1. Nabi memberitahukan bahwa orang-orang beriman yang terbaik adalah mereka yang hidup pada zaman Nabi ﷺ; yaitu para sahabatnya yang bertemu dengannya, beriman kepadanya, dan meninggal dalam keadaan Islam. Mereka memikul beban dakwah dan mengangkat panji Islam serta berjihad di jalan Allah untuk menolong Rasulullah ﷺ.

Allah Ta’ala memuji para sahabat dalam beberapa ayat Al-Qur`an, seperti firman Allah Ta’ala,

“Dan orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah. Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang agung.”

(QS. At-Taubah: 100).

Dalam beberapa ayat yang lain, Allah menegaskan bahwa Dia telah menerima tobat mereka dan rida terhadap mereka. Bahkan, ketika menafsirkan firman Allah ,

“Katakanlah (Muhammad), ‘Segala puji bagi Allah dan salam sejahtera atas hamba-hamba-Nya yang dipilih-Nya,’”

(QS. An-Naml: 59)

, Ibnu Abbas رضي الله عنه mengatakan, “Mereka adalah para sahabat Nabi ﷺ, Allah عز وجل telah memilih mereka untuk menyertai Nabi-Nya.”[1]

2.   Setelah para sahabat, yang mendapatkan keutamaan dan kebaikan adalah para tabiin yang hidup setelah zaman mereka. Para tabiin bertemu dan berguru kepada para sahabat. Merekalah yang menukilkan Al-Qur`an dan sunnah Nabidari para sahabat dan menyampaikan ilmu-ilmu mereka dalam bidang tafsir, fikih, dan tauhid.

3.   Setelah itu para atba’ at-tabi’in (generasi setelah tabiin) yang memikul dakwah Islam, menyebarkan ilmu dan mengkodifikasikan sunnah Nabi ﷺ. Allah memenangkan Islam melalui usaha mereka hingga tersebar ke seluruh penjuru dunia. Allah memuji tiga generasi tersebut. Mengenai para sahabat,

Allah berfirman

“(Harta rampasan itu juga) untuk orang-orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halamannya dan meninggalkan harta bendanya demi mencari karunia dari Allah dan keridaan (-Nya) dan (demi) menolong (agama) Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar. Dan orang-orang (Ansar) yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka. Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas diri mereka sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Dan siapa yang dijaga dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.

(QS. Al-ôasyr: 8-9). 

Berkaitan dengan para tabiin dan atba’ at-tabi’in,

Allah berfirman

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa, ‘Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.’”

(QS. Al-ôasyr: 10)

4.   Kemudian Imran bin ôuÿain  ragu, apakah Nabi ﷺ menyebutkan masa yang lain sesudah dua masa tersebut yaitu masa tabiin dan atba’ at-tabi’in. Sebagian besar riwayat menyebut masa ketiga tanpa keraguan.

5.   Kemudian Nabi ﷺ memberitahukan tentang kerusakan dan keburukan yang akan terjadi pada umatnya setelah tiga masa tersebut. Yaitu adanya orang-orang yang berlomba-lomba menjadi saksi tanpa diminta, bukan karena ingin menyampaikan kebenaran atau menunaikan hak, akan tetapi karena mereka menganggap enteng persaksian sementara persaksian mereka batil dan palsu. Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud menguatkan makna ini, “Kemudian datanglah sekelompok orang yang persaksian mereka mendahului sumpah mereka, dan sumpah mereka mendahului persaksian mereka.”[2] Artinya, mereka tidak peduli dengan persaksian mereka sendiri. Mereka juga tidak peduli apakah mereka layak menjadi saksi atau tidak. Sedangkan orang yang bersegera menjadi saksi dengan niat menegakkan keadilan dan menolong orang yang terzalimi, maka mereka adalah sebaik-baik saksi. Sebagaimana sabda Nabi , “Maukah kalian aku beritahu sebaik-baik saksi? Yaitu yang mau bersaksi tanpa diminta.”[3]

6.   Sifat buruk lain yang ada pada mereka adalah berkhianat terhadap amanah yang dibebankan. Mereka tidak bisa dipercaya untuk menjaga jiwa, kehormatan dan harta manusia.

7.   Sifat lainnya adalah mereka tidak menepati kewajiban yang telah mereka wajibkan atas diri mereka sendiri, baik itu berkaitan dengan Allah maupun dengan orang lain. Jika mereka bernazar kepada Allah atau berjanji kepada orang lain, mereka mengingkari dan tidak menepatinya. Sifat mereka ini adalah sifat orang-orang munafik yang Nabi  jelaskan dalam sabdanya, “Tanda orang munafik ada tiga: jika berbicara, ia dusta; jika berjanji, ia mengingkari; dan jika diberi amanah, ia berkhianat.”[4]

8.   Sifat lain yang mereka miliki adalah lebih mementingkan kehidupan dunia dan terlalu bergantung dengannya. Hal itu terlihat dalam fisik mereka yang terlihat gemuk. Ini menunjukkan mereka lalai dan terlalu asyik dengan kenikmatan dunia. Walaupun demikian, hadis ini tidak menunjukkan bahwa semua orang gemuk pasti lalai atau fasik. Tidak juga menunjukkan bahwa semua orang munafik berbadan gemuk. Rasulullah ﷺ hanya menyebutkan hal yang banyak terjadi. Dan ini merupakan bahasa kiasan untuk menjelaskan kecintaan dan sibuknya mereka terhadap dunia.

Implementasi:

  1. (1) Para dai, pendidik, dan pejabat pemerintah wajib untuk menanamkan kecintaan dan mengagungkan para sahabat Nabi  dalam hati masyarakat.

  2. (1) Seorang Muslim harus membaca kisah dan biografi para sahabat agar bisa meneladan keimanan dan akhlak mereka. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas , “Para sahabat adalah orang-orang yang menegakkan rambu-rambu agama dan tulus dalam ijtihad untuk kaum Muslimin, sehingga jalan agama menjadi mudah ditapaki dan fondasinya menjadi kuat. Maka nikmat Allah terhadap kaum Muslimin menjadi terang, agama Allah menjadi kokoh dan rambu-rambunya menjadi jelas. Dengan usaha para sahabat, Allah  menghinakan kesyirikan, menjadikan  tokoh-tokohnya mati, dan meruntuhkan tonggak-tonggaknya. Sehingga kalimat Allah menjadi yang paling tinggi dan propaganda orang-orang kafir menjadi hina. Semoga shalawat, rahmat dan berkah Allah selalu tercurah kepada jiwa suci mereka dan roh mereka yang tinggi. Ketika hidup, mereka menjadi kekasih Allah . Dan mereka terus hidup bahkan setelah kematian. Mereka selalu memberi nasihat kepada hamba-hamba Allah . Mereka telah berpindah ke akhirat sebelum tiba masanya. Dan mereka telah keluar dari dunia, padahal fisik mereka masih di dunia.”[5]

  3. (1) Jangan pernah merendahkan para sahabat, apalagi sampai mencaci mereka. Karena mereka adalah orang-orang yang menyertai Nabi dan manusia pilihan Allah setelah para nabi.

  4. (1) Yang lebih selamat untuk dirimu dan agamamu adalah tidak memperbincangkan perselisihan dan fitnah yang terjadi antara para sahabat. Apa yang mereka lakukan adalah hasil ijtihad masing-masing, sehingga mereka dimaafkan.

  5. (1) Di antara tanda keimanan adalah mencintai para sahabat, dan tanda kemunafikan adalah membenci mereka. Periksalah dirimu, apakah engkau orang mukmin atau munafik?

  6. (2) Bacalah biografi para ulama dari kalangan tabiin. Pelajari bagaimana mereka menjadi manusia paling baik setelah para nabi dan para sahabat.

  7. (3) Engkau harus mengucapkan taráðði (mendoakan para sahabat agar mendapatkan keridaan Allah ). Engkau juga harus mengucapkan tarahhum (mendoakan para tabiin dan atba’ at-tabi’in agar mendapatkan rahmat Allah ). Dan mohonlah kepada Allah agar dikumpulkan bersama Nabi, para sahabat, tabiin dan atba at-tabi’in di surga Firdaus.

  8. (4) Di antara sikap amanah ilmiah adalah engkau menjelaskan keraguan atau kesalahanmu dalam suatu masalah. Jangan sombong dan mengeyel sehingga engkau sesat dan menyesatkan.

  9. (5) Persaksian adalah masalah yang besar dan mempunyai akibat yang serius. Maka janganlah engkau menyepelekannya. Jika engkau mengetahui suatu masalah dengan jelas dan pasti sedangkan engkau merasa layak menjadi saksi dalam masalah itu, maka jadilah saksi. Jika tidak, maka jangan engkau lakukan!

  10. (5) Hadis ini tidak bertentangan dengan motivasi untuk bersegera bersaksi jika mengetahui suatu masalah dengan yakin. Jangan menunggu orang yang dizalimi berdoa terlebih dahulu agar engkau mau bersaksi, tapi bersegeralah menjadi saksi, terlebih jika tidak ada orang lain yang bisa melakukan hal tersebut.

  11. (6) Jangan pernah mengkhianati amanah yang diberikan kepadamu yang Allah Ta’ala melarang darinya. Dia berfirman,

    “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.”

    (QS. Al-Anfál: 27)

  12. (6) Di antara bentuk khianat terhadap amanah adalah tidak profesional dalam bekerja, menyontek ketika ujian, berbuat curang dalam jual beli dan transaksi lainnya serta menipu pasien untuk membayar dengan bayaran yang memberatkan yang sebenarnya tidak diperlukan.

  13. (7) Menepati janji adalah di antara tanda dan akhlak orang yang beriman.

    Allah Ta’ala berfirman

    “(yaitu) orang yang memenuhi janji Allah dan tidak melanggar perjanjian,”

    (QS. Ar-Ra’d: 20).

    Maka berakhlaklah dengan akhlak mukmin dan jauhi akhlak orang-orang munafik. 

  14. (7) Bernazar hukumnya makruh. Karena dengan bernazar, engkau mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syariat atas dirimu. Pada akhirnya, engkau membebani dirimu sendiri hingga kesusahan. Akan tetapi, jika engkau sudah terlanjur bernazar, maka penuhilah nazarmu.

    Allah berfirman

    “Dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.”

    (QS. Al-ôajj: 9)

  15. (8) Jangan tergoda dengan kenikmatan dan syahwat dunia. Tapi ambillah yang halal secukupnya, sekadar bisa menguatkan tubuhmu dan mencegahmu untuk tidak terjatuh kepada yang haram. Menyibukkan diri dengan hal keduniawian akan membuat seseorang meninggalkan agamanya. 

  16. Seorang penyair menuturkan,

Sungguh pemimpin kabilah dari Fihr dan selainnya 

telah menjelaskan petunjuk untuk diikuti manusia

Telah rida dengannya semua orang yang hatinya 

penuh ketakwaan kepada Allah dan hukum syariat

Kaum yang apabila berperang mampu membahayakan musuhnya 

dan apabila ingin membantu kaumnya mereka pun bisa melakukannya

Itulah karakter mereka yang tidak dibuat-buat 

ketahuilah, hal yang paling buruk pada manusia adalah bidah

Orang-orang tidak mampu memukul, jika tangan-tangan mereka lemah 

 ketika membela dan orang-orang tidak akan lemah jika mereka memukul

Jika pada manusia sesudah mereka ada yang selalu mendahului 

maka orang yang paling dahulu tersebut menjadi pengikut mereka

Mereka tidak pelit berbagi karunia dari Tuhan mereka 

dan tabiat yang tamak tidak menimpa diri mereka

Mereka tidak aniaya, walaupun engkau menzalimi mereka 

kesabaran dan maaf mereka lebih luas dari hal itu

Orang-orang yang paling menjaga ifah, dan wahyu menyebutnya 

tidak tamak, dan ketamakan tidak pernah menjatuhkan mereka

Betapa banyak teman mendapatkan kemuliaannya

dan betapa banyak musuh yang memusuhi mereka jadi binasa

Mereka mempersembahkan ketaatan kepada Nabi petunjuk dan kebajikan 

Mereka tidak meninggalkan dan menarik bantuan kepadanya

Mereka adalah kaum yang paling memuliakan Rasulullah 

 ketika hawa nafsu dan kelompok-kelompok bercerai berai

Referensi

  1. Jámi’ Al-Bayán fī Ta’wíl Al-Qur`án karya Aþ-±abarí (19/482).
  2. HR. Al-Bukhari (2652) dan Muslim (2533).
  3. HR. Muslim (1719).
  4. HR. Al-Bukhari (33) dan Muslim (59).
  5. Muruj Aæ-Żahab karya Al-Mas’udi (1/371).


  1. Nabi ﷺ menyampaikan kepada para sahabatnya salah satu perkara gaib, yakni pertanyaan di dalam kubur, nikmat dan azabnya. Beliau ﷺ menyebutkan bahwa seorang mayit, setelah diletakkan di dalam kuburnya dan keluarganya beranjak pergi, maka rohnya dikembalikan dan hidup kembali dengan kehidupan khusus, disebut dengan kehidupan alam barzakh, sampai-sampai ia bisa mendengar derap alas kaki mereka, dan entakkannya di tanah, saat mereka pergi meninggalkannya. 

  2. Kemudian datanglah dua sosok malaikat, disebutkan bahwa namanya Munkar dan Nakir. Lalu keduanya menyuruhnya duduk, lantas bertanya kepadanya tentang Rasulullah , apa yang akan ia jawab? Apakah ia beriman kepadanya, membenarkannya, dan mengamalkan syariatnya, atau justru kufur terhadapnya dan mengolok-olok agamanya?

Disebutkan di dalam sebuah hadis sahih bahwa seorang hamba kelak akan ditanya tentang Rabbnya, agamanya, dan tentang Nabi .[1] Sedangkan di dalam hadis ini hanya dicukupkan pertanyaan tentang Nabi ﷺ, karena iman kepada Nabi ﷺ menuntut adanya keimanan kepada Allah Ta’ala dan menjadikan Islam sebagai agamanya.

3.   Apabila hamba tersebut seorang mukmin, maka ia akan menjawab bahwa Muhammad  adalah utusan Allah, ia beriman kepadanya, dan mengikuti syariatnya. Para malaikat pun akan memberinya kabar gembira berupa surga, dan diperlihatkan tempat sebenarnya di neraka yang sudah Allah Ta’ala siapkan untuknya, jika ia mati dalam keadaan kafir; kemudian diperlihatkan tempatnya di surga, yang telah Allah Ta’ala siapkan untuknya setelah ada jawabannya yang benar dan benar keimanannya; maka ia pun bahagia karena hal itu, dan kuburannya dilapangkan.

4.   Akan tetapi, jika mayit itu seorang kafir atau munafik dan ditanya oleh dua sosok malaikat, maka ia akan menjawab, “Aku tidak tahu, dahulu aku ucapkan apa yang orang-orang ucapkan.” Orang kafir akan menjawab dengan pernyataan orang-orang kafir, “(Di aitu) seorang penyihir, seorang penyair, seorang pendusta, orang gila,” dan yang semisalnya. Sementara orang munafik, ia akan mengatakan sebagaimana yang dikatakan kaum mukminin, hanya saja dahulu ia mengucapkan sebatas di lisan tidak meyakininya di dalam hati, tidak pula beriman kepadanya.

5.   Kedua sosok malaikat pun menimpalinya dengan mendoakan keburukan kepadanya seraya berkata, “Kamu tidak tahu, tidak juga mengikuti orang yang mengetahuinya, serta tidak mengambil manfaat dari Al-Qur`an yang sudah kamu baca atau dengar.” Hal itu karena dia tidak mau bersusah payah untuk mengkaji dan membaca.

6.   Kemudian ia dipukul menggunakan palu yang terbuat dari besi dengan sangat kuat, sehingga ia berteriak dengan suara yang menggema, seluruh makhluk jenis binatang dapat mendengarnya, kecuali jenis manusia dan jin; sebagai bentuk kasih sayang terhadap mereka. Sebab jika mereka sampai mendengar suara tersebut, niscaya hidup mereka akan hancur. Disebutkan di dalam sebuah hadis dari Zaid bin Šabit bahwasanya Nabi bersabda, “Sesungguhnya umat ini akan diuji di dalam kuburnya, kalaulah bukan lantaran kalian saling mengubur mayit, niscaya aku akan berdoa kepada Allah agar kalian bisa mendengar azab kubur yang aku bisa dengar.”[2] Dan sekiranya mereka bisa mendengar suara tersebut, maka para hamba akan terpaksa untuk melaksanakan ketaatan dan menjauhi maksiat, dan ini menafikan maksud dari ujian itu sendiri.[3]

Implementasi:

  1. Azab kubur dan pertanyaan dua malaikat adalah benar dan valid berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah,[4] maka seharusnya seorang Muslim beriman kepada hal itu. Jangan sampai mendustakannya meskipun akal ini tidak mampu mencernanya. 

  2. Iman dengan azab kubur dan pertanyaan dua malaikat mengharuskan bersiap untuk menghadapi hari tersebut, mempersiapkan jawabannya, bersegera melakakuan amal saleh dan ketaatan yang akan bermanfaat untuk seorang hamba, serta bisa memberinya syafaat dan menguatkan dia ketika menjawab pertanyaan tersebut.

  3. Keselamatan di kubur merupakan berita gembira untuk keselamatan di hari kiamat. Siapa yang selamat dalam fase ini maka fase-fase setelahnya akan menjadi mudah.

  4. Seseorang tidak akan mampu menjawab pertanyaan di dalam kubur kelak kecuali dengan apa yang memang ada di dalam hatinya. Contohnya orang munafik yang selalu mengulang-ulang persaksiannya bahwa Muhammad  adalah utusan Allah, hanya saja ia tidak mampu menjawab pertanyaan nanti di kubur, sebab di dalam hatinya terdapat kemunafikan dan kedustaan. 

  5. Tidak termasuk orang yang berakal, jika ada orang yang menyia-nyiakan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, sementara ia lebih berminat untuk menjerumuskan dirinya ke dalam azab kubur kemudian kekal di neraka, hanya demi mendapatkan kenikmatan dunia yang hanya hitungan hari atau beberapa tahun. 

  6. Bersiap-siap untuk menjawab pertanyaan di kuburan dan memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala dari azab kubur merupakan cara beragama dan berpikir yang tepat, karena perkaranya sangat agung, sehingga Nabi ﷺ biasa memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala dari azab kubur dalam setiap shalatnya sebelum salam.[5] Maka sebaiknya kita senantiasa berusaha untuk melakukan sunnah tersebut.

  7. Dalam hadis tersebut terdapat dalil yang jelas bahwa surga dan neraka sudah ada saat ini, dengan dalil bahwa seorang mukmin bisa melihat tempatnya di surga dan neraka.

  8. Seorang penyair menuturkan,

†at Yang Mahasuci tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain-Nya

Mahasuci Engkau wahai Allah, tempat kembali semua makhluk

Wahai †at yang bersemayam tinggi di atas Arasy di atas makhluk-Nya

Mahasuci Engkau, †at yang berhak memberi dan melarang kepada siapa pun yang Kau kehendaki

Melalui nama-nama-Mu yang indah dan sifat-sifat-Mu yang mulia

Seorang hamba fakir meminta wasilah penuh tunduk

Tolonglah diriku 'tuk menghadapi kematian yang terasa pahit

Tatkala roh di dalam tulang rusuk ini dicabut

Jadilah pelipurku di kegelapan kubur di saat

Aku ditimbun dengan tanah dan ditinggalkan

Teguhkanlah hatiku saat menjawab soal dan hujahku

Saat ditanya, siapakah Rabbmu dan siapakah panutanmu?

Referensi

  1. HR. Abu Dáwud (4753) dari Al-Bará` bin ‘Ázib.
  2. HR. Muslim (2867)
  3. ‘Umdah Al-Qári` Syarh Ÿañíh Al-Bukhárí karya Al-‘Ainí (8/145).
  4. Ibnu Al-Qathán dalam Al-Iqná’ fí Masá`il Ijma’ (1/50) mengatakan, “Seluruh umat Islam dari kalangan Ahlusunah waljamaah sepakat bahwa azab kubur hak, dan sesungguhnya malaikat Munkar dan Nakir adalah dua sosok malaikat di dalam kubur hak, dan kelak manusia akan mengalami ujian di kuburan mereka setelah dihidupkan kembali di sana.”
  5. HR. Al-Bukhari (1377) dan Muslim (588), dari Abu Hurairah

  1. Nabi ﷺ menyebutkan beberapa tanda-tanda kiamat kecil, di antaranya: ilmu dicabut, maksudnya ilmu diangkat dan dicabut dari muka bumi. Yakni, kematian para ulama dan tidak ada orang yang mewarisi ilmu mereka dan menggantikan posisi mereka.

  2. Di antara tanda-tanda kiamat juga, gempa banyak terjadi di berbagai penjuru bumi yang biasanya mengakibatkan kehancuran, tergantung besar dan kecilnya kekuatan guncangannya.

  3. Di antara tanda-tandanya, masa terasa singkat, sehinga umur terasa lebih singkat dan durasi waktu serasa lebih cepat dari biasanya. Sehingga, perjalanan waktu menuju hari kiamat menjadi lebih cepat dengan ketentuan Allah Ta’ala yang hanya Dia yang mengetahuinya. Sebagaimana disebutkan dalam sabda beliau , “Hari kiamat tidak akan terjadi sampai waktu terasa lebih singkat, sehingga satu tahun terasa seperti satu bulan, satu bulan terasa seperti satu pekan, satu pekan terasa seperti satu hari, satu hari terasa seperti satu jam, dan satu jam terasa seperti satu kali percik nyala api.”[1]

  4. Termasuk di antara tanda-tanda kiamat, merebaknya berbagai fitnah, hal ini berdasarkan sabda beliau , “Bergegaslah kalian mengerjakan amalan sebelum fitnah melanda, seperti potongan gelapnya malam. Seorang laki-laki di pagi hari dalam keadaan mukmin, lalu di sore harinya dalam keadaan kafir, atau di sore hari dalam keadaan mukmin, namun di pagi hari dalam keadaan kafir. Ia menjual agamanya demi mendapat materi duniawi.”[2]

Beliau mengabarkan bahwa fitnah-fitnah semakin besar dan semakin banyak menjelang terjadinya kiamat, sampai-sampai seorang mukmin berangan-angan ingin mati lantaran begitu beratnya cobaan agama yang dihadapi. Beliau  bersabda, “Dan demi †at yang jiwaku berada di tangan-Nya, dunia tidak akan binasa sampai ada seorang laki-laki yang melewati sebuah kuburan, lalu ia berguling di atasnya, seraya berkata, ‘Aduhai sekiranya dirikulah yang berada di dalam kuburan ini, karena beratnya ujian agama yang dihadapi.”[3]

5.   Seiring dengan munculnya banyak fitnah, tampak juga tanda-tanda kiamat lainnya, yaitu banyak terjadi Al-Haraj yakni pembunuhan. Banyak manusia yang meremehkannya atau muncul banyak pemicunya. Nabi ﷺ mengabarkan bahwa membunuh seorang Muslim tanpa alasan yang hak (benar) termasuk tujuh perbuatan yang membinasakan,[4] dan Allah  memberi ancaman bagi seorang pembunuhnya melalui firman-Nya,

“Dan barang siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.”

