah  untuk bermusyawarah dengan kedua orang tuanya, namun beliau tidak mau dan berkata, “Pada masalah apa aku meminta pendapat kedua orang tuaku? Sebab, sesungguhnya aku menginginkan Allah , Rasul-Nya , dan negeri akhirat.[3]” Aisyah   رضي الله عنها pada waktu menginjak usia remaja. Beliau adalah teladan bagi kita untuk mengutamakan Allah عز وجل Ta’ala dan Rasul-Nya . 

  2. Aisyah رضي الله عنها meriwayatkan hadis ini, yang berisi penjelasan tentang keutamaan Khadijah رضي الله عنها . Aisyah  pernah berkata tentang beliau, “Aku tidak cemburu kepada seorang pun istri Nabi ﷺ seperti kecemburuanku kepada Khadijah.[4]” Kendati demikian, perasaan cemburu yang merupakan fitrah yang Allah عز وجل berikan kepada wanita tidak menghalanginya untuk meriwayatkan hadis ini. Maka, tidaklah pantas bagi seseorang untuk menutup-nutupi keutamaan orang lain atau menyangkal kelebihan yang dimilikinya karena persaingan atau bermusuhan dengannya, baik dalam hal pekerjaan maupun dalam kehidupan sehari-hari. 

  3. Suara Jibril  عليه السلام kepada Nabi ﷺ yang mengatakan “bacalah" berulang kali menunjukkan anjuran untuk mengulangi ucapan hingga dipahami dari yang menyampaikannya. Pengulangan tersebut juga sebagai pendahuluan yang dapat memutus seseorang dari perkara yang mengganggu dan hal-hal yang melalaikan. Sehingga pikiran menjadi fokus pada apa yang didengar. Ini merupakan contoh yang baik bagi para dai, guru, dan pendidik dengan menjauhkan seseorang dari hal-hal yang melalaikan mereka dari ilmu dan nasihat, seperti berbagai pengaruh visual dan audio.

  4. Ketika Nabi ﷺ kembali ke Khadijah رضي الله عنها dengan rasa takut terhadap apa yang terjadi pada diri beliau dan menceritakan kepadanya hal tersebut, Khadijah رضي الله عنها tidak panik atau kehilangan akal sehatnya. Beliau juga tidak menyibukkan Nabi  dengan pertanyaan tentang apa yang telah terjadi. Akan tetapi, beliau segera menyelimuti Nabi ﷺ dengan pakaian hingga rasa takutnya mereda. Khadijah  tidak mendustakan dan juga tidak menuduh akal sehat Nabi . Namun, beliau membenarkannya dan memberikan kabar gembira kepada Nabi  bahwa orang yang memiliki sifat seperti sifat-sifat beliau yang terpuji, selamanya tidak akan dihinakan oleh Allah . Selain itu, beliau menegaskan hal tersebut dengan beberapa kalimat penegasan, “Sekali-kali tidak, demi Allah عز وجل, selamanya …” Khadijah  menenangkan beliau dengan sifat-sifat terpuji yang beliau miliki. Tidak hanya itu, beliau mengajak Nabi ﷺ untuk menemui anak pamannya yang dapat menakwil apa yang terjadi. Setelah peristiwa tersebut, Khadijah  menjadi orang pertama yang beriman kepada Nabi ﷺ. Khadijah رضي الله عنها adalah contoh istri salehah yang menolong suaminya dan meringankan beban kerasnya kehidupan.

  5. Khadijah رضي الله عنها nan cerdas menyadari sunatullah bahwa Allah  akan senantiasa menolong seseorang yang suka membantu orang lain, sehingga Dia tidak akan menyusahkannya. Maka, jangan sekali-kali menganggap sia-sia pengorbanan fisik, harta benda, waktu, atau ide yang engkau curahkan. Berikan kebaikan kepada orang lain dengan jiwa yang kuat dan lapang, mengharapkan balasan dari Allah , dan berkorbanlah pada waktu lapangmu untuk (menghadapi) waktu sempitmu.

  6. Ambillah inspirasi dari sifat-sifat yang dimiliki oleh sebaik-baik manusia. Sifat-sifat tersebut bukanlah sesuatu yang dilakukan sekali saja, melainkan perilaku yang dilakukan secara berulang-ulang sampai menjadi sifat bagi pelakunya, seperti menyambung tali silaturahmi, melakukan kunjungan, menjalin komunikasi, memberikan bantuan, setiap hubungan yang bagus, melakukan kemuliaan dengan membantu orang yang tidak mampu melakukan pekerjaannya sendiri, seperti karena lemah fisik atau kemampuan, memberikan fasilitas uang atau jalan untuk mendapatkannya, seperti pekerjaan dan profesi bagi orang yang tidak punya, menghormati tamu yang datang ke rumah atau ke tempat kerja, dan berdiri bersama setiap orang yang tertimpa musibah.

  7. Pada asalnya tidak boleh memuji seseorang di hadapannya, karena hal tersebut dikhawatirkan menjerumuskan seseorang dan mengubah niat kepada dunia. Akan tetapi, tindakan Khadijah menunjukkan bahwa diperbolehkan bagi seseorang untuk memuji orang lain di hadapannya untuk suatu kepentingan, seperti berusaha untuk menguatkannya dalam menghadapi ujian, atau memberikan kabar gembira kepadanya berupa balasan kesabarannya, dan lain sebagainya. Terlebih jika perkataan orang yang memuji itu tidak menjerumuskan orang yang dipujinya.[5]

  8. Pada ucapan Waraqah bin Naufal, “Tidak ada seorang pun yang membawa seperti apa yang engkau bawa, melainkan ia akan dimusuhi,” terdapat bukti bahwa permusuhan terhadap orang-orang saleh dan para penyeru kebenaran bukanlah hal yang baru. Akan tetapi, hal ini adalah sesuatu yang lumrah bagi para nabi dan orang-orang yang berjalan di atas jalan mereka dalam dakwah. Maka, tidak sepantasnya bagi seorang dai untuk berpaling dari dakwah karena permusuhan orang-orang yang rusak terhadap dirinya.

  9. Nabi ﷺ dahulu senang menyendiri untuk beribadah kepada Allah عز وجل, menjauhkan diri dari orang-orang, memutus dari berbagai keinginan dan obrolan duniawi. Menyendiri itu terkadang bermanfaat, selama tidak melanggar kemaslahatan orang lain. Misalnya, seseorang meninggalkan pekerjaannya dan tidak menunaikan kepentingannya dengan alasan berkhalwat, seperti yang dilakukan oleh para pemeluk ajaran sesat, atau seseorang melakukan khalwat bukan untuk ibadah.

Referensi

  1. Lihat: Syarñ Ÿañiñ Muslim karya An-Nawáwí (2/197-198).
  2. Ikmāl Al-Mu’lim bi Fawāid Al-Muslim karya Al-Qáði Iyáð (1/484-485).
  3. HR. Al-Bukhari (4785) dan Muslim (1475).
  4. HR. Al-Bukhari (3816) dan Muslim (2435).
  5. Syarñ Ÿañiñ Muslim karya An-Nawáwí (2/202).

