Nabi bersungguh-sungguh dalam menyebarkan Islam dan menyampaikan hukum-hukumnya. Oleh karena itu, beliau menyampaikan kepada umatnya sejumlah wasiat yang menyeluruh dalam khotbah Haji Wada’ yang beliau sampaikan pada hari Arafah di hadapan para sahabat yang ikut menunaikan haji bersama beliau. Jumlah mereka kala itu mencapai seratus ribu orang sahabat atau lebih.
1. Nabi ﷺ memulai khotbah beliau, setelah menyampaikan tahmid dan puji-pujian kepada Allah, dengan pengharaman darah dan harta benda kaum Muslimin. Sebab, seorang Muslim tidak boleh membunuh Muslim lainnya secara zalim, juga tidak halal baginya untuk mengambil harta orang lain tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabiﷺ, “Setiap Muslim diharamkan atas Muslim lainnya: darahnya, harta bendanya, dan kehormatannya.” [1]
Beliau memulai khotbahnya dengan menyebutkan darah karena perkara tersebut lebih besar kehormatannya daripada harta benda. Oleh karena itu, Allah Ta’ala mengancam pembunuh orang mukmin secara sengaja dengan ancaman yang tidak Allah tujukan kepada selainnya. Allah عز وجل berfirman,
“Barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahannam. Ia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, melaknatnya, dan menyediakan untuknya azab yang besar.”
Selain itu, Nabiﷺ menjadikannya sebagai salah satu dosa besar yang membinasakan. [2] Beliau juga memberikan penegasan terhadap hal tersebut, beliau bersabda, “Setiap dosa mudah-mudahan Allah mengampuninya, kecuali seseorang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, atau seseorang yang mati dalam keadaan kafir.” [3] Selain itu, Nabi ﷺ menegaskan keharaman darah dan harta benda dengan mengumpamakan keduanya dengan keharaman (kesucian) Hari Arafah, keharaman bulan haram, dan keharaman Makkah. Kendati keharaman darah dan harta benda lebih besar ketimbang hal-hal tersebut, namun Nabi berbicara kepada mereka dengan menyebutkan hal demikian. Sebab, kala itu mereka meyakini keagungan bulan-bulan haram, saat yang paling mulia adalah Hari Arafah. Di samping itu, mereka juga meyakini keharaman negeri Makkah. Sebab, dahulunya pada masa jahiliah mereka biasa menghalalkan darah dan harta benda di selain bulan-bulan haram dan di luar negeri Makkah, namun mereka mengharamkan bulan-bulan haram dan negeri Makkah. Maka, seolah-olah Nabiﷺ bersabda, “Haramkanlah terhadap diri kalian darah dan harta benda sebagian kalian, sebagaimana kalian mengharamkan bulan haram dan negeri Makkah.” [4]
2. Kemudian beliau menyatakan bahwa semua syariat dan ibadah yang dibuat-buat oleh penduduk jahiliah adalah ibadah yang batil, tertolak, dan tidak dianggap keberadaannya, baik ibadah haji maupun ibadah-ibadah lainnya. Sebab, syariat sejati itu adalah apa yang disyariatkan oleh Allah Ta’ala dan dijelaskan oleh Rasulullahﷺ. Dalam hal ini, Allah عز وجل berfirman,
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?”
3. Kemudian Nabi ﷺ memutuskan bahwa darah yang tumpah pada masa jahiliah hukumnya gugur dan tidak dikenakan hukuman. Maka, tidak ada diat, kisas, atau pun kafarat, sehingga siapa pun tidak akan dituntut dengan hal-hal tersebut. Dalam hal ini, beliau memulai dengan dirinya sendiri, dengan menggugurkan diat Ibnu Rabi’ah bin Al-Hariš bin Abdul Muþþalib. Dahulunya ia adalah anak yang disusui orang-orang Bani Sa’ad, lalu ia dibunuh oleh kabilah Huæail secara tidak sengaja ketika berperang melawan Bani Sa’ad.
