عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي، لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا، مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ، وَلَا نَصِيفَهُ».

Dari Abu Hurairah  رضي الله عنه, beliau berkata,

“Rasulullah bersabda,‘Jangan mencaci sahabat-sahabatku, jangan mencaci sahabat-sahabatku, Demi †at yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya salah seorang di antara kalian berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud, maka itu tidak akan menyamai satu mud (infak) salah seorang dari mereka dan tidak pula setengahnya.’”


  1. Nabi melarang umatnya mencaci para sahabat, yaitu orang-orang yang bertemu dengan Nabi ﷺ dan beriman kepadanya serta meninggal dalam keadaan Islam. Mereka adalah sebaik-baik manusia setelah para nabi, karena merekalah yang mengemban tugas beratnya menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru bumi. Mereka berusaha membela Nabi ﷺ, mereka harus berhadapan dengan kaum mereka sendiri. Mereka memusuhi semua yang memusuhi Nabi ﷺ, baik dari kalangan orang asing maupun kaum kerabat. Allah Ta’ala memilih mereka menjadi sahabat Nabi  تبارك وتعالى sebagaimana Allah  ﷺ memilih Nabi Muhammad untuk mengemban risalah-Nya. Ibnu Mas’ud berkata, “Sesungguhnya Allah melihat hati para hamba-Nya. Allah mendapati hati Muhammad adalah hati yang paling baik, maka Allah memilihnya untuk diri-Nya dan mengutusnya sebagai pembawa risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati para hamba-Nya setelah hati Muhammad. Allah mendapati hati para sahabat beliau adalah hati yang paling baik. Oleh karena itu, Allah menjadikan mereka sebagai para pendukung Nabi-Nya yang berperang demi membela agama-Nya.” [1]

Allah Ta’ala memuji para sahabat Nabi dalam beberapa ayat Al-Qur`an. Allah Ta’ala memuliakan mereka di atas selain mereka dan memberitahukan bahwa Dia meridai dan mengampuni mereka. Oleh karena itu, mencaci dan merendahkan para sahabat hukumnya haram dan termasuk dosa besar. Mencaci para sahabat menunjukkan kemunafikan dan kekafiran, karena tidak ada yang membenci sahabat kecuali orang munafik yang sudah diketahui kemunafikannya atau seorang kafir yang menyembunyikan kekafirannya dan menampakkan keislaman. Oleh karena itu, sebagian ahli fikih berpendapat bahwa orang yang mencaci sahabat harus dijatuhi hukuman mati.[2]

2.   Kemudian Nabi ﷺ menjelaskan alasan larangan mencaci para sahabat dengan menyebutkan keutamaan dan kedudukan mereka. Maka Nabi pun bersumpah dengan Allah , zat yang jiwa Nabi Muhammad berada di tangan-Nya, yang apabila Dia berkehendak, Dia mencabut nyawanya atau membiarkannya. Dan jika Dia berkehendak, Dia mengujinya atau memberinya keselamatan. Sesungguhnya pahala amalan sahabat yang paling rendah sekalipun tidak bisa disamai dengan amalan selain mereka. Seandainya seseorang berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud, pahalanya tidak akan menyamai seorang sahabat yang berinfak makanan dengan genggaman kedua tangannya, bahkan tidak akan menyamai pahala separuhnya, yaitu pahala genggaman satu tangannya

Hal ini karena para sahabat berinfak dalam kondisi miskin dan sangat membutuhkan harta tersebut untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dan karena mereka adalah generasi pertama yang menyebarkan Islam dan memikul beban dakwah. Mereka berperang dan terbunuh. Mereka hadir dan menyaksikan saat wahyu diturunkan. Mereka membersamai Rasulullah  ketika bermukim maupun dalam perjalanan. Dengan sebab-sebab ini dan sebab yang lainnya mereka berhak mendapatkan pahala yang paling agung. Allah memuji para sahabat dalam firman-Nya,

“(Harta rampasan itu juga) untuk orang-orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halamannya dan meninggalkan harta bendanya demi mencari karunia dari Allah dan keridaan (-Nya) dan (demi) menolong (agama) Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang (Anšar) yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas diri mereka sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.”

(QS. Al-ôasyr: 8-9)

Implementasi:

  1. (1) Jangan pernah sekali-kali mencaci dan mencela para sahabat Nabi , karena hal itu bertentangan dengan larangan Allah dan Rasul-Nya .

