45 - Jauhilah Guluw (Sikap Berlebihan)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: «إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلَّا غَلَبَهُ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا، وَأَبْشِرُوا،وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَيْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ»


Dari Abu Hurairah , dari Nabi , beliau bersabda,

1. “Sesungguhnya agama itu mudah. 

2. Tidaklah seseorang memberatkan dirinya dalam menjalankan agama ini melainkan ia akan terkalahkan. 

3. Kerjakanlah amal dengan benar dan berusahalah untuk sempurna. 

4. Dan berikanlah kabar gembira. 

5. Dan manfaatkanlah waktu pagi dan sore, serta sesaat di malam hari.”

1.Nabi menyebutkan bahwa agama Islam yang lurus ini memiliki keistimewaan berupa hukum-hukumnya yang mudah dan kewajiban-kewajibannya yang ringan, tidak melebihi batas kemampuan manusia. Kewajibannya tidak mengandung perkara yang memberatkan sebagaimana berlaku pada syariat-syariat umat terdahulu. Dahulu ada seorang lelaki dari kaum Bani Israil, jika ia melakukan sebuah dosa, maka tobatnya tidak akan diterima kecuali harus dibunuh. Apabila pakaiannya terkena najis, maka tidak bisa disucikan kecuali dengan memotong bagian yang terkena najis

karena itu Allah  menyebutkan tentang Nabi  

“Dan membebaskan beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka.” .

(QS. Al-A’ráf: 157)

Di antara bentuk kemudahan agama Islam juga adalah adanya syarat mampu dalam menjalankan kewajibannya.

Nabi ﷺ bersabda

“Apa saja yang aku larang bagi kalian, maka jauhilah. Dan apa saja yang aku perintahkan, maka kerjakanlah semampu kalian.” [1]

Zakat tidak wajib bagi orang fakir lagi membutuhkan, tetapi diwajibkan bagi orang kaya yang sudah mempunyai nisab tertentu. Ibadah haji tidak wajib kecuali jika sudah memenuhi syarat mampu dari sisi materi, kesehatan, dan perjalanan. Sama halnya dengan shalat; orang yang tidak mampu mengerjakannya dengan berdiri, maka boleh sambil duduk, berbaring, atau bagaimana pun kondisi semampunya. Seorang musafir boleh tidak berpuasa, dan orang sakit yang kemungkinan masih bisa sembuh, kemudian ia mengqada puasanya sejumlah hari yang ia tidak berpuasa. Orang yang sakit serta sama sekali tidak bisa berpuasa, maka ia wajib memberi makan setiap harinya satu orang miskin, dan seterusnya berlaku pada semua hukum-hukum syariat lainnya.

Dan di antara kemudahan Islam, ia juga memberlakukan rukhsah bagi kalangan yang beruzur, sebagai contoh disyariatkannya shalat Khauf, bagi yang sedang dalam kondisi berperang, mengqasar shalat dan menjamaknya antara dua jenis shalat bagi seorang musafir, mengusap khuf (sepatu), bagi yang bermukim sehari semalam, sementara bagi musafir tiga hari tiga malam, dan contoh-contoh lainnya. [2]




2.Tidaklah seseorang memaksakan diri dalam hukum-hukum agama, tidak berlemah lembut dalam menerapkannya, membebani dan mewajibkan diri sendiri di luar batas kemampuannya, melainkan dia akan lemah dan berhenti mengerjakanannya. Meskipun ia mampu mengendalikan nafsunya dan kekuatannya membantunya untuk bersabar mengerjakan apa yang ia wajibkan terhadap dirinya sendiri, suatu saat ia akan bosan dan kembali kepada kondisi yang mudah karena capek. Maka sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Nabi ﷺ. Oleh karena itu, tatkala Abdullah bin Amr bin Al-Aÿ k berkata, “Sungguh aku akan shalat sepanjang malam dan puasa siang hari seumur hidup.” Ucapannya ini sampai ke telinga Nabi ﷺ, maka beliau melarangnya dan memerintahkannya agar berpuasa tiga hari setiap bulannya, dan sebaiknya ia shalat malam dan tetap tidur setelahnya. Lalu Abdullah h enggan karena merasa ia kuat dan mampu melakukan lebih dari itu, lantas beliau g bersabda, “Puasalah sehari dan berbuka dua hari.” Ia berkata, “Sungguh aku masih mampu mengerjakan lebih dari itu.” Lalu beliau bersabda, “Puasalah sehari dan berbukalah sehari.” Lalu ketika sudah renta dan tidak sanggup lagi menjaga komitmennya untuk berpuasa, Abdullah bin Amr k berkata, “Sungguh, jika aku menerima saran untuk berpuasa tiga hari yang pernah disabdakan oleh Rasulullah g maka itu lebih aku cintai daripada keluarga dan hartaku.”[3]