4. Beliau juga menggugurkan berbagai efek dari transaksi riba yang terjadi pada masa jahiliah. Maka, barang siapa yang melakukan transaksi riba sebelum Islam dan ia belum menerima hartanya, maka ia boleh mengambil modal asal dan meninggalkan tambahannya. Akan tetapi, apabila ia melakukan transaksi riba, menerima uangnya sebelum ia masuk Islam dan kemudian ia masuk agama Islam, maka sesungguhnya Islam memberinya maaf dan menghapuskan yang telah berlalu. [5]
5. Kemudian Nabi menyampaikan wasiat tentang wanita. Beliau memerintahkan untuk bersikap baik kepada mereka, memperlakukan mereka dengan cara yang mulia, memperhatikan tabiat dan perasaan wanita, dan memenuhi kebutuhan mereka. Nabi g bersabda, “Berwasiatlah (berbuat baiklah) kalian kepada kaum wanita. Sebab, sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk. Tulang rusuk yang paling bengkok ialah yang paling atas. Jika engkau meluruskannya, niscaya engkau akan mematahkannya. Jika engkau biarkan saja, maka ia akan tetap bengkok selama-lamanya. Oleh sebab itu, maka berwasiat baiklah kepada kaum wanita.” Muttafaq ‘Alaih. [6]
6. Kemudian Nabi g menyebutkan di antara hak seorang suami atas istrinya, yaitu tidak mengizinkan seorang pun, siapa pun dia, untuk masuk ke rumahnya tanpa seizinnya langsung atau tidak langsung, yaitu ketika si istri menyangka bahwa orang yang masuk ke dalam rumahnya tidak akan merugikan suaminya. Maka, apabila sang istri melanggar hal tersebut, suami boleh mendidiknya dengan hukuman yang sesuai dengan kondisinya, seperti mengucilkannya, atau memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakiti, yaitu pukulan yang tidak meninggalkan cedera atau mengakibatkan luka.
Demikian pula, sebagaimana Allah c menjadikan seorang suami memiliki hak terhadap istrinya, Dia juga menjadikan seorang istri memiliki hak terhadap suaminya. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut.”
Bila tidak, maka pengharaman riba telah ditetapkan sebelumnya dan tentu sudah ditinggalkan oleh orang-orang mukmin. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala,
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya. Tetapi jika kamu bertaubat, maka kamu berhak atas pokok harta kamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan).”
(QS. Al-Baqarah: 278-279)
Selain itu, memakan riba termasuk dosa besar, dan Nabiﷺmenyebutkannya termasuk salah satu dosa yang membinasakan. [7]Jabir mengatakan, “Rasulullah ﷺ melaknat orang yang memakan riba, orang yang memberi makan hasil riba, penulis transaksi riba, dua saksi yang menyaksikan transaksi riba. Beliau bersabda, ‘Mereka semuanya sama saja.’” [8]
Selanjutnya, beliau mulai menggugurkan riba atas nama paman beliau Al-Abbas رضي الله عنه. Dahulunya, Al-Abbas pernah meminjamkan uang pada masa jahiliah dengan cara riba. Ketika Islam datang, ia memiliki kekayaan besar dari hasil riba, ditambah lagi dengan uang yang masih ada ditanggungan orang lain. Maka, Nabi ﷺ menggugurkan uang ribanya yang masih ditangan orang lain dan membolehkan apa yang ia terima sebelum itu. [9]
Selain itu, Nabi ﷺ juga mendorong untuk mempergauli wanita dengan baik melalui sabda beliau, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya, dan aku adalah orang terbaik dari kalian kepada keluargaku.” [10] Sampai-sampai Nabi g menjadikan nafkah yang diberikan kepada keluarga sebagai amal ibadah yang menjadi pahala bagi seorang Muslim. Nabi ﷺ bersabda, “Sesungguhnya engkau tidaklah sekali-kali memberikan nafkah yang dengannya engkau mencari rida Allah, melainkan engkau akan diberikan pahalanya karenanya, bahkan pada makanan yang engkau suapkan pada mulut istrimu.” [11]
Nabi ﷺ mengemukakan alasan dalam wasiat tersebut bahwa seorang Muslim menikahi seorang wanita dan menghalalkan farjinya dengan perjanjian dan hukum Allah dalam pernikahan, sehingga barang siapa yang melanggar perjanjian Allah Ta’ala berkaitan dengan wanita, ia layak mendapatkan hukuman dan murka-Nya.