  1. Nabi ﷺ menyebut dirinya sebagai manusia yang paling dekat dan berhak terhadap Isa bin Maryam  di dunia dan akhirat. Alasan beliau  menyebut Isa saja, tanpa nabi-nabi lainnya karena beberapa faktor, di antaranya: tidak ada seorang nabi pun yang diutus di antara mereka berdua, Isa memberi kabar gembira dengan kenabian Muhammad  dan melanjutkan risalahnya,

    “Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata, ‘Wahai Bani Israil! Sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, yang membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan seorang Rasul yang akan datang setelahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).’”

    (QS. Aÿ-Ÿaf: 6).

Nabi ﷺ  Isa juga akan turun pada akhir zaman sebagai pengikut Nabi , menerapkan hukum syariatnya, serta memerangi Dajjal bersama pasukan kaum Muslimin.[1]

2.   Kemudian Nabi ﷺ mengumpamakan hubungan antara para nabi sebagai saudara dari beberapa ibu. Mereka satu ayah hanya saja ibunya berbeda-beda. Agamalah yang menyatukan mereka seolah sebagai ayah mereka yang satu; sekalipun syariat dari sisi fikihnya beragam, ini layaknya ibu mereka yang berbeda-beda.

Agama yang telah menjadikan mereka semua sebagai kerabat adalah Islam,

Allah Ta’ala berfirman

“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam.”

(QS. Áli Imrán: 19)

Risalah para nabi semuanya adalah Islam.

Allah berfirman melalui lisan Nabi Nuh

“Dan aku diperintah agar aku termasuk golongan orang-orang muslim (berserah diri).”

(QS. Yunus: 72).

Allah juga berfirman tentang Nabi Ibrahim

“(Ingatlah) ketika Tuhan berfirman kepadanya (Ibrahim), 'Berserahdirilah!' Dia menjawab, 'Aku berserah diri kepada Tuhan seluruh alam.'”

(QS. Al-Baqarah: 131).

Dan Yakub  berkata

“Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.”

(QS. Al-Baqarah: 132).

Musa  juga berkata

“Wahai kaumku! Apabila kamu beriman kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya, jika kamu benar-benar orang muslim (berserah diri).”

(QS. Yunus: 84).

Kaum Hawariyun, sahabat Isa  juga mengatakan

“Kamilah penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah, dan saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang muslim.”

(QS. Ali Imran: 52).

Islam yang menjadi dakwah para nabi dan rasul itu adalah perintah untuk bertauhid dan hanya beribadah kepada Allah semata, meninggalkan semua yang disembah selain Allah, menaati para nabi dan rasul, menegakkan keadilan, berbakti kepada kedua orang tua, menolong orang yang dizalimi, menjaga hak-hak anak yatim, menjauhi perbuatan keji, menyambung silaturahmi, dan lainnya, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta'ala, Katakanlah (Muhammad),

“Marilah aku bacakan apa yang diharamkan Tuhan kepadamu. Jangan mempersekutukan-Nya dengan apa pun, berbuat baik kepada ibu bapak, janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; janganlah kamu mendekati perbuatan keji, baik yang terlihat ataupun yang tersembunyi, janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar.  Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu mengerti. Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun dia kerabat(mu) dan penuhilah janji Allah. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu ingat. Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Maka ikutilah! Jangan kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu bertakwa.”

(QS. Al-An'ám: 151-153).

Sementara dalam perkara-perkara hukum, maka masing-masing nabi mempunyai syariat yang berbeda-beda.

Allah Ta’ala  berfirman

“Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.” 

(QS. Al-Má`idah: 48).

3.   Dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa Nabi ﷺ menyebutkan alasan mengapa beliau sebagai orang yang paling dekat dengan Isa bin Maryam  dibandingkan nabi-nabi lainnya. Hal itu disebabkan tidak ada seorang nabi pun yang diutus antara beliau dan Isa, sehingga Nabi Isa adalah pemberi kabar gembira kepada manusia akan kedatangan beliau.[2]

Implementasi

  1. Para dai dan murabbi sebaiknya menggunakan perumpamaan dan permisalan dalam menjelaskan makna dan mendekatkan gambaran permasalahan, sebagaimana Nabi  menyerupakan hubungan antara para nabi dan hal yang menyatukan mereka dalam masalah tauhid dan pokok-pokok agama, serta perbedaan mereka dalam masalah cabang-cabang syariat dengan persaudaraan seayah, sementara ibu mereka berbeda.

  2. Memperhatikan alasan-alasan suatu hukum agama bisa menjadi sarana yang akan membantu memahami ilmu dan gambaran permasalahan yang diinginkan. Nabi ﷺ ketika memberitakan bahwa beliau adalah orang yang lebih utama dalam hubungannya dengan Isa bin Maryam , maka beliau menyebutkan sebabnya. Beliau bersabda, "Tidak ada nabi lain antara aku dengan dia." Oleh karena itu, sebaiknya seorang ulama dan dai lebih memperhatikan penjelasan tentang ilat dan hikmah dari hukum-hukum syariat sehingga pelajar bisa mengetahuinya dengan baik.

  3. Hadis ini menjadi dalil bahwa risalah para nabi adalah Islam. Nabi عليه السلام Isa  tidak membawa ajaran trinitas, salib, dan juga kependetaan. Nabi Musa juga tidak mendakwahkan bahwa Uzair adalah anak Allah, beliau juga tidak menzalimi para wanita dan mengharamkan mereka dari hak-hak mereka. Oleh karena itu maka seharusnya para Nabi dan Rasul Allah dibersihkan dari tuduhan-tuduhan bohong tersebut.

  4. Dalam hadis tersebut terdapat perintah untuk beriman dengan semua nabi dan rasul. Jadi, tidak sah iman seseorang sampai dia beriman dengan mereka semua, tidak membeda-bedakan satupun dari mereka.

    Allah berfirman

    “Rasul (Muhammad) beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya (Al-Qur`an) dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semua beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata), 'Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.'”

    (QS. Al-Baqarah: 285).

  5. Allah Ta'ala tidak akan menerima agama selain Islam. Betapapun banyak kebaikan yang dilakukan oleh seseorang tetap tidak akan diterima dan tidak diberi pahala sampai dia beriman dengan kenabian Muhammad  ﷺ dan mengikuti syariatnya, berimana dengan semua nabi dan meyakini bahwa mereka semua mengajak kepada peribadatan kepada Allah semata.

    Allah Ta'ala berfirman,

    “Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.”

    (QS. Ali-Imran: 85).

  6. Muslim sejati adalah orang yang melakukan loyalitas dan permusuhan atas dasar agama. Dia mencintai orang-orang saleh dan loyal terhadap mereka, meskipun mereka bukan dari negaranya; dan dia berlepas diri dari orang-orang kafir meskipun mereka merupakan karib kerabatnya.

  7. Allah Ta'ala berfirman
    “Sesungguhnya penolongmu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang melaksanakan salat dan  menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allah). Dan barang siapa menjadikan Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya, maka sungguh, pengikut (agama) Allah itulah yang menang.” (QS. Al-Má`idah: 55-56).

Referensi

  1. Lihat: Al-Ifÿáh ‘an Ma’áni Aš-Ÿiññañ karya Ibnu Hubairah (6/184) dan ±arñ At-Tašríb fí Syarñ At-Taqríb karya Al-‘Iráqí (6/243).
  2.  Lihat: Majmú’ Al-Fatáwá karya Ibnu Taimiyah (15/159).

