عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ: بَايَعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فِي رَهْطٍ، فَقَالَ: «أُبَايِعُكُمْ عَلَى أَنْ لا تُشْرِكُوا بِاللَّهِ شَيْئًا، وَلا تَسْرِقُوا، وَلا تَزْنُوا، وَلا تَقْتُلُوا أَوْلاَدَكُمْ، وَلا تَأْتُوا بِبُهْتَانٍ تَفْتَرُونَهُ بَيْنَ أَيْدِيكُمْ وَأَرْجُلِكُمْ، وَلا تَعْصُونِي فِي مَعْرُوفٍ، فَمَنْ وَفَى مِنْكُمْ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ، وَمَنْ أَصَابَ مِنْ ذَلِكَ شَيْئًا فَأُخِذَ بِهِ فِي الدُّنْيَا، فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَطَهُورٌ، وَمَنْ سَتَرَهُ اللَّهُ فَذَلِكَ إِلَى اللَّهِ؛ إِنْ شَاءَ عَذَّبَهُ، وَإِنْ شَاءَ غَفَرَ لَهُ».

Dari Ubadah bin Aÿ-ÿamit رضي الله عنه beliau berkata,

1. “Aku berbaiat kepada Nabi ﷺ bersama rombongan beberapa orang, lalu Nabi ﷺ bersabda, ‘Aku membaiat kalian untuk tidak menyekutukan Allah dengan suatu apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, dan tidak melakukan kebohongan yang kalian lakukan di antara tangan dan kaki kalian, dan janganlah kalian menyelisihiku dalam perkara yang makruf.  

2. Barang siapa di antara kalian yang memenuhi baiatnya, maka pahalanya di sisi Allah. Barang siapa di antara kalian yang melanggar kemudian dihukum di dunia, maka hukuman itu sebagai kafarat dan pembersih dosanya. Barang siapa yang ditutup aibnya oleh Allah, maka yang demikian itu terserah Allah. Bila berkehendak, Allah akan menyiksanya dan bila berkehendak, Dia akan mengampuninya.

1. Ubadah bin Aÿ-ÿamit  memberitahukan tentang baiat yang dilakukan oleh Nabi ﷺ terhadap para pemuka suku Aus dan Khazraj dari kalangan Ansar pada malam Baiat Aqabah yang kedua di Mina. Ketika itu ada dua belas orang tokoh keluar untuk mewakili orang-orang yang beriman dari penduduk Yašrib. Ubadah menyebutkan bahwa beliau berbaiat setia kepada Nabi ﷺ secara berjemaah. Maka, Nabi mengambil janji setia mereka untuk menauhidkan Allah, menolak perbuatan syirik, tidak mencuri, tidak melakukan perzinaan, tidak membunuh anak-anak mereka, membuat desas-desus dan kebohongan, dan senantiasa taat kepada Rasulullah ﷺ.

Nabi ﷺ memulai dengan tauhid dan menolak perbuatan syirik. Sebab, hal tersebut adalah pokok dari iman dan Islam. Rukun Islam yang pertama adalah lá iláha illalláh (tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah) adalah kalimat tauhid. Sedangkan perbuatan syirik merupakan dosa besar yang paling besar. Ibnu Mas’ud رضي الله عنه pernah mengatakan, “Aku pernah bertanya kepada Nabi ﷺ, ‘Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?’ Beliau menjawab, ‘Engkau menyekutukan Allah , padahal Dialah yang menciptakanmu.’”[1]  Selain itu, Allah سبحانه وتعالى memberitahukan bahwa semua perbuatan maksiat maka (ampunannya) berada di bawah kehendak Allah kecuali perbuatan syirik.

Allah Ta’ala berfirman,

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar.”