(QS. An-Nisá`: 93).

6.   Dan tanda yang terakhir disebutkan oleh beliau ialah harta berlimpah di muka bumi ini, sampai manusia atau sebagian besar mereka tidak membutuhkan harta lagi,  sampai orang kaya tidak menemukan orang yang mau menerima zakatnya. Beliau bersabda, “Bersedekahlah kalian, sungguh akan tiba suatu masa, seseorang berjalan membawa sedekahnya, lalu orang yang ia beri harta berkata kepadanya, ‘Kalau saja dirimu datang membawa sedekahmu kemarin, maka akan kuterima. Adapun sekarang, aku tidak membutuhkannya,’ hingga ia pun tidak mendapati orang yang mau menerimanya.”[5]

Implementasi:

  1. Hadis ini merupakan salah satu bukti kenabian beliau. Nabi ﷺ mengabarkan banyak indikasi dan tanda yang akan terjadi, kebanyakan memang sudah terjadi. Maka seorang Mukmin harus bangga dengan agamanya, dan hendaknya bertambah keimanannya.

  2. Nabi ﷺ memberitahukan fitnah dan cobaan yang akan terjadi di akhir zaman, ini sebagai arahan bagi seorang Muslim agar berpijak di atas ilmu dan basirah. Lalu mengambil langkah konkret untuk menghadapi fitnah-fitnah yang menghadang. 

  3. Di antara tanda-tanda kiamat, yaitu ilmu dicabut ilmu dan kebodohan merebak. Banyak orang bodoh dan awam berfatwa dan berbicara mengenai hukum Allah tanpa dasar ilmu. 

  4. Seorang Muslimin harus memilih orang yang akan dijadikannya sebagai guru dalam mempelajari ilmu dan agama, karena di antara tanda-tanda kiamat adalah banyak orang yang mengklaim memiliki ilmu, dan banyak orang yang merusak manusia terkait agamanya.

  5. Kaum Muslimin harus bersungguh-sungguh mencari ilmu, dan menyadari bahwa keengganan mereka menuntut ilmu merupakan bukti semakin dekatnya kiamat.

  6. Seorang Muslim wajib berpegang teguh dengan agamanya. Selain itu, harus waspada agar tidak terjerumus ke dalam berbagai fitnah dan syahwat, bahkan mengingkarinya semaksimal mungkin, karena disebutkan dalam sebuah hadis, “Berbagai fitnah dibentangkan di hadapan hati layaknya tikar, helai demi helai. Hati yang dihinggapinya, akan muncul padanya noktah hitam; hati yang menolaknya, akan muncul padanya titik putih, hingga menjadi dua jenis hati: berwarna putih seperti sesuatu yang jernih, maka fitnah tidak akan membahayakan hati tersebut selama masih ada langit dan bumi. Adapun jenis hati lainnya, berwarna hitam seperti cangkir yang terbalik, tidak menyuruh kepada kebaikan dan tidak pula mengingkari kemungkaran, melainkan hanya mengikuti hawa nafsunya semata.”[6]

  7. Sunnah Nabi ﷺ (dalam menghadapi berbagai fitnah) ialah memohon perlindungan dari berbagai macam fitnah, sebagaimana yang diperintahkan Nabi kepada para sahabatnya agar mereka memohon perlindungan darinya. Diriwayatkan dari Zaid bin Šabit, bahwasanya Nabi bersabda, “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari berbagai macam fitnah yang tampak dan tidak tampak.”[7]

  8. Jika umur yang pendek termasuk tanda-tanda kiamat, maka seorang hamba harus bersegera bertobat dan bergegas mengerjakan amal saleh, sebelum kematian datang secara tiba-tiba.

  9. Seorang manusia harus segera mengeluarkan zakat harta dan sedekahnya sebelum datang hari di mana tidak ada lagi yang bisa diterima darinya, dan dia tidak akan mendapatkan orang yang mau mengambil sedekahnya.

  10. Seorang penyair menuturkan,

Jika kita hidup, Allah mengumpulkan kita semua

Dan jika kita mati, hari kiamat yang akan menghimpun

Tidakkah kau lihat, dosa dilakukan setiap saat

Padahal berisiko didatangi kematian secara mendadak

Wahai anak-anak dunia, dirimu membangunnya untuk orang lain

Wahai penumpuk materi, dirimu menumpuknya untuk orang lain

Kulihat seseorang bergegas dalam setiap kesempatan

Namun, suatu hari setiap orang pasti bertemu kematian

Mahasuci †at sang pemilik mutlak kerajaan, bukan yang lain-Nya

Sampai kapan orang rakus dunia berhenti dari hasratnya 

Referensi

  1. HR. At-Tirmizi (2332).
  2. HR. Muslim (118).
  3. HR. Muslim (157).
  4. HR. Al-Bukhari (2766) dan Muslim (89) dari Abu Hurairah .
  5. HR. Al-Bukhari (1411) dan Muslim (1011) dari Harišáh bin Wahb.
  6. HR. Muslim (144).
  7. HR. Muslim (2867).



  1. Nabi mengabarkan bahwa ada tiga tanda Kiamat yang jika muncul maka itu menjukkan bahwa Kiamat akan segera terjadi, pintu tobat ditutup, sehinga keimanan dan taobat seseorang pada saat itu tidak berguna lagi, seperti keimana orang yang sedang mengahadapi kematian.

  2. Tanda pertama yang disebutkan Nabi  ﷺ adalah: matahari terbit dari barat. Ini merupakan tanda paling jelas untuk terjadinya kiamat. Jika manusia melihatnya maka mereka semua beriman, namun Allah tidak akan menerima keimanan mereka ketika itu.

  3. Tanda kedua adalah munculnya Dajjal. Ini merupakan fitnah terbesar di muka bumi. Ia akan muncul di akhir zaman, mengaku sebagai Allah –Mahatinggi dan Mahabesar Allah dari pengakuan batil tersebut-. Allah menjadikannya mampu melakukan perkara-perkara luar biasa, sebagai ujian bagi manusia. Dia mampu menurunkan hujan hanya dengan menunjuk ke langit; menunjuk ke tanah, spontan tumbuhlah tanaman; menunjuk ke arah tanah yang tandus, keluarlah harta karunnya. Ia membelah tubuh seorang laki-laki menjadi dua bagian, kemudian berdiri di antara belahan tubuh laki-laki tadi, lalu memanggilnya hingga akhirnya hidup kembali seperti semula. Masih banyak lagi kehebatannya yang disebutkan di dalam bebera hadis. Kondisinya akan tetap seperti itu sampai Al-Masíñ Isa bin Maryam turun, beliau kelak akan memimpin pasukan kaum Muslimin untuk memerangi Dajjal.

  4. Tanda ketiga yang disebutkan oleh Nabi ﷺ adalah munculnya binatang tertentu di akhir zaman yang mampu berbicara dengan manusia.

    Allah Ta’ala berfirman

    “Dan apabila perkataan (ketentuan masa kehancuran alam) telah berlaku atas mereka, Kami keluarkan makhluk bergerak yang bernyawa dari bumi yang akan mengatakan kepada mereka bahwa manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami.”

    (QS. An-Naml: 82).

    Hanya saja, Al-Qur`an dan hadis-hadis Nabawi tidak menyebutkan secara rinci bentuk  binatang tersebut. Wallahu a’lam.

Binatang tersebut akan muncul setelah matahari terbit dari arah barat, hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ, “Sesungguhnya tanda pertama kali yang akan muncul adalah matahari terbit dari arah barat, munculnya binatang tertentu ke arah manusia di waktu duha, dan mana yang lebih dahulu muncul, maka yang berikutnya akan langsung menyusulnya.”[1]

5.   Dalam hadis kedua, Nabi ﷺ memerintahkan kita untuk bersegera melakukan amal saleh sebelum timbulnya enam perkara yang menyibukkan manusia, dan menghalangi mereka untuk melakukan amal saleh, dan sebelum matahari terbit di barat yang ketika itu tidak akan diterima lagi amal saleh dan taubat dari seseorang.

6.   Nabi ﷺ memulai dengan menyebutkan Dajjal, karena akan muncul secara beruntun tanda-tanda kiamat lainnya setelah itu, sampai kiamat benar-benar terjadi. Beliau bersabda, “Tanda-tanda kiamat itu layaknya rangkaian manik-manik pada benang, jika benang itu putus, maka rangkaian berikutnya ikut terlepas satu-persatu.”[2]

7.   Kedua, munculnya asap. Ini merupakan tanda kiamat yang akan terjadi di bumi selama empat puluh hari, memenuhi ruang antara langit dan bumi. Seorang mukmin akan merasakannya seperti terkena flu, sedangkan orang kafir dan pendosa, maka awan itu akan masuk ke dalam hidung mereka, masuk ke pendengaran mereka, dan membuat dada mereka sesak, karena itu merupakan efek dari neraka Jahanam pada hari kiamat.[3]

Allah Ta’ala berfirman

“Maka tunggulah pada hari ketika langit membawa asap yang tampak jelas, yang meliputi manusia. Inilah azab yang pedih, (Mereka berdoa), ‘Ya Tuhan kami, lenyapkanlah azab itu dari kami. Sungguh, kami akan beriman.’”

(QS. Ad-Dukhán: 10-12).

8.   Nabi juga menyebutkan di antara yang enam tersebut: munculnya binatang tertentu, matahari terbit di barat. Keduanya sudah disebutkan sebelumnya.

9.   Kemudian Nabi ﷺ menyebutkan hari kiamat. Disebut dengan perkara yang menyeluruh, karena kematian mendatangi seluruh manusia, tanpa terkecuali.[4] Sesungguhnya jika kiamat tiba, manusia merasa menyesal atas apa yang selama ini ia remehkan dan abaikan. Ketika itu seorang mukmin berharap sekiranya masih bisa menambah amal ketaatan. Sementara orang kafir, berangan-angan sekiranya waktu bisa diputar ulang untuk bertobat.

10.   Keenam, kematian. Disebut dengan khuwaiÿah salah seorang di antara kalian, sebab kejadian ini hanya dialami oleh manusia, tidak terjadi pada makhluk lain, berbeda dengan kiamat yang disebut dengan perkara yang menyeluruh.

Allah عز وجل memerintahkan hamba-hamba-Nya agar bertobat dan beramal saleh sebelum mati. Dia berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barang siapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), ‘Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh.’ Dan Allah tidak akan menunda (kematian) seseorang apabila waktu kematian telah datang. Dan Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”

(QS. Al-Munáfiqún: 9-11).

  1. Nabi ﷺ memulai hadis beliau yang pertama dengan gaya bahasa mendahulukan khabar sebelum mubtada`, yaitu kata-kata matahari terbit, Dajjal, dan binatang tertentu. Ini dilakukan untuk menimbulkan keingintahuan terhadap mubtada`. Jika orang tahu bahwa ada tiga hal yang apabila muncul maka keimanan tidak lagi bermanfaat setelahnya, maka dia akan serius mendengarkan apa yang disampaikan pembicara supaya bisa memahami apa yang dia sampaikan.

  2. Hadis di atas mengandung penjelasan tentang kesungguhan Nabi kita ﷺ, kasih dan sayang beliau terhadap umatnya. Beliau menunjukkan waktu-waktu yang ketika itu keimanan tidak akan berguna lagi, agar mereka bersegera mengerjakan amal saleh. Seyogianya seorang hamba lebih bersemangat lagi untuk mengikuti perintah Nabi tersebut, dan bergegas untuk beramal saleh sebelum tanda-tanda itu muncul.

  3. Para sahabat menerima dan meriwayatkan hadis-hadis yang berisi berita gaib yang tidak sanggup dicerna oleh akal manusia. dan meriwayatkannya lantaran kesempurnaan agama dan akal mereka. Maka kita wajib mengikuti langkah mereka dalam masalah keimanan dengan hadis-hadis sahih dari Nabi yang berisi berita gaib tersebut, dan kita tidak boleh menentangnya dengan alak dan adat kebiasaan kita.

  4. Seorang mukmin wajib segera bertobat, beristigfar, dan beramal saleh sebelum ajalnya tiba. Allah zat Yang Mahaluas ampunan-Nya membentangkan tangan-Nya di waktu malam untuk menerima tobat pelaku maksiat di siang hari; membentangkan tangan-Nya di siang hari untuk menerima tobat pelaku maksiat di malam hari; dan Dia mengampuni semua dosa, tidak peduli seberapa pun besar.

  5. Kisah terbaik terkait upaya untuk bersegera bertobat adalah kisah tobat orang yang telah membunuh seratu jiwa. Nabi ﷺ bersabda, “Ada seorang lelaki dari golongan umat sebelum kalian telah membunuh sembilan puluh sembilan orang, kemudian ia menanyakan tentang orang yang paling alim dari penduduk bumi, lalu ia ditunjukkan kepada seorang pendeta. Ia pun mendatanginya seraya berkata bahwa sesungguhnya ia telah membunuh sembilan puluh sembilan manusia, apakah ia masih diterima untuk bertobat? Pendeta itu menjawab, ‘Tidak bisa.’ Ia pun membunuh pendeta itu. Dengan demikian genaplah (jumlah korbannya) menjadi seratus. Lantas ia bertanya lagi tentang orang yang paling alim dari penduduk bumi, kemudian ia ditunjukkan kepada seorang yang alim. Selanjutnya ia mengatakan bahwa sebenarnya ia telah membunuh seratus manusia, apakah masih diterima tobatnya? Orang alim itu menjawab, ‘Ya, masih bisa. Siapa yang dapat menghalang-halangi antara dia dengan tobat itu? Pergilah engkau ke tanah ini (satu wilayah), sebab di situ ada beberapa kelompok manusia yang menyembah Allah. Sembahlah Allah bersama dengan mereka dan janganlah engkau kembali ke tanahmu, sebab tanahmu adalah negeri yang buruk.’ Ia pun bergegas pergi sehingga ketika tiba di tengah jalan, tiba-tiba tibalah ajalnya. Lantas terjadilah perselisihan mengenai orang tersebut antara malaikat rahmat dan malaikat azab. Malaikat rahmat berkata, ‘Orang ini telah datang untuk bertobat sambil menghadapkan hatinya kepada Allah Ta'ala.’ Malaikat azab berkata, ‘Orang ini sama sekali belum pernah melakukan kebaikan." Selanjutnya ada malaikat mendatangi mereka dalam wujud manusia, lalu mereka menjadikannya sebagai pemisah antara malaikat-malaikat yang berselisih tadi - sebagai hakim -. Ia berkata, ‘Ukurlah jarak antara dua tempat itu, ke mana ia lebih dekat letaknya, maka ia adalah untuknya.’ Para malaikat pun mengukur. Ternyata mereka mendapatkan bahwa orang itu lebih dekat kepada tanah yang dikehendaki (yang dituju untuk bertobat). Ia pun dibawa oleh malaikat rahmat.“[5] Seandainya laki-laki tersebut menunda tobatnya, maka kira-kira bagaimana kesudahannya?

  6. Nabi ﷺ berulang kali memperingatkan umatnya tentang Dajjal karena besarnya bahaya dan fitnahnya.

  7. Para dai dan ulama wajib untuk memperhatikan kondisi terkini kaum Muslimin, menjelaskan kepada mereka tentang fitnah-fitnah yang menimpa mereka, menyebutkan kepada mereka hukum Allah terkait perkara-perkara kontemporer. Jangan sampai khotbah-khotbah mereka, berita-berita, dan tulisan-tulisan mereka jauh dari kehidupan manusia.

  8. Seorang penyair menuturkan, 

Wahai jiwa, kepergian sudah dekat

Dan perkara besar telah menantimu

Bersiap-siaplah wahai jiwa, jangan 

kau terkecoh oleh angan-angan panjang

Sungguh, kau akan singgah di sebuah tempat

di mana seseorang melupakan kekasihnya

Dan sungguh kalian akan tertimbun

oleh tanah yang sangat berat

Kita diiringi dengan kebinasaan dan tak tersisa

orang mulia, tidak pula yang hina

Referensi

  1. HR. Muslim (2941).
  2. HR. Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak (8639).
  3. Lihat: Al-Jámi’ li Ahkám Al-Qur`án karya Al-Qurthubi (16/130).
  4. An-Nihayah fí Garíb Al-Hadís wa Al-Ašar karya Ibnu Al-Ašír (3/302).
  5. HR. Bukhari (3470) dan Muslim (2941).

  1. Sebagaimana saudara-saudara sesama nabi, Nabi memberikan perhatian besar dengan menjelaskan fitnah Al-Masíñ Ad-Dajjál. Karena ia merupakan fitnah terburuk di muka bumi ini, beliau  pernah bersabda, “Semenjak diciptakannya Adam hingga hari kiamat, tidak ada fitnah yang lebih besar melebihi fitnah Dajjal.”[1]

Karena itulah, tidak ada seorang nabi yang diutus, kecuali pasti akan memperingatkan umatnya akan kemunculannya dan menjelaskan fitnahnya. Ia menjadi fitnah yang paling besar disebabkan hanya karena Allah menjadikan pada diri Dajjal kemampuan luar biasa, yang memesona akal dan membingungkan hati.

Disebut dengan Al-Masíñ, karena salah satu matanya terhapus (buta). Pendapat lain mengatakan, “Karena ia menyapu habis bumi yakni mengelilingi bumi selama empat puluh hari.” Dan disebut dengan Dajjal, lantaran kedustaan, kebohongan, dan penipuan yang ia tampakkan, hingga ia berani mengaku sebagai tuhan. Allah Ta’ala memberikan berbagai kemampuan kepadanya yang sejatinya sebagai ujian bagi makhluk-makhluk-Nya.[2]

Nabi  mengabarkan dalam banyak hadis tentang Dajjal, turunnya, perjalanannya (mengelilingi) di bumi –kecuali Makkah dan Madinah, keduanya haram baginya-. Beliau sudah menjelaskan ciri fisiknya, dan apa yang harus dilakukan seorang Muslim saat bertemu dengannya, sampai beliau menyebutkan tentang turunnya Isa  dan ia shalat di belakang imam kaum Muslimin. Kemudian keberangkatan Nabi Isa عليه السلام bersama mereka untuk menghadapi dan memerangi Dajjal, sampai beliau membunuhnya di pintu Lud di Baitulmakdis. 

2.   Kemudian Nabi  memberitahukan tentang ciri detail fisiknya, yaitu salah satu matanya buta, mata yang kedua besar dan terlihat lebih menonjol dari wajahnya. Ada gumpalan daging tebal di atas rongga matanya, kedua matanya jelek, yang satunya buta dan yang lain dalam kondisi cacat.[3]

Beliau  telah menyebutkan ciri-cirinya di dalam hadis-hadis lainnya, bahwa ia memiliki rambut yang sangat keriting, posturnya pendek, gemuk, terlihat matanya seukuran sebutir anggur yang menonjol.[4]

3.   Nabi  menyatakan bahwa Rabb kita Mahasuci dari sifat-sifat tersebut. Ketika Al-Masíñ Ad-Dajjál mengaku tuhan, sementara buta sebelah merupakan sifat kekurangan yang tidak layak disandingkan untuk Allah Ta'ala, demikian juga dengan semua sifat Dajjal lainnya, semuanya merupakan sifat kekurangan yang jika ada satu saja pada diri seseorang, maka orang-orang akan melihatnya sebagai aib, lantas bagaimana jika berbagai bentuk cacat terkumpul pada dirinya?! Allah Mahasuci memiliki contoh tertinggi, dan semua sifat-Nya sangat indah.

4.   Di antara tanda-tanda Dajjal, tertulis di antara kedua matanya ‘kafir’, yang dapat dibaca oleh seorang Muslim, entah ia mampu membaca atau buta huruf sekalipun. Hal ini berdasarkan keumuman sabda beliau , “Setiap muslim bisa membacanya.”[5] Kata ‘Setiap’ menunjukkan keumuman, yaitu tulisan nyata, yang Allah jadikan sebagai tanda dan ciri khas dari sekian banyak tanda-tanda kepastian kekafirannya, kedustaannya, dan kebatilannya. Allah Ta’ala menampakkannya kepada setiap muslim dan menyembunyikannya bagi orang yang dikehendaki-Nya sengsara dan tertimpa fitnah, serta tidak bisa menangkal fitnahnya.[6]

Implementasi

  1. Nabi  tidak akan meninggalkan umatnya melainkan setelah benar-benar menerangkan secara jelas hakikat fitnah Dajjal dan mengarahkan mereka terhadap amalan yang bisa melindungi mereka dari fitnahnya. Beliau  tidaklah meninggalkan suatu kebaikan melainkan sudah ditunjukkan kepada kita, dan tidak meninggalkan keburukan melainkan sudah memperingatkan kita darinya. Hal ini menuntut seseorang agar mencurahkan secara total kecintaan kepada beliau, ketaatan, loyalitas, serta mengedepankan sunnahnya daripada perkataan seluruh manusia.

  2. Di antara yang beliau kabarkan tentang amalan yang bisa melindungi seseorang dari fitnah Al-Masíñ Ad-Dajjál, yaitu menghafal sepuluh ayat awal surah Al-Kahfi, beliau  bersabda, “Barang siapa yang menghafal sepuluh ayat awal surah Al-Kahfi, niscaya akan dijaga dari Dajjal.[7]” Dan di dalam hadis An-Nawwás bin Sam’án, bahwasanya Nabi  bersabda, “Barang siapa di antara kalian mendapatinya, maka bacakanlah kepadanya awal-awal surah Al-Kahfi.”[8]

  3. Nabi sangat serius memohon perlindungan di dalam shalatnya dari fitnah Dajjal. Diriwayatkan oleh Aisyah , bahwasanya Rasulullah  biasa berdoa di dalam shalatnya, “Alláhumma inní a’uæú bika min ‘aæábil qabri wa a’uæú bika min fitnatil masíñid dajjál, wa a’uæú bika min fitnatil mañyá walmamáti alláhumma inní a’uæú bika minal ma`šami wal magrami. (Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari azab kubur, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari fitnah Al-Masíñ Ad-Dajjál, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari fitnah kehidupan dan kematian. Ya Allah aku memohon perlindungan kepada-Mu dari dosa dan utang).[9]” Apabila kondisi Rasul demikian, maka kita seharusnya lebih banyak memohon perlindungan kepada Allah  dari fitnah Al-Masíñ Ad-Dajjál.