Islam berdiri di atas syahadat tiada Tuhan yang berhak diibadahi selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Mengenal Rasulullah ﷺ akan membantu menguatkan keimanan kepadanya. Bagaimana tidak, beliau adalah manusia paling sempurna dan paling berjasa kepada kita. Dalam hadis ini, Ibnu Abbas k memberitahukan beberapa fase terpenting yang dilalui Rasulullah ﷺ dalam kehidupannya. Beliau menyebutkan: 

  1. Rasulullah ﷺ mendapatkan wahyu dari Jibril عليه السلام dan mendapatkan perintah untuk menyampaikannya ketika berusia empat puluh tahun. Artinya, beliau lahir 53 tahun sebelum hijrah. Tahun kelahirannya disebut dengan Tahun Gajah. Beliau diangkat menjadi rasul 13 tahun sebelum hijrah.Allah memilih Makkah sebagai kota kelahiran dan tumbuh dan berkembangnya Rasulullah ﷺ. Beliau dilahirkan dari keturunan yang mulia. Ayahnya adalah Abdullah bin Abdul Muṭṭhalib Al-Hasyimi Al-Qurasyi. Ibunya adalah Aminah binti Abdi Manaf bin Zuhrah Al-Qurasyiyyah[1]. Maka Rasulullah mempunyai nasab (jalur keturunan) yang paling mulia di tengah-tengah bangsa Arab. Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah memilih Kinanah dari keturunan Isma’il dan Allah memilih Quraisy dari keturunan Kinanah. Allah memilih Bani Hasyim dari Quraisy dan Allah memilih aku dari keturunan Bani Hasyim.[2]” Ayahnya meninggal ketika beliau berada dalam kandungan ibunya, sehingga beliau terlahir dalam keadaan sebagai anak yatim. Beliau tumbuh dalam asuhan ibunya. Ibunya meninggal ketika beliau berusia enam tahun. Kemudian beliau diasuh oleh kakeknya, yang kemudian meninggal ketika beliau berusia delapan tahun. Kemudian, beliau diasuh oleh pamannya, Abu Thalib.[3]Rasulullah ﷺ tetap tinggal di Makkah selama empat puluh tahun. Allah b menarbiahnya dan menyiapkannya agar layak memikul risalah yang Allah pilih untuknya.

    Allah berfirman

    “Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungi(mu). Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia memberikan kecukupan.”

    (QS. Að-Ðuha: 6-8).

    Beliau hidup bersama kaumnya dengan interaksi yang baik dan akhlak yang mulia; menyertai mereka dalam segala urusan yang bermanfaat, dan menjauhi segala perkara yang buruk.Nabi ﷺ menikahi Khadijah binti Khuwailid dan mendapatkan enam keturunan darinya, yaitu: Al-Qasim, Abdullah, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan Fathimah. Sedangkan Ibrahim merupakan putra beliau yang lahir di Madinah dari Mariyah Al-Qibtiyyah.[4] Jibril n turun kepadanya dengan membawa wahyu ketika sedang berada di dalam Gua Hira. Wahyu yang turun yaitu firman-Nya,

    “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” 

    (QS. Al-Alaq 1-5).

    Maka Nabi pun mengemban tuga dakwah.

2.   Setelah turun wahyu pertama, Rasulullah ﷺ tinggal di Makkah selama tiga belas tahun dan terus mendapatkan wahyu. Beliau mendakwahkan wahyu yang diterimanya, dan mendapatkan gangguan dan pengingkaran dari kaumnya dengan sangat berat yang tidak mungkin ditanggung oleh siapa pun. Orang-orang yang beriman kepadanya juga mendapatkan gangguan. Ketika gangguan tersebut semakin menjadi-jadi, beliau memerintahkan mereka untuk berhijrah ke Habasyah pada tahun kelima kenabian. Mereka pun kemudian hijrah ke Habasyah lebih dari sekali.[5] Rasulullah ﷺ sendiri tetap di Makkah untuk berdakwah. Allah menolong dakwah Rasulullah dengan dua orang yang selalu menyokongnya, yaitu pamannya Abu Thalib dan istrinya Ummul Mukminin Khadijah. Hingga pada tahun kesepuluh, keduanya meninggal dunia. Beliau kemudian mencari orang yang mau menolong agamanya di Thaif, pada musim haji dan ke tempat lain, akan tetapi beliau justru disakiti.[6]

3.   Setelah beliau menggenapkan tiga belas tahun tinggal di Makkah, beliau memilih Madinah sebagai tempat untuk berhijrah. Kemudian beliau berhijrah ke Madinah ditemani oleh Abu Bakar h. Beberapa sahabatnya telah mendahului berhijrah ke Madinah, dan sahabat yang tersisa yang mampu berhijrah menyusulnya setelah itu. Rasulullah ﷺ tinggal di Madinah untuk berdakwah, berjihad, dan mengurus kaum Muslimin selama sepuluh tahun, hingga Allah menyempurnakan nikmat-Nya dengan masuknya manusia secara berbondong-bondong ke dalam agama Islam. 

4.   Kemudian Ibnu Abbas k menjelaskan bahwa Nabi ﷺ meninggal pada usia enam puluh tiga tahun setelah berdakwah selama dua puluh tiga tahun. Tiga belas tahun di Makkah, dan sepuluh tahun di Madinah. Beliau wafat di kamar Aisyah i pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awwal tahun ke 11 H. Semoga Allah menganugerahkan selawat dan salam atasnya.

Implementasi

  1. Yakinlah dengan rububiyah dan rahmat Allah Ta’ala, serta mohonlah pertolongan kepada-Nya. Rasulullah ﷺ terlahir dalam keadaan yatim, kemudian ibu dan kakeknya meninggal saat beliau masih kecil, kemudian pamannya mengasuhnya, padahal ia seorang yang miskin dan mempunyai banyak anak. Biasanya, anak yatim seperti ini akan tumbuh dengan buruk karena kurang perhatian. Akan tetapi, takdir segala sesuatu berada di tangan Allah. Allah menjadikan anak yatim ini setelah berpuluh-puluh tahun sebagai pemimpin seluruh semesta. Oleh karena itu, janganlah seseorang berputus asa dari rahmat Allah walaupun berada situasi dan kondisi yang sangat sulit. Hendaklah ia yakin bahwa ia punya Tuhan yang mengatur segala sesuatu yang jika Allah berfirman, “Jadilah,” maka terjadilah. 

  2. Nabi ﷺ berdakwah di Makkah selama tiga belas tahun. Beliau keluar masuk pasar dan hadir dalam pertemuan-pertemuan kaumnya untuk berdakwah kepada mereka. Tidak merasa lelah, tidak bosan, dan tidak berputus asa supaya kaumnya beriman. Tidak peduli dengan pengingkaran dan tuduhan-tuduhan mereka. Selalu berlemah lembut dalam tutur kata dan bersikap asih kepada kaumnya. Selalu mendoakan agar mereka mendapatkan hidayah. Membantu keperluan mereka dan menjaga amanah yang dititipkan kepadanya. Tidak terlalu bersedih dengan kematian pamannya yang menjaganya dari gangguan kaumnya. Tidak juga gundah gulana karena kematian kekasih dan istri tercintanya, Khadijah yang selalu menolong dan mendukungnya untuk menegakkan agama Allah dengan harta dan jiwanya. Apakah ini tidak cukup menjadi teladan bagi para dai, para penuntut ilmu, dan para pemberi nasihat untuk bersabar dalam dakwah dan tegar menerima gangguan dari manusia? Padahal, mereka tidak menanggung gangguan seberat gangguan yang ditanggung oleh Rasulullah ﷺ.