(QS. An-Nisá`: 48)

Kemudian, beliau melarang mereka dari mencuri dan berzina, karena Islam menjaga kehormatan dan harta benda manusia. Sekiranya manusia menganggap perbuatan zina dan mencuri sebagai sesuatu yang halal, niscaya manusia akan saling berbuat zalim dan sewenang-wenang, orang yang kuat akan memakan hak orang yang lemah, garis keturunan menjadi kacau, dan tersebar luasnya anak hasil perzinaan. Oleh karena itulah, Nabi ﷺ menafikan keimanan dari pencuri dan pezina, beliau bersabda, “Seseorang tidak akan berzina sedangkan dia dalam keadaan beriman, seseorang tidak akan mencuri sedangkan dia dalam keadaan beriman, dan seseorang tidak akan minum khamar sedangkan dia dalam keadaan beriman.”[2] 
Dahulu orang-orang Arab biasa membunuh anak-anak mereka karena kemiskinan yang mereka alami, atau takut miskin karena keberadaan anak-anak mereka. Maka, Allah melarang mereka melakukan hal tersebut dengan berfirman

“Janganlah membunuh anak-anakmu karena miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.”

(QS. Al-An’ám: 151)

Hal ini berkaitan dengan orang miskin yang membunuh anaknya karena kemiskinan yang dialaminya.

Allah عز وجل juga berfirman,

“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kami-lah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka itu sungguh suatu dosa yang besar.”

(QS. Al-Isrá`: 31)

Sedangkan ayat ini berlaku bagi seseorang yang membunuh anaknya karena takut ditimpa kemiskinan. Di samping itu, di antara mereka ada yang biasa mengubur anak perempuan mereka hidup-hidup karena takut dengan aib,

sehingga Allah عز وجل berfirman

“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya. Karena dosa apa dia dibunuh?”

(QS. At-Takwír: 8-9)

Rasulullah ﷺ melarang mereka membuat-buat kedustaan dan menuduh orang lain dengan tuduhan-tuduhan keji. Hal ini mencakup bersumpah palsu, melakukan qaæaf (tuduhan berzina) kepada orang mukmin laki-laki dan perempuan, dan membicarakan orang lain dengan sesuatu yang tidak ada pada diri mereka.

Nabi ﷺ bersabda

“Apakah kalian tahu apakah gibah itu?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau melanjutkan, “Engkau membicarakan tentang saudaramu tentang sesuatu yang tidak ia sukai.” Lalu ada yang bertanya, “Bagaimana menurutmu jika apa yang aku bicarakan tersebut ada pada saudaraku itu?” Nabi menjawab, “Jika apa yang engkau bicarakan tentang dirinya itu benar, maka engkau telah menggibahnya. Namun jika tidak, maka engkau telah memfitnahnya.” [3] 


2. Kemudian Nabi ﷺ memberitahukan kepada mereka bahwa barang siapa di antara mereka yang teguh di atas baiat tersebut, maka ia akan mendapatkan pahala dari Allah Ta’ala, yaitu keridaan-Nya dan masuk surga.

Allah عز وجل  berfirman

“Bahwa orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barang siapa yang melanggar janjinya, maka sesungguhnya dia melanggar atas (janji) sendiri; dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah, maka Dia akan memberinya pahala yang besar.”  

(QS. Al-Fatñ: 10)

Barang siapa yang mendapatkan hukuman had karena perkara yang dilarang oleh Allah, kemudian ia dihukum di dunia dan dijatuhi hukuman had, maka hal itu menjadi pembersih bagi dirinya dari dosa dan penggugur hukuman di akhirat. Barang siapa yang dikenakan hukuman had karena zina, mencuri, minum minuman keras, melakukan qaæaf, dan sebagainya di dunia, maka ia tidak akan dihukum di akhirat. Barang siapa yang aibnya ditutup oleh Allah  عز وجل dan tidak dihukum atas perbuatan dosanya itu di dunia, maka urusannya kembali kepada Allah عز وجل. Bila berkehendak, Allah akan menghukumnya karena dosanya itu kemudian memasukkannya ke dalam surga. Namun jika berkehendak, Dia akan mengampuninya.