3.Oleh karena itulah, seseorang harus benar dalam beramal, yaitu pertengahan antara berlebihan dan meremehkan, dan berusaha untuk sempurna dalam beramal, yaitu ketika kita belum mampu untuk mengerjakan secara sempurna, maka kita harus berusaha mengerjakan yang mendekati sempurna.[4] Ini merupakan perintah Nabi ﷺ agar bersikap sederhana dan moderat dalam beribadah, tidak berlebihan atau meremehkan. Jika seseorang tidak mampu untuk mengerjakan amalan sunnah dan ketaatan dengan sempurna, maka sebaiknya mengerjakan yang mendekati sempurna; sebab jika tidak bisa mengerjakan secara utuh maka tidak lantas meninggalkannya seluruhnya.[5]


4.Lalu Nabi ﷺ menyampaikan sebuah kabar gembira guna menghibur umatnya. Karena sekalipun mereka kurang sempurna dalam beramal dan tidak mampu untuk mengerjakan ibadah secara sempurna, namun Allah c tetap menyiapkan bagi mereka pahala yang besar, tidak menguranginya sedikit pun.


5.Tatkala Nabi ﷺ mengetahui bahwa manusia tidak akan mampu mengerjakan ibadah sepanjang waktu, maka beliau mengarahkan mereka agar memanfaatkan waktu-waktu giat mereka dalam beribadah kepada Allah dan semangat menjalankan ketaatan kepada-Nya, yaitu di pagi hari, di sore hari. Beliau juga memotivasi mereka agar beribadah di waktu yang paling disukai dan paling utama, yaitu beribadah di akhir malam.[6]


Implementasi


  1. (1) Nabi ﷺ menggunakan huruf “InnaAn-Nasikhah, fungsinya sebagai penegasan dan membenarkan sebuah pernyataan. Ini merupakan gaya bahasa para ahli balagah (ilmu retorika) dan orator yang sangat bagus dipakai oleh para dai.

2.(1) Apabila seseorang berpikir mengenai kewajiban-kewajiban syariat dan ia melihat di dalamnya ada kemudahan dan keringanan, dan di dalamnya terdapat rukhsah (keringanan) dan kemudahan bagi orang-orang yang sakit dan lemah; maka ia akan mengetahui betapa luasnya kasih sayang dan kelembutan Allah terhadap hamba-hamba-Nya, sehingga ia pun semakin cinta kepada-Nya dan semangat dalam meraih rida-Nya dengan menjalankan berbagai macam ketaatan.

3.(2) Hadis ini memberikan faedah bahwa meninggalkan rukhsah dalam kondisi darurat merupakan sikap membebani dan merugikan diri sendiri. Manakala seorang hamba membutuhkan suatu keringanan dan sudah mantap, maka disunnahkan mengambil keringanan tersebut dan tidak memberatkan diri sendiri. Ketika seorang musafir merasa berat jika harus berpuasa, maka sebaiknya berbuka. Jika orang yang sedang sakit merasa lemah untuk berdiri ketika shalat, maka sebaiknya dia duduk. Jika seorang hamba dalam kondisi fakir, kelaparan dan kondisi memaksanya untuk makan bangkai dan yang semisal guna menyambung hidup maka dia harus melakukannya, dan dia tidak boleh membiarkan dirinya binasa.[7]


4.(2) Seseorang tidak boleh memberatkan diri dalam menjalankan agama Allah dan mewajibkan kepada diri sendiri sebuah amalan yang sebenarnya tidak diwajibkan oleh Allah kepadanya. Membebani diri dengan sebuah ketaatan termasuk sikap berlebih-lebihan.

5.(2) Makna hadis ini bukan berarti orang yang bersungguh-sungguh dalam sebuah ketaatan tidak baik, tetapi maknanya betapa buruk seseorang yang membebani dirinya di luar batas kemampuannya.

6.(2) Berpegang teguh dengan sunnah Nabi ﷺ lebih baik daripada menambahnya. Sehari berpuasa sehari tidak berpuasa, shalat kemudian tidur, itu lebih baik daripada berpuasa sepanjang masa dan shalat sepanjang malam. Oleh karena itu, beliau bersabda kepada beberapa orang yang menganggap ibadahnya sedikit dibandingkan Nabi ﷺ dan mereka hendak mengerjakan lebih dari itu

“Demi Allah, adapun aku adalah orang yang paling takut kepada Allah daripada kalian dan paling bertakwa kepada-Nya daripada kalian, tetapi aku berpuasa dan berbuka, aku shalat dan aku tidur, dan aku menikahi wanita, maka barang siapa yang tidak menyukai sunnahku, ia tidak termasuk golonganku.”[8]


7.(2) Hadis ini merupakan dalil bahwa yang disyariatkan ialah bersikap moderat dalam mengerjakan ketaatan; karena melelahkan dan memberatkan diri dalam beribadah justru bisa membuat seseorang meninggalkannya secara total. Sedangkan agama ini sifatnya mudah, dan tidaklah seseorang membebani dirinya melainkan akan terkalahkan, dan syariat nan suci ini dibangun di atas kemudahan dan bukan untuk membuat orang lari darinya.[9]


8.(2) Orang yang sedang beramal sebaiknya tidak membebani dirinya dengan hal yang bisa mengakibatkannya lemah dan putus dari ketaatan. Akan tetapi hendaknya beramal dengan lembut agar amalnya kontinu tidak terputus, disebutkan dalam sebuah hadis