  3. Ketika perintah untuk berhijrah turun dari Allah kepada Nabi-Nya ﷺ, beliau tidak bersedih karena harus meninggalkan keluarga, harta, rumah, dan tanah kelahiran. Beliau hanya taat kepada perintah Allah Ta’ala walaupun harus menanggung kesusahan. Inilah sikap seorang Mukmin. Segala hal yang dihadapinya terasa ringan dalam rangka mencari rida Allah Ta’ala. 

  4. Makna hijrah itu luas. Berhijrah tidak mesti berpindah dari suatu negeri ke negeri yang lain. Bisa jadi, hijrah dilakukan dengan berpindah dari suatu lingkungan atau pekerjaan tertentu menuju lingkungan dan pekerjaan yang lebih diridai oleh Allah Ta’ala.

  5. Kehidupan Rasulullah ﷺ melalui berbagai fase dan kondisi yang bermacam-macam. Terkadang susah, terkadang mudah. Kesempitan dan kelapangan. Dalam situasi perang ataupun damai. Terkadang bersembunyi, terkadang terang-terangan. Terkadang kalah, terkadang menang. Kehidupan beliau mencakup seluruh kehidupan manusia dengan berbagai situasi dan fase yang bermacam-macam. Hal ini menjadi contoh yang sempurna bagi umatnya, terutama dalam hal menerima takdir Allah Ta’ala dalam setiap kondisi.

  6. Kematian adalah suatu kemestian, walaupun bagi makhluk yang paling mulia, yang paling kuat, yang paling cerdas, yang paling menjaga kesehatannya dari hal yang merusaknya, yang selalu berdoa memohon ampunan dan keselamatan dari Tuhannya dan selalu memberikan kemanfaatan kepada orang lain. Maka, orang yang berakal hendaknya tidak lupa akan kematian, atau pura-pura lupa dari hisabnya, atau terlalu bersedih karena kematian kekasih atau saudara, atau seorang ulama atau seorang pembaharu.

  7. Seorang penyair menuturkan,

Seorang yatim lahir kemudian menjadi mulia di tengah-tengah manusia 

Maka hendaklah orang miskin dan anak-anak yatim berbangga

Seperti fajar yang menyemburat dari kegelapan pekat 

seperti ruh yang menghidupkan orang mati yang rapuh

Alangkah bahagianya dunia, dan semakin besar kebahagiaannya 

Karena wajahnya akan selalu diselimuti oleh Islam

8.   Hassan bin Sabit menuturkan,[7]

Kaumkulah yang melindungi Nabi mereka 

dan membenarkannya di saat dunia mengingkarinya

Mereka orang-orang khusus yang menjadi contoh 

bagi orang-orang saleh, dan bersama orang-orang yang menolong ada para penolong

Mereka mengucapkan kegembiraan dengan pembagian dari Allah 

ketika datang kepada mereka Nabi dari keturunan mulia dan terpilih

Selamat datang, engkau dalam keselamatan dan kelapangan 

sebaik-baik Nabi, karunia Allah paling agung, dan sebaik-baik tetangga

Mereka menempatkannya di rumah yang tiada ketakutan 

bagi orang yang tetangga mereka adalah rumahnya sendiri

Referensi

  1. Lihat: As-Sīrah An-Nabawiyyah karya Ibnu Hisyam (1/110).
  2. HR. Muslim (2276) dari Wasilah bin Al-Asqa’ h.
  3. Lihat: As-Sīrah An-Nabawiyyah karya Ibnu Hisyam (1/168-179).
  4. Lihat: As-Sīrah An-Nabawiyyah karya Ibnu Hisyam (1/187).
  5. Lihat: As-Sīrah An-Nabawiyyah: ‘Arḍ Waqāi’ wa Tahlīl Ahdāṡ hal. 191.
  6. Lihat: As-Sīrah An-Nabawiyyah: ‘Arḍ Waqāi’ wa Tahlīl Ahdāṡ hal. 207.
  7. Sīrah Ibnu Hisyam (1/664).

  1. Nabi ﷺ memperingatkan umatnya agar tidak berbicara dalam masalah agama hanya berdasarkan pendapat belaka dan mengikuti hawa nafsu. Hingga datanglah seorang laki-laki di antara mereka yang bodoh, enggan menuntut ilmu dan bertanya kepada ahlinya. Dia meninggalkan majelis ilmu, lebih memilih bersantai-santai serta bermalas-malasan, lantas ia berkata sambil bersandar pada kasur atau bantalnya, “Kita wajib mencukupkan diri dengan perintah dan larangan yang tercantum di dalam Al-Qur`an. Yang halal adalah apa yang dihalalkan oleh Al-Qur`an, dan yang haram adalah apa yang diharamkan oleh Al-Qur`an.”Ternyata hal itu menjadi kenyataan pada umat beliau , muncullah sekte Khawarij, Rafidhah, Qur`aniyun, sekularisme, dan lain sebagainya, yang hanya terpaku pada Al-Qur`an, namun menolak berhukum dengan sunnah Nabi . Mereka menolak mengamalkan hadis-hadis sahih, karena kebodohan dan keangkuhan mereka, maka Allah membutakan hati dan akal mereka.[1]

2.   Nabi ﷺ mengingkari perbuatan mereka dengan menyebutkan alasannya, bahwa perintah dan larangan Nabi  ﷺ wajib ditunaikan dan ditaati seperti halnya perintah dan larangan Allah , karena beliau tidak berbicara berdasarkan hawa nafsu. Di sisi lain, sesungguhnya sunnahnya merupakan syariat yang harus diikuti

Allah berfirman

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah; dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.”

(QS. Al-ôasyr: 7)

3.   Nabi ﷺ memberitahukan bahwa Allah  memberikan Al-Qur`an kepada beliau; kitab suci yang diturunkan kepada beliau melalui makhluk tepercaya, Jibril عليه السلام, membacanya termasuk ibadah, kehebatan setiap surahnya tak tertandingi, dinukil secara mutawatir. Beliau juga diberi As-Sunnah yang di dalamnya berisi tafsir Al-Qur`an, penjelasan hukum-hukumnya, dan had-hadnya, karenanya Dia  berfirman,

“Dan Kami turunkan Aż-Żikr (Al-Qur`ān) kepadamu, agar engkau menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.”

(QS. An-Nañl: 44).

Ini menunjukkan bahwa Nabi ﷺ dan sunnah yang beliau sampaikan merupakan penjelasan untuk Al-Qur`an yang diturunkan oleh Allah.As-Sunnah sendiri memiliki keistimewaan, datang dengan hukum-hukum tambahan yang tidak disebutkan di dalam Al-Qur`an, seperti: pengharaman emas bagi kaum laki-laki, syariat hak khiar (memilih) dengan beragam jenisnya antara penjual dan pembeli, larangan menikahi seorang wanita beserta bibinya (dari pihak ayah ataupun dari pihak ibunya) dalam waktu yang sama, pengharaman memakan daging keledai jinak, bolehnya makan bangkai ikan dan belalang, dan lain sebagainya.Tidak ada sedikit pun dari hal di atas bersumber dari diri pribadi Nabi. Sesungguhnya tambahan hukum tersebut merupakan wahyu dari Allah Ta’ala kepada Nabi-Nya ﷺ, meskipun ada perbedaan antara As-Sunnah dan Al-Qur`an; As-Sunnah adalah wahyu dengan makna, Nabi  memberitahukannya secara makna dengan lafaz yang beliau kehendaki.