  4. Seorang guru dan dai seharusnya menempuh metode para nabi, dan memberi peringatan kepada manusia dari berbagai fitnah entah itu yang tampak atau yang tersembunyi.

  5. Nabi  menjelaskan bahwa Allah Ta’ala akan melindungi kaum mukminin dari fitnah Dajjal. Dia menurunkan ilham kepada mereka sehingga bisa membaca kata ‘kafir’ yang tertulis di antara kedua matanya. Hal tersebut tidak diberikan kepada kaum yang lainnya. Dan faktor terbesar yang bisa melindungi seorang mukmin dari Dajjal ialah dengan menambah keimanan dan teguh di atasnya.

Referensi

  1. HR. Ahmad (16373).
  2. Faið Al-Qaðír karya Al-Munawi (3/194).
  3. Lihat: Ikmál Al-Mu’lim bi Fawá`id Muslim karya Al-Qáðí ‘Iyáð (1/522).
  4. HR. Al-Bukhari (3441).
  5. HR. Muslim (2933).
  6. Syarñ Ÿañiñ Muslim karya An-Nawawí (18/60).
  7. HR. Muslim (809).
  8. HR. Muslim (2937).
  9. HR. Al-Bukhari (832) dan Muslim (589).



  1. Nabi  memberitahukan perihal tanda terakhir dari tanda-tanda kiamat besar, yaitu matahari terbit dari arah barat, tidak seperti biasanya. Di dalam hadis yang sahih disebutkan, ketika matahari terbenam, pergi hingga bersujud di bawah Arasy, ia meminta izin (kembali untuk terbit dari timur) dan diizinkan. Suatu saat kelak ia hendak bersujud, namun tidak diterima dan meminta izin, tetapi ditolak. Dikatakan kepadanya, “Kembalilah dari arah kamu datang tadi, sehingga ia pun terbit dari arah barat.”[1]

  2. Apabila matahari telah terbit dari arah barat, semua manusia beriman kepada Allah Ta’ala, namun keimanan yang terpaksa bukan lantaran pilihan sendiri. Ketika perkara gaib telah tampak dan seluruh makhluk baru yakin bahwa kiamat benar-benar terjadi, sehingga mereka pun beriman untuk menyelamatkan diri.

  3. Hanya saja, pintu tobat telah tertutup saat itu. Tidak diterima lagi tobat pelaku maksiat, tidak pula orang kafir yang ingin masuk Islam. Sebab keimanannya atas dasar keterpaksaan setelah menyaksikan bukti, maka tidak bermanfaat baginya, seperti halnya keimanan orang yang sedang mengalami sakratulmaut.

    Allah Ta’ala berfirman

    “Dan taubat itu tidaklah (diterima Allah) dari mereka yang melakukan kejahatan hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) dia mengatakan, ‘Saya benar-benar bertobat sekarang.’”

    (QS. An-Nisá`: 18)

     Dan Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah menerima tobat seorang hamba selama belum mengalami sakratulmaut.[2]” Sama halnya dengan keimanan seseorang yang sedang diazab,

Allah Ta’ala berfirman mengenai nasib Firaun,

“Dan Kami selamatkan Bani Israil melintasi laut, kemudian Firaun dan bala tentaranya mengikuti mereka, untuk menzalimi dan menindas (mereka). Sehingga ketika Firaun hampir tenggelam dia berkata, ‘Aku percaya bahwa tidak ada Tuhan (yang benar) melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang muslim (berserah diri).’ Mengapa baru sekarang (kamu beriman), padahal sesungguhnya engkau telah durhaka sejak dahulu, dan engkau termasuk orang yang berbuat kerusakan.”

(QS. Yunus: 90-91).

Implementasi

  1. Allah عز وجل merahasiakan waktu hari kiamat agar manusia bersungguh-sungguh dan bersiap-siap sepanjang waktu, sehingga ketaatannya semakin bertambah dan kedudukannya makin tinggi. Sebagaimana terkait lailatulkadar, agar seorang hamba bersungguh-sungguh dalam sepuluh hari tersebut. Seseorang tidak dituntut untuk mengetahui kapan terjadinya hari kiamat, namun bersiap-siap untuk menghadapinya serta memperbanyak amal saleh, karena itulah ketika ada seorang laki-laki bertanya kepada Nabi , “Kapan hari kiamat akan tiba?’ Beliau  menjawab, “Apa yang sudah engkau persiapkan untuk menghadapinya?”[3]

  2. Seseorang harus bergegas untuk bertobat kepada Allah Ta’ala, sebelum kematian datang secara tiba-tiba, atau sebelum datangnya perkara yang menghalangi dirinya untuk bertobat. 

  3. Hadis ini menjadi dalil bahwa peristiwa kiamat itu pasti terjadi, tidak ada keraguan lagi terkaitnya.

  4. Bakar Al-Muzaní  menuturkan, “Tidak ada hari yang Allah gulirkan di dunia, kecuali  ia (hari-hari itu) berkata, ‘Wahai anak Adam, manfaatkanlah harimu, bisa jadi engkau tidak mendapati hari lain setelah hari ini.’ Tidak pula malam datang, kecuali ia menyeru kepadamu, ‘Wahai anak Adam, manfaatkanlah malammu, bisa jadi engkau tidak mendapati malam lagi setelah malam ini.”[4]

  5. Seorang penyair menyebutkan, 

Manfaatkanlah waktu kosong dengan keutamaan rukuk

Bisa jadi kematianmu datang secara mendadak

Betapa banyak orang sehat mati tanpa sakit

Raganya yang sehat pergi lepas begitu saja

6.   Penyair lain juga menuturkan, 

Bayangkanlah dirimu wahai yang tengah terlena

Di hari kiamat dan langit berguncang keras

Matahari di siang hari digulung dan didekatkan

Sehingga berjalan di atas kepala para hamba

Dan ketika bintang-bintang berjatuhan dan berhamburan

Suasana berubah yang semula terang menjadi suram

Gunung-gunung terlepas dari dasarnya

Engkau melihatnya bak awan yang berjalan

Referensi

  1. HR. Al-Bukhari (3199) dan Muslim (159).
  2. HR. At-Tirmizi (3537) dan Ibnu Majah (4253).
  3. HR. Al-Bukhari (7153) dan Muslim (2639).
  4. Jami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam karya Ibnu Rajab (2/391).

  1. Nabi  mengabarkan bahwa setiap orang kelak akan berdiri di hadapan Rabbnya, untuk dihisab tentang apa yang telah dia amalkan, mengajaknya bicara tanpa perantara atau penerjemah, bahkan ia datang sendirian, tidak ada yang menolong atau membelanya.

    Allah Ta’ala menjelaskan dalam firman-Nya,

    “Dan kamu benar-benar datang sendiri-sendiri kepada Kami sebagaimana Kami ciptakan kamu pada mulanya, dan apa yang telah Kami karuniakan kepadamu, kamu tinggalkan di belakangmu (di dunia). Kami tidak melihat pemberi syafaat (pertolongan) besertamu yang kamu anggap bahwa mereka itu sekutu-sekutu (bagi Allah). Sungguh, telah terputuslah (semua pertalian) antara kamu dan telah lenyap dari kamu apa yang dahulu kamu sangka (sebagai sekutu Allah).”

    (QS. Al-An’ám: 94).

  2. Apabila seorang hamba berdiri di hadapan Rabbnya, ia tidak mendapati penolong atau yang membantunya kecuali amalnya. Ia mencari-cari di sekitarnya barangkali ada yang bisa menyelamatkannya dari kedahsyatan azab dan didebat ketika dihisab, karena “Barang siapa yang didebat ketika dihisab maka ia akan binasa.”[1] Maka ia pun melihat ke arah kanan dan kirinya, ia tidak mendapati apa pun kecuali amalnya, lantas ia melihat ke depannya, ternyata neraka persis di depan wajahnya. Hal itu disebabkan karena neraka itu berada di tempat yang ia lewati, tidak mungkin ia menghindar darinya, karena ia harus lewat di atas sirat.[2]

  3. Jika ini kondisi seorang hamba pada hari kiamat, maka sangat ditekankan untuk waspada terhadap api neraka dan berharap agar diselamatkan darinya. Tidak mengerjakan sesuatu kecuali amal saleh dan yang terbaik, serta senantiasa semangat untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala setiap waktu, tidak melewatkan amalan ketaatan sedikit pun. Di antara amalan yang ringan ialah bersedekah semampunya, meski dengan setengah butir kurma.

  4. Apabila engkau tidak memiliki apa pun yang bisa disedekahkan, maka engkau cukup berbicara dengan kata-kata yang baik dan diridai Allah, barangkali, hal itu mampu menyelamatkanmu dari neraka.

  5. Sesungguhnya Allah Ta'ala menerima amal saleh. Yang menjadi acuan adalah apa yang ada di hati seorang hamba, bukan apa yang dikerjakannya semata. Bisa jadi setengah butir kurma lebih agung di sisi Allah daripada emas dan perak yang diifankkan.

Implementasi:

  1. Hadis ini menjadi dalil bahwa manusia itu tergantung amalnya. Sementara keluarga dan teman-temannya tidak bisa melindunginya dari azab Allah. Oleh karena itu maka seorang Muslim harus melakukan amalnya dengan baik, dan berusaha mengumpulkan kebaikan sebanyak mungkin yang bisa melindunginya dari neraka.

  2. Hadis ini juga menjadi dalil bahwa seseorang tidak boleh meremehkan amalan apa pun, baik itu amal saleh atau amal buruk, karena gunung yang besar tersusun dari kerikil dan butiran pasir. 

  3. Seorang peminta datang ke depan pintu Aisyah , lalu beliau berkata kepada budak wanitanya, “Berilah ia makanan.” Budak itu pun beranjak, lalu kembali dan berkata, “Aku tidak mendapatkan apa pun yang bisa dimakan.” Aisyah berkata, “Kembali lagi, coba cari lagi.” Ia pun kembali dan mendapatkan sebutir kurma, lantas ia membawanya, dan Aisyah berkata, “Berikan itu kepadanya, sesungguhnya ia memiliki berkali-kali bobot zarah jika diterima.”[3]

  4. Di antara amalan besar yang bisa menjauhkan seorang hamba dari neraka adalah sedekah, karena itulah beliau  memerintahkannya seperti yang tertera di dalam hadis.

    Allah berfirman

    “Dan infakkanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum kematian datang kepada salah seorang di antara kamu; lalu dia berkata (menyesali), ‘Ya Tuhanku, sekiranya Engkau berkenan menunda (kematian)ku sedikit waktu lagi, maka aku dapat bersedekah dan aku akan termasuk orang-orang yang saleh.’”

    (QS. Al-Munáfiqun: 10).

  5. Lisan bisa mengantarkan seseorang menuju surga yang abadi atau justru mengantarkannya ke neraka Jahanam. Kita memohon perlindungan kepada Allah dari itu. Tempat terakhir manusia tergantung pada lisannya, ia bisa menjadi penyebab keselamatannya atau kebinasaannya.

  6. Seorang Muslim harus berusaha untuk melakukan semua jalan kebaikan, dan jangan sampai dia melecehkan kebaikan meskipun sedikit.

  7. Seorang manusia tidak akan terlepas dari pertanyaan Allah kepadanya pada hari Kiamat, oleh karena itu dia harus melakukan amal dengan baik di dunia sehingga dia bisa menjawab dengan baik pada hari Kiamat.

  8. Amal yang dilakukan oleh manusia di dunia akan menjadi temannya pada hari kiamat. Oleh karena itu, seorang Mukmin harus memilih temannya sebelum dia sampai ke ujung jalan.

  9. Jika sedekah bisa menyelamatkan pelakunya dari azab neraka di akhirat, maka sedekah juga bermanfaat baginya di dunia. Nabi mengabarkan bahwa seorang laki-laki mendengar suara dari langit yang berkata kepada awan, "Siramlah kebun si Fulan. Maka awan itu bergerak sesuai perintah tersebut. Laki-laki itu pun mengikutinya untuk melihat apa yang akan terjadi. Awan itu sampai ke kebun yang dia diperintahkan untuk menyiramnya, maka diapun menumpahkan airnya di kebun tersebut. Laki-laki tadi melihatnya dan dia mendapati pemilik kebun di sana. Dia pun menanyakan tentang kondisinya. Pemilik kebun menjelaskan kepadanya bahwa dia bersedekah dengan sepertiga hasil kebunnya, memakan sepertiga lagi bersama keluarganya, dan menggunakan yang sepertiga sisanya untuk kebutuhan kebun tersebut.[4]

  10. Seorang penyair menuturkan,

Perbanyaklah kebaikan di duniamu dan bersungguh-sungguhlah

Jangan kau hiraukan penyeru kejahatan dan kedengkian

Beramallah untuk hari yang seluruh manusia dikumpulkan 

Diadili oleh pengadilan Yang Maha Esa

Semua perbuatanmu hari ini menentukan kedudukanmu

di taman surga atau neraka, di liang lahad kelak 

Referensi

  1. HR. Al-Bukhari (4939) dan Muslim (2876).
  2. Fatñ Al-Bárí Syarñ Ÿahíh Al-Bukhárí karya Ibnu Hajar (11/404).
  3. HR. Al-Baihaqi dalam Syu’ab Al-Ímán (3190).
  4. HR. Muslim (2984).

  1. Nabi membuat perbandingan antara api dunia dan api akhirat. Beliau menyebutkan bahwa panas api yang digunakan manusia, sebenarnya hanya satu bagian dari api akhirat yang disiapkan oleh Allah Ta’ala bagi orang-orang kafir dan para pelaku maksiat.

  2. Para sahabat pun merasa heran atas hal itu, mereka menjawab bahwa sekiranya panas dan bakaran api akhirat sama seperti api dunia saja, maka itu sudah cukup untuk menyiksa dan menghalangi seseorang supaya tidak terjerumus ke dalam kemaksiatan dan melanggar perintah, karena api tersebut sudah cukup untuk melahap manusia, binatang, tanaman, dan seluruh benda mati.

  3. Beliau menegaskan bahwa neraka lebih dahsyat daripada api yang biasa mereka ketahui dan rasakan, yang panasnya enam puluh sembilan kali lipat, sebagai tambahan siksaan dan azab bagi orang-orang kafir dan para pelaku maksiat.

    “Sungguh, (neraka) Jahannam itu (sebagai) tempat mengintai (bagi penjaga yang mengawasi isi neraka), menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang melampaui batas. Mereka tinggal di sana dalam masa yang lama, mereka tidak merasakan kesejukan di dalamnya dan tidak (pula mendapat) minuman, selain air yang mendidih dan nanah, sebagai pembalasan yang setimpal.”

    (QS.  An-Naba`: 21-26)

Implementasi

  1. Inilah sifat api. Manusia harus lari darinya. Dia harus memperbanyak amal saleh yang dapat menjauhkan dirinya dari api (neraka) tersebut, karena keberuntungan yang sejati ialah selamat dari neraka dan masuk surga,

    Allah Ta’ala berfirman,

    “Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan.”

    (QS. Áli 'Imrán: 185).

  2. Nabi biasa memohon perlindungan kepada Allah dari neraka Jahanam. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah رضي الله عنه, beliau berkata, “Aku mendengar Abu Al-Qásim  mengucapkan doa di dalam shalatnya, Alláhumma inní a’uæú bika min fitnatil qabri wa min fitnatid dajjál, wa fitnatil mañyá walmamát wa min ñarri jahanam,  (Ya Allah, aku memohon perlindungan kepada-Mu dari fitnah kubur, fitnah Dajjal, fitnah kehidupan dan kematian, serta panasnya neraka Jahanam).[1]” Jika Nabi  saja memohon perlindungan kepada Allah darinya, padahal beliau sosok yang maksum, dosa beliau yang telah lampau dan akan datang diampuni, lantas bagaimana dengan kita?! Maka setiap pribadi muslim jangan sampai meninggalkan doa memohon perlindungan dari azab neraka.

  3. Maimun bin Mahran رحمه الله berkata,

    “Ketika Allah menciptakan neraka Jahanam, Dia memerintahkannya untuk melakukan satu tiupan. Tidak ada satupun malaikat di langit yang tujuh melaikan tersungkur sujud di wajahnya. Maka Allah berfirman kepada mereka, 'Angkatlah kepala kalian. Bukankah kalian tahu bahwa Aku menciptakan kalian untuk melakukan ketaatan, dan (neraka) ini Aku ciptakan untuk pelaku maksiat.' Mereka berkata, 'Wahai Tuhan kami, kami tidak merasa aman sampai kami melihat penghuninya.' Itulah firman Allah Ta'ala, 'Dan mereka selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya.'”

    (QS. An-Anbiyá`: 28)

  4. Para salaf -semoga Allah meridai mereka- adalah orang-orang yang takut terhadap api neraka dan azabnya, karena mereka mengetahui kedahsyatan dan azabnya tersebut. Bahkan Ali bin Fudail bin Iyad -semoga Allah merahmati keduanya- suatu kali mendengar seorang qari membaca firman Allah Ta'ala,

    “Dan seandainya engkau (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, mereka berkata, 'Seandainya kami dikembalikan (ke dunia) tentu kami tidak akan mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang beriman.'”

    (QS. Al-An'ám: 27),

    maka dia pun terperanjat dan jatuh mati.

  5. Seorang penyair menuturkan,

Jadikan takwa kepada Yang Maha Pengasih sebagai perisai terkuat

Pada hari yang Jahanam ditampakkan dengan jelas

Dibentangkan jembatan persis di atasnya untuk dilalui

Ada yang jatuh tercabik, ada juga berhasil lagi terselamatkan

Dan datanglah Tuhan seluruh alam sesuai janji-Nya

Lalu mengadili dan memutuskan di antara hamba-hamba-Nya 

Rabbmu akan memberikan hak yang terzalimi

Sungguh celaka hamba yang zalim terhadap sesama

Referensi

  1. HR. An-Nasá`i (5520).

  1. Rabb kita  memberitahukan kepada kita, bahwa Dia telah menyiapkan bagi hamba-hamba-Nya yang saleh berupa surga sebagai balasan ketaatan dan ibadah mereka, yang tidak pernah mereka lihat semisalnya. Makanan dan minuman yang ada di surga memiliki kemiripan dengan makan di dunia, tetapi itu hanyalah kemiripan terkait nama saja, bukan dalam bentuknya.

  2. Kemudian Allah menegaskan bahwa apa yang telah disiapkan, tidak mungkin manusia mengetahuinya. Jika seorang hamba tidak pernah melihat atau mendengarnya, padahal keduanya merupakan alat indra, maka seorang manusia tidak bisa menggambarkan bentuk kenikmatan tersebut dengan akalnya. Meskipun ada hal yang pernah muncul di dalam hati seorang hamba terkait berbagai macam kenikmatan, kesenangan, dan keindahan surga, maka tidak akan sampai pada wujud sebenarnya dari kenikmatan tersebut yang telah Allah Ta’ala siapkan untuk hamba-hamba-Nya.

  3. Nabi menguatkan lagi mengenai hal tersebut dengan menyertakan firman-Nya yang turun, seraya bersabda,

    “Jika kalian berkenan bacalah, “Maka tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan hati.”

    (QS. As-Sajdah: 17).

    Yakni, seseorang tidak akan mengetahui apa yang telah Allah siapkan dan rahasiakan di surga untuk hamba-hamba-Nya yang mukmin, berupa beragam kenikmatan, kebahagiaan, serta kebaikan yang berlimpah yang menyejukkan mata dan menyenangkan hati.Banyak disebutkan di dalam Al-Qur`an mengenai surga beserta kenikmatannya, karena itulah Rasulullah  bersabda, “Tempat seukuran cemeti di surga itu lebih baik daripada dunia dan seisinya.[1]”

Implementasi:

  1. Al-Hasan menuturkan, “Suatu kaum menyembunyikan amalan-amalan mereka di dunia, maka Allah sembunyikan pula untuk mereka sesuatu yang tidak pernah terlihat oleh mata, dan tidak pula pernah terdengar oleh telinga.[2]” Jika memang demikian, maka seorang Muslim harus menyiapkan diri untuk mengerjakan amalan yang tersembunyi, yang tidak terlihat oleh siapa pun kecuali oleh †at yang telah menyiapkan baginya kebaikan yang berlimpah.

  2. Hadis ini menjadi dalil bahwa surga sekarang sudah ada, dan Allah menyiapkannya untuk hamba-hamba-Nya yang saleh. 

  3. Kesempurnaan kesalehan seseorang terletak ketika dia menjadi orang yang membuat orang lain menjadi baik. Jadi kesalehan pribadinya berimbas kepada perbaikan pribadi lainnya. Dia melakukan amar makruf dan nahi munkar, dia profesional melakukan tugasnya. Jika dia seorang pelajar maka dia mengulangi pelajarannya dengan bersungguh-sungguh; jika dia seorang petugas keamanan maka dia bertanggung jawab melakukan pekerjaannya dengan memberantas berbagai tindak kriminal dan menciptakan ketenangan di masyarakat; dan jika dia seorang pekerja maka dia melakukan pekerjaannya sehingga bisa menimbulkan kebaikan di dunia dan memakmurkan bumi.

  4. Jika surga dengan berbagai nikmatnya yang tidak bisa dibayangkan dan dikhayalkan oleh manusia, maka sungguh merugi orang yang tidak bersungguh-sungguh untuk berusaha masuk ke surga dan melakukan amalan yang bisa mengantarkannya ke surga tersebut.

  5. Kenikmatan terbesar di surga secara mutlak ialah melihat Allah Ta’ala, meski mereka belum bisa melihat di dunia. Dia berfirman,

    “Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Memandang Tuhannya.”

    (QS. Al-Qiyámah: 22-23).

    Dari Jarir bin Abdullah رحمه الله, beliau berkata, 

    “Waktu itu kami sedang bersama Nabi , lantas beliau melihat ke arah bulan –yakni bulan purnama- seraya bersabda, ‘Sungguh kalian kelak akan melihat Rabb kalian, sebagaimana kalian sekarang bisa melihat bulan ini, tidak akan saling berdesakkan saat melihat-Nya.’” Sedangkan, azab yang paling besar bagi orang-orang yang sengsara ialah tidak bisa melihat-Nya ,“Sekali-kali tidak! Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhannya.”