Di antara hak istri terhadap suami adalah nafkah berupa makan, minum, tempat tinggal, dan pakaian, dan tentunya itu sesuai dengan kemampuan suami. Allah عز وجل berfirman,
“Bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya.”
7. Kemudian Nabi ﷺ menyebutkan bahwa beliau meninggalkan sesuatu bagi orang-orang mukmin yang apabila mereka berpegang teguh dengannya, mengamalkan hukum-hukum dan syariatnya, maka sejatinya mereka telah menempuh jalan petunjuk dan hidayah, dan mereka tidak akan pernah tersesat selama-lamanya, yaitu Al-Qur`an
“(Yang) tidak akan didatangi oleh kebatilan, baik dari depan maupun dari belakang (pada masa lalu dan yang akan datang), yang diturunkan dari Tuhan Yang Mahabijaksana, Maha Terpuji.”
7. Kemudian Nabi ﷺ memberitahu para sahabat رضي الله عنه bahwa mereka kelak akan ditanya tentang beliau. Sebab, mereka adalah saksi bahwa. beliau telah menyampaikan seruan dari Allah. Lalu, apa yang mereka katakan saat itu? Mereka mengatakan kepada beliau bahwa mereka bersaksi bahwa beliau telah menyampaikan risalah Allah, menunaikan amanah dari-Nya, dan menyampaikan nasihat kepada umat. Lantas, Nabi ﷺ menunjuk ke langit dengan tangan beliau, lalu mengarahkannya kepada para sahabatnya seraya berkata, “Ya Allah, saksikanlah kaumku. Sebab, sesungguhnya mereka mengakui bahwa aku telah menunaikan dan menyampaikan risalah ini.”
Selain itu, Allah سبحان الله وتعالى juga menyatakan dengan firman-Nya,
“Dan ini (Al-Qur`an), Kitab yang telah Kami turunkan dengan penuh berkah; membenarkan kitab-kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar engkau memberi peringatan kepada (penduduk) Ummulqurā (Makkah) dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Orang-orang yang beriman kepada (kehidupan) akhirat tentu beriman kepadanya (Al-Qur`an), dan mereka selalu memelihara shalatnya.”
Dalam hadis tersebut, beliau tidak menyebutkan As-Sunnah, karena Al-Qur`an sudah mencakup pengamalan As-Sunnah. Artinya, adalah wajib mengamalkan Al-Qur`an dan As-Sunnah.
8. Kemudian Nabi ﷺ memberitahu para sahabat رضي الله عنهم bahwa mereka kelak akan ditanya tentang beliau. Sebab, mereka adalah saksi bahwa beliau telah menyampaikan seruan dari Allah. Lalu, apa yang mereka katakan saat itu? Mereka mengatakan kepada beliau bahwa mereka bersaksi bahwa beliau telah menyampaikan risalah Allah, menunaikan amanah dari-Nya, dan menyampaikan nasihat kepada umat. Lantas, Nabi ﷺ menunjuk ke langit dengan tangan beliau, lalu mengarahkannya kepada para sahabatnya seraya berkata, “Ya Allah, saksikanlah kaumku. Sebab, sesungguhnya mereka mengakui bahwa aku telah menunaikan dan menyampaikan risalah ini.
1. (1) Keharaman (kesucian) darah seorang Muslim sangat agung di sisi Allah Ta’ala. Nabi ﷺ bersabda, “Sungguh, lenyapnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada membunuh seorang mukmin tanpa hak.”[12] Maka, seorang Muslim tidak boleh untuk menumpahkan darah tanpa alasan yang dapat dibenarkan.
2. (1) Nabi g sangat menekankan pentingnya menjaga darah, sampai-sampai beliau menyebutkan bahwa menumpahkan darah tidak diampuni. Rasulullah ﷺ bersabda, “Setiap dosa semoga diampuni oleh Allah, kecuali seseorang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, atau seseorang yang mati dalam keadaan kafir.”[13] Padahal dosa pembunuhan sama seperti dosa-dosa lainnya berada di bawah kehendak Allah Ta’ala; ila menghendaki, Allah mengampuni pelakunya; dan bila tidak, maka Allah mengazabnya. Hal ini untuk menakut-nakuti seseorang terhadap dosa dan untuk menjelaskan sejauh mana pelakunya berhak mendapatkan azab yang pedih.