  2. (1) Bagaimana mungkin engkau mencaci orang yang dipuji dan dimuliakan Allah Ta’ala serta dipilih untuk membersamai Nabi-Nya ?

  3. (1) Tidak layak bagi kaum Muslimin untuk memperdebatkan mengenai peperangan yang terjadi di antara para sahabat. Karena yang mereka lakukan adalah hasil ijtihad dengan tujuan untuk mencapai kebaikan. Baik yang benar maupun yang salah sama-sama diampuni dan diridai oleh Allah .

  4. (1) Hendaknya setiap Muslim mendidik keluarganya untuk mencintai dan mengagungkan para sahabat.

  5. (2) Jika para sahabat adalah manusia terbaik setelah para nabi -dan mereka adalah orang yang menyaksikan turunnya wahyu dan mengetahui yang halal dan yang haram-, maka sudah selayaknya kita meneladan mereka dan mengikuti ajaran mereka. Abdullah bin Umar berkata, “Siapa saja yang mencari teladan, hendaknya mencari teladan dari orang-orang yang sudah mati. Mereka itulah para sahabat Rasulullah . Mereka adalah generasi terbaik umat ini, merekalah orang yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sederhana hidupnya. Allah telah memilih mereka untuk mendampingi Nabi ﷺ dan untuk menegakkan agama-Nya. Ikutilah akhlak dan perilaku mereka, karena mereka adalah para sahabat Nabi yang berada di atas jalan yang lurus.” [3]

  6. (2) Sudah seharusnya setiap Muslim membaca biografi para sahabat agar dapat mengetahui bagaimana akhlak mereka dan mengapa Allah سبحانه وتعالى mengangkat derajat mereka. Sejumlah orang pernah berkata kepada Al-Hasan Al-Baÿri , “Ceritakan kepada kami karakter para sahabat Rasulullah !” Al-Hasan kemudian menangis. Setelah itu, beliau berkata, “Pada diri mereka, tampak tanda-tanda kebaikan, ketenangan, petunjuk dan kejujuran. Mereka sederhana dengan baju yang kasar, mereka berjalan dengan tawaduk, makanan mereka sedikit, ucapan mereka sesuai perbuatan, makan dan minum mereka hanya dari rezeki halal dan tayib. Mereka patuh dengan melakukan ketaatan kepada Allah Ta’ala, tunduk terhadap kebenaran dalam hal yang mereka sukai maupun mereka benci dan selalu mempersembahkan diri mereka untuk kebenaran. Pada siang hari mereka berpuasa, tubuh mereka kurus dan mereka mengesampingkan kemarahan makhluk untuk mencari rida Allah Sang Khalik. Mereka tidak zalim ketika marah, tidak berbuat aniaya dan tidak pernah melanggar hukum Allah Ta’ala dalam Al-Qur`an. Lisan mereka sibuk berzikir, mereka siap menumpahkan darah mereka ketika Allah memintanya, mereka menyedekahkan hartanya ketika Allah  memintanya dan mereka tidak takut kepada makhluk. Akhlak mereka mulia, kebutuhan hidup mereka sedikit dan harta mereka yang sedikit cukup untuk sebagai bekal mereka menuju akhirat.”[4]

  7. (2) Seseorang boleh bersumpah dalam suatu masalah tanpa diminta untuk menguatkan perkataannya.

  8. (2) Yang menjadi barometer bukanlah kuantitas, akan tetapi kualitas iman dan keyakinan di dalam hati. Bisa jadi uang satu dirham dapat melampaui seribu dirham di sisi Allah عز وجل. Janganlah engkau tertipu dengan besarnya nominal infak atau karena pujian yang ditujukan kepadamu dengan infak yang jiwa telah bersusah payah mengusahakannya. Hal tersebut hanya akan menyia-nyiakan kekuatanmu.

  9. (2) Para sahabat adalah sekelompok orang yang apabila engkau bersedekah dengan seluruh harta yang ada di dunia tidak akan menyamai amalan paling rendah yang mereka lakukan. Bagaimana mungkin engkau memperbincangkan kehormatan mereka atau berkata buruk tentang mereka.

Referensi

  1. HR. Ahmad (3600).
  2. Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawi (16/93).
  3. HR. Abu Nu’aim dalam Ôilyah Al-Auliyá’ (1/305-306).
  4. HR. Abu Nu’aim dalam Ôilyah Al-Auliyá’ (2/150).

Proyek Hadis