    (QS. Al-Muþaffifin: 15).

  6. Seorang penyair menuturkan,

Beramallah untuk meraih kampung abadi yang dijaga oleh Ridwan

Bertetanggakan Ahmad(2)., yang disiapkan †at Yang Maha Penyayang

Tanahnya dari emas dan lumpurnya dari misk

Dan Za’faran rumput yang tumbuh di sana

Sungai yang mengalir berupa susu dan madu murni

Dan khamar yang lezat pun mengalir 

Siapakah yang membeli Firdaus dengan terus mengerjakan

Shalat di malam hari nan tersembunyi

Atau dengan mengenyangkan si miskin

Di hari paceklik dan kebutuhan pokok mahal

Referensi

  1. HR. Al-Bukhari (3250).
  2. Tafsir Al-Kasyáf karya Az-Zamakhsyari (3/513).
  3. Nabi Muhammad (editor).

  1. Ketika Allah عز وجل menentukan takdir semua makhluk, yaitu sebelum menciptakan makhluk-Nya -sebagaimana dijelaskan dalam riwayat yang lain[1]- Dia menuliskan di dalam Al-Lauñ Al-Mahfú È yang di dalamnya tercatat takdir semua makhluk[2] atau Dia menuliskan di kitab (catatan) lain yang agung di sisi-Nya.

  2. Kitab ini tersimpan dan ada di sisi Allah Ta’ala di atas Arasy-Nya. Ini menunjukkan tingginya Allah سبحانه وتعالى, dan bahwasanya Dia bersemayam di atas langit di atas Arasy-Nya.

    Allah Ta’ala berfirman,

    “(yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas Arasy.”

    (QS. ±áhá: 5)

  3. Allah عز وجل menulis dalam catatan tersebut “Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan murka-Ku.” Ini bermakna bagian rahmat yang diterima makhluk Allah lebih besar daripada kemurkaan yang diterimanya. Hal itu bisa dilihat dalam berbagai kondisi yang dialami oleh manusia.

    Allah Ta’ala berfirman

    “Dan sekiranya Allah menghukum manusia disebabkan apa yang telah mereka perbuat, niscaya Dia tidak akan menyisakan satu pun makhluk bergerak yang bernyawa di bumi ini.”

    (QS. Fáþir: 45).

    Dan seandainya bukan karena rahmat Allah, niscaya tidak ada satu pun makhluk yang layak masuk surga. Rasulullah bersabda, “Tiada seorang pun yang masuk surga karena amalnya.” Para sahabat bertanya, “Tidak juga engkau wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, “Tidak juga aku, kecuali karena karunia dan rahmat Allah yang meliputiku.[3]”Di antara rahmat Allah yang mendahului murka-Nya adalah Dia memberi tangguh kepada orang-orang yang berbuat kemaksiatan [4], memberi ilham kepada mereka untuk beristigfar. Hingga ketika mereka memohon ampun, Allah pun mengampuninya.Di antara rahmat Allah yang mendahului murka-Nya adalah Dia memberi rezeki kepada orang kafir dan fajir, memberi mereka kenikmatan, menjauhkan mereka dari rasa sakit. Kalau Allah memperlakukan mereka dengan kemurkaan-Nya maka Dia akan menenggelamkan mereka ke dalam bumi, dan tidak ada seorangpun yang dibiarkan hidup di atasnya, Dia akan mengazab mereka, dan tidak akan memberikan rezeki kepada mereka.

Implementasi

  1. Rahmat Allah Ta’ala mendahului murka-Nya. Allah menerima taubat orang-orang yang bermaksiat dan melampaui batas, sebesar apapun dosa mereka. Maka mari kita lihat kondisi kita masing-masing. Bukankah kita selalu melakukan dosa dengan mata, telinga, ucapan dan tangan kita? Coba kita perhatikan seruan Allah Yang Maha Pengasih, dalam firman-Nya,

    “Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.’”

    (QS. Az-Zumar: 53)

  2. Dahulu, di kalangan Bani Israil, ada seorang yang telah membunuh sembilan puluh sembilan jiwa, kemudian keluar dari rumahnya untuk bertanya. Ia datang menemui seorang pendeta, lalu berkata, ‘Apakah masih ada taubat untukku?’[5] Pendeta itu menjawab, ‘Tidak ada.’ Lalu orang itu membunuh sang pendeta. Ia kemudian mencari tahu lagi. Seorang laki-laki berkata kepadanya, ‘Datanglah ke desa ini dan ini.” Kemudian dia meninggal (dalam perjalanan menuju desa tersebut). Dan ia lebih dekat ke desa tersebut dengan dadanya. Kemudian malaikat rahmat dan malaikat azab saling berselisih. Kemudian Allah mewahyukan kepada desa ini untuk mendekat (ke arah jasad orang tersebut) dan kepada desa yang lain untuk menjauh. Kemudian Allah berfirman, ‘Ukurlah antara dua desa tersebut.’ Ternyata, orang tersebut lebih dekat satu jengkal ke desa yang dituju. Maka Allah mengampuninya.[6]”

  3. Seorang Muslim hendaknya menerapkan akhlak yang disebutkan dalam hadis ini, dengan mengedepankan rahmat dibandingkan kemarahan, mengedepan kesabaran dibandingkan rasa kesal.

  4. Jangan Anda mengira bahwa rahmat Allah Ta'ala untuk orang kafir dan orang beriman itu sama. Rahmat Allah untuk orang kafir dan fasik itu terkait rezeki dan tidak segera diazab, sementara rahmat Allah untuk orang beriman itu adalah dengan mengharamkan nereka bagi mereka, dan memasukkan mereka ke dalam surga sesuai dengan amalan mereka dan apa yang sudah ditakdirkan. Rahmat tersebut juga akan membuat mereka menutup kehidupan ini dengan amal saleh ketika nyawa mereka dicabut.

  5. Seorang penyair menuturkan,

Jika engkau berharap rahmat dari †at Yang Maha Pengasih

Maka kasihilah orang yang lemah, wahai temanku dan hormatilah

Niatkanlah dengan itu wajah Allah pencipta kita

Tuhan Yang Maha Suci yang menciptakan manusia

Mohonlah balasan perbuatanmu rahmat Tuhanmu 

†at Yang Maha Pengasih hanya mengasihi orang yang berbelas kasih

Referensi

  1. Lihat: HR. Al-Bukhari (7554) tercantum padanya, “Sesungguhnya Allah menulis catatan sebelum menciptakan makhluk-Nya.”
  2. Hadis: “Sesungguhnya yang pertama kali diciptakan adalah pena. Kemudian Allah berfirman, ‘Tulislah!’ Pena menjawab, ‘Apa yang harus aku tulis?’ Allah menjawab, ‘Tulislah takdir segala sesuatu hingga datangnya hari kiamat!’” HR. Abu Daud (4700) dan At-Tirmizi (3319).
  3. HR. Al-Bukhari (5673) dan Muslim (71).
  4. Tidak langsung mengazabnya pada saat berbuat maksiat (penerjemah).
  5. Maksudnya, apakah jika ia bertaubat, taubatnya akan diterima (penerjemah).
  6. HR. Al-Bukhari (3470) dan Muslim (2766).

Abdullah bin Mas’úd meriwayatkan sebuah hadis yang sebagian isinya menjelaskan tentang urusan gaib yang tidak diketahui kecuali oleh Allah جل جلاله. Oleh karena itu, Ibnu Mas’ud mengatakan, “dan beliau adalah orang yang benar lagi dibenarkan,” baik dalam urusan gaib maupun hal yang tampak:

  1. Nabiﷺ menyebutkan kondisi dan fase yang dilalui oleh janin dalam kandungan ibunya. Proses pertama, masih berupa embrio di dalam rahim ibu. Setelah itu menjadi darah yang menggumpal yang disebut dengan ‘alaqah. Disebut demikian karena sifatnya yang lengket dan menggantung di dinding rahim. Kemudian menjadi segumpal daging kecil seukuran dengan suapan makanan.

2.Setelah menjadi segumpal daging, Allah Ta’ala memerintahkan malaikat yang bertugas mengurus rahim. Ia menuliskan takdir yang akan dijalaninya, yaitu rezeki, ajal, amal, dan apakah ia akan bahagia atau sengsara. Catatan malaikat tidak hanya itu saja, tetapi juga mencakup jenis kelaminnya, laki-laki atau perempuan, bentuk fisiknya, akhlaknya, dan sifat-sifatnya. Dalam hadis disebutkan, "Jika Allah ingin mencitapkan satu makhluk, maka Dia mengutus malaikat. Lalu malaikat itu masuk ke rahim, kemudian dia berkata, 'Wahai Tuhan, apakah dia laki-laki atau wanita?' Maka Allah mengatakan laki-laki, wanita, atau lainnya sesuai dengan kehendak Allah untuk menciptakannya di rahim. Kemudian malaikat berkata, 

'Wahai Tuhanku, apakah dia sengasara atau bahagia?' Lalu Allah menjelaskan dia sengsara atau bahagia. Kemudian malaikat bertanya lagi, 'Wahai Tuhanku, berapa ajalnya?' Kemudian malaikat juga menanyakan, "Wahai Tuhanku, berapa rezekinya?' Kemudian malaikat berkata lagi, 'Wahai Tuhanku, bagaimana fisiknya dan akhlaknya?' Tidaklah Allah mengatakan sesuai melainkan malaikat melakuannya di rahim tersebut.[1] Nabi hanya menyebutkan empat hal tersebut karena urgensinya dan yang lain masuk ke dalam perkara tersebut.

Catatan yang ditulis oleh malaikat ini bukan catatan yang ditulis oleh Allah Ta’ala di Loh Mahfuz. Nabi ﷺ bersabda, "Allah menuliskan takdir semua makhluk sebelum penciptaan langit dan bumi selama lima puluh ribu tahun. Nabiﷺ  berkata, dan Arays-Nya di atas air."[2] Catatan malaikat ini dapat dihapus dan diubah, berbeda dengan catatan Allah Ta’ala di Loh Mahfuz yang tidak dapat diganti dan tidak dapat diubah sama sekali.

Allah Ta’ala berfirman,

“Allah menghapus dan menetapkan apa yang Dia kehendaki. Dan di sisi-Nya terdapat Ummul Kitab (Loh Mahfuz).”

(QS. Ar-Ra’d: 39)[3]

3.Kemudian, Allah جل جلاله meniupkan roh janin. Janin tersebut hidup dengan kekuasaan Allah Ta’ala. Kemudian, Allah meniupkan roh janin Janin tersebut hidup dengan kekuasaan Allah Ta’ala. Peniupan roh terjadi ketika janin menjadi segumpal daging dan mempunyai bentuk rupa manusia.

Allah Ta’ala berfirman,

“Wahai manusia! Jika kamu meragukan (hari) kebangkitan, maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna.” .

(QS. Al-Ôajj: 5)

Segumpal daging yang sempurna kejadiannya adalah yang berwujud dalam bentuk manusia yang sempurna. Sedangkan yang tidak sempurna adalah yang belum berwujud dan menjadi janin yang gugur dalam kandungan. [4]

Peniupan roh termasuk urusan gaib yang pengetahuan mengenainya hanya dimiliki oleh Allah, tidak diberitahukan kepada makhluk-Nya.

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang roh. Katakanlah, ‘Roh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.’”

(QS. Al-Isrá`: 85).

Walaupun kita tidak mengetahuinya, kita beriman dan meyakini apapun yang diberitakan oleh Rasulullah dari Tuhannya.

Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ Maka jadilah sesuatu itu.” .

(QS. Yásin: 8)

4.Kemudian Nabiﷺ menjelaskan bahwa amalan manusia ditentukan dengan yang terakhir. Dan hal itu sesuai dengan ilmu dan catatan Allah di Loh Mahfuz untuk setiap hamba, baik berupa kebahagiaan dan kesengsaraan. Bisa jadi, seseorang beramal dengan amalan ahli neraka selama rentang waktu yang panjang dalam kehidupannya, namun menjelang datangnya ajal, Allah memberikan petunjuk kepadanya untuk bertobat dan Allah menerima tobatnya. Allah menutup kehidupannya dengan amal saleh sehingga ia masuk surga. Hal itu terjadi karena Allah c telah mencatat baginya kebahagiaan di Loh Mahfuz yang berada di sisi-Nya dan dalam kandungan ibunya ketika Allah c mengutus malaikat kepadanya.

5.Sebaliknya, bisa jadi seseorang beramal dengan amalan ahli surga selama rentang waktu yang panjang dalam kehidupannya. Hingga ketika ia sudah sangat dekat dengan surga menjelang ajalnya, catatan Allah telah mendahului bahwa ia akan mendapatkan kesengsaraan. Maka ia pun beramal dengan amalan ahli neraka dan meninggal dalam keadaan tersebut sehingga ia masuk neraka.

Ini tidak berarti bahwa seorang mukmin bisa menjadi sesat setelah mendapatkan petunjuk Allah tanpa ada sebabnya. Tentunya hal itu terjadi berdasarkan keadilan dan kebijaksanaan dari Allah جل جلاله. Misalnya, karena ia menyembah Allah berdasarkan kebodohan dan mengikuti nafsu. Jika ia diberi nikmat bersyukur, namun jika tidak diberi ia kafir dan ingkar. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Dan di

antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi, maka jika dia memperoleh kebajikan, dia merasa puas, dan jika dia ditimpa suatu cobaan, dia berbalik ke belakang. Dia rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata.”

(QS. Al-Ôajj: 11)

. Juga seperti orang munafik, seperti dalam hadis, “Dan seseorang beramal dengan amalan ahli surga seperti yang terlihat oleh manusia, padahal ia termasuk penghuni neraka. Dan seseorang beramal dengan amalan ahli neraka seperti yang terlihat oleh manusia, akan tetapi ia akan masuk surga.”[5]

Su`ul khatimah bagi orang yang secara lahirnya memiliki amal saleh adalah peristiwa yang jarang terjadi. Hikmah adanya hal tersebut untuk menjelaskan bahwa amalan manusia ditentukan oleh yang terakhir, maka jangan sampai manusia tertipu dengan amalannya. Ini adalah bentuk kasih sayang Allah dan keluasan rahmat-Nya. Orang yang berubah dari buruk menjadi baik sangat banyak, sedangkan yang berubah dari baik menjadi buruk sangat sedikit sekali jumlahnya. Ini agar manusia tidak berputus asa untuk menjadi baik.[6]

Hal yang umum dan banyak terjadi adalah bahwa orang yang akan meraih kebahagiaan di akhirat mendapatkan taufik untuk beramal saleh; dan orang yang akan mendapatkan kesengsaraan di akhirat melakukan amalan yang mengantarkannya kepada neraka berupa dosa dan kemaksiatan. Sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ali , bahwasanya Nabi bersabda, ”Tidak ada satu jiwa pun yang bernapas -atau tidak ada satu orang pun dari kalian- kecuali telah ditulis tempatnya di surga dan neraka; telah diituliskan baginya, sengsara atau bahagia. Seseorang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, jika demikian, apakah sebaiknya kita bersandar pada apa yang sudah tertulis dan tidak perlu beramal? Kalau dia dicatat mendapatkan kebahagiaan maka ia menjadi ahli surga, dan jika ia ditulis mendapatkan kesengsaraan, maka ia akan masuk neraka.’ Rasulullah bersabda, ‘Adapun orang yang dicatat mendapatkan kebahagiaan, maka akan dimudahkan untuk beramal dengan amalan ahli surga. Dan orang yang dicatat mendapatkan kesengsaraan, maka akan dimudahkan untuk beramal dengan amalan ahli neraka.’ Kemudian Rasulullah membaca ayat,

”Maka barangsiapa memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan (adanya pahala) yang terbaik (surga),”  

(QS. Al-Lail: 5-6)[7]


Implementasi

  1. Terkait Nabiﷺ, Ibnu Mas’úd h mengatakan, “Orang yang benar lagi dibenarkan.” Ini menunjukkan kesempurnaan imannya kepada Nabi dalam membenarkan dan mengikuti apa yang dibawanya. Bahkan hingga seandainya beliau menyampaikan sesuatu yang bertentangan dengan logika akal manusia atau perkara gaib yang akal tidak mampu memastikan atau menafikan kebenarannya. Oleh karena itulah, para sahabat Nabiﷺ merupakan orang yang paling mulia di antara seluruh umat manusia setelah para nabi ﷺ. Mereka adalah teladan bagi kaum mukminin dalam meyakini dan mengikuti syariat Nabiﷺ Muhammad .
  2. ﷺHadis ini memperlihatkan bagaimana adab seorang murid terhadap gurunya. Ini dilihat dari pengakuan Ibnu Mas’úd  terhadap keutamaan dan kejujuran Nabi .
  3. Nabiﷺ memberitahukan fase penciptaan janin dalam kandungan ibunya jauh sebelum kemajuan ilmu dan alat-alat kedokteran yang membuktikan kebenaran sabda beliau. Ini juga menguatkan keimanan seorang mukmin ketika melihat ilmu pengetahuan menguatkan apa yang telah disampaikan oleh Al-Qur`án dan As-Sunnah, dan tidak ada kontradiksi antara keduanya.
  4. Tidak boleh memastikan seseorang akan masuk surga atau neraka. Itu adalah hak prerogatif Allah Ta’ala semata. Dia yang menentukan akhir perjalanan seorang hamba. Orang yang sengsara mungkin bisa menjadi bahagia, demikian juga sebaliknya, dan yang bahagia bisa menjadi sengsara.
  5. Seorang manusia tidak seharusnya bersandar dan merasa puas dengan amalnya hingga membuatnya tidak mau bersungguh-sungguh lagi, karena amalan ditentukan oleh yang terakhir. Dahulu, Sufyan Aš-Šauri pernah menangis dan mengatakan, “Aku khawatir telah tercatat di Loh Mahfuz jika aku termasuk orang yang celaka.” Dia juga mengatakan, “Aku khawatir imanku diambil ketika kematianku.”[8]
  6. Seorang muslim hendaknya rutin berdoa kepada Allah agar diberikan ketetapan untuk selalu taat kepada-Nya dan tidak tersesat atau tergelincir langkahnya. Dahulu, Rasulullah sering membaca doa, “Ya Muqallibal qulúb, šabbit qalbí ‘alá dínik (Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku dalam agama-Mu).[9]
  7. Alangkah baiknya jika manusia mau berpikir tentang hikmah penciptaannya melalui fase demi fase, padahal Allah c mampu untuk mengatakan, ‘Jadilah, maka terjadilah.’ Ini adalah pendidikan iman untuk tidak tergesa-gesa dalam semua urusan dan dalam mengharapkan hasil dari apa yang diusahakan. Ini juga menunjukkan hubungan erat yang Allah Ta’ala jadikan antara sebab dan akibat, antara permulaan dan hasil, dan pentingnya memperhatikan sunatullah dalam alam semesta.
  8. Ali bin Abi talib  berkata, “Jangan mengikuti seseorang, karena terkadang seseorang beramal dengan amalan ahli surga, kemudian ia berbalik -sesuai dengan ilmu Allah tentangnya- kemudian ia melakukan amalan ahli neraka dan mati sebagai ahli neraka. Dan bisa jadi seseorang beramal dengan amalan ahli neraka, kemudian ia berbalik -sesuai dengan ilmu Allah tentangnya- kemudian ia pun melakukan amalan ahli surga dan mati sebagai ahli surga. Jika kalian tetap ingin mengikuti seseorang, maka ikutilah orang yang sudah meninggal, jangan yang masih hidup.” [10]
  9. Nabiﷺ menceritakan bahwa seorang laki-laki berkata, “Demi Allah, Allahجل جلاله tidak akan mengampuni si Fulan. Maka Allah جل جلالهTa’ala berfirman, “Siapakah yang menyombongkan diri di depan-Ku dan mengatakan Aku tidak akan mengampuni si Fulan? Sesungguhnya Aku telah mengampuni si Fulan, dan aku hapuskan amalmu.

  1. Seorang penyair menuturkan,

Allahجل جلاله mempunyai tanda-tanda kekuasaan-Nya di alam semesta

bisa jadi ayat yang paling kecil menunjukimu kepada-Nya

Dan bisa jadi ayat-ayat-Nya ada dalam dirimu

sesuatu yang ajaib seandainya matamu melihatnya

Alam semesta penuh dengan rahasia

jika engkau berusaha menafsirkannya, engkau akan kelelahan

Katakan kepada janin, ia hidup terasing tanpa

penjaga dan sumber penghidupan, siapakah yang memeliharanya?

Referensi

  1. HR. Isháq bin Rahwiyah di Musnad-nya (2/344) dan Al-Ajurri di Asy-Syarí'ah (365). 
  2. HR. Muslim (2653). 
  3. Lihat: Syarñ Al-Arba’ín An-Nawawiyyah karya Ibnu Rajab (hal. 45) dan Fatñ Al-Bárí karya Ibnu Ôajar (11/485).
  4.  Lihat: Al-Mufhim Limá Asykal Min Talkhís Kitáb Muslim karya Al-Qurþubí (6/651).
  5.  HR. Al-Bukhari (2898) dan Muslim (112) dari Sahl bin Sa’id As-Sa’idi h.
  6.  Syarñ Al-Arba’ín An-Nawawiyyah karya Ibnu Daqiq Al-‘Id (hal. 39).
  7.  Syarñ Al-Arba’ín An-Nawawiyyah karya Ibnu Rajab (hal. 47). 
  8. HR. At-Tirmizi (2140) dan Ibnu Majah (3834) dari riwayat Anas bin Malik. At-Tirmizi berkata, “Hadis ini hasan.”
  9.  I’lám Al-Muwaqqi’ín ‘An Rabb Al-‘Álamín karya Ibn Al-Qayyim (2/135).
  10.  HR. Muslim (2621) dari riwayat Jundub bin Abdullah h. 


  1. Nabi ingin mengajarkan kepada Ibnu Abbás i beberapa pelajaran tentang iman kepada Allah Ta’ala. Untuk menarik perhatian dan menyiapkan pemahamannya agar dapat menerima ilmu yang akan disampaikan, beliau memanggilnya dengan panggilan yang sesuai dengan umurnya. Pada saat itu, Ibnu Abbás i berusia antara sebelas hingga empat belas tahun. Kemudian beliau bersabda, “Aku akan mengajarimu beberapa kalimat.” Maksudnya, hafalkan, pahami, dan amalkanlah.
  2. Pelajaran pertama yang beliau sampaikan adalah agar Ibnu Abbás i menjaga Allah Ta’ala. Yakni, dengan menjaga hukum-hukum dan perintah-perintah-Nya. Hal tersebut direalisasikan dengan melaksanakan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya.