3. (2) Seorang Muslim tidak boleh berkeyakinan dan berhukum kepada perkara-perkara jahiliah, menghalalkan apa yang dihalalkan pada masa jahiliah, dan mengharamkan apa yang diharamkan pada masa jahiliah.
4. (2) Hadis di atas menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh seseorang sebelum masuk Islam diampuni dan dimaafkan. Artinya, apabila ia mengambil harta dari sesuatu yang haram sebelum masuk Islam, maka menjadi halal baginya setelah masuk Islam. Apabila ia meminjamkan uang dengan riba, menjual minuman keras, babi, bangkai, dan sebagainya, dan ia belum menerima uangnya hingga ia masuk Islam, maka ia tidak boleh lagi untuk mengambil riba atau menerima uang dari hal yang diharamkan tersebut.
5. (3, 4) Seorang imam, dai, dan pendidik harus menjadi teladan dengan dirinya dalam perintah dan larangan. Apabila ia menyuruh untuk melakukan suatu kebaikan, maka ia adalah orang pertama yang melakukannya. Demikian pula apabila ia melarang dari suatu keburukan, maka ia adalah orang pertama yang menjauhinya. Sebab, hal tersebut membuat ucapannya lebih mudah diterima dan dilaksanakan.
6. (5) Seorang Muslim harus berbuat baik kepada istrinya, bertakwa kepada Allah سبحان وتعالى pada istrinya, mempergaulinya dengan baik, bersabar dengannya, dan mengabaikan kekurangan-kekurangannya.
7. (5) Nabi ﷺ adalah sebaik-baik teladan dalam memperlakukan istri dan bersikap baik kepadanya. Dahulu, apabila Aisyahرضي الله عنهما menginginkan sesuatu yang tidak dilarang, beliau akan mengikutinya. Apabila Aisyah minum dari suatu bejana, maka beliau akan mengambil bejana tersebut, meletakkan mulut beliau di tempat Aisyah meletakkan mulutnya, dan minum dari situ. Apabila Aisyah رضي الله عنهما memakan daging dari tulang yang ada dagingnya, maka beliau akan mengambilnya dan meletakkan mulut beliau di tempat Aisyah meletakkan mulutnya. Selain itu, beliau suka bersandar di pangkuan Aisyah. Beliau membaca Al-Qur`an, sedangkan kepala beliau berada di pangkuannya. [14]
8. (6) Seorang istri harus memperhatikan hak-hak suaminya, sehingga ia tidak boleh memasukkan orang yang tidak disukai oleh suaminya ke dalam rumahnya kecuali dengan seizinnya, bahkan sekalipun itu adalah ayah atau ibunya. Ketika Abu Sufyan رضي الله عنه sebelum masuk Islam menemui putrinya, Ummu Habibah رضي الله عنهما ketika kaum Quraisy melanggar Perjanjian Hudaibiyyahرضي الله عنهما, ia ingin duduk di tempat tidur Nabi ﷺ. Maka, Ummu Habibah i menarik tempat tidur tersebut dari bawahnya dan berkata, “Engkau ini seorang musyrik yang najis, dan ini adalah tempat tidur Nabi ﷺ. Aku tidak suka engkau duduk di atasnya.” [15]
9. (6) Apabila seorang wanita tidak boleh memasukkan siapa pun ke dalam rumah suaminya kecuali dengan seizinnya, maka suami tidak boleh memanfaatkan hak tersebut untuk melarang istri untuk berkunjung dan mendatangi keluarganya.
10. (6) Apabila seorang istri tidak patuh kepada suaminya, maka suami boleh memukulnya. Akan tetapi, pukulan tersebut adalah pukulan mendidik, bukan hukuman. Maka, seorang suami tidak boleh memukul istrinya dengan pukulan yang menyakitkan. Ia memukul istrinya dengan siwak dan sejenisnya. Tujuannya bukan untuk menyakiti atau menghinakan istri, namun untuk memberitahukan kepadanya bahwa ia telah berbuat salah pada suaminya. Dalam hal ini, sang suami memiliki hak untuk memperbaiki dan meluruskan kesalahannya.