Implementasi

1. (1) Tauhid adalah ketaatan yang paling agung yang dapat mendekatkan seseorang kepada Allah. Oleh karena itu, “Sebaik-baik zikir adalah ucapan lā ilāha illallāh (tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah).”[4]  Sedangkan perbuatan syirik merupakan dosa besar yang paling besar. Syirik adalah kezaliman besar yang tidak akan diampuni oleh Allah عز وجل. Maka, setiap Muslim harus meluruskan tauhidnya kepada Allah dan membersihkannya dari setiap seluk-beluk kesyirikan.

2. (1) Pada hadis di atas, Nabi ﷺ memulai dengan yang paling penting, kemudian dengan yang penting. Beliau memulai baiat dengan tauhid dan menolak kesyirikan, kemudian beliau melanjutkan dengan larangan berbuat zina, mencuri, membunuh, dan sebagainya. Oleh karena itu, seorang dai, ulama, dan pendidik harus bersungguh-sungguh terhadap hal yang paling penting, lalu memprioritaskannya daripada yang lain.

3. (1) Sesungguhnya seorang mukmin (yang sempurna keimanannya) tidak akan pernah mencuri, juga tidak akan mencari-cari apa yang tidak ia miliki. Karena ia mengetahui bahwa Allah Ta’ala telah membagi rezeki dengan kebijaksanaan-Nya, dan ia meyakini bahwa rezekinya telah tertulis dalam Lauhulmahfuz sebelum Allah Ta’ala menciptakan langit dan bumi.

4. (1) Seorang mukmin mengetahui bahwa Allah Ta’ala akan meminta pertanggungjawaban atas harta bendanya; dari mana ia memperolehnya, dan bagaimana ia membelanjakannya? Oleh karena itu, ia adalah orang yang paling mustahil mengambil harta orang lain tanpa alasan yang dapat dibenarkan.

5. (1) Seorang mukmin menghindari perbuatan zina. Sebab, ia mengetahui bahwa Allah Ta’ala mengharamkan zina dan menekankan pengharamannya, sampai-sampai Allah menjadikannya sebagai dosa besar.

Dari Abdullah bin Mas’ud, beliau berkata

“Aku pernah bertanya kepada Nabi ﷺ, ‘Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah?’ Beliau menjawab, ‘Engkau menyekutukan Allah, padahal Dialah yang menciptakanmu.’ Aku menimpali, ‘Sesungguhnya hal itu benar-benar besar.’ Aku bertanya lagi, ‘Lalu apa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Engkau membunuh anakmu, karena takut ia akan makan bersamamu.’ Aku berkata, ‘Lalu apa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Engkau berzina dengan istri tetanggamu.’”[5]  


Hal itu juga dibenarkan oleh firman Allah جل وعلا

“Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina; dan barang siapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat hukuman yang berat, (yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari Kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina.”

(QS. Al-Furqán: 68-69)

6. (1) Membunuh jiwa adalah kejahatan besar di sisi Allah Ta’ala. Allah سبحانه وتعالى mengancam pembunuh dengan hukuman yang paling berat.

Allah سبحانه وتعالى berfirman

“Dan barang siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.”

(QS. An-Nisá`: 93) 

Oleh karena itu, seorang Muslim tidak boleh menumpahkan darah orang lain tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Sebab, tidak masuk akal bagi orang yang berakal untuk membunuh sedangkan ia mengetahui hukuman mengerikan yang menunggunya di akhirat. 

7. (1) Beriman kepada Allah Ta’ala dan rida dengan segala ketetapan-Nya adalah pangkal kebahagiaan dan ketenangan di dunia. Ketika seorang hamba mengetahui bahwa rezekinya berada di tangan Allah Ta’ala, maka banyak atau sedikitnya keturunan tidak akan berpengaruh baginya. Hatinya akan tenang dan senang. Tidak akan terganggu dengan banyaknya anak-anaknya, apalagi dengan perasaan khawatir terhadap kemiskinan yang akan membinasakan mereka.

8. (1) Jika pembunuhan termasuk salah satu dosa besar, maka membunuh anak-anak lebih besar lagi dosanya. Sebab, dalam perbuatan tersebut terdapat upaya memutuskan hubungan kekeluargaan, menyalakan api permusuhan di antara keluarga, menghancurkan rumah tangga, terlebih lagi adanya prasangka buruk kepada Allah جل وعز.