    Allah Ta’ala berfirman,

    “Dan orang-orang yang menjaga hukum-hukum Allah.”

    (QS. At-Taubah: 112)

  3.  Jika seorang manusia menjaga hukum Allah dan melaksanakan perintah-perintah-Nya, maka ia akan diberikan balasan sesuai amalnya. Sebagaimana ia menjaga Allah, maka Allah Ta’ala akan menjaganya.hanya kepada dirinya saja, bahkan juga diberikan kepada keluar anya.

    Allah f berfirman

    , Dan ayahnya seorang yang saleh”

    (QS. Al-Kahfi: 82)

    Penjagaan Allah yang paling tinggi terhadap hamba-Nya adalah dengan menjaga agamanya. Dia menjauhkan hamba-Nya dari  langkah-langkah setan dan memalingkannya dari bisikan-bisikan setan.

    Allah Ta’ala berfirman

    , “Demikianlah, Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sungguh, dia (Yusuf) termasuk hamba Kami yang terpilih.”

    (QS. Yúsuf: 24)

     
  4. Kemudian Rasulullah menjelaskan balasan lain bagi orang yang menjaga hukum Allah Ta’ala, yaitu bahwa ia mendapati Allah selalu bersamanya dalam setiap kondisi; Allah akan menolongnya, membelanya, mengokohkannya serta mengabulkan doa dan menerima amalnya. Nabi bersabda (dalam hadis qudsi), “Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan nafilah (sunnah) hingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, Aku menjadi penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, Aku menjadi tangannya yang dia gunakan untuk memegang dan Aku menjadi kakinya yang dia gunakan untuk melangkah. Jika dia meminta kepada-Ku, pasti Aku memberinya dan jika dia meminta perlindungan kepada-Ku pasti Aku akan melindunginya.”[1] 

    Allah menganggap bahwa tidak mau berdoa merupakan bentuk kesombongan seorang hamba.

    (QS. Gáfir: 60). [2]

  5. Kemudian Rasulullah membimbing Ibnu Abbás i pada masalah yang sangat agung dalam pembahasan akidah dan tauhid, yaitu menauhidkan Allah Ta’ala semata dengan meminta dan memohon hanya kepada Allah serta tidak berdoa kepada selain-Nya. Karena doa adalah salah satu bentuk ibadah yang tidak boleh ditujukan kepada selain Allah Ta’ala. Oleh karena itu, Rasulullah bersabda, “Doa adalah ibadah.” Kemudian beliau membaca firman-Nya, “Dan Tuhanmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu.’ Sesungguhnya orang-orang yang sombong tidak mau menyembah-Ku akan masuk ke neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.”
  6. Kemudian Rasulullah juga memerintahkan kepada Ibnu Abbas untuk meminta pertolongan hanya kepada Allah semata. Al-Isti’ánah (meminta pertolongan) maksudnya meminta bantuan dan pertolongan dari Allah untuk mendapatkan apa yang dimaksudkan oleh seorang hamba terkait urusan agama dan akhiratnya, disertai dengan keyakinan terhadap Allah. Ungkapan ini merupakan penegas untuk ungkapan sebelumnya. Jadi Isti’ánah berisi permintaan dan doa. Ucapan Nabi, "Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah, jika engkau memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah" selaras artinya dengan firman

    Allah Ta'ala,

    “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.”

    (QS. Al-Fátiñah: 5). [4]

    • Kemudian Rasulullah  mengajarkan kepada sepupunya tersebut hakikat berserah diri dan rida dengan qada dan qadar Allah 7. serta tawakal yang murni kepada Allah . Karena sesungguhnya segala sesuatu yang ada di alam semesta ini hanyalah milik Allah . Segala sesuatu yang terjadi pada seorang hamba -baik hal yang menyenangkan atau tidak- berasal dari-Nya. Allah telah mencatatnya sebelum menciptakan langit dan bumi. Seandainya seluruh makhluk bersepakat untuk mencegah apa yang telah Allah c tulis untuk terjadi, maka mereka tidak akan mampu melakukannya. Seandainya mereka bersepakat untuk menimbulkan kebaikan atau keburukan kepada seorang hamba dengan sesuatu yang tidak ditulis oleh Allah maka mereka juga tidak akan mampu melakukannya. Allah berfirman,

    “Dan jika Allah menimpakan suatu bencana kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tidak ada yang dapat menolak karunia-Nya.” .

    (QS. Yúnus: 107)

    • 8. Setelah itu, Rasulullah  memberitahu Ibnu Abbas  bahwa semua takdir sudah selesai dituliskan. Seorang hamba tidak akan ditimpa sesuatu melainkan sesuai dengan apa yang sudah dituliskan untuknya.

      Allah Ta’ala berfirman,

      “Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam kitab (Al-Lauñ Al-MañfúÈ) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.”

      (QS. Al-Ôadíd: 22).

      Rasulullah  juga bersabda, “Dan Allah menulis takdir semua makhluk-Nya lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.” [5]

Implementasi

  1. Hadis ini berisi wasiat-wasiat agung terkait akidah dan tauhid yang sangat dibutuhkan oleh seorang Muslim. Oleh karena itu sebagian ulama mengatakan, "Saya perhatikan hadis ini, sayapun terkejut dan hampir saja saya terpeleset. Sungguh merugi saya karena tidak mengetahui hadis ini, dan sedikitnya pemahaman saya terhadapnya.[6] Oleh karena itu, seharusnya  kita memperhatikan hadis ini dengan baik, memahami maknanya, dan mengamalkan wasiat-wasiat yang bermanfaat tersebut.
  2. Nabi g sangat perhatian dengan pendidikan anak-anak terkait dasar-dasar agama, karena mereka adalah pemuda masa depan, tiang dan sumber kekuatan umat. Jadi, seorang dai, murabbi dan ulama tidak pantas untuk melalaikan pendidikan mereka.
  3. Nabi g memulai pembicaraannya dengan panggilan, “Nak, aku akan mengajarimu beberapa kalimat,” sehingga dapat menarik perhatian, mudah dipahami, dan membuat fokus. Seyogianya seseorang ketika memberi nasihat mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi g ini. Hendaknya ia memulai ucapannya dengan kalimat yang membuat orang lain tertarik untuk mendengarkan.
  4. Di antara tanda-tanda keelokan adab seorang murid dengan gurunya adalah dia memahami dan mengerti apa yang dikatakan oleh gurunya, dia mengamalkannya dan menyampaikannya kepada orang lain. Ibnu Abbas h belajar dan mengamalkan apa yang ada dalam hadis tersebut, kemudian menyampaikannya kepada seluruh umat.
  5. Seorang ulama salaf berkata, “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, maka ia telah menjaga dirinya. Dan barang siapa menghilangkan ketakwaannya, maka ia telah menghilangkan dirinya sendiri. Dan Allah tidak butuh kepadanya.”[7]
  6. Dahulu, ada seorang ulama yang telah berusia lebih dari seratus tahun, tapi mempunyai fisik dan akal yang sangat bugar. Dalam sebuah perjalanan, ia harus melewati aliran air, maka ia pun melompat dengan sangat kuat, hingga murid-muridnya merasa takjub dengan kekuatannya. Padahal ia sudah tua. Lalu ia berkata, “Aku telah menjaga anggota badanku dari berbuat maksiat ketika muda, maka Allah menjaganya untukku pada masa tua.”[8]
  7. Nabi g menuntuk ke beberapa rumah dan bersabda kepada para sahabatnya. Dahulu di  dalam rumah ini ada seorang perempuan yang ikut dalam ekspedisi militer bersama kaum Muslimin. Ia meninggalkan dua belas kambing betina dan tongkat yang dipakai untuk menenun. Ketika pulang dari berjihad, ia kehilangan seekor kambing dan tongkat tenunnya. Maka ia berkata, “Ya Tuhanku, Engkau telah menjamin untuk memberi penjagaan bagi orang yang berjihad di jalan-Mu. Aku kehilangan kambing dan tongkat tenunku. Aku memohon kepada-Mu agar mengembalikan kambing dan tongkatku.” Lalu Rasul  menyebutkan kesungguhan wanita itu berdoa kepada Tuhannya. Rasulullah bersabda, "Pada pagi harinya, tongkatnya kembali dan bersama tongkat lain yang sama, kambingnya juga kembali bersama kambing lain yang sama. Itulah wanita itu, tanyakanlah kepadanya jika kamu mua."[9]
  8. Jika seorang hamba ingin dijaga oleh Allah Ta’ala, dijaga keluarga dan hartanya, maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah Ta’ala. Ibn Al-Munkadir berkata, “Sesungguhnya Allah menjaga seorang yang saleh dengan menjaga anaknya, cucunya dan rumah-rumah yang ada di sekitarnya. Mereka terus mendapatkan penjagaan dan perlindungan dari Allah.”[10]

Said bin Al-Musayyib r berkata kepada anaknya,

“Sesungguhnya aku menambah shalatku demi untukmu, agar Allah menjagaku dengan [14]cara menjagamu. Kemudian beliau membaca ayat, Dan ayahnya seorang yang saleh.

(QS. Al-Kahfi: 82)

9. Nabi sangat antusian mengajarkan umatnya untuk selalu meminta tolong kepada Allah. Beliau bersabda, “Bersemangatlah dalam meraih apa yang bermanfaat bagimu. Mohonlah pertolongan kepada Allah, jangan engkau lemah.”[11] Nabi bersabda kepada Muaz , “Wahai Muaz, aku akan menasihatimu. Jangan tinggalkan setiap selesai shalat untuk berdoa, ‘Alláhumma a’inní ‘alá æikrika wasyukrika wañusni ‘ibádatik (Ya Allah, tolonglah aku untuk senantiasa mengingat-Mu, bersyukur kepada-Mu dan beribadah dengan baik kepada-Mu).’”[12] Maka seorang Muslim harus berkomitmen untuk melaksankan wasiat yang sering disampaikan Nabi tersebut karena sangat urgen.

10. Di antara nasehat agung yang harus senantiasa hadir di hadapan seorang hamba adalah ucapan Wahb bin Munabbih r terhadap seorang lelaki yang sering mendatangi para raja, “Celakalah engkau! Apakah engkau mendatangi orang yang menutup pintunya darimu, memperlihatkan kebutuhannya dan menyembunyikan kekayaannya? Dan engkau meninggalkan †at yang membuka pintunya di tengah malam dan siang hari, menampakkan kekayaan-Nya seraya berkata, ‘Berdoalah kepada-Ku, maka akan aku kabulkan untukmu?’”[13]

  • 11. Seorang penyair menuturkan,

Jangan sekali-kali minta kepada manusia satu kebutuhan pun

dan mintalah kepada †at yang pintunya tidak pernah tertutup

Allah akan murka jika engkau 'tak pernah meminta kepada-Nya

Sedangkan bani Adam, mereka akan marah jika dimintai

 

Referensi

  1.  HR. Al-Bukhari (6502) dari Abu Hurairah
  2. HR. Abu Daud (1479), At-Tirmizi (3247), dan An-Nasá`í dalam As-Sunan Al-Kubrá (3828). At-Tirmizi berkata, “Hadis ini hasan sahih.” 
  3.  Lihat: Núr Al-Iqtibás fí Waÿiyyah An-Nabiyy li Ibn ‘Abbás karya Ibnu Rajab, hal. 9.
  4.  HR. Muslim (2653)
  5. ” Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab (1/462)
  6. Núr Al-Iqtibás fí Waÿiyyah An-Nabiyy li Ibn ‘Abbás karya Ibnu Rajab, hal.54
  7.  . Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab (1/466).
  8. (HR. Ahmad dalam Al-Musnad (20664
  9.  Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab (1/467).
  10.  Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab (1/467).
  11.  HR. Muslim (2664).
  12.  HR. Abu Daud (1522) dan An-Nasá`i (1303). Hadis ini disahihkan oleh An-Nawawi dalam Khuláÿah Al-Añkám (1/468).
  13.  Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab (1/481).


1. Nabi memberitahukan bahwa orang mukmin yang kuat lebih dicintai oleh Allah Ta’ala daripada orang mukmin yang lemah. Yang dimaksud kuat di sini mencakup kekuatan iman dan segala yang mendukungnya berupa kekuatan jiwa, fisik, ilmu dan lain sebagainya. Jika seorang mukmin mampu memadukan semua itu maka akan sangat membantunya dalam beribadah dan mengemban tugas-tugas lain dalam kehidupan, dalam berjihad, dan dalam mewujudkan kemaslahatan diri sendiri dan orang lain.

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan persiapkanlah dengan segala kemampuan untuk menghadapi mereka dengan kekuatan yang kamu miliki dan dari pasukan berkuda yang dapat menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; tetapi Allah mengetahuinya.”

(QS. Al-Anfál: 6)

. Kekuatannya ini akan menjadikannya mampu bersabar dalam melaksanakan ketaatan serta menjauhi kemaksiatan dan syahwat. Kekuatan tersebut juga akan mendorongnya melakukan amar makruf nahi munkar dan bersabar menghadapi gangguan manusia dan musibah dunia yang menimpanya.[1] 

2. Kemudian Nabi menjelaskan bahwa pengutamaan orang yang lebih kuat atas orang yang lemah bukan berari bahwa orang yang lemah tidak memiliki kebaikannya sama sekali. Padanya terdapat kebaikan juga, akan tetapi ia tidak mempunyai keberuntungan yang besar dan kedudukan yang tinggi.

3. Kemudian Nabi mengarahkan untuk memperhatikan apa yang benar-benar bermanfaat bagi manusia, tidak lalai dengan permainan dan agenda-agenda yang akan menghalangi manusia dari agamanya.
  • Allah Ta'ala berfirman,

    “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan barang siapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.”

    (QS. Al-Munáfqún: 9)

    Sesungguhnya Allah menciptakan manusia dan jin hanyalah untuk beribadah kepada-Nya, jadi mereka tidak boleh disibukkan oleh hal-hal lain dari ibadah tersebut.

4. Jika seorang mukmin sudah berusaha melakukan segala yang bermanfaat untuk agama dan kehidupannya, maka ia harus meminta pertolongan kepada Allah Ta’ala seraya bertawakal agar apa yang diinginkannya bisa terwujud. Jangan sampai ia malas atau membiarkan kekuatannya melemah hingga tidak sampai kepada tujuan. Apalagi disertai dengan alasan bahwa ini adalah takdir Allah, atau beralasan lemah atau selainnya padahal, sebenarnya ia belum berusaha keras. Jika demikian, ia dicela karena kemalasan dan kelalaiannya.

5. Jika kemudian ia tidak berhasil mendapatkan apa yang diusahakannya, hendaknya ia tidak menyesali usahanya selama dia sudah melakukan sebab-sebabnya, dan jangan sampai dia mengatakan, “Seandainya aku melakukan ini dan itu pasti akan terjadi seperti ini,” karena berkeluh kesah dan menyesali qada dan kadar Allah Ta’ala.

6. Yang seharusnya dia lakukan adalah bersegera menerima takdir Allah. Ini adalah takdir Allah yang dituliskannya untuk kita, dan tidak ada apapun yang terjadi kecuali sesuai apa yang Dia kehendaki. Akan tetapi, ini bukan berarti boleh beralasan dengan takdir atas maksiat yang dilakukan atau kesalahan yang diulangi terus-menerus. Misalnya dengan mengatakan, “Aku bermaksiat karena sudah menjadi takdir Allah.” Allah c mengingkari orang-orang kafir yang menggunakan alasan ini untuk perbuatan syirik yang mereka lakukan. Allah 

  • Ta’ala berfirman,

     “Orang-orang musyrik akan berkata, ‘Jika Allah menghendaki, tentu kami tidak akan mempersekutukan-Nya, begitu pula nenek moyang kami, dan kami tidak akan mengharamkan apa pun.’ Demikian pula orang-orang sebelum mereka yang telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan azab Kami. Katakanlah (Muhammad), ‘Apakah kamu mempunyai pengetahuan yang dapat kamu kemukakan kepada kami? Yang kamu ikuti hanya persangkaan belaka, dan kamu hanya mengira.’” 

    (QS. Al-An’ám: 148)

7. Rasulullah  melarang hal itu (mengucapkan, seandainya,…) karena bisa membuka pintu bagi setan. Yaitu munculnya bisikan-bisikan untuk mengingkari takdir Allah , dan manusia mengira bahwa hasil itu tergantung apa yang dilakukannya tanpa melihat kepada kehendak dan keinginan Allah Ta'ala. Walaupun demikian, hadis ini tidak bermakna bahwa kata ‘seandainya’ haram secara mutlak. Kata itu haram diucapkan jika dimaksudkan untuk menggerutu, mengeluh dan sejenisnya. Adapun jika diucapkan dengan maksud menjelaskan kesalahan, menjelaskan hukum syar’i atau pembicaraan tentang masa depan maka hal itu dibolehkan. Nabi Luþ n berkata,

Seandainya aku mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).”

(QS. Húd: 80)

. Rasulullah juga bersabda, “Seandainya bukan karena khawatir membebani umatku, pastilah aku memerintahkan mereka untuk bersiwak.”[2]

Implementasi

1. Membuat perbandingan akan mendorong orang yang lebih rendah untuk melakukan amalan guna mendapatkan kebaikan yang diperoleh oleh orang yang lebih baik. Oleh karena itu, para murabbi dan guru sebaiknya mengadakan perlombaan yang bisa memotivasi orang untuk beramal dan berlomba dalam hal-hal yang terpuji.

2. Sabda Nabi, "Dan dalam keduanya ada kebaikan," berfungsi untuk menghibur perasaan dan menenangkan hati orang yang lemah, karena Nabi sudah memberitahukan kelebihan orang lain dibandingkan dirinya. Maka para pemuda, para dai dan murabbi harus memperhatikan hal tersebut.

3. Dalam sabdanya, “Bersemangatlah dalam meraih apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah,” Rasulullah  merangkum dua kaidah dalam tawakal, yaitu: berikhtiar dan mengupayakan sebab terwujudnya sesuatu serta berpegang teguh dan yakin kepada Allah Ta’ala. Hal ini sesuai

  • firman Allah Ta’ala,

    “Maka sembahlah Allah dan bertawakallah kepada-Nya.” .

    (QS. Húd: 123)

    Maka kita harus melakukan sebab disertai dengan penyerahan urusan kepada Allah dan bersandar kepada-Nya. Seorang guru harus menyebarkan ilmunya, mempermudah materi pelajarannya, dan berusaha sebaik mungkin memberikan pemahaman kepada siswanya. Seorang pelajar harus bersungguh-sungguh mengulangi pelajarannya, seorang pekerja, pengusaha, petani harus mengerahkan usahanya yang maksimal dan melaksanakan proyeknya secara profesional, Semua itu diiringi dengan memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala agar usahanya berhasil dan mendapatkan taufik dari Allah Ta’ala.

4. Nabi mendorong umatnya untuk tidak malas dan lemah. Kebanyakan manusia ingin melakukan hal yang baik, namun kemudian semangatnya menjadi kendor dan akhirnya tidak mampu menyempurnakannya sehingga merasa lemah. Seyogianya seorang Muslim mengumpulkan kekuatannya dan bersemangat serta tidak malas dan merasa lemah.

5. Dalam hadis tersebut terdapat penjelasan bahwa seorang mukmin yang kuat dengan sarana apapun yang dimilikinya lebih dicintai oleh Allah. Jadi, siapa saja yang ingin untuk sampai pada derajat kecintaan tersebut maka dia harus memiliki kekuatan keimanan, materi, dan fisik.

6. Di antara bentuk kekuatan yang dianjurkan bagi seorang mukmin adalah kemampuan dan kekayaan. Itu bermanfaat untuk bersedekah kepada orang-orang fakir, membantu orang yang membutuhkan, dan menginfakkan harta di berbagai saluran kebaikan.

7. Seorang manusia tidak boleh mengucapkan perkataan yang membuat murka Allah, seperti mencela takdir, atau mengingkarinya ketika susah ataupun ketika lapang.

8. Manusia harus memperhatikan apa yang bermanfaat baginya, bukan hanay dalam urusan agama saja, tetapi juga dalam urusan dunianya. Dia harus berusaha untuk hidup enak, punya kedudukan di antara manusia karena ilmu, akhlak dan amalnya. Termasuk di dalamnya adalah mendapatkan derajat keilmuan yang tinggi, mempelajari ilmu agama dan umum, seperti kimia, fisika, matematikan, teknik, kedokteran, bahasa asing, dan lainnya yang bermanfaat untuk umat.

9. Kekuatan iman dan fisk merupakan unsur utama dalam perbandingan antara manusia di dunia dan di akhirat. Contohnya adalah Julaibib, salah seorang sahabat Nabi . Penampilannya tidak menarik, dan dia pendek. Nabi menawarkan kepadanya untuk menikah, diapun berkata, "Tentu saya akan ditolak wahai Rasulullah." Maka Rasul bersabda kepadanya, "Tetapi kami di sisi Allah bukan orang yang ditolak." Maka Rasul pun mengutusnya ke salah satu rumah orang Ansar untuk meminang putrinya. Ayah dan ibu putri tersebut kaget, namun putrinya segera menyetujui karena menjawab perintah Allah. Kemudian Julaibib ikut berperang. Nabi kehilangannya setelah perang. Beliau mendapatinya mati syahid, dan disekitarnya ada tujuh orang musyrik yang sudah dibunuhnya, kemudian diapun dibunuh. Maka Nabi bersabda, "Dia adalah bagian dariku, dan aku bagian darinya." Sementara istrinya -karena mendapatkan ganimah- termasuk wanita terkaya. [3]

10. Seorang penyair menuturkan,

Kepada siapa seorang hamba memohon pertolongan jika tidak kepada Tuhannya

Siapa yang bisa menolong seorang pemuda ketika mendapatkan musibah dan bencana?

Siapa pemilik dunia dan pemilik penghuninya

Siapa yang menghilangkan kemalangan yang jauh dan dekat?

Siapa yang membuka tabir kegelapan ketika ia turun

Bukankah itu semua di antara perbuatan-Mu wahai Tuhanku?