Allah berfirman,

“Dan yang diucapkannya itu bukanlah menurut keinginannya. Tidak lain (Al-Qur`án itu) adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”

(QS. An-Najm: 3-4)

Implementasi:

  1. (1) Jangan sampai engkau terjangkiti kebodohan dan enggan menuntut ilmu, serta merasa berat hati untuk duduk bersama para ulama, karena hal itu penyebab munculnya bidah dan penganutnya.

  2. (1) Nabi ﷺ memperingatkan umatnya agar tidak berpaling dari sunnahnya. Jangan sampai engkau termasuk ke dalam golongan yang berpaling.

  3. (1) Pada hadis ini terdapat celaan dan teguran keras bagi orang-orang yang menolak As-Sunnah, dan mencukupkan diri hanya dengan Al-Qur`an. Lantas bagaimana dengan orang-orang yang lebih menguatkan pendapat pribadi daripada hadis. Tatkala ia mendengar sebuah hadis sahih, ia berkata, “Aku tidak wajib mengikutinya, karena aku mempunyai pendapat mazhab yang aku ikuti.”[2]

  4. (2) Jangan sampai engkau meremehkan apa diharamkan atau yang diwajibkan oleh Nabi ﷺ, karena hukuman bagi pelakunya sama seperti melanggar apa yang diharamkan oleh Allah Ta’ala, terlebih hukuman bagi orang yang mengingkari apa yang telah disyariatkan oleh Nabi  lebih besar lagi.

  5. (2) Barang siapa yang menolak sabda Nabi ﷺ, maka ia telah menolak firman Allah Ta’ala serta tidak patuh kepada perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, jauhilah sikap yang demikian.

  6. (3) As-Sunnah merupakan wahyu seperti halnya Al-Qur`an, apa pun yang bersumber darinya dengan jalur periwayatan yang sahih, maka wajib diikuti, dibenarkan, dan diyakini.

  7. (3) Bagaimana mungkin boleh bagi seorang mukmin mengaku beriman kepada Nabi ﷺ, lantas ia enggan mengikutinya?!

  8. (3) Sebuah hadis yang sahih tidak disyaratkan bahwa harus sama persis dengan Al-Qur`an untuk diterima. Betapa banyak hadis-hadis Nabawiyah yang di situ terdapat tambahan atas apa yang tercantum di dalam Al-Qur`an. Jika datang kepadamu sebuah hadis sahih yang bersanad hingga Nabi maka amalkanlah.

  9. (3) Seandainya Rasulullah  tidak ditaati lantaran ada tambahan yang tidak tercantum di dalam Al-Qur`an, maka perintah untuk taat kepada beliau tidak berguna, dan kewajiban taat yang dikhususkan kepada beliau gugur. Di samping itu, apabila seseorang tidak perlu taat kepada beliau kecuali pada hal-hal yang sesuai dengan Al-Qur`an saja, sementara jika ada tambahan dari yang terdapat dalam Al-Qur`an beliau tidak ditaati, maka tidak ada lagi ketaatan yang dikhususkan untuk beliau, padahal Dia  berfirman,

    “Barang siapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya dia telah menaati Allah.”

    (QS. An-Nisá`: 80)[3]

  10. Seorang penyair menuturkan,

Jadilah pengikut sunnah makhluk yang paling baik

Karena itu tanda keselamatan seorang hamba

Ia termasuk kenikmatan bagi segenap makhluk

Kebaikannya akan dirasakan di dunia dan akhirat

Sejak ia datang, hati yang tertutup bisa melihat

jalan petunjuk, banyak yang sadar terhadap kebenaran

Tuhanku, curahkanlah selawat kepadanya, layaknya kucuran hujan

Mengelokkan daun-daun dan ranting-ranting

Dan sampaikanlah salam nan suci lagi harum kepada beliau

Beserta keluarganya, para sahabat, yang tak pernah lekang oleh masa

Referensi

  1. Lihat: Ma’alim As-Sunan karya Al-Khaþþabí (4/298) dan Syarñ Al-Misykah Al-Kasyif ‘an Haqa`iq As-Sunan karya Aþ-±ibi (2/630).
  2. Hasyiah As-Sindi ‘ala Sunan Ibni Majah (1/4).
  3. I’lam Al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin karya Ibn Al-Qayyim (2/220).

  1. Nabi ﷺ bersumpah atas suatu hal yang besar, beliau ingin menegaskan dengan sumpah demi Allah عز وجل, sehingga beliau bersabda, “Demi †at yang segala urusan dan hidupku berada di tangan-Nya. Jika Dia menghendaki, Dia mematikannya, dan jika Dua menghendaki juga, Dia menghidupkannya.”

  2. Sumpah tersebut berisi tentang kewajiban beriman bagi semua orang yang telah sampai kepadanya dakwah Nabi ﷺ, yaitu umat-umat yang kepada mereka Nabi ﷺ diutus. Mereka adalah manusia dan jin, Arab dan non-Arab, dari waktu Nabi  masih hidup hingga hari kiamat.

Yang dimaksud dengan dakwah telah sampai kepadanya adalah bila seorang mukalaf sudah memahami tentang adanya orang yang menyatakan bahwa dia adalah utusan Allah عز وجل, menyeru untuk menauhidkan-Nya, melarang untuk menyekutukan-Nya, menjelaskan hal tersebut, dan sebagainya, baik mukalaf itu menerima atau tidak. Sehingga cukup dikatakan bahwa dalil telah tegak atas seseorang yang memahami dengan benar tentang keberadaan seorang rasul dengan sifat tersebut. Adapun orang yang dakwah tidak sampai kepadanya dengan benar, kita tidak mengatakan bahwa dalil telah tegak atasnya,

berdasarkan firman Allah Ta’ala

“Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul.“

(QS. Al-Isrá`: 15)

3.    Nabi ﷺ menyebut orang-orang Yahudi dan Nasrani karena mereka adalah orang yang paling mengenal Nabi ﷺ. Kabar gembira akan kenabian beliau telah sampai kepada mereka. Penyebutan mereka secara khusus menunjukkan bahwa mereka tidak beriman dengan risalah Nabi ﷺ sedikit pun, kendati ia mengatakan bahwa dirinya mengikuti agama samawi. Sehingga golongan selain mereka seperti para penyembah berhala dan golongan ateis lebih jauh lagi. Hal ini merupakan bukti bahwa seluruh ajaran agama dihapus dengan syariat yang dibawa oleh Nabi ﷺ.[1]

4.    Setiap orang yang dakwah telah sampai kepadanya dalam kondisi sudah balig dan berakal, kemudian ia mati dalam keadaan kafir, tidak beriman kepada Nabi ﷺ, dan tidak mengikuti syariat yang beliau bawa, maka ia termasuk penghuni neraka, kekal di dalamnya selama-lamanya. Tidak bermanfaat baginya amal, garis keturunan, kemuliaan, atau kemewahan.

Allah Ta’ala berfirman

“Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.”

(QS. Áli Imrán: 85).