9. (1) Mengobarkan, membuat-buat, dan menyebarluaskan desas-desus tanpa memastikan kebenarannya, sejatinya bertentangan dengan ajaran agama yang benar. Oleh karena itulah, Allah   عز وجل melarang kita melakukan hal tersebut.

Dia berfirman

“Dan mengapa kamu tidak berkata ketika mendengarnya, ‘Tidak pantas bagi kita membicarakan ini. Mahasuci Engkau, ini adalah kebohongan yang besar.’ Allah memperingatkan kamu agar (jangan) kembali mengulangi seperti itu selama-lamanya jika kamu orang beriman.”  

(QS. An-Núr: 16-17)

Allah juga mengancam orang-orang yang mengobarkan berbagai fitnah dengan firman-Nya

“Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

(QS. An-Núr: 19)

10. (1) Nabi ﷺ membatasi kewajiban untuk taat kepada beliau dalam hal kebaikan, padahal beliau sendiri hanya memerintahkan yang baik, sehingga hal tersebut menjadi dasar dalam semua bentuk ketaatan. Maka, tidak boleh taat kepada seseorang, siapa pun itu, apakah ayah, wali, atau sebagainya, kecuali dalam hal kebaikan. Sebab, tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Khaliq.

11. (2) Penegakkan hukuman had adalah penghapus dosa bagi pelakunya. Maka, tidak seorang Muslim tidak boleh mencela orang yang dijatuhi hukuman had. Ketika Khalid رضي الله عنه mencela perempuan yang dijatuhi hukuman had, Nabi ﷺ bersabda kepadanya

“Jangan tergesa-gesa, wahai Khalid. Demi †at yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sungguh ia telah bertobat yang sekiranya penarik pajak (cukai) bertobat, niscaya ia akan diampuni.”[6] 

12. (2) Ketahuilah bahwa hak-hak hamba tidak akan gugur dengan hanya sekadar bertobat, akan tetapi sampai hak-hak yang diambil dan dikembalikan kepada pemiliknya. Maka, bersungguh-sungguhlah untuk terbebas dari dosa-dosa terhadap orang lain sebelum bersikap saling merelakan dengan perbuatan baik dan perbuatan buruk.

13. (2) Jika seorang Muslim melakukan suatu dosa maka dia dianjurkan untuk menutupi aib dirinya, bertobat kepada Allah Ta’ala dan tidak membiarkan dirinya terkena hukuman had atau terkena aib. Dalam hal ini, Má’iz pernah mendatangi Abu Bakar Aÿ-Ÿiddiq رضي الله عنه , lalu ia mengatakan kepadanya bahwa ia telah melakukan perbuatan zina. Mendengar hal tersebut, Abu Bakar berkata, “Apakah engkau pernah mengatakan hal ini kepada orang lain selain kepadaku?” Ia menjawab, “Tidak.” Lantas Abu Bakar berujar, “Bertobatlah kepada Allah dan tutuplah aibmu dengan perlindungan Allah. Sebab, sesungguhnya Allah menerima tobat dari hamba-hamba-Nya.” Namun, jiwanya tidak bisa menerima hingga ia mendatangi Umar bin Al-Khaþþab رضي الله عنه. Lalu, ia mengatakan kepada Umar persis sebagaimana yang ia katakan kepada Abu Bakar رضي الله عنه. Namun, jiwanya tidak bisa menerima hingga ia mendatangi Rasulullah ﷺ, sampai kemudian hukuman had dikenakan terhadap dirinya.[7]

Referensi

  1. HR. Al-Bukhari (4477) dan Muslim (86).
  2. HR. Al-Bukhari (2475) dan Muslim (100).
  3. HR. Muslim (2589).
  4. HR. At-Tirmizi (3383) dan Ibnu Majah (3800).
  5. HR. Al-Bukhari (4477) dan Muslim (86).
  6. HR. Muslim (1695).
  7. HR. An-Nasa`í dalam As-Sunan Al-Kubrā (16999) dari Sa’id bin Al-Musayyab r secara mursal.


Proyek Hadis