 

Referensi

  1. Syarñ Ÿahih Muslim karya An-Nawawi (16/215), Mirqáh Al-Mafatíñ Syarñ Misykáh Al-Maÿábiñ karya Ali Al-Qarí (8/3318), dan
  2.  Asy-Syabáb WañifÈ Al-Awqát Min Durús Ibn Báz.HR. Al-Bukhari (7240).
  3.  Lihat: Al-Istí'āb fí Ma'rifati Al-Aṣḥāb karya Ibnu Abdilbar (1/272) dan Al-Iṣābah karya Ibnu Ḥajar (2/222)

Allah mengutus Nabi-Nya, Muhammad untuk mengajak manusia menauhidkan Allah dan membersihkannya dari kotoran dan kepercayaan jahiliah. Hadis ini mengingatkan beberapa bentuk kepercayaan tersebut:

  1. Nabi menyampaikan bahwa tidak ada Al-'Adwa. Al-'Adwa adalah perpindahan penyakit dari orang yang sakit ke orang yang sehat karena mereka berkumpul. Jadi, hadis ini tidak menafikan adanya penularan penyakit. Yang dinafikan oleh hadis ini adalah bahwa penyakit tidak dapat menular dengan sendirinya. Yang terjadi sebenarnya, menularnya penyakit adalah karena takdir Allah . Jika Allah menghendaki maka penyakit itu berpindah dari orang sakit ke orang sehat ketika berkumpul, dan jika Allah berkehendak lain maka itu tidak akan terjadi.

Seorang Muslim diperintahkan untuk melakukan usaha yang bermanfaat dan meninggalkan hal yang mendatangkan mudarat. Karenanya, Rasulullah menyuruh kita untuk melakukan usaha dengan menjauhi orang yang berpenyakit menular. Nabi bersabda, “Larilah dari orang yang berpenyakit kusta sebagaimana engkau lari dari singa.”[1] Beliau juga bersabda, “Jika kalian mendengar ada wabah taun menjangkiti suatu negeri, maka janganlah kalian masuk ke negeri tersebut. Dan apabila kalian berada di dalam negeri taun berjangkit, maka janganlah keluar darinya.”[2]

2.Kemudian Nabi sawa menyampaikan bahwa tidak ada þiyarah (kesialan); artinya jangan pesimis karena melihat atau mendengar sesuatu. Misalnya, seseorang berniat untuk melakukan perjalanan jauh, kemudian ia melihat burung gagak atau mendengar ada kecelakaan, kematian atau yang semacamnya, kemudian ia menjadi pesimis untuk melakukan perjalanan dan akhirnya mengurungkannya. Atau tetap berangkat tapi dengan hati yang ragu-ragu.  

Disebut dengan þiyarah karena dahulu orang jahiliah beranggapan akan mengalami kesialan karena burung (þair). Apabila mereka ingin melakukan perjalanan atau yang lainnya, mereka menerbangkan burung. Jika burung tersebut terbang ke arah kanan, maka mereka optimis dan melakukan perjalanan. Jika burung tersebut terbang ke arah kiri, mereka menjadi pesimis dan membatalkan perjalanan mereka. Mereka juga menganggap sial jenis burung-burung tertentu seperti burung hantu dan burung gagak. Jika seekor gagak berkicau di atas sebuah rumah, mereka beranggapan itu adalah tanda kematian. Oleh karena itulah, Rasulullah bersabda, “Tidak ada penyakit menular, tidak ada þiyarah, tidak ada kesialan karena burung hámah, dan tidak ada kesialan pada bulan Safar.”[3] Hámah adalah sejenis burung yang mereka anggap menimbulkan kesialan. Sedangkan Safar adalah nama bulan yang kita kenal setelah bulan Muharam. Dahulu, orang jahiliah menganggapnya bulan sial.

Maka Nabi menyampaikan bahwa tidak ada efek kesialan terkait dengan waktu, tempat, benda, dan juga manusia. Nabi juga menjelaskan bahwa þiyarah itu menyalahi tauhid yang salah satu konsekuensinya adalah meyakini bahwa manfaat dan mudarat itu berada di tangan Allah saja, tidak ada yang mengetahui perkara gaib selain Allah Ta'ala. Oleh karena itu Nabi bersabda, "Siapa yang ditolak oleh þiyarah dari melakukan keinginannya maka dia telah melakukan kesyirikan." Para sahabat bertanya, "Apa kafaratnya." Beliau bersabda, "Dia mengucapkan, 'Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan-Mu, dan tidak ada þiyarah kecuali dari-Mu, dan tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain-Mu."[4]

3. Kemudian Nabi menjelaskan bahwa beliau menyukai sikap optimis. Yaitu kata-kata baik yang apabila didengar oleh seseorang, ia  menjadi gembira. Misalnya, seseorang sedang bekerja, kemudian seseorang memanggil temannya dengan mengatakan, “Wahai orang yang sukses,” dan lain sebagainya.

Kata-kata yang baik akan membuat hati menjadi gembira, dada menjadi lapang dan menimbulkan semangat pada diri manusia. Oleh karena itu, Rasulullah menyukai sikap optimis, karena itu tidak bertentangan dengan tauhid dan tidak melemahkan iman dalam hati. Oleh karena itulah, ketika Suhail bin ‘Amr datang menemui Nabi pada perang Ôudaibiyah untuk bernegosiasi tentang perdamaian antara kaum Muslimin dan penduduk Makkah, Rasulullah merasa gembira dan mengatakan, “Urusan kalian akan menjadi mudah.”[5] [6]


Implementasi

  1. Segala urusan terjadi sejalan dengan takdir Allah. Tidak ada yang bisa dilakukan manusia kecuali berusaha dan bertawakal kepada Allah Ta’ala serta berikhtiar.
  2. Ikhtiar agar terhindar dari penyakit adalah sesuatu yang disyariatkan. Ini tidak bertentangan dengan keyakinan bahwa apapun yang menimpa seorang Muslim adalah sesuatu yang memang ditakdirkan akan menimpanya. Maka hendaknya seorang Muslim melakukan kewajibannya untuk berusaha seraya meyakini bahwa segala sesuatu dari awal sampai akhir berada di tangan Allah Ta’ala saja.
  3. Seorang Muslim harus berprasangka baik dengan Tuhannya dalam segala urusan. Hendaknya dia menyadari bahwa Allah tidak menakdirkan baginya selain kebaikan.
  4. Seorang Muslim jangan sampai dihalangi oleh suatu apapun dari mencari kebaikan selama dia benar-benar bertawakal kepada Allah.
  5. Jika semua urusan itu berdasarkan qadar dan tidak ada pengaruh apapun selain apa yang diizinkan oleh Allah Ta'ala, kenapa harus menganggap sial dan ber- þaþayyur (pesimis) dengan benda, hewan atapun kalimat yang diucapkan? Tidak diragukan lagi bahwa menganggap sial sesuatu itu bertentangan dengan penyerahan diri kepada Allah, dan juga iman dengan qada dan qadar-Nya.
  6. Menganggap sial sesuatu merupakan sebuah kejelekan yang membuat hati sakit, menghalangi manusi dari tujuannya. Jikapun tidak menghalanginya dari tujuannya, namun itu akan membuat dia ragu dan tidak stabil, sehingga perasaannya tidak tenang dengan keyakinan bahwa dia tidak akan ditimpa sesuatu melainkan apa yang sudah dituliskan oleh Allah untuknya.
    1. Seorang Muslim harus optimis dengan apa yang dilihatnya di sekitarnya, sehingga itu mendorongnya untuk beramal dan bersemangat. Sikap optimis tidak bisa mengubah takdir tapi membuat jiwa tenang dan hati lapang serta menumbuhkan semangat. Dan Nabi menyukai sikap optimis.
  7. Al-Hafiz Al-Hakami menuturkan,

Segala sesuatu terjadi dengan qada dan qadar

dan segala sesuatu telah tertulis di Ummul Kitab

Tidak ada kesulitan, tidak ada penyakit menular dan tidak ada þiyarah

dan tidak ada yang mampu mengubah takdir Allah Ta’ala

Tiada (kesialan karena) burung hantu, burung hámah, dan karena bulan Ÿafar

sebagaimana diberitakan pemimpin seluruh umat manusia


Referensi

  1.  HR. Al-Bukhari (5707) dari Abu Hurairah h.
  2.  HR. Al-Bukhari (5287) dan Muslim dari Usamah bin Zaid h.
  3. HR. Al-Bukhari (5757) dan Muslim (2220) dari Abu Hurairah h
  4.  HR. Ahmad (7045).
  5. Lihat: Imta’ Al-Asmá’ karya Al-Maqrízí (12/175) dan Subul Al-Hudá wa Ar-Rasyád karya Aÿ-Ÿálihí (5/48).
  6.  Alasan Rasulullah mengatakan bahwa urusan kalian akan menjadi mudah karena beliau optimis dengan datangnya Suhail. Suhail sendiri dalam bahasa Arab merupakan kata turunan dari kata ‘sahl’ yang berarti mudah. Sehingga seakan-akan kedatangan orang yang bernama ‘mudah’ membuat Nabi g optimis bahwa urusan kaum Muslimin menjadi mudah (penerjemah).





1.Nabi memotivasi para sahabatnya dan seluruh umatnya untuk melihat orang yang lebih rendah dari mereka dalam urusan dunia seperti orang-orang fakir, orang-orang yang membutuhkan, orang-orang lemah, orang-orang yang sakit, orang-orang cacat dan semisalnya. Hendaknya mereka melihat bagaimana Allah Ta’ala telah melebihkan karunia-Nya kepada mereka dibandingan dengan orang-orang tersebut. Jika seorang Mulim melihat kondisi orang lain, maka hendaknya dia melihat orang yang lebih rendah darinya. Nabi bersabda “Jika salah seorang di antara kalian melihat orang yang mempunyai kelebihan darinya dalam urusan harta dan fisik, hendaklah ia melihat orang yang lebih rendah darinya.”[1]

2.Nabi g melarang mereka melihat orang yang lebih kaya, atau lebih kuat dan lebih sehat fisiknya,

sebagaimana firman Allah Ta’ala,

 “Dan janganlah engkau tujukan pandangan matamu kepada kenikmatan yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka, (sebagai) bunga kehidupan dunia, agar Kami uji mereka dengan (kesenangan) itu. Karunia Tuhanmu lebih baik dan lebih kekal.”

(QS. 񠤠: 131)

3.Rasulullah menjelaskan alasannya, yaitu agar mereka tidak meremehkan nikmat Allah yang dikaruniakan kepada mereka. Jika seorang Muslim melihat orang yang lebih rendah atau lebih miskin darinya dalam urusan dunia, maka ia akan menyadari betapa Allah Ta’ala telah memberikan banyak kelebihan kepadanya dibandingkan banyak orang. Sehingga ia akan bersyukur dan memuji Allah c atas nikmat tersebut dengan cara beribadah dengan baik kepada Allah.

Namun jika melihat orang-orang yang bergelimang kenikmatan dan selalu memikirkan orang-orang yang mempunyai kelebihan dunia karena rezeki yang Allah karuniakan kepada mereka, akan timbul keinginan membandingkannya dengan apa yang dimilikinya. Hal itu membuatnya mengingkari nikmat Allah c dan meremehkannya. Bahkan bisa jadi bisa menimbulkan sifat iri dan dengki.

Implementasi

  1. Seorang mukmin hendaknya menjadikan akhirat berada di depan kedua matanya. Tidak melepaskan pandangannya untuk melihat kenikmatan dunia dan orang-orang yang bermewah-mewahan. Sungguh, Allah Ta’ala telah menyediakan surga bagi hamba-hamba-Nya, yaitu, “Sesuatu yang belum pernah dilihat oleh mata, didengar oleh telinga, dan tidak pernah terlintas dalam benak pikiran manusia.”[2] Jika matanya melihat atau hatinya terpikat dengan perhiasan dunia, maka jangan sampai jiwanya mengikutinya. Hendaknya ia mengingat nikmat Allah yang disediakan bagi hamba-hamba-Nya yang bertakwa.
  2. Hadis ini tidak bermakna seorang Muslim harus meninggalkan dunia, atau tidak memanfaatkan nikmat yang Allah Ta’ala berikan kepadanya. Yang dilarang adalah jika dunia menguasai hatinya hingga ia tidak merasa cukup dengan karunia Allah Ta’ala.
  3. Ibnu ‘Aun mengatakan, “Aku bergaul dengan orang-orang kaya, maka aku pun menganggap rendah baju dan tungganganku. Kemudian aku bergaul dengan orang-orang miskin, maka aku pun merasa puas.”[3]
  4. Jika seorang mukmin meyakini bahwa Allah c telah membagi rezeki dengan hikmah-Nya, maka ia akan merasa tenang, tidak menginginkan apa yang Allah Ta’ala lebihkan kepada sebagian orang.
  5. Seorang Muslim tidak mesti berlomba-lomba untuk mendapatkan manfaat dan kenikmatan dunia, namun dia harus berlomba-lomba dalam urusan akhirat. Oleh karena itu Nabi bersabda, “Tidak boleh hasad (iri) melainkan dalam dua hal, yaitu: seseorang yang diberi karunia harta oleh Allah, kemudian ia menafkahkannya hingga habis di jalan kebenaran. Dan seseorang yang diberikan karunia ilmu oleh Allah, kemudian ia memutuskan perkara serta mengajarkannya.”[4]
  6. Ketika Qarun bangga dan menyombongkan diri dengan

    nikmat yang Allah Ta’ala berikan

    , orang-orang yang jiwanya lemah melihatnya dengan mengatakan, “Seandainya kita mempunyai harta kekayaan seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun, sesungguhnya dia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar.”

    (QS. Al-Qaÿÿaÿ: 79)

    . Mereka tidak menjaga pandangan dan hati mereka untuk tergiur dengan dunia; mereka pun tidak mendapatkan apapun dari nikmat yang diberikan kepada Qarun. Ini seperti yang diungkapkan oleh seorang penyair,Engkau melihat sesuatu yang tidak semuanya engkau mampu
    mendapatkannya, dan juga tidak bisa bersabar terhadap sebagiannya.
  7. Di antara hal yang paling mampu mewujudkan kebahagiaan dalam hati seorang Muslim adalah menyadari bahwa nikmat Allah sangat banyak kepadanya; juga melihat dan memikirkan orang-orang yang kondisinya lebih rendah darinya, sebagaimana sabda Nabi , “Barang siapa dari kalian yang merasa aman di rumahnya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan telah dikumpulkan untuknya dunia beserta isinya.”[5]
  8. Jika seseorang diberikan ujian atau musibah, kemudian ia melihat orang yang lebih rendah darinya, maka ia tidak akan menganggap berat musibah yang dihadapinya. Ia akan menganggap bahwa musibah yang dialaminya adalah hal yang ringan, sehingga ia pun mampu bersabar dan bahkan bersyukur kepada Allah Ta’ala atas nikmat keselamatan yang diterimanya.
  9. Seorang penyair menuturkan,

Bertakwalah kepada Allah dan kanaahlah dengan rezeki-Nya 

karena sebaik-baik hamba Alah adalah mereka yang kanaah

Jangan sampai dunia membinasakanmu dan jangan berambisi mendapatkannya

orang yang tertipu dengan dunia akan binasa karena ambisinya


10.Seorang penyair lain menuturkan,

Aku menemukan kanaah adalah pakaian kekayaan

maka aku berpegangan pada ujungnya

Maka kemuliaannya memakaikanku pakaian kebesaran

 ia tidak rusak sepanjang masa

Aku menjadi kaya walau tanpa uang

Aku berjalan dengan mulia bak seorang raja


Referensi

  1. HR. Al-Bukhari (6490) dan Muslim (2963) 
  2. (HR. Al-Bukhari (3244) dan Muslim (28]
  3.  arñ At-Tašrib fí Syarñ At-Taqríb karya Al-‘Iraqi (8/145, 146)]
  4.  HR. Al-Bukhari (73) dan Muslim (816) dari Ibnu Mas’ud h. 
  5. HR. At-Tirmizi (2346) dari Ubaidillah bin Muhsin h.

1. Nabi menyebutkan bahwa Allah f memonopoli pengetahuan berkaitan perkara-perkara gaib, tidak ada seorang pun tahu kecuali Dia 

Allah Ta’ala berfirman,

“Katakanlah (Muhammad), ‘Tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah. Dan mereka tidak mengetahui kapan mereka akan dibangkitkan.’” .

(QS. An-Naml: 65)

Allah Ta’ala berfirman,

“Dia mengetahui yang gaib, tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapa pun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di depan dan di belakangnya.”

(QS. Al-Jin: 26-27).

Ini bukan berarti bahwa hanya perkara-perkara yang tertera di dalam hadis itu saja yang khusus diketahui oleh Allah Ta’ala, tetapi perkara tersebut hanya sebagai contoh bukan maksud membatasi, atau karena perkara tersebut adalah paling penting yang hanya Allah saja yang mengetahuinya, karena banyak juga berita-berita tentang umat-umat terdahulu dari kalangan para nabi beserta umatnya, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah.

Allah c berfirman,

“Apakah belum sampai kepadamu berita orang-orang sebelum kamu (yaitu) kaum Nuh, `Ad, Šamud, dan orang-orang setelah mereka. Tidak ada yang mengetahui mereka selain Allah.” .

(QS. Ibráhím: 9)

Dan perkara yang Allah sembunyikan, berupa alam jin, alam malaikat, berita-berita mengenai mereka, dan perkara-perkara menakjubkan lainnya di langit dan di bumi, dan sebagainya.

Perkara-perkara gaib berdasarkan kemungkinan seorang manusia apakah bisa mengetahuinya atau tidak, dibagi menjadi dua:

Perkara yang mungkin bagi seorang manusia bisa mempelajari dan mengetahuinya melalui sarana dan usaha yang Allah mudahkan baginya, seperti pengetahuan tentang terbitnya matahari, atau waktu-waktu shalat, waktu terjadinya gerhana matahari atau bulan, dan yang semisal, yang Allah menjadikannya sesuai aturan yang tertata dan rapi.

Perkara gaib yang tidak bisa diketahui kecuali oleh Allah Ta’ala, statusnya mutlak gaib dan di antaranya yang tertera di dalam hadis ini, dan yang tercakup dalam firman

Allah,

“Sesungguhnya hanya di sisi Allah ilmu tentang hari Kiamat; dan Dia yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal.” .

(QS. Luqmán: 34)

Allah menyebutkan perkara-perkara di atas dengan kunci-kunci, sebagai bentuk perumpamaan dan penyerupaan, karena perkara-perkara yang tertutup dari pengetahuan manusia, tidak akan bisa digapai kecuali dengan kunci-kunci yang mengantarkannya ke sana. Jika kunci-kuncinya saja tidak ada seorang pun yang mampu mengetahuinya, lantas bagaimana dengan perkara-perkara gaib itu sendiri?!

2. Perkara pertama, sesuatu yang akan dilakukan oleh seseorang esok, entah itu jangka pendek atau jangka panjang. Seorang manusia tidak tahu rezeki apa yang akan diperolehnya; takdir apa yang akan dialaminya apakah baik atau buruk; dan apakah melakukan amalan saleh atau justru amalan buruk.


3. Perkara kedua, Allah  mengetahui apa yang ada di dalam rahim dan apa yang terjadi di dalamnya. Dia mengetahui janin yang kurang sempurna penyusunannya, yang biasanya disebut keguguran. Dia mengetahui janin yang sudah sempurna bentuknya sampai tiba waktunya lahir. Dia juga mengetahui jenis kelamin janin, apakah laki-laki atau perempuan.

Dia  berfirman,

“Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, apa pun yang kurang sempurna dan apa yang bertambah dalam rahim. Dan segala sesuatu ada ukuran di sisi-Nya.”

(QS. Ar-Ra’d: 8)

Hal ini tidak bertentangan dengan apa yang terjadi di masa kini, yakni dokter yang dapat mengetahui jenis kelamin janin pada bulan-bulan terakhir. Sesungguhnya itu merupakan kemudahan berupa ilmu pengetahuan dari Allah Ta’ala untuk hamba-hamba-Nya di muka bumi. Ilmu pengetahuan modern tidak dapat mengetahui hal tersebut kecuali setelah lewat dari empat bulan, sebagaimana hasil perkiraannya pun banyak yang meleset. Demikian pula, para dokter juga tidak mengetahui secara pasti menetapkan usia kehamilan setiap wanita, apakah tujuh bulan atau sembilan bulan. Demikian pula, mereka hanya mampu untuk mengetahui jenis kelamin janin dari satu orang wanita, lantas bagaimana dengan rahim-rahim seluruh wanita di dunia, siapakah yang mampu mengetahui jenis kelamin mereka secara serentak?! Mahasuci Allah lagi Mahatinggi.

4. Perkara ketiga, pengetahuan tentang waktu turunnya hujan. Tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang mengetahui kapan turunnya hujan, berapa kadarnya, dan di mana akan turun? Meskipun para ilmuwan meteorologi dan falak sekarang mampu memberitahukan sedikit informasi terkait waktu turunnya hujan dan lokasi-lokasinya, sesungguhnya landasan mereka melihat adanya langit yang mendung dan awan, bukan sebelum itu. Hal ini merupakan ilmu yang sudah ada sejak umat-umat terdahulu, meski yang sekarang lebih canggih, dan tidak dipungkiri oleh banyak manusia, bahwa persentase kekeliruan berita mereka cukup besar.

5. Perkara keempat, pengetahuan tentang waktu dan tempat kematian seseorang. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati.”

(QS. Luqmán: 34).

Allah tidak menentukan batasan tertentu yang jika seseorang sampai di sana maka dia langsung mati. Allah Ta’ala juga tidak menjadikan suatu sebab yang selalu mengantarkan seseorang pada kematian. Orang yang sakit bisa sembuh, orang yang sehat lagi kuat bisa mati tiba-tiba. Seorang pemuda pun bisa mati mendadak, orang yang sudah renta terus hidup hingga mengalami pikun. Seorang manusia mendatangi tempat yang membinasakan kemudian tenggelam di laut atau jatuh dari tempat yang tinggi, atau yang semisal namun ternyata masih selamat, tetapi ada orang yang tinggal di dalam rumahnya dalam kondisi aman dan tenang, tiba-tiba mati.

6.Perkara kelima, di antara perkara-perkara yang dikabarkan oleh Nabi di dalam hadis tersebut adalah pengetahuan tentang waktu hari Kiamat. Hal ini merupakan hal khusus hanya Allah Ta’ala yang mengetahuinya, Dia tidak memberitahukan kepada siapa pun, baik itu malaikat didekatkan atau nabi yang diutus.