“Amalan yang paling dicintai Allah Ta’ala ialah yang paling kontinu meskipun sedikit.”[10]


9.(3) Perkara yang dituntut dari seorang hamba ialah mencurahkan semua upaya untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan semangat dalam meraih kesempurnaan semampunya. Ia tetap bersungguh-sungguh untuk bisa khusyuk secara sempurna di dalam shalatnya, dan mengerjakan amalannya secara lengkap dan tepat. Bersungguh-sungguh dalam memahami dan menelaah pelajaran. Bersungguh-sungguh dalam menjauhi semua jenis maksiat, dan semangat dalam menjalankan semua perintah. Apabila setelah bersungguh-sungguh ia meraih semua itu, maka ia layak diberi apresiasi dan mendapat pahala.

10.(3) Sunnah berada di pertengahan antara dua hal yang bertentangan; berlebihan dan meremehkan. Seseorang tidak boleh berlebihan dan memberatkan dirinya dalam beribadah, dan tidak pula ia meremehkan dan bermudah-mudahan meninggalkan perintah dan melanggar larangan.

11.(4) Di antara bentuk sunnah adalah ketika seorang dai dan orang yang fakih memberi kabar gembira kepada hamba dengan karunia Allah Ta’ala serta pahala-Nya lantaran ketaatannya, dan janganlah membuatnya putus asa dari kasih sayang Allah.


12.(5) Seseorang seharusnya memilih waktu-waktu giatnya dalam beribadah kepada Allah dan menjalankan ketaatan kepada-Nya. Jika ia merasa dirinya malas atau kurang semangat, sebaiknya ia tidur dan beristirahat, kemudian memulai kembali saat dirasa sudah fit dan kuat. Hal ini berlaku pada amalan ibadah, ketaatan, amalan duniawi, menuntut ilmu, dan lain sebagainya.

13.(5) Membagi-bagi waktu beramal dalam sehari. Seseorang mempunyai bagian untuk mengerjakan sebuah ketaatan pada waktu tertentu, itu lebih baik daripada mengerjakan sekaligus semua jenis ketaatan dalam satu waktu yang melelahkan diri dan tubuh.

14.(5) Di antara bentuk kasih sayang Allah Ta’ala kepada kita, Dia tidak mewajibkan kepada kita shalat malam, dan tidak menganjurkan untuk mengerjakannya semalam suntuk

bahkan beliau g bersabda di dalam sebuah hadis,

“Dan sedikit dari waktu malam,” sebagai bentuk keringanan dan kemudahan, karena beratnya beramal di malam hari. Jika tidak demikian niscaya beliau akan bersabda, “Di waktu malam.”[11]

15.Dari Aisyah , bahwasanya Nabi ﷺ biasanya di malam hari menyiapkan tikar untuk shalat, dan menggelarnya di siang hari untuk duduk di atasnya. Orang-orang serentak menghampiri Nabi ﷺ mereka shalat mengikuti beliau sampai jumlahnya bertambah banyak, lalu beliau menoleh ke arah mereka lalu bersabda

“Wahai manusia, kerjakanlah amalan sesuai dengan kemampuan kalian, karena sesungguhnya Allah tidak akan bosan sampai kalian sendiri yang bosan, dan sungguh amalan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang kontinu walaupun sedikit.”[12]

16.Suatu hari Nabi ﷺ masuk masjid, ternyata ada seikat tali membentang antara dua tiang, lalu beliau bersabda

“Tali apa ini?” Mereka menjawab, “Ini tali milik Zainab, saat ia kurang semangat, ia berpegangan padanya.” Lalu Nabi g bersabda, “Tidak boleh, lepaskan talinya, shalatlah kalian ketika bersemangat, dan ketika lemah semangat maka duduklah.”[13]

 

Referensi

  1. HR. Muslim (1337).
  2.  Manár Al-Qári Syarñ Mukhtaÿar Ÿañiñ Al-Bukhári karya Hamzah Muhammad Qadim (1/121-122)
  3. HR. Al-Bukhari (1131) dan Muslim (1159)
  4.  Fatñ Al-Bari karya Ibnu Ôajar (1/95).
  5.  Manár Al-Qári Syarñ Mukhtaÿar Ÿañiñ Al-Bukhári karya Hamzah Muhammad Qasim (1/123)
  6.  Fatñ Al-Bárí karya Ibnu Ôajar (1/95)
  7.  Lihat: Fatñ Al-Bári karya Ibnu Ôajar (1/94-95)
  8. HR. Al-Bukhari (5063) dan Muslim (1401) dari Anas h
  9.  Nail Al-Auþár karya Asy-Syaukaní (6/123)
  10.  HR. Al-Bukhari (6464) dan Muslim (783) dari Ummul Mukminin Aisyah 
  11. At-Tauðíñ Li Syarñ Al-Jami’ Aÿ-Ÿañiñ karya Ibn Al-Mulaqqin (3/87)
  12. . HR. Al-Bukhari (5861) dan Muslim (782)
  13. .HR. Al-Bukhari (1150) dan Muslim (784)) dari Anas h.


Proyek Hadis