Implementasi:

  1. Abu Hurairah رضي الله عنه menempuh jarak yang jauh dari negerinya, rida berhijrah, serta terasing menuju Allah Ta’ala dan Rasul-Nya ﷺ, padahal cukup baginya untuk masuk Islam di negerinya. Bahkan kemudian, beliau menjadi sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadis meskipun belum lama masuk Islam. Maka, hendaklah masing-masing dari kita melihat dirinya sendiri, apa yang telah ia korbankan di jalan Allah Ta’ala? Seberapa jauh kesungguhannya untuk mendekatkan diri kepada As-Sunnah yang merupakan warisan Nabi Muhammad ﷺ? 

  2. Hendaklah kita mengagungkan perkara iman ini dan tunduk kepada apa yang disampaikan oleh Rasulullah ﷺ, baik hal tersebut sejalan dengan hawa nafsu kita atau tidak. Inilah masalah iman yang Nabi ﷺ bersumpah demi Zat yang hidup dan matinya berada di tangan-Nya.

  3. Barang siapa yang memiliki hubungan kekerabatan atau hubungan dengan orang Yahudi atau Nasrani, maka hendaklah ia berbaik hati kepadanya dengan mengajaknya secara baik untuk masuk Islam. Sebab, agamanya tidak bermanfaat baginya. Bila ia masuk Islam, maka ia dan engkau mendapatkan dua pahala karena sebab tersebut. Rasulullah ﷺ bersabda, “Tiga golongan yang mendapatkan dua pahala: seorang dari golongan Ahli Kitab yang beriman kepada nabinya dan kepada Nabi Muhammad  ... ” [2]

  4. Seorang Muslim harus bangga dengan agamanya, dengan kebanggaan yang melebihi kebanggaan seseorang dengan peradabannya. Sebab, setiap pengikut agama lain berada dalam kerugian besar selama mereka tidak mengikuti agama Islam yang telah sampai kepada mereka. Maka, segala puji bagi Allah  yang telah menjadikan kita sebagai kaum Muslimin dan menunjuki kita kebenaran yang diperselisihkan dengan izin-Nya. 

  5. Rahmat terbesar adalah ketika seseorang berusaha untuk membebaskan diri, keluarganya, dan orang lain dari azab yang kekal. Sebab, tidak seorang pun yang akan masuk surga hingga ia beriman kepada Nabi ﷺ dan risalahnya serta mengikuti beliau. Dalam hal ini, para dai adalah orang yang paling sayang kepada orang lain. Sebab, mereka berjuang dengan lisan, harta benda, dan ilmu yang mereka miliki untuk menyelamatkan mereka dari azab Allah عز وجل. Hal semacam ini adalah kedudukan mulia yang sepatutnya diupayakan oleh setiap Muslim, untuk selanjutnya bergabung dengan barisan para dai.

  6. Seorang penyair menuturkan,

Jadilah pengikut Sunnah sebaik-baik manusia 

karena itu adalah tanda keselamatan seorang hamba.

Dialah yang karunianya meliputi seluruh makhluk 

dan kebaikannya meliputi mereka di dunia dan akhirat.

Sejak ia datang, hati-hati yang buta kembali melihat 

 jalan kebenaran, dan telinga pun menyimak kebenaran

Wahai Tuhan, sampaikanlah selawat kepadanya sebanyak turunnya hujan 

kemudian dedaunan dan ranting pohon pun tumbuh karenanya

Kirimkan kepadanya salam yang suci dan harum 

keluarga dan para sahabat, salam yang tak akan lekang oleh waktu

Referensi

  1. Lihat: Tuñfah Al-Abrár karya Al-Baiðawí (1/43) dan Al-Mafātīñ fī Syarñ Al-Maÿábīh karya Al-MuÈhirí (1/72).
  2. HR. Al-Bukhari (97) dan Muslim (145) dari Abu Musa Al-Asy’ari

Anas bin Málik رضي الله عنهmengabarkan bahwa ketika beliau keluar dari masjid bersama Nabi ﷺ, seorang laki-laki bertemu dengan mereka di depan masjid dekat bayang-bayang dan atap yang menaungi masjid. Lalu ia bertanya kepada Nabi ﷺ waktu terjadinya hari kiamat. Disebutkan bahwa laki-laki ini adalah orang Badui yang buang air kecil di masjid sebelum peristiwa itu. Ia adalah zul-Khuwaisirah dari Yaman.[1]

2.   Lalu Nabi ﷺ mengalihkannya dari pertanyaan tersebut kepada pertanyaan yang lebih penting, yaitu, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk hari kiamat? Apakah engkau telah siap dengan kedatangannya dengan memperbanyak ketaatan dan ibadah?”

Tujuan Nabi ﷺ adalah untuk mengingatkan laki-laki tersebut pada sesuatu yang wajib dan menjadi keharusan baginya, yaitu mempersiapkan diri menghadapi hisab dan beramal untuk masuk surga. Sebab, tidak dituntut darinya untuk mengetahui waktu hari kiamat, terlebih lagi tidak seorang pun yang mengetahui kapan waktunya bahwa kecuali Allah عز وجل.

3.   Ketika laki-laki tersebut mendengar pertanyaan Nabi ﷺ, seketika ia tertunduk dan terdiam, lantaran merasa rendah dengan amalnya, mengakui kekurangannya, dan meminta maaf atas pertanyaannya yang tidak pantas.

4.   Kemudian ia menyebutkan bahwa ia tidak mempersiapkan diri untuk hari kiamat dengan amal yang besar, serta tidak memperbanyak amal sunnah, ibadah, dan ketaatan yang bisa mendekatkannya ke surga dan menyelamatkannya dari api neraka. Ia hanya mencukupkan diri dengan amal wajib yang harus dilakukan oleh seorang Muslim.[2]

Ucapannya itu bisa jadi sebagai bentuk kerendahan hati dan usaha untuk mengalahkan hawa nafsunya, atau dalam pandangannya ia melihat dirinya tidak melakukan banyak amal, atau ia bermaksud bahwa semua itu tidak akan ada artinya di depan kekuatan cintanya yang tulus kepada Allah dan Rasulullah ﷺ, yang tidak dapat ditandingi oleh amal apa pun. 

5.   Hanya saja, amal perbuatan terbesar yang dilihat oleh laki-laki tersebut yang akan mendatangkan manfaat baginya pada hari kiamat adalah kecintaannya kepada Allah عز وجلdan Rasul-Nya , yaitu cinta yang tulus yang konsekuensinya menuntut ketaatan dan amal-amal lainnya.

6.   Oleh karena itu, Nabi  ﷺ menyatakan bahwa jika ia memang tulus dalam cintanya, sesuai dengan syarat-syaratnya, maka kelak ia akan dikumpulkan dengan orang yang ia cintai dan bersama dengan Nabi ﷺ dan para sahabat di surga Firdaus yang tertinggi.

Allah  berfirman,

“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”

(QS. An-Nisá: 69).

Itulah sebabnya, Anas  berkata, “Aku mencintai Nabi, Abu Bakar, dan Umar, dan aku berharap bisa bersama mereka karena cintaku kepada mereka kendati aku tidak memiliki amalan seperti amal mereka.”[3]

Implementasi:

  1. Keluarga Anas maupun Anas  sendiri tidak keberatan untuk melayani Nabi ﷺ. Beliau adalah seorang yang merdeka dan bukan budak. Sedangkan pekerjaan melayani orang lain ketika itu diperuntukkan bagi budak, bukan bagi anak-anak para tokoh. Ibunya membawanya ketika itu kepada Nabi ﷺ untuk melayani beliau. Seorang Muslim mungkin saja mempertimbangkan kebiasaan dan omongan orang, namun hal semacam itu tidak menghalanginya untuk memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat.