Allah Ta’ala berfirman,

“Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang Kiamat, ‘Kapan terjadi?’ Katakanlah, ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang Kiamat itu ada pada Tuhanku; tidak ada (seorang pun) yang dapat menjelaskan waktu terjadinya selain Dia. (Kiamat) itu sangat berat (huru-haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi, tidak akan datang kepadamu kecuali secara tiba-tiba.’ Mereka bertanya kepadamu seakan-akan engkau mengetahuinya. Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya pengetahuan tentang (hari Kiamat) ada pada Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.’”

(QS. Al-A’ráf: 187)

.Pengemban amanah wahyu, Jibril bertanya kepada sosok pengemban amanah penduduk bumi Muhammad, “Kapan terjadinya “Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya.”[1]

Allah menyebutkan semua itu sebagai kunci-kunci adalah berdasarkan perumpamaan dan permisalah, karena semua urusan tersebut terhalang dari manusia, mereka tidak bisa sampai kepadanya kecuali dengan menggunakan kunci-kuncinya. Jika kuncinya saja tidak ada manusia yang mengetahuinya, maka bagaimana mungkin mereka bisa mengetahui hal-hal yang gaib itu sendiri?

Implementasi

  1. (1) Nabi mengabarkan tentang beberapa perkara yang tidak diketahui oleh siapa pun kecuali Allah , sehingga seorang muslim tidak boleh meyakini selain itu, atau membenarkan orang-orang bodoh, para dukun, yang mengaku-ngaku mengetahui hal itu.
  2. (2) Apabila tidak ada yang mengetahui apa yang akan terjadi besok kecuali Allah , maka engkau harus beramal, jangan melemah dan bersandar pada apa yang dikatakan para pendusta dan pembohong, dan janganlah merasa sial saat mendengar atau melihat sesuatu yang menyebabkan dirimu tidak beramal.
  3. (2) Allah Ta’ala merahasiakan pengetahuan yang akan terjadi di masa yang akan datang dari hamba-hamba-Nya. Maka jangan sekali-kali engkau beralasan dengan takdir atas keteledoranmu dalam menunaikan kewajiban, atau melakukan hal-hal yang diharamkan. Sikap tersebut sama seperti orang-orang kafir ketika mereka mengatakan

“Jika Allah menghendaki, niscaya kami

(sebagaimana dikisahkan Allah Ta’ala), tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak (pula) kami mengharamkan sesuatu pun tanpa (izin)-Nya.” .

(QS. An-Nañl: 35)

4. (3) Apabila seorang hamba sangat menginginkan rezeki Allah Ta’ala, maka mohonlah hanya kepada-Nya, Dia-lah Maha Memberi rezeki dan Maha Memberi anugerah.

5. (3) Seorang wanita yang mendatangi seorang dokter, bertujuan ingin mengetahui jenis kelamin bayinya atau yang semisalnya. Hal itu tidak bermasalah dan tidak haram, karena itu termasuk perkara yang Allah Ta’ala berikan kepada para ilmuwan dan Allah memudahkannya bagi mereka. Pengetahuan mereka akan hal tersebut terbatas yakni setelah sempurna pembentukan janin di dalam perut ibunya. Ada pun sebelum umur itu maka tidak mungkin seseorang dapat mengetahuinya secara pasti.

6. (4) Apabila hujan -yang merupakan sebab datangnya rezeki- tidak ada yang mampu mengetahui kapan waktu turunnya, kadarnya, dan lokasinya kecuali Allah, maka ketahuilah bahwa rezekimu berada pada takdir Allah semata. Beribadahlah dan bertawakallah kepada-Nya, serta berusahalah untuk mendapatkan apa yang memang sudah ditakdirkan untukmu.

7. (5) Allah merahasiakan waktu dan tempat kematian hamba-Nya. Karena jika seseorang mengetahui bahwa ia akan mati di hari tertentu niscaya dunia akan hancur, dan bumi tidak akan makmur. Manusia akan selalu menangis dan memperhatikan ajalnya hingga kematian benar-benar mendatanginya. Sehingga hal itu dirahasiakan, agar angan-angan kita mendorong untuk beramal dan memakmurkan bumi. Ini merupakan hikmah Allah  yang tidak berbuat sesuatu melainkan ada hikmah di baliknya. Hikmah ini diketahui oleh sebagian orang dan sebagian lainnya tidak mengetahuinya.

8. (6) Allah merahasiakan waktu hari kiamat dari hamba-hamba-Nya, agar mereka selalu waspada. Supaya mereka senantiasa mempersiapkan diri sepanjang hidupnya dengan beramal saleh, serta bersungguh-sungguh di sisa umurnya dalam mengerjakan ketaatan. Demikian juga, Allah merahasiakan lailatulkadar dan waktu mustajab pada hari Jumat agar mereka (bersungguh-sungguh) untuk mendapatkannya.

9. Beriman dengan perkara-perkara gaib ini dan merenungi apa yang dikabarkan kepada kita dari wahyu ini, merupakan ketenangan tersendiri bagi jiwa, membangkitkan cita-cita, dan semakin mencintai Allah Ta’ala serta beriman kepada-Nya.

10. Seorang penyair menuturkan,

Wahai at yang menolong manusia setelah mereka putus asa

Kasihanilah hamba-hamba yang fakir yang mereka memohon

Engkau telah meluaskan rezeki kepada mereka tanpa sebab apa pun

Selain berharap kepada-Nya dan memohon

Dan Engkau masih memberi karunia berlimpah ruah

Dengan kemurahan saat mereka berlaku adil dan dengan kesabaran meski mereka berlaku zalim

 

Referensi

  1. HR. Al-Bukhari (50) dan Muslim (9) dari Abu Hurairah .



Nabi memperingatkan umatnya agar tidak mengikuti para dukun, pendusta, dan yang lainnya, yang mengklaim bahwa mereka mengetahui perkara gaib. Beliau memberitahukan bahwa barang siapa yang mendatangi seorang dukun yang memiliki hubungan dengan setan agar mereka mencuri berita dan memberitahukan kepada para dukun terkait berita-berita masa depan dan yang tidak diketahui oleh seorang pun manusia; atau yang mendatangi peramal yang menggunakan media sulap dan memperhatikan rasi bintang; dan ahli nujum untuk mengetahui perkara gaib dan yang lainnya, dan membenarkan kebohongan yang mereka ada-adakan dan mereka klaim, maka ia telah kufur kepada Allah Ta’ala dan Nabi-Nya.

Sisi kekafirannya, karena perbuatan tersebut mengandung pendustaan terhadap

firman-Nya Ta’ala,

“Katakanlah (Muhammad), ‘Tidak ada sesuatu pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang gaib, kecuali Allah.’” .

(QS. An-Naml: 65)

Tetapi jika seseorang membenarkan mereka dengan persangkaan bahwa hal itu termasuk perkara yang mungkin diketahui oleh manusia dan ia tidak tahu bahwa sebenarnya hal itu hanya Allah yang mengetahuinya, maka kita boleh menghakiminya dengan vonis kafir.

Allah Ta’ala menjadikan hal tersebut sebagai cobaan dan fitnah untuk membedakan orang mukmin dari yang kafir; hal itu karena terkadang apa yang dinyatakan oleh dukun atau peramal benar, lantas orang yang bodoh mengira bahwa klaimnya mengetahui hal gaib benar adanya, padahal tidak demikian. Ada sejumlah orang yang bertanya kepada Rasulullah mengenai para dukun, lalu beliau bersabda kepada mereka, “Mereka tidak mengetahui apa-apa.” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, mereka terkadang menyampaikan sesuatu kenyataan!” Lantas Rasulullah g bersabda, “Kalimat tersebut dari jin, didengarkan secara sembunyi-sembunyi oleh jin, lalu dibisikkan ke telinga mitranya (dukun), layaknya suara ayam betina, lalu mencampuradukkan dengan lebih dari seratus kedustaan.”[1]

Dahulu bangsa jin naik ke atas langit, saling memanjat satu sama lain, sampai yang paling atas di antara mereka mencuri berita, lalu berita itu disampaikan ke bawahnya dan seterusnya sampai ke telinga dukun, lalu ia menambahinya. Tatkala Islam datang dan Al-Qur`an turun, langit dijaga dari setan-setan, mereka dilempar dengan meteor, tersisa dari perbuatan mencuri pendengaran setan yang berada paling atas, lalu ia lemparkan ke setan paling bawah sebelum terkena oleh meteor,

hal ini sebagaimana yang diisyaratkan di dalam firman-Nya,

“Sesungguhnya Kami telah menghias langit dunia (yang terdekat), dengan hiasan bintang-bintang. Dan (Kami) telah menjaganya dari setiap setan yang durhaka mereka. (Setan-setan itu) tidak dapat mendengar (pembicaraan) para malaikat, dan mereka dilempari dari segala penjuru untuk mengusir mereka, dan mereka akan mendapat azab yang kekal kecuali (setan) yang mencuri (pembicaraan); maka ia dikejar oleh bintang yang menyala.”

(QS. Aÿ-Ÿáffát: 6-10).[2]

Jika seseorang mendatangi dukun untuk mencari solusi atau yang semisal, kemudian ia tidak membenarkan apa yang dikatakannya, maka amalnya selama empat puluh malam sia-sia. Nabi bersabda, “Barang siapa yang mendatangi peramal, lalu ia bertanya kepadanya tentang sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam.”[3]

Orang-orang zaman dahulu pergi mendatangi dukun dan tukang ramal. Adapun sekarang, seiring dengan kemajuan teknologi dan media sosial modern, maka dukunlah yang datang ke rumahmu melalui telepon, bentuknya situs yang bisa engkau kunjungi, berita yang bisa dibaca-baca, zodiak yang disertai keterangan nasibnya, dan bentuk-bentuk perdukunan dan pendustaan yang sangat banyak. Hati-hati jangan sampai engkau mendatanginya dengan cara apa pun.

Implementasi

  1. Orang yang mendatangi peramal dan dukun dihukum dengan kekafiran karena hatinya sudah tidak terisi lagi dengan keyakinan terhadap Allah dan ketundukan kepada-Nya. Isinya sudah diisi dengan pembenaran terhadap makhluk yang tidak sanggup melakukan apapun. Seorang Muslim harus menggantungkan hatinya kepada Allah Ta'ala, jangan sampai hatinya bergantung pada berita-berita para dukun yang akan mencelakakannya.
  2. Di antara bentuk perdukunan dan peramalan, seorang laki-laki yang mendatangi orang lain yang mengaku perukiah, lalu perukiah tersebut meminta sesuatu kepadanya, entah itu pakaian atau bertanya namanya dan nama ibunya, lantas ia menulis simbol-simbol atau membuat azimat dan yang semisal. Mereka ini termasuk kategori dukun dan para pendusta, maka harus waspada terhadap mereka.
  3. Manusia terbagi menjadi dua: para pengikut dukun dan para pengikut utusan Allah. Tidak bisa seorang hamba menjadi pengikut dukun sekaligus pengikut para rasul. Dia akan semakin jauh dari Rasulullah sesuai dengan kadar kedekatannya dengan dukun. Di sisi lain, ia mendustakan rasul sesuai dengan kadar ia membenarkan dukun.[4]
  4. Pokok akidah yaitu engkau hanya menyandarkan diri kepada Allah Ta’ala semata dan menyerahkan semua urusan kepada-Nya. Jangan sampai engkau menggantungkan hati kepada selain Allah. Jangan sampai engkau berharap kepada siapa pun untuk mendapat manfaat atau mencegah marabahaya kecuali kepada Allah Ta’ala.
  5. Jangan sampai engkau mendatangi dukun, ahli nujum, dan peramal, serta membenarkan mereka! Karena hal tersebut merupakan kerugian dalam agama dan keluar dari agama Islam. Kita memohon perlindungan kepada Allah dari hal tersebut.
  6. Hadis ini merupakan dalil bahwa membenarkan dukun hukumnya kafir, dan mendatangi mereka walaupun tidak membenarkannya termasuk dosa besar. Maka seseorang dilarang mendatangi mereka atau mengunjungi situs-situs mereka walau sekadar iseng dan tidak serius.
  7. Ridalah dengan apa yang sudah Allah bagi untukmu, dan ketahuilah bahwa sesuatu yang gaib itu tertutup hakikatnya darimu tidak lain adalah demi kenyamanan hidupmu, maka tidak perlu engkau mencoba menyingkap tabir gaib yang justru akan menambah gelisah dan lelah.

Referensi

  1.   HR. Al-Bukhari (5884)
  2. . Fatñ Al-Bári karya Ibnu Ôajar (10/216)
  3. . HR. Muslim (2230).
  4. Igášah Lahfán min Maÿáyid Asy-Syaiþán karya Ibn Al-Qayyim (1/253).





  1. Nabi menyebutkan bahwa Allah tidak akan memperhitungkan hamba melalui paras, bentuk fisik, serta postur tubuhnya. Tidak ada bedanya antara orang yang berkulit putih dan hitam, antara kaya dan fakir, serta antara yang kuat dan lemah. Bisa jadi seorang hamba bagus rupanya, posturnya ideal, argumennya kuat, tutur katanya manis, hanya saja di sisi Allah tidak berbobot sama sekali, hal ini sebagaimana dikabarkan oleh Allah  mengenai orang-orang munafik,

“Dan apabila engkau melihat mereka, tubuh mereka mengagumkanmu. Dan jika mereka berkata, ‘Engkau mendengarkan tutur katanya.”

(QS. Al-Munáfiqún: 4).

Tolok ukur di sisi Allah adalah hati. Hati merupakan tempat ketakwaan dan keimanan. Perbedaan level di antara manusia yang sebenarnya dilihat dari ketakwaan dan amal salehnya. Allah Ta’ala berfirman,

 Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.”

(QS. Al-Ôujurát: 13)

Nabi bersabda, “Ketahuilah, tidak ada keutamaan bangsa Arab atas bangsa non Arab, atau bangsa non Arab atas bangsa Arab, atau orang berkulit merah atas orang berkulit hitam, atau orang berkulit hitam atas orang berkulit putih kecuali dengan ketakwaannya.” [1]

Bisa jadi seorang hamba yang buruk rupa, jelek penampilannya, namun ternyata ia memiliki kedudukan yang mulia di sisi Allah. Nabi  bersabda,

“Bisa jadi seseorang yang berambut kumal, selalu ditolak saat bertamu, namun sekiranya ia bersumpah atas nama Allah, Allah mengabulkannya.”[2]

Namun, sebagian manusia menjadikan hadis tersebut sebagai hujah untuk menggugurkan amal saleh dan berbagai kewajiban. Dia menyangka ketika kondisi hati seseorang tenang dengan keimanan, maka tidak perlu beramal saleh. Ini adalah persangkaan yang batil; karena amal termasuk iman dan tidak sah keimanan seseorang kecuali diiringi dengan amal.

Implementasi

1. (1) Hadis ini menunjukkan bahwa tolok ukur itu bukan pada penampilan dan paras wajah, maka tidak pantas jika seorang hamba langsung memvonis orang lain sekadar berpatokan pada penampilan; karena penampilan bisa menipu.

2. (1) Hadis ini mengandung faedah bahwa manusia jangan terpaku pada penampilan dan rupa sehingga melalaikan hati, namun sebaiknya tetap memperhatikan fisik dan penampilan secara seimbang, dan mengalihkan sebagian besar perhatiannya pada apa yang akan ditimbang kelak, yaitu kebaikan dan keistikamahan hati.

3. (2) Nabi g menunjukkan kita pada urgensi menyucikan dan membersihkan hati dari berbagai noda, syubhat, pintu-pintu kesyirikan, dan cinta dunia; karena di situlah Allah Ta’ala akan melihatnya.

4. (2) Seorang muslim wajib memperbaiki niatnya, karena niat adalah titik fokus ganjaran, pahala, dan siksa. Hendaknya ia bersabar dalam menjalani proses memperbaiki niat tersebut dan menghadapi segala halang rintangnya, karena permasalahannya rumit. Para generasi salaf terdahulu belajar memperbaiki niat untuk beramal sebagaimana kalian mempelajari tata cara beramal.[3]

5. (2) Mencurahkan perhatian untuk memperbaiki dan meluruskan niat adalah perkara utama yang dijadikan landasan oleh orang yang menempuh jalan menuju Allah. Memeriksa berbagai macam penyakit hati dan mengobatinya adalah perkara yang paling penting bagi seseorang yang menunaikan ibadah, sebab hati layaknya raja yang dapat mengatur pasukan bagi seluruh anggota tubuh. Semua perintah bersumber darinya dan menggunakannya sesuai kehendaknya. Semuanya di bawah kendali dan wewenangnya, keistikamahan dan kesesatan pun melaluinya, dan mengikuti apa yang diinginkan. Hati merupakan raja, sementara anggota tubuh lainnya hanya pelaksana apa yang diperintahkan saja.[4]

6. (2) Niat adalah perkara yang menentukan seorang hamba berhak mendapatkan pahala atau siksa. Bisa jadi seseorang mengerjakan sebuah amal saleh, namun niatnya karena selain Allah, maka ia akan mendapat siksa atas itu, bukan pahala. Sebaliknya, bisa jadi seseorang berniat mengerjakan sebuah amal saleh, namun ia tidak mampu menjalankannya, maka ia tetap mendapatkan pahala, meski hanya berniat. Maka sebaiknya seseorang selalu memperbarui niatnya dalam beramal saleh, dan berusaha untuk memperbagus niatnya.

7. (2) Bagi para dai dan pendidik, sebaiknya mengarahkan pandangan dan perhatian manusia pada urusan hati dan cara mengobatinya dari gangguan dan penyakitnya.

8. Seorang muslim wajib menerapkan standar yang diridai oleh Allah Ta’ala, yaitu menilai suatu keutamaan berdasarkan agama, akidah, dan ketakwaan. Bukan berdasarkan penampilan, postur ideal, tutur kata yang indah, kekayaan, status sosial, dan lain sebagainya.

9. (2) Tolok ukur agama dan takwa adalah perkara yang sangat penting bagi seorang muslim. Seorang laki-laki harus memperhatikannya, apabila ia hendak mencari calon istri, dan menjadi pegangan bagi seorang wanita, apabila ada laki-laki yang ingin menikahinya. Begitu juga seseorang yang tengah mencari pegawai, mitra, orang yang akan menyewa rumahnya, dan yang semisal. Ia harus memilih orang yang bertakwa dan taat agamanya.

10. (2) Hati bisa sakit, sebagaimana badan. Obatnya adalah bertobat. Ia juga bisa berkarat, layaknya cermin, untuk mengkilapkannya dengan berzikir. Dia juga dalam kondisi telanjang sebagaimana tubuh, dan pakaiannya adalah takwa. Ia bisa lapar dan haus, sebagaimana tubuh, dan makanan serta minumannya adalah ilmu dan rasa cinta, tawakal, kembali kepada-Nya, dan mengabdi. [5]

11.(2) Nabi memberi isyarat ke dadanya yang mulia. Ini merupakan bahasa tubuh. Hal ini bisa mempengaruhi pendengarnya, dan menguatkan pengetahuan, maka sebaiknya seseorang menggunakan bahasa tubuh saat mengajar, membimbing, dan berdakwah.

12. Julaibib salah satu sahabat Nabi. Beliau memiliki paras muka yang jelek dan postur yang pendek. Nabi g menawarkannya untuk menikah, namun beliau mengatakan, “Engkau mendapati diriku layaknya barang yang tidak laku, wahai Rasulullah.” Lantas beliau bersabda, “Akan tetapi di sisi Allah, dirimu bukanlah barang yang tidak laku.” Lalu beliau mengirimkan ke salah satu rumah kaum Anÿar untuk melamar putri mereka. Ada seorang laki-laki beserta istrinya yang awalnya kaget, namun ternyata putrinya langsung menerima lamaran tersebut sebagai bentuk memenuhi perintah Allah Ta’ala. Kemudian Julaibib, berangkat memenuhi panggilan jihad. Lalu Nabi g merasa kehilangan dirinya, seusai peperangan, ternyata beliau mendapatinya mati syahid dan di sekitarnya ada tujuh orang musyrik yang beliau bunuh, lalu beliau terbunuh. Lantas beliau bersabda, “Ini bagian dariku dan aku bagian darinya.” Sepeninggalnya, istrinya menjadi wanita terkaya disebabkan perolehan harta rampasan.[6]

13.Seorang penyair menuturkan,

Kau melihat pria kurus lantas kau remehkan

Padahal ia layaknya singa nan garang

Dan kau kagum terhadap pria perlente, kau pun terbujuk

Dugaanmu salah terhadap pria gagah itu

Kemuliaan lelaki bukanlah pada penampilannya

Namun kemurahan hati dan perangai baik, itulah hiasannya



Referensi

  1.  HR. Ahmad (23489)
  2.  HR. Muslim (2622).
  3.  Ihyá` Ulúm Ad-Din karya Abu Hamid Al-Gazáli (4/364).
  4.  Igášah Lahfán min Maÿáyid Asy-Syaiþán karya Ibn Al-Qayyim (1/5)
  5. . Al-Fawá`id karya Ibn Al-Qayyim (hal. 98).
  6.  Lihat: Al-Istí’áb fí Ma’rifah Al-Aÿñáb karya Ibnu Abdil Barr (1/272) dan Al-Iÿábah fí Tamyíz Aÿ-Ÿañábah karya Ibnu Ôajar (2/222).