11. (6) Apabila istri tidak juga berhenti setelah suami memukulnya, maka jangan sampai suami terus memukul, akan tetapi ia mengutus kepada keluarga sang istri seseorang yang akan menasihati dan membimbingnya untuk taat kepada suami.
12. (6) Suami memiliki kewajiban memberi nafkah untuk istri dan mencukupi berbagai kebutuhannya, seperti makan, tempat tinggal, dan pakaian sesuai dengan kemampuan suami. Maka, dalam hal ini, jangan sampai istri memberatkan suami dengan sesuatu yang tidak ia sanggup.
13. (6) Apabila suami menolak untuk menafkahi istrinya, atau pelit dalam memberikan nafkah meskipun ia mampu, maka istri boleh mengambil uang suami yang dapat mencukupi kebutuhannya secara diam-diam. Hal ini berdasarkan sabda Nabi g kepada Hindun i ketika ia mengeluhkan sifat pelit Abu Sufyan رضي الله عنه, “Ambillah hartanya yang cukup untukmu dan anakmu.” [16]
14. (7) Barang siapa yang menginginkan petunjuk, hidayah, dan kebaikan, maka hendaklah ia senantiasa berpegang teguh kepada Kitabullah Ta’ala (Al-Qur`an). Sebab, Al-Qur`an adalah penuntun bagi orang-orang yang bingung dan cahaya bagi orang-orang yang tengah menempuh perjalanan.
15. (7) Sebagaimana halnya Al-Qur`an membimbing umat manusia kepada kebenaran dan petunjuk, sesungguhnya Al-Qur`an juga meninggikan derajat orang-orang yang mempelajarinya di dunia dan di akhirat. Maka, barang siapa yang menginginkan derajat yang tinggi, maka ia harus mempelajari Al-Qur`an dan mengamalkannya. Dalam hal ini, Rasulullah ﷺ bersabda, “Sesungguhnya Allah meninggikan derajat beberapa kaum dengan Al-Qur`an ini, dan menghinakan dengannya kaum-kaum lainnya.” [17]
16. (8) Lalai dalam menyampaikan ajaran agama ini adalah dosa besar. Oleh karena inilah, Nabi ﷺ sangat gembira dengan kesaksian para sahabat bahwa beliau telah menyampaikan, dan beliau menjadikan Allah Ta’ala sebagai saksi tentang hal tersebut. Kemudian umat beliau memikul tugas tersebut.
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan
Allah Ta’ala berfirman,untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”
Maka, hendaklah kita waspada dari sikap lalai dalam melaksanakan tugas tersebut.
1. HR. Muslim (2564).
2. HR. Al-Bukhari (6857) dan Muslim (89).
3. HR. An-Nasa`í (3984).
4. Al-Kāsyif ‘an Haqāiq As-Sunan karya Aþ-±ibí (6/1964, 1965).
5. Lihat: Ma’ālim As-Sunan karya Al-Khaþþabí (3/59).
6. HR. Al-Bukhari (6857) dan Muslim (89).
7. HR. Muslim (1598).
8. Lihat: Zād Al-Masīr fī ‘Ilmi At-Tafsīr karya Ibn Al-Jauzí (1/248).
9. HR. Al-Bukhari (3331) dan Muslim (1468).
10. HR. At-Tirmizi (3895) dan Ibnu Majah (1977).
11. HR. Al-Bukhari (1295) dan Muslim (1628).
12. HR. Ibnu Majah (2619).
13. HR. An-Nasai (3984).
14. Zād Al-Ma’ād fī Hadyi Khair Al-‘Ibād karya Ibn Al-Qayyim (1/146).
15. Lihat: As-Sīrah An-Nabawiyyah wa Akhbār Al-Khulafā’ karya Ibnu Hibban (1/322) dan Subul Al-Hudā karya Aÿ-Ÿalihí (5/206).
16. HR. Al-Bukhari (5364) dan Muslim (1714).
17. HR. Muslim (817).