  2. Anas  sangat ingin menyertai dan melayani Nabi ﷺ meskipun usianya masih muda. Beberapa hadis menyebutkan bahwa terkadang beliau bermain pada waktu itu dengan sejumlah anak laki-laki[4]. Sehingga, mendidik anak kecil dengan hal-hal baik tidak berarti harus menghalanginya dari hal-hal yang ia butuhkan seperti bermain dan semacamnya.

  3. Laki-laki itu bertanya tentang waktu hari kiamat. Akan tetapi, Nabi tidak menjawabnya, dan mengalihkannya kepada pertanyaan lain yang berkaitan dengan kepentingan si penanya dan hal lainnya, yaitu beramal untuk waktu hari kiamat. Gaya bahasa semacam ini dikenal di kalangan ahli Balaghah dengan "Uslúb Al-ôakím" (gaya bahasa orang bijak), yaitu memberikan jawaban dari pertanyaan dengan jawaban yang lebih banyak atau lebih penting daripada yang dimaksud oleh penanya, karena suatu hikmah yang luput oleh si penanya. Seperti jawaban Nabi kepada orang yang bertanya kepada beliau tentang wudu dengan air laut, beliau menjawab, “Airnya suci dan bangkainya halal.[5]” Beliau memberikan fatwa kepada mereka secara umum tentang kesucian air laut, kemudian beliau menambahkan kepada mereka bahwa bangkai binatang laut hukumnya halal[6]. Oleh karena itu, seorang dai atau guru harus cerdas dalam memahami kebutuhan orang banyak, bijak dalam ucapan dan memberikan jawaban, dan tidak terbawa emosi dengan tekanan pertanyaan-pertanyaan mereka. Melainkan berbicara kepada orang banyak dengan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka dalam urusan dunia dan akhirat, tanpa menimbulkan api fitnah, atau dengan ilmu yang tidak bermanfaat.

  4. Nabi ﷺ mengubah pemikiran penanya dari pertanyaan-pertanyaan yang tidak bermanfaat baginya, atau yang tidak ada jawabannya, yaitu, “Kapan hari kiamat” dengan langkah praktis, “Apa yang telah engkau siapkan untuk itu?” Itulah sebabnya Imam Malik  membenci pembicaraan kecuali pembicaraan yang melahirkan amal. Beliau meriwayatkan dari para ulama sebelum beliau bahwa mereka juga seperti itu.[7] Sebagian besar perdebatan manusia dan  orang yang terlibat dalam suatu wacana adalah pada perselisihan yang tidak melahirkan amal sesudahnya. Maka, cobalah untuk beralih pada pertanyaan yang berguna, “Apa selanjutnya?”

  5. Seorang Muslim harus meletakkan di hadapannya pertanyaan, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk itu?” sebagai jalan hidupnya. Ia senantiasa bersegera mengevaluasi setiap hari, untuk melihat bagaimana Allah  akan bertemu dengannya? Apakah Dia rida atau justru murka kepadanya?

  6. Cinta kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, sejatinya bukan sebatas ucapan dan kecenderungan jiwa saja. Akan tetapi, ia adalah perasaan yang memenuhi hati. Lalu hal tersebut diikuti dengan kesungguhan untuk memperoleh rida dari yang dicintai dan kepadanya ketaatan dipersembahkan, sesuai dengan apa yang ada di dalam hati, hingga ia mengutamakannya daripada keluarga, harta benda, anak-anak, dan seluruh manusia. Maka, barang siapa yang mengaku cinta, hendaklah ia melihat dirinya sendiri. Apakah ia mendapati bukti cintanya? Al-Hasan Al-Baÿri berkata, “Suatu kaum mengaku bahwa mereka mencintai Allah عز وجل, lalu Dia menguji mereka dengan ayat ini,

    “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosa kamu[8]. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang‘.”

    (QS. Áli Imrán: 31)

  7. Sebesar apa pun maksiat menguasai hati dan waktumu, jangan sampai ia menodai pengagungan dan cintamu kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya ﷺ. Sesungguhnya kita semua tidak mampu mencapai kedudukan para nabi  di surga, karena besarnya keutamaan dan amal mereka, serta karena ketulusan iman dan ketaatan mereka, terlepas dari ujian yang mereka alami. Hanya saja, kita bisa bersama mereka di akhirat dengan mencintai mereka dengan baik, memuliakan mereka, mengikuti Sunnah mereka, dan mengutamakan cinta kepada mereka daripada cinta kepada seluruh manusia. Sungguh ini adalah kabar gembira bagi mereka yang sungguh-sungguh. Oleh karena itu, Anas pernah berkata, “Aku tidak pernah melihat kaum Muslimin bergembira setelah kegembiraan dengan keislaman mereka melebihi gembira mereka mendengar informasi dari Nabi tersebut.” [9]

  8. Berupayalah untuk meningkatkan cintamu kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya ﷺ dengan mencari jalan dan berbagai amal, seperti sering berzikir kepada Allah Ta’ala, selawat kepada Nabi ﷺ, memperbaharui hati dengan rasa cinta kepada Allah عز وجل dan Rasul-Nya ﷺ, mengingat-ingat karunia dari keduanya, dan bertekad untuk senantiasa taat kepada keduanya. Setiap kali engkau mendapati seorang kekasih meminta rida kekasih yang dicintainya, maka hendaklah cintamu kepada Allah عز وجل dan Rasul-Nya lebih besar,

    “Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.”

    (QS. Al-Baqarah: 165).


Referensi

  1. Lihat: Fatñ Al-Bárí karya Ibnu ôajar (10/555).
  2. Lihat: Al-Mufhim karya Al-Qurthubí (6/646).
  3. HR. Al-Bukhari (3688) dan Muslim (2639).
  4. HR. Muslim (2604).
  5. HR. At-Tirmizi (69).
  6. Lihat: Al-Kawákib Ad-Darárí karya Al-Kirmaní (22/35).
  7. Lihat: Jámi’ baina Al-‘Ilmi wa Faðlihi karya Ibnu Abdil Barr (2/95).
  8. Tafsīr Ibnu Kašīr (2/32). Di dalamnya ayat itu disebutkan sampai di sini.
  9. HR. Ahmad (12032).


