1. Ketika Nabi g berada di kamar Aisyah i, tiba-tiba Aisyah i mendengar suara laki-laki meminta izin untuk masuk ke rumah Ôafÿah i. Maka ia memberitahukan hal itu kepada Nabi g. Nabi g kemudian bersabda, “Aku kira ia adalah si Fulan.” Beliau menyebut nama paman sepersusuan Hafsah i. Sabdanya ini menunjukkan bahwa beliau membolehkan laki-laki itu masuk ke rumah Ôafÿah i. Karena seandainya beliau tidak mengizinkannya, pastilah beliau beranjak dari tempatnya dan melarang laki-laki itu masuk.
2. Ketika Aisyah i mendengar hal itu, Aisyah i bertanya, “Seandainya pamanku si Fulan (dan ia menyebut namanya) masih hidup, apakah ia boleh masuk ke rumahku dan berkhalwat denganku karena statusnya seperti paman kandung?” Maka Nabi g memberitahunya bahwa persusuan mengharamkan apa diharamkan karena nasab (keturunan).
Pada hadis yang lain, dari Ummul Mukminin Aisyah i bahwasanya beliau berkata, “Aflah saudara Abi Al-Qu’ais meminta izin masuk rumahku setelah turunnya ayat tentang hijab. Maka aku katakan, ‘Aku tidak bisa mengizinkannya hingga aku bertanya kepada Nabi g.’ Lalu Nabi g bersabda, ‘Apa yang mencegahmu untuk memberi izin kepada pamanmu?’ Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, laki-laki itu bukan orang yang menyusuiku. Yang menyusuiku adalah istri Abu Al-Qu’ais.’ Maka Nabi g bersabda, ‘Izinkan ia, karena ia adalah pamanmu, semoga engkau mendapatkan keberuntungan.’” [1]
Para fukaha telah sepakat bahwa persusuan mengharamkan sama seperti apa yang diharamkan karena nasab.[2] Suatu ketika, putri dari Hamzah h ditawarkan untuk dijadikan istri Nabi g, maka beliau bersabda, “Ia tidak halal bagiku. Persusuan mengharamkan apa yang diharamkan karena nasab. Ia adalah keponakan sepersusuanku.” [3]
Perlu diketahui, terdapat syarat yang harus terpenuhi agar persusuan mengharamkan pernikahan, yaitu bahwa persusuan itu terjadi ketika anak masih dalam fase menyusu. Jika persusuan terjadi setelah seorang anak disapih, maka hukum keharaman itu tidak berlaku. Dari Aisyah i ia berkata, “Suatu hari Nabi g masuk ke rumahku, dan aku sedang bersama seorang laki-laki. Nabi g bertanya, ‘Wahai Aisyah, siapakah ini?’ Aku berkata, ‘Saudara laki-laki sepersusuanku.’ Nabi g bersabda, ‘Wahai Aisyah, lihatlah siapa saja saudara laki-laki sepersusuanmu.’ Sesungguhnya persusuan (yang mengharamkan pernikahan) itu (yang dapat menghilangkan) rasa lapar.’” [4]
Keharaman tersebut juga tidak berlaku jika seorang anak hanya menyusu satu atau dua kali susuan, akan tetapi yang disyaratkan adalah lima kali susuan. Anak tersebut menyusu secara langsung dengan mulutnya sampai ia melepaskannya sendiri (sampai kenyang). Ini dianggap satu kali susuan walaupun waktunya sebentar. [5] Hal ini sesuai dengan ucapan Aisyah i, “Di antara yang turun dalam Al-Qur`an adalah sepuluh kali sepersususan yang maklum yang dapat mengharamkan. Kemudian hal itu dinasakh menjadi lima kali susuan yang maklum. Dan Rasulullah g wafat dan hal itu menjadi salah satu ayat yang dibaca dalam Al-Qur`an.” [6]
1. (1) Seorang wanita tidak boleh memberi izin kepada siapa pun untuk masuk rumahnya tanpa seizin suaminya. Itulah sebabnya mengapa Aisyah i memberitahu Nabi g ketika ada seorang laki-laki meminta izin masuk ke rumah Ôafÿah i.
2. (1) Jika para sahabat tidak boleh masuk ke rumah para wanita dan berkhalwat dengan mereka -padahal mereka adalah orang paling mulia dan paling bisa menjaga kehormatan setelah para nabi- lalu bagaimana dengan orang-orang biasa yang lain? Tentu larangan itu lebih layak untuk mereka.
3. (1) Seorang Muslim tidak boleh berlebihan dalam urusan agama Allah c kecuali karena ada kebutuhan. Jika seorang wanita termasuk mahram bagi seorang laki-laki, maka janganlah ia membatasi diri untuk tidak berkhalwat, berjabat tangan, bepergian bersamanya dan lain sebagainya, kecuali jika laki-laki itu diragukan religiositas dan akhlaknya. Nabi sendiri tidak melarang laki-laki yang masuk ke rumah Ôafÿah i dan tidak marah karena hal itu.
4. (1) Seorang laki-laki tidak boleh masuk ke rumah atau kamar wanita yang menjadi mahramnya kecuali setelah meminta izin, walaupun ia adiknya atau ibunya.
5. (2) Hukum asal ucapan Nabi adalah menjadi syariat secara umum, kecuali jika ada dalil yang menunjukkan bahwa ucapan itu khusus untuk beliau atau untuk orang yang beliau ajak berbicara. Ketika Aisyah i mendengar Nabi memberi izin kepada paman Ôafÿah i, beliau menyangka hal itu hanya berlaku khusus untuk Ôafÿah i. Maka Aisyah i bertanya tentang paman sepersusuannya. Nabi pun kemudian memberitahunya, bahwa jika paman Aisyah i itu masih hidup, pasti Nabi g tidak akan melarangnya masuk ke rumah Aisyah i.
6. (2) Seorang Muslim haruslah membimbing keluarganya, mengajarkan masalah agama kepada mereka serta menjelaskan hukum-hukum yang mereka butuhkan.
7. (2) Tidak boleh bermudah-mudahan dalam masalah persusuan, masuk rumah, berkhalwat, bepergian dan lain sebagainya. Seorang Muslim harus memastikan dalam masalah tersebut, karena tidak semua persusuan menjadikan mahram. Ada syarat bahwa persusuan dilakukan dalam fase menyusu dan terjadi sebanyak lima kali susuan yang mengenyangkan. Oleh karena itulah, Nabi bersabda kepada Aisyah i, “Lihatlah siapa saja saudara laki-laki sepersusuanmu!” [7]
1. HR. Al-Bukhari (4796) dan Muslim (1445).
2. Ibnu Al-Munzir berkata dalam Al-Ijmá’ (hal. 82), “Dan para ulama sepakat bahwa menjadi haram karena persusuan apa yang haram karena nasab.”
3. HR. Al-Bukhari (2645) dan Muslim (1447).
4. HR. Al-Bukhari (2647) dan Muslim (1455).
5. Lihat: Majmú’ Al-Fatáwa karya Ibnu Taimiyah (34/57) dan Subul As-Salám karya Aÿ-Ÿan’ání (2/311).
6. HR. Muslim (1452).
7. HR. Muslim (2813)