Hadis ini termasuk di antara hadis yang paling penting mengenai fikih shalat, karena mengandung rukun dan wajib shalat yang paling penting. Para ahli fikih sangat memperhatikan hadis ini dan menjadikannya sebagai dalil dalam banyak masalah fikih. Hadis ini masyhur di kalangan ulama dengan sebutan, ‘hadis orang yang buruk shalatnya’.
Seorang laki-laki masuk ke dalam masjid kemudian melakukan shalat. Nabi memperhatikan cara shalatnya. Selesai shalat, laki-laki itu mendatangi Nabi dan mengucapkan salam. Nabi menjawab salamnya dan menyuruhnya untuk mengulangi shalat. Nabi memberitahunya bahwa shalatnya tidak diterima dan tidak menggugurkan kewajibannya.
Kalaulah seandainya shalatnya telah menggugurkan kewajibannya, pastilah Nabi tidak menyuruhnya untuk mengulanginya. Atau Nabi cukup menyebutkan beberapa kesalahan yang dilakukan dalam shalatnya agar diperbaiki di lain waktu.
2. Kemudian lelaki itu pun melakukan shalat kembali seperti yang dilakukan sebelumnya. Sehingga ketika ia mendatangi Nabi lagi, beliau menyuruhnya untuk mengulangi shalatnya kembali. Ia pun shalat lagi seperti yang dilakukannya pertama kali. Nabi kemudian menyuruhnya mengulangi shalatnya lagi. Lelaki itu kemudian menyampaikan kepada Nabi bahwa ia tidak mengetahui cara shalat selain yang dilakukannya tersebut. Ia memohon kepada Nabi untuk mengajarinya tata cara shalat dan kesalahan apa saja yang dilakukannya hingga shalat itu dianggap salah.
Nabi tidak langsung menjelaskan tata cara shalat yang benar pada kali pertama dia melakukan kesalahan karena beliau menyangka bahwa orang tersebut sebenarnya mengetahui rukun dan wajibnya shalat, akan tetapi ia tidak melakukan seperti yang ia ketahui. Oleh karena itulah, Nabi menyuruhnya untuk mengulanginya. Setelah orang itu mengatakan bahwa ia tidak tahu tata cara shalat yang benar, barulah Nabi mengajarkan cara shalat yang benar. Atau bisa jadi Nabi menyuruhnya untuk mengulangi shalatnya beberapa kali dan menjelaskan alasannya agar hal itu lebih tertanam dalam ingatannya sehinga ia tidak melakukan kesalahan lagi sesudahnya.[1]
3. Maka Nabi pun mengajarkan kepadanya jika hendak melakukan shalat maka ia memulainya dengan takbiratulihram. Ini berarti, takbiratulihram merupakan rukun shalat yang tidak sah shalat tanpanya, karena Nabi menjelaskan hal minimal yang harus dilakukan agar shalatnya dianggap sah. Kesempatan sekarang ada waktu untuk mengajarkan, jadi tidak pas kalau dijelaskan juga sunnah lainnya selain rukun shalat.[2]
Nabi juga tidak menyebutkan niat, karena orang tersebut sudah mengetahuinya. Karena niat merupakan salah satu prinsip dalam agama yang diketahui oleh semua orang, bahwa semua amalan harus disertai dengan niat, baik shalat, zakat dan semua ibadah yang lain.
4. Kemudian Nabi menyuruhnya untuk membaca Al-Qur`an yang mudah baginya. Hal ini tidak bermakna ia boleh membaca apapun yang disukainya. Yang dimaksud -sesuai dengan penjelasan detailnya pada hadis yang lain- yaitu membaca Surah Al-Fátiñah. Karena Nabi bersabda, “Tidak sah shalat orang yang tidak membaca Surah Al-Fátiñah.[3]” Maka sabda Nabi pada hadis ini, “Bacalah Al-Qur`an yang mudah bagimu,” yang dimaksud adalah Surah Al-Fátiñah. Al-Fátiñah disebut sebagai Al-Qur`an yang mudah karena Allah telah memudahkannya untuk dihafal oleh semua orang, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak.