Hadis ini termasuk dalam pokok-pokok agama Islam dan di antara Jawami’ al-Kalim [1] Rasulullah ﷺ:

1. Beliau mengabarkan bahwa ada tiga kriteria yang apabila ada dalam diri seseorang, maka ia merasakan manisnya iman, yaitu kelezatan yang ia rasakan seperti ketika dirinya menyantap makanan yang lezat. Hadis ini mirip dengan hadis yang lain: “Akan merasakan manisnya iman seseorang yang rida Allah menjadi Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai utusannya.”[2] Kemanisan iman ini dirasakan seorang mukmin dengan kelapangan dalam hati. Selain itu, juga pencerahan yang dirasakannya dengan mengenal Allah Ta’ala dan mengenal Rasulullah ﷺ.[3] Merasakan kenikmatan dengan melaksanakan ketaatan dan menghadapi kesulitan dalam rangka mencari rida Allah b dan Rasul-Nya ﷺ yang mengalahkan kecintaan kepada dunia.[4]

Iman adalah asupan dan sumber kekuatan hati, seperti makanan dan minuman menjadi asupan dan sumber kekuatan tubuh. Sebagaimana jasad tidak akan merasakan kelezatan makanan dan minuman kecuali sedang sehat. Jika tubuh sakit, ia tidak akan merasakan kelezatan segala sesuatu yang bermanfaat baginya. Bahkan terkadang justru menyukai sesuatu yang berdampak negatif, karena tubuh tersebut memang sedang sakit. Demikian juga hati, tidak merasakan manisnya iman ketika hati tersebut sakit. Jika hati tersebut sehat dari penyakit hawa nafsu yang menyesatkan yang haram, ia akan mendapatkan manisnya iman. Ketika hati sakit, tidak akan merasakan manisnya iman, bahkan menganggap baik hal-hal yang bisa merusaknya, seperti kemaksiatan dan menuruti hawa nafsu. Seandainya iman dalam hati itu sempurna, ia pasti merasakan manisnya iman, dan tidak merasa butuh terhadap kemaksiatan.”[5]

2- Kriteria pertama yaitu “Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya.” Yang dimaksud dengan mencintai Allah dan RasulNya ﷺ adalah perasaan yang diketahui oleh seseorang ada dalam hatinya, yang membuatnya banyak mengingat orang yang dicintainya, rindu kepadanya, melakukan apa yang disukainya dan meninggalkan apa yang dibencinya. Rasa cinta itu terus bertambah hingga mengalahkan semua cinta. Ia akan mendahulukan keinginan orang yang dicintainya, walaupun bertentangan dengan keinginan nafsunya.

Rasa cinta ini harus didahulukan dari semua cinta dalam hati seorang mukmin. Jika tidak, maka ia akan menerima kemurkaan dan sanksi dari

Allah Ta’ala. Dia berfirman,

“Katakanlah, ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari pada Allah dan rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah memberikan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.”

(QS. At-Taubah: 24)

Rasulullah ﷺ juga bersabda, “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian, hingga aku lebih dicintainya daripada ayahnya, anaknya dan seluruh manusia.”[6]

3-Kriteria kedua yaitu Allah menjadi alasan untuk mencintai. Ia tidak mencintai sesuatu pun kecuali karena Allah Ta’ala menyukai hal itu atau memerintahkan untuk mencintainya. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Simpul keimanan yang paling kuat adalah engkau mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.”[7] Seorang mukmin terus memupuk kepasrahannya kepada Allah Ta’ala hingga menjadi barometer rasa cintanya terhadap segala sesuatu.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala,

“Sungguh, telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya, ketika mereka berkata kepada kaumnya, "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami mengingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu ada permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja…”

(QS. Al-Mumtañanah: 4)

Dalam hadis disebutkan, “Barang siapa yang mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, menolak karena Allah, maka telah sempurna keimanannya.”[8]

4-Kriteria ketiga yaitu benci jatuh pada kekafiran dan kemaksiatan, baik sebelumnya ia pernah terjatuh ke dalamnya atau tidak. Karena sesungguhnya orang yang benar-benar beriman, dan terikat dalam cinta kepada Allah dan Rasul-Nya ﷺ akan merasakan kepedihan yang sangat ia benci ketika harus berpisah dengan nikmat iman kepada Allah, seperti halnya ia benci dilemparkan ke dalam api neraka.[9]

Kadar minimal yang wajib dimiliki berkaitan dengan rasa benci kepada dosa adalah menghindari dan menjauhkan diri dari dosa tersebut serta bertekad untuk tidak terjatuh ke dalamnya. Karena ia mengetahui bahwa Allah akan murka. Adapun kecenderungan terhadap dosa tanpa ada rasa cinta kepadanya dan tanpa melakukannya, maka hal itu tidak apa-apa. Allah memuji orang yang mampu menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Ini menunjukkan bahwa terkadang jiwa manusia cenderung kepada sesuatu yang terlarang, akan tetapi seorang Mukmin akan mampu menahan gejolak jiwa tersebut.[10]

Hadis ini menjadi dasar kecintaan kepada Allah. Ibadah itu harus menggabungkan antara kesempurnaan cinta dan kesempurnaan kehinaan. Cinta kepada Allah itu adalah benar sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur`an dan Sunnah, dan juga dipegang oleh para pendahulu dan ulama-ulama Ahlussunah. Hadis ini juga menjadi dasar bahwa Allah c itu dicintai dengan cinta hakiki, bahkan itulah cinta paling sempurna,

sebagaimana disebutkan oleh Allah  Ta'ala:

"Dan orang-orang beriman lebih sempurna cintanya kepada Allah."

(QS. Al-Baqarah: 165)

Implementasi

  1. Ummu Sulaim membawa anaknya, Anas bin Malik kepada Nabi ﷺ untuk menjadi pembantu beliau. Ini menunjukkan cintanya yang sangat besar kepada Rasulullah ﷺ. Bagaimana tidak, anaknya adalah penyejuk jiwanya. Dan ia seorang yang merdeka, bukan hamba sahaya. Dan ia menyuruhnya untuk menjadi pembantu Rasulullah ﷺ bukan karena menginginkan harta. Lalu apa yang sudah kita perbuat untuk agama Rasulullah ﷺ, hadis-hadis, dan sunnah-sunnahnya?

2. Nabi ﷺ menggunakan berbagai metode dalam pengajaran, berupa ajakan, motivasi, dan menarik perhatian. Dalam hadis ini, Rasulullah ﷺ memulai dengan menyebutkan kriteria orang yang mendapatkan manisnya iman dalam jumlah tertentu. Hal ini bertujuan agar pendengar memberi perhatian dan ikut menghitung kriteria-kriteria tersebut. Rasulullah ﷺ juga memilih diksi “manisnya iman” untuk memotivasi umat Islam agar bersemangat mewujudkan kriteria-kriteria tersebut dan mendapatkan kelezatan iman. Oleh karena itu, hendaknya para dai, khatib, dan penceramah mengaplikasikan metode dakwah yang menyenangkan dan menarik perhatian.

3.Setiap kali engkau melihat dirimu malas untuk beramal, kuatkan kembali rasa cinta kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya ﷺ. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis, dari Anas bin Malik, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi mengenai hari kiamat. Lalu Rasulullah bersabda, “Apa yang engkau siapkan untuk hari kiamat?” Ia menjawab, “Tidak ada, kecuali rasa cintaku kepada Allah dan Rasul-Nya.” Maka Rasulullah bersabda, “Engkau bersama dengan orang yang engkau cintai.” Anas berkata, “Tidak pernah kami merasa gembira, seperti rasa gembira kami ketika mendengar sabda Nabi , “Engkau bersama dengan orang yang engkau cintai.” Anas kemudian berkata, “Maka saksikanlah bahwa aku mencintai Allah, Rasul-Nya, Abu Bakar, dan Umar.” Dan aku berharap akan bersama mereka, walaupun aku tidak mampu beramal seperti amal mereka.” [11]

4.Setiap kali engkau mendengar apa yang dilakukan seseorang kepada kekasihnya, maka hendaknya engkau melakukan yang lebih agung daripada hal itu kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya ﷺ. Realisasi cinta itu bertingkat-tingkat: ada cinta yang membuat seseorang mampu melaksanakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal yang dilarang. Ada cinta yang mampu membuat seseorang melakukan yang lebih dari itu, yaitu dengan melaksanakan yang sunnah, dan meninggalkan hal yang syubhat [12].

5.Hendaknya kita terus belajar dan mengajarkan kepada orang-orang di sekitar kita bagaimana menumbuhkan rasa cinta kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya ﷺ dalam hati kita. Di antara cara untuk mendapatkan kecintaan Allah adalah mengetahui nama dan sifat Allah serta perbuatan-perbuatan-Nya yang sempurna. Juga memikirkan tentang keindahan ciptaan-Nya, mengingatkan diri akan agungnya nikmat dan rahmat-Nya, disertai pengakuan akan banyaknya dosa yang kita lakukan. Demikian juga kepada Rasulullah ﷺ, kita akan semakin mencintai beliau dengan lebih mengenalnya, mengetahui kemuliaan akhlaknya, agungnya perjuangannya, dan beliau menjadi sebab kita mendapatkan hidayah dari Allah, dan lain sebagainya.

6.Manusia bisa mengarahkan jiwanya untuk mencintai sesuatu atau membencinya. Maka periksalah dirimu dan berusahalah aga mendahulukan cinta Rasulullah atas segala cinta. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis, Rasulullah memegang tangan Umar bin Al-Khaṭṭab. Lalu Umar berkata, “Wahai Rasulullah, sungguh engkau lebih aku cintai dari segala hal kecuali diriku sendiri.” Maka Rasulullah bersabda, “Tidak, demi Żat yang jiwaku ada di tangan-Nya. (Tidak sempurna imanmu) hingga aku lebih engkau cintai dari dirimu sendiri.” Lalu kemudian Umar berkata, “Sekarang wahai Rasulullah, -demi Allah- engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri.” Maka Nabi berkata, “Sekarang (sudah sempurna imanmu) wahai Umar.”[13]

7.Jika engkau mencintai seorang Muslim, hendaklah memperlihatkan pengaruh cinta itu, sesuai dengan kemampuanmu, seperti: bercengkerama, saling mengunjungi, dan saling memberi. Dalam sebuah hadis diceritakan, bahwa seorang laki-laki mengunjungi saudaranya di kampung lain. Maka Allah mengirimkan seorang malaikat untuk menemuinya dalam perjalanannya. Ketika bertemu orang tersebut, malaikat bertanya, “Ke mana engkau akan pergi?” Ia menjawab, “Aku ingin mengunjungi saudaraku di kampung ini.” Malaikat bertanya, “Apa engkau mempunyai kepentingan dan keuntungan yang ingin kau dapatkan darinya?” Ia menjawab, “Tidak ada, aku mencintainya hanya karena Allah.” Malaikat berkata, “Ketahuilah, aku adalah malaikat utusan Allah untuk mengabarkan kepadamu bahwa Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu karena Allah.”[14]

8. Ketika engkau mencintai seorang sahabat karena Allah, maka jagalah agar selalu ikhlas hanya karena Allah Ta’ala. Karena seseorang yang mencintai orang lain karena kepentingan tertentu, cinta itu akan hilang bersama hilangnya kepentingan yang ia inginkan atau kecewa darinya.[15] Cinta karena Allah yang sempurna tidak bertambah karena mendapatkan perlakuan baik dan tidak berkurang karena perlakuan buruk.[16]

9.Biasakan dirimu untuk menganggap buruk kemaksiatan. Dan bencilah kemaksiatan karena benci terhadap akibat yang ditimbulkannya Hati-hatilah, jangan sampai kemaksiatan berhasil menipumu, atau engkau menganggapnya sebagai hal yang indah. Sesungguhnya lintasan pikiran adalah awal dari keinginan, dan keinginan adalah awal dari perbuatan.

10.Seorang penyair menuturkan,

Engkau bermaksiat kepada Allah tapi engkau menampakkan cinta kepada-Nya

Ini adalah mustahil dan suatu hal yang tidak logis

Jika cintamu tulus, pasti engkau akan taat kepada-Nya

Karena orang yang mencintai selalu taat kepada kekasihnya

Setiap hari Allah menambahkan nikmat baru kepadamu

Sedangkan engkau selalu lupa mensyukurinya.

11.Abu Qais Al-Ansari (h) menggambarkan kedatangan Rasulullah ﷺ  dari Makkah kepada kaum Ansar di Madinah,[17]

Beliau tinggal bersama kaum Quraisy belasan tahun

Beliau berharap bertemu kekasih yang loyal kepadanya

Maka ketika mendatangi kami dan menetapkan untuk tinggal bersama kami

Beliau merasa bahagia dan rida dengan aibah (Madinah)

Maka kami memberikan harta yang halal kepadanya

Juga jiwa-jiwa kami dalam kancah peperangan

Kami memusuhi semua musuh yang beliau perangi

semuanya, karena beliau, kekasih kami yang paling tulus


Referensi

  1.  HR. Muslim (34) dari riwayat Al-Abbas bin Abd Al-Muṭṭalib h.
  2.  Al-Mufhim Limā Usykil Min Talkhīs Kitāb Muslim karya Abu Al-Abbās Al-Qurṭubi (1/210)
  3.  Al-Minhāj Syarḥ Ṣaḥīḥ Muslim karya An-Nawawi (2/13).
  4.  Fatḥ Al-Bārī karya Ibnu Rajab (1/50-51).
  5.  HR. Al-Bukhari (15) dan Muslim (44) dari riwayat Anas bin Malik h
  6. HR. Ahmad (18524) dari riwayat Al-Bara’ bin ‘Azib h
  7. HR. Abu Daud (4681) dari riwayat Abu Umamah Al-Bahili h
  8. Syarḥ Riyāḍ Aṣ-Ṣāliḥīn karya Ibnu Uṡaimin (3/260)
  9.  Fatḥ Al-Bārī karya Ibnu Rajab (1/58).
  10.  HR. Al-Bukhari (3688) dan Muslim (2639)
  11.  Yaitu hal yang meragukan karena hukumnya tidak diketahui apakah halal atau haram (penerjemah)
  12.  HR. Al-Bukhari (6632)
  13.  HR. Muslim (2567)
  14.  Lihat: Al-Mufhim Limā Usykil Min Talkhīs Kitāb Muslim karya Abu Al-Abbas Al-Qurṭubi (1/214).
  15.  Lihat: Fatḥ Al-Bārī Syarḥ Ṣaḥīḥ Al-Bukhārī karya Ibnu Ḥajar Al-Asqalāni (1/62).
  16.  Lihat: Sīrah Ibnu Hisyām (1/512).

 


1-Nabi g menyampaikan bahwa umatnya kelak akan mengikuti jalan hidup umat-umat terdahulu dalam melakukan bidah dalam agama dan perbuatan maksiat, sama persis dan taklid buta. Hal itu sudah terjadi setelah beliau wafat. Banyak manusia yang cenderung melakukan manipulasi, memakan riba, menyerupai mereka dalam berpakaian dan simbol, menerapkan hukum hanya pada orang-orang lemah, tidak pada orang-orang kaya, dan lain sebagainya. Sebagian mereka condong melakukan penyembahan terhadap orang-orang saleh dengan menyekutukan Allah Ta’ala.[1]

Pemberitahuan Nabi terhadap hal tersebut bukan berarti persetujuan darinya, tetapi beliau memperingatkan agar tidak mengikuti mereka, dan beliau memerintahkan dalam banyak dalam hadis agar menyelisihi mereka.[2]

Sabda beliau, Sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta.” Ini perumpamaan yang memperkuat makna, yakni di antara umat beliau ada yang taklid kepada kaum kafir dalam segala hal, dan beliau bersabda, “Sungguh kelak akan menimpa umatku apa yang menimpa Bani Israil, sama persis, sampai-sampai jika di antara mereka ada yang menggauli ibu kandungnya secara terang-terangan, maka di kalangan umatku pun ada yang melakukan hal yang semisal itu.”[3]

Maksudnya, menjelaskan betapa kuatnya mereka dalam mengikuti kemaksiatan dan pelanggaran, bukan dalam hal kesyirikan dan kekufuran kepada Allah.[4]

2. Kemudian Nabi mengumpamakan taklid dan perbuatan mengekor umat-umat terdahulu dengan permisalan sekiranya salah seorang dari mereka masuk ke dalam lubang ðab (biawak gurun) –jenis hewan yang sejenis dengan biawak-[5] niscaya banyak dari kaum Muslimin yang mengikutinya. Permisalan lubang biawak dipilih karena ukurannya sangat sempit dan aromanya yang busuk, maksudnya, sekiranya mereka masuk ke dalam tempat yang sempit, berbahaya, beraroma busuk, niscaya mereka akan mengikutinya. Hal itu terjadi karena mereka mengikuti kemaksiatan, perbuatan buruk dan keji, yang diingkari oleh naluri yang masih sehat.[6]

3. Para sahabat bertanya, “Apakah yang engkau maksud adalah Yahudi dan Nasrani, wahai Rasulullah?” Ini merupakan kalimat pertanyaan yang memberi faedah rasa heran dan ingkar. Para sahabat menganggapnya perkara yang besar, karena sebagian dari umat ini taklid kepada Yahudi dan Nasrani yang diketahui bersama mereka dalam kesesatan, setelah Allah mengaruniai kita hidayah dan tauhid. Maka beliau menjawabnya dengan mengiyakan; karena kalau bukan Yahudi dan Nasrani, lantas siapa lagi selain mereka.

Pemberitahuan beliau bersifat umum yang dikhususkan; karena tidak semua kaum Muslimin mengikuti budaya umat terdahulu. Ada di antara mereka yang masih berpegang teguh dengan agama Islam, ada juga para ulama, orang-orang yang kuat dalam agama dan bertakwa; namun maksudnya, ada di antara kalian yang mengekor umat terdahulu.[3]

Implementasi

  1. (1) (2) Nabi menggunakan metode perumpamaan dan kiasan yang mendekatkan kepada makna dan penegasan dengan gaya bahasa yang paling sederhana. Seyogianya bagi para dai dan ulama hendaknya menggunakan gaya bahasa yang indah, yang bisa menarik simpati dan perhatian.
  2. (1) Nabi tidak mau menyebutkan nama orang-orang kafir dan fasik, dan mencukupkan dengan isyarat, dengan sabdanya, “Umat terdahulu sebelum kalian.” Jadi, sebaiknya tidak perlu menyebut nama mereka kecuali diperlukan, seperti saat menceritakan kisah dan cerita mengenai mereka yang bisa diambil pelajaran bagi orang yang mendengarnya.
  3. (1) Hadis ini mengandung makna bahwa seseorang harus waspada agar tidak mengikuti sesuatu yang sudah menjadi ciri khas dalam kehidupan orang-orang non muslim, baik itu cara makan, berpakaian, dan lain sebagainya. Terlebih dalam hal peribadatan, tata cara dan kebiasaan yang berkaitan dengan agama, bahkan berusaha semaksimal mungkin untuk menyelisihi mereka.
  4. (1) Hadis ini menjadi bukti kenabian Nabi Muhammad. Hal itu sudah terjadi di kalangan umat Islam, mereka mengikuti orang-orang kafir dalam masalah agama dan dunia. Ini menambah keimanan kita kepada Allah dan juga kepada Rasul-Nya.
  5. Nabi telah memperingatkan kita agar tidak mengikuti jalan hidup umat-umat sebelum kita. Peringatan agar tidak taklid dan mengekor jalan hidup mereka termasuk upaya memperbanyak golongan yang ditolong oleh Allah, teguh di atasnya, dan semakin kuat keimanannya. Di atas golongan mana engkau letakkan dirimu?!
  6. (1) Di dalam hadis terdapat isyarat musibah taklid dan akibat buruknya. Betapa banyak sikap taklid yang menjerumuskan kaum Muslimin ke dalam beragam bencana, kebinasaan, dan musibah, hilangnya identitas generasi penerus, mereka lebur dalam kesesatan dan penyimpangan!
  7. (2) Perumpamaan mengikuti mereka digambarkan dengan masuk ke dalam lubang  ðab. Ini menunjukkan bahwa di antara perbuatan mereka termasuk perbuatan yang diingkari oleh fitrah manusia. Meskipun demikian, sebagian kaum Muslimin tetap mengikuti mereka. Segala puji hanya milik Allah atas nikmat akal dan iman.
  8. (2) Al-Qur`an dan As-Sunnah menunjukkan bahwa di dalam umat ini akan senantiasa ada sekelompok kaum yang berpegang teguh dengan kebenaran sampai hari kiamat.[7] Allah senantiasa menciptakan generasi di agama ini yang Dia arahkan untuk menjalankan ketaatan kepada-Nya,[8] dan mereka tidak berkumpul di atas kesesatan.[9] Sebaiknya bagi seorang Muslim bersemangat untuk bisa menjadi bagian dari mereka.
  9. (3) Para sahabat j mengingkari taklid kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani dan mengikuti mereka. Dalil terkait kesesatan dan penyimpangan mereka sudah sangat jelas. Maka tidak diragukan lagi, bahwa orang yang taklid kepada mereka lebih bodoh dan sesat; karena ia mengikuti orang-orang yang sesat dan menyimpang yang sebelumnya ia mengetahui kebenaran dan mendapat hidayah.

10.Seorang penyair menuturkan,

Barang siapa yang menganut agama Islam, maka

Ia meraih kebaikan dunia akhirat yang abadi dan tidak fana

Dan bagi yang berharap dunia sebagai akhir tujuannya

Sungguh, telah rugi tangannya karena tidak adil dalam menimbang

Kami punya kiblat, hidup di naungannya dan berlindung dari

Batasan-batasannya, dan kami selamat dari pukulan dan tikaman

 



Referensi

  1.  Lihat: Faið Al-Qadír karya Al-Munawi (5/261) dan Tuñfah Al-Añwaæí karya Al-Mubárakfuri
  2. Lihat: Syarñ Riyað Aÿ-Ÿáliñín karya Ibnu Ušaimin (3/494)
  3. HR. At-Tirmiæí (2641)
  4. Lihat: ‘Umdah Al-Qári Syarñ Ÿañíñ Al-Bukhárí karya Badr Ad-Din al-Aini (16/43) dan Irsyád As-Sárí li Syarñ Ÿañíñ Al-Bukhári karya al-Qasþaláni (5/421)
  5.  Lihat: ôayah Al-ôayawán Al-Kubrá karya Ad-Damiri (2/107)
  6. Lihat: ‘Umdah Al-Qári Syarñ Ÿañíh Al-Bukhárí karya Badr Ad-Din al-‘Aini (16/44) dan Irsyád As-Sárí li Syarñ Ÿañíh Al-Bukhárí karya Al-Qasþalání (5/422)
  7. . Lihat: Al-Qaul Al-Mufíd ‘alá Kitáb At-Tauhíd (1/464).
  8.  HR. Muslim (4988). Dari Šaubán, ia berkata, “Rasulullah g bersabda ‘Akan ada sekelompok dari umatku yang senantiasa bertahan membela kebenaran, orang yang menghinakan dan menelantarkan mereka tidak akan membahayakan mereka, sampai datang perintah Allah (kiamat), dan mereka masih dalam kondisi tersebut.’”
  9.  HR. Ahmad (17787), Al-Bukhari di dalam At-Táríkh Al-Kabír (9/61), dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani di dalam Ÿañíñ al-Jami’ (7696). Dari Abu ‘Inabah Al-Khaulaní, ia berkata, “Aku mendengar Nabi g bersabda, ‘Allah senantiasa mendatangkan generasi di dalam agama ini, sebuah generasi yang Dia arahkan dalam menjalankan ketaatan kepada-Nya sampai hari .