  1. Nabi melarang umatnya mencaci para sahabat, yaitu orang-orang yang bertemu dengan Nabi ﷺ dan beriman kepadanya serta meninggal dalam keadaan Islam. Mereka adalah sebaik-baik manusia setelah para nabi, karena merekalah yang mengemban tugas beratnya menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru bumi. Mereka berusaha membela Nabi ﷺ, mereka harus berhadapan dengan kaum mereka sendiri. Mereka memusuhi semua yang memusuhi Nabi ﷺ, baik dari kalangan orang asing maupun kaum kerabat. Allah Ta’ala memilih mereka menjadi sahabat Nabi  تبارك وتعالى sebagaimana Allah  ﷺ memilih Nabi Muhammad untuk mengemban risalah-Nya. Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya Allah melihat hati para hamba-Nya. Allah mendapati hati Muhammad adalah hati yang paling baik, maka Allah memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya sebagai pembawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati para hamba-Nya setelah hati Muhammad. Allah mendapati hati para sahabat beliau adalah hati yang paling baik. Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka sebagai para pendukung Nabi-Nya yang berperang demi membela agama-Nya.” [1]

Allah Ta’ala memuji para sahabat Nabi dalam beberapa ayat Al-Qur`an. Allah Ta’ala memuliakan mereka di atas selain mereka dan memberitahukan bahwa Dia meridai dan mengampuni mereka. Oleh karena itu, mencaci dan merendahkan para sahabat hukumnya haram dan termasuk dosa besar. Mencaci para sahabat menunjukkan kemunafikan dan kekafiran, karena tidak ada yang membenci sahabat kecuali orang munafik yang sudah diketahui kemunafikannya atau seorang kafir yang menyembunyikan kekafirannya dan menampakkan keislaman. Oleh karena itu, sebagian ahli fikih berpendapat bahwa orang yang mencaci sahabat harus dijatuhi hukuman mati.[2]

2.   Kemudian Nabi ﷺ menjelaskan alasan larangan mencaci para sahabat dengan menyebutkan keutamaan dan kedudukan mereka. Maka Nabi pun bersumpah dengan Allah , zat yang jiwa Nabi Muhammad berada di tangan-Nya, yang apabila Dia berkehendak, Dia mencabut nyawanya atau membiarkannya. Dan jika Dia berkehendak, Dia mengujinya atau memberinya keselamatan. Sesungguhnya pahala amalan sahabat yang paling rendah sekalipun tidak bisa disamai dengan amalan selain mereka. Seandainya seseorang berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud, pahalanya tidak akan menyamai seorang sahabat yang berinfak makanan dengan genggaman kedua tangannya, bahkan tidak akan menyamai pahala separuhnya, yaitu pahala genggaman satu tangannya

Hal ini karena para sahabat berinfak dalam kondisi miskin dan sangat membutuhkan harta tersebut untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dan karena mereka adalah generasi pertama yang menyebarkan Islam dan memikul beban dakwah. Mereka berperang dan terbunuh. Mereka hadir dan menyaksikan saat wahyu diturunkan. Mereka membersamai Rasulullah  ketika bermukim maupun dalam perjalanan. Dengan sebab-sebab ini dan sebab yang lainnya mereka berhak mendapatkan pahala yang paling agung. Allah memuji para sahabat dalam firman-Nya,

“(Harta rampasan itu juga) untuk orang-orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halamannya dan meninggalkan harta bendanya demi mencari karunia dari Allah dan keridaan (-Nya) dan (demi) menolong (agama) Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang (Anšar) yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas diri mereka sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

(QS. Al-ôasyr: 8-9)

Implementasi:

  1. (1) Jangan pernah sekali-kali mencaci dan mencela para sahabat Nabi , karena hal itu bertentangan dengan larangan Allah dan Rasul-Nya .

  2. (1) Bagaimana mungkin engkau mencaci orang yang dipuji dan dimuliakan Allah Ta’ala serta dipilih untuk membersamai Nabi-Nya ?

  3. (1) Tidak layak bagi kaum Muslimin untuk memperdebatkan mengenai peperangan yang terjadi di antara para sahabat. Karena yang mereka lakukan adalah hasil ijtihad dengan tujuan untuk mencapai kebaikan. Baik yang benar maupun yang salah sama-sama diampuni dan diridai oleh Allah .

  4. (1) Hendaknya setiap Muslim mendidik keluarganya untuk mencintai dan mengagungkan para sahabat.

  5. (2) Jika para sahabat adalah manusia terbaik setelah para nabi -dan mereka adalah orang yang menyaksikan turunnya wahyu dan mengetahui yang halal dan yang haram-, maka sudah selayaknya kita meneladan mereka dan mengikuti ajaran mereka. Abdullah bin Umar berkata, “Siapa saja yang mencari teladan, hendaknya mencari teladan dari orang-orang yang sudah mati. Mereka itulah para sahabat Rasulullah . Mereka adalah generasi terbaik umat ini, merekalah orang yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sederhana hidupnya. Allah telah memilih mereka untuk mendampingi Nabi ﷺ dan untuk menegakkan agama-Nya. Ikutilah akhlak dan perilaku mereka, karena mereka adalah para sahabat Nabi yang berada di atas jalan yang lurus.” [3]

  6. (2) Sudah seharusnya setiap Muslim membaca biografi para sahabat agar dapat mengetahui bagaimana akhlak mereka dan mengapa Allah سبحانه وتعالى mengangkat derajat mereka. Sejumlah orang pernah berkata kepada Al-Hasan Al-Baÿri , “Ceritakan kepada kami karakter para sahabat Rasulullah !” Al-Hasan kemudian menangis. Setelah itu, beliau berkata, “Pada diri mereka, tampak tanda-tanda kebaikan, ketenangan, petunjuk dan kejujuran. Mereka sederhana dengan baju yang kasar, mereka berjalan dengan tawaduk, makanan mereka sedikit, ucapan mereka sesuai perbuatan, makan dan minum mereka hanya dari rezeki halal dan tayib. Mereka patuh dengan melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala, tunduk terhadap kebenaran dalam hal yang mereka sukai maupun mereka benci dan selalu mempersembahkan diri mereka untuk kebenaran. Pada siang hari mereka berpuasa, tubuh mereka kurus dan mereka mengesampingkan kemarahan makhluk untuk mencari rida Allah Sang Khalik. Mereka tidak zalim ketika marah, tidak berbuat aniaya dan tidak pernah melanggar hukum Allah Ta’ala dalam Al-Qur`an. Lisan mereka sibuk berzikir, mereka siap menumpahkan darah mereka ketika Allah memintanya, mereka menyedekahkan hartanya ketika Allah  memintanya dan mereka tidak takut kepada makhluk. Akhlak mereka mulia, kebutuhan hidup mereka sedikit dan harta mereka yang sedikit cukup untuk sebagai bekal mereka menuju akhirat.”[4]

  7. (2) Seseorang boleh bersumpah dalam suatu masalah tanpa diminta untuk menguatkan perkataannya.

  8. (2) Yang menjadi barometer bukanlah kuantitas, akan tetapi kualitas iman dan keyakinan di dalam hati. Bisa jadi uang satu dirham dapat melampaui seribu dirham di sisi Allah عز وجل. Janganlah engkau tertipu dengan besarnya nominal infak atau karena pujian yang ditujukan kepadamu dengan infak yang jiwa telah bersusah payah mengusahakannya. Hal tersebut hanya akan menyia-nyiakan kekuatanmu.

  9. (2) Para sahabat adalah sekelompok orang yang apabila engkau bersedekah dengan seluruh harta yang ada di dunia tidak akan menyamai amalan paling rendah yang mereka lakukan. Bagaimana mungkin engkau memperbincangkan kehormatan mereka atau berkata buruk tentang mereka.

Referensi

  1. HR. Ahmad (3600).
  2. Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawi (16/93).
  3. HR. Abu Nu’aim dalam Ôilyah Al-Auliyá’ (1/305-306).
  4. HR. Abu Nu’aim dalam Ôilyah Al-Auliyá’ (2/150).