Bisa juga yang dimaksud oleh Nabi dengan Al-Qur`an yang mudah adalah surah lain yang dibaca setelah Al-Fátiñah. Barangkali karena orang tersebut sudah mengetahui bahwa membaca Al-Fátiñah dalam shalat merupakan rukun yang tidak bisa ditinggalkan. Maka Nabi mengajarkannya untuk membaca surah yang mudah setelah membaca Al-Fátiñah.[4]
5. Setelah itu Nabi menyuruhnya untuk rukuk dengan tumakninah. Kemudian melakukan iktidal dengan meluruskan punggung ketika mengangkatnya dari rukuk. Setelah itu melakukan sujud dengan tumakninah. Ini menunjukkan bahwa tumakninah dalam shalat merupakan rukun, shalat tidak akan sah tanpa tumakninah. Inilah sebabnya mengapa Nabi menyuruhnya untuk mengulang shalatnya. Pada hadis lain, Nabi mencela shalat yang dilakukan tanpa tumakninah. Nabi bersabda, “Itu adalah shalatnya orang munafik. Ia duduk mengamati matahari. Hingga ketika matahari telah berada di antara dua tanduk setan, ia berdiri dan mematuk empat kali. Ia tidak mengingat Allah kecuali hanya sedikit.[5]” Nabi menggunakan kata mematuk untuk menunjukkan cepatnya shalat yang dilakukannya tanpa tumakninah seperti ayam yang mematuk.
Dalam hadis ini, Nabi menyebutkan beberapa rukun shalat yang harus dilakukan agar shalatnya sah. Rasulullah tidak menyebutkan beberapa rukun yang lain seperti niat, duduk tasyahud akhir dan salam. Ini karena orang tersebut sudah mengetahuinya dan Nabi melihat laki-laki tersebut telah menunaikannya. Nabi hanya menjelaskan hal-hal yang tidak diketahuinya agar ia melakukan shalatnya dengan benar pada kesempatan yang lain.[6]
Implementasi :
(1) Hadis ini menunjukkan apabila seorang Muslim memasuki masjid dan ada sekelompok orang yang sedang duduk, maka disunnahkan baginya untuk melakukan shalat Tahiyyatul Masjid terlebih dahulu, kemudian baru mengucapkan salam kepada orang-orang tersebut.
(1) Seorang Muslim wajib mempelajari ilmu agama untuk mengoreksi ibadahnya, agar ibadahnya tidak batal dan tertolak.
(1) Seorang ulama, ahli fikih, dan pendakwah disunnahkan untuk duduk di masjid bersama orang-orang yang belajar kepadanya. Ia memberi wejangan, nasihat, dan motivasi kepada mereka untuk melakukan kebaikan. Juga mengajarkan cara shalat Nabi yang benar.
(1) Ada dua syarat yang harus terpenuhi agar suatu amalan diterima, yaitu ikhlas dan sesuai sunnah Nabi . Ketika syarat ikhlas hilang maka itu akan menggugurkan suatu amalan, demikian juga amalan yang menyelisihi sunnah Nabi tidak akan menjadi baik karena niat yang baik saja.
(1) Seorang dai atau fakih boleh menangguhkan penjelasan suatu masalah dalam suatu majelis karena adanya kebutuhan untuk hal itu. Misalnya dengan tujuan agar orang yang mendengarkan menjadi penasaran hingga lebih bersemangat untuk mendengarkan penjelasan yang akan disampaikan. Atau dengan tujuan menunggu lebih banyak orang yang datang agar lebih banyak yang memahami masalah yang akan disampaikan, dan lain sebagainya.
(2) Hadis ini menunjukkan sunnah menyebarkan salam dan wajib menjawabnya. Juga disunnahkan untuk mengulang salam setiap kali bertemu walaupun jarak antara satu pertemuan dengan pertemuan berikutnya dekat. Dan orang yang disalami wajib untuk menjawab salam tersebut setiap kali bertemu.
(2) Hadis ini menunjukkan perlunya bersikap lemah lembut kepada pelajar dan orang yang lemah pemahamannya. Yaitu dengan berbicara yang lembut, menjelaskan sejelas-jelasnya dan meringkaskan poin utama masalah tersebut. Juga berusaha untuk menyampaikan hal yang paling penting saja agar mudah diingat dan dilaksanakan.[7]
(3) Pembukaan shalat adalah takbir. Ini menunjukkan bahwa apabila engkau memulai shalat dengan melafazkan, “Allahu Akbar,” maka engkau harus mengagungkan Allah dan menjadikannya lebih besar dari dunia dan semua isinya. Jangan sampai ada perkara dunia yang memalingkanmu dari khusyuk dan tumakninah.
(4) Hadis ini menunjukkan perlunya memberi solusi yang mudah bagi kaum Muslimin dan tidak membebani mereka dengan hal yang berada di luar batas kemampuan. Perintah Nabi kepada orang tersebut untuk membaca ayat Al-Qur`an yang mudah sangat kontras dengan kebiasaan sebagian imam shalat yang selalu membaca surah-surah yang panjang hingga membebani makmumnya. Padahal Rasulullah pernah bersabda, “Apabila salah seorang di antara kalian mengimami orang lain, hendaklah ia meringankan shalatnya. Karena di antara mereka ada yang lemah, sakit dan tua renta. Sedangkan apabila salah seorang di antara kalian shalat sendirian, maka silakan ia memanjangkannya sesuai kehendaknya.[8]”
(5) Tumakninah adalah rukun shalat. Shalat tidak akan sah tanpa tumakninah. Tujuannya agar orang yang shalat menyadari dan memahami makna zikir dan doa yang dibacanya dalam shalat. Bukan sekadar gerakan duduk dan berdiri tanpa penghayatan.
Di antara bentuk berwasiat dalam kebenaran dan amar makruf nahi munkar adalah mengingatkan orang yang tidak tahu dan mengajari mereka. Dari Zaid bin Wahab, beliau berkata, “Huæaifah melihat seorang laki-laki tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya, maka beliau berkata, ‘Engkau belum shalat. Jika engkau mati, engkau mati bukan dalam keadaan fitrah Allah yang Dia telah menciptakan Nabi Muhammad menurut fitrah itu.’ Ini termasuk peringatan yang keras.[9]”
Seorang penyair menuturkan,
Engkau shalat tanpa hati, shalat seperti itulah
yang menyebabkan seorang pemuda layak mendapat siksa
Celaka engkau, tahukah engkau siapa yang kau ajak bicara sambil berpaling
dan kepada siapakah engkau membungkuk tanpa merendahkan diri
Engkau berkata kepada-Nya, “Hanya kepada-Mu aku menyembah,”
akan tetapi kepada selain-Nya engkau menghadap tanpa kepentingan
Jika †at yang engkau pinta memalingkan pandangan-Nya kepada yang lain
Engkau pasti akan marah dan cemburu kepadanya
Referensi
- Lihat: Syarñ Al-Misykáh Al-Kásyif ‘An Ôaqá`iq As-Sunan (3/977), At-Tauðíñ Lisyarñ Al-Jámi’ Aÿ-Ÿañíh karya Ibn Al-Mulaqqin (30/313) dan Fatñ Al-Bárí karya Ibnu ôajar (2/281).
- Lihat: Ikmál Al-Mu’lim bi Fawá`id Muslim karya Al-Qáðí ‘Iyáð (2/282).
- HR. Al-Bukhari (756) dan Muslim (394).
- Lihat: Ma’álim As-Sunan karya Al-Khaþþabi (1/210), Ikmál Al-Mu’lim bi Fawá`id Muslim karya Al-Qáðí ‘Iyáð (2/282), dan Al-Mufhim Limá Asykal Min Talkhís Kitáb Muslim karya Al-Qurþubí (2/29)
- HR. Muslim (622).
- Lihat: Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawí (4/107).
- Lihat: Syarñ Ÿañiñ Muslim karya An-Nawawí (4/108,109).
- HR. Al-Bukhari (703) dan Muslim (467).
- HR. Al-Bukhari (791).