1. Nabiﷺ memperingatkan umatnya dari tujuh perkara yang membinasakan. Yakni yang membinasakan pelakunya dan menjerumuskannya ke dalam neraka Jahanam, wal’iyáæu billáh. Ketujuh perkara tersebut adalah dosa besar yang disebutkan di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah diiringi dengan ancaman siksa neraka, laknat ataupun murka Allah Ta’ala. Namun dosa-dosa besar tidak terbatas dengan apa yang disebut oleh Nabi ﷺ dalam hadis ini. Dosa-dosa besar yang lain banyak seperti berzina, mencuri, durhaka kepada kedua orang tua dan lain sebagainya. Hanya saja, Nabi ﷺ menyebutkan tujuh perkara ini karena paling buruk dan paling besar dosanya. Dan dosa-dosa tersebut banyak dilakukan orang pada zaman Nabi ﷺ.
2. Perkara yang membinasakan yang pertama adalah menyekutukan Allah Ta’ala (syirik). Ini adalah dosa besar yang paling besar. Ibnu Mas’ud berkata, “Aku bertanya kepada Nabi, ‘Dosa apa yang paling besar di sisi Allah ?’ Nabi menjawab, ‘Engkau menjadikan sesuatu sebagai tandingan Allah, padahal Dia yang menciptakanmu.’ [1] ” Syirik adalah dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah Ta’ala kecuali jika seorang hamba bertobat kepada Allah Ta’aladan mengganti kesyirikan dengan memperbagus tauhid dan ibadahnya. Allah berfirman,
“Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (mempersekutukan Allah dengan sesuatu), dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan barang siapa mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sungguh, dia telah tersesat jauh sekali.”
3. Yang kedua, sihir. Makna aslinya adalah membelokkan sesuatu dari hakikatnya, baik dengan menggunakan jin dan memperalatnya, menggunakan benda-benda dan ramuan-ramuan tertentu, atau semacamnya. Sihir termasuk dosa besar karena mengandung tipuan untuk menutup dan menyelubungi hakikat sebenarnya, menutupi pandangan mata manusia dari hakikat tersebut, menipu masyarakat dan merusak akidah mereka dalam masalah sebab akibat. Terlebih lagi, sihir sering digunakan untuk menimbulkan kemudaratan kepada orang yang disihir sehingga ia menjadi sakit, lupa ingatan dan bahkan bisa jadi untuk membunuhnya. Oleh karena itu, mempelajari, mengajarkan, dan mempraktikkan sihir hukumnya dosa besar.
Kebanyakan sihir dilakukan dengan menundukkan dan memanfaatkan setan. Hal ini tidak bisa dilakukan kecuali dengan melakukan kekufuran kepada Allah Ta’ala. Karena pada dasarnya, setan tidak mau melakukannya kecuali si tukang sihir kafir kepada Allah Ta’ala. Allah berfirman,
“Tetapi setan-setan itulah yang kafir, mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babilonia yaitu Harut dan Marut. Padahal keduanya tidak mengajarkan sesuatu kepada seseorang sebelum mengatakan, ‘Sesungguhnya kami hanyalah cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kafir.’”
Oleh karena itu, sebagian besar ulama berpendapat bahwa hukuman bagi tukang sihir adalah hukuman mati sesuai dengan had kafir dan murtad, entah sihirnya menyebabkan terbunuhnya orang lain ataupun tidak.
4. Yang ketiga, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan haknya. Darah seluruh umat Islam adalah haram untuk ditumpahkan, sesuai dengan sabda Nabiﷺ , “... karena sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian adalah haram di antara kalian, sebagaimana kehormatan hari ini, di bulan ini, di negeri ini.” [2]
Allah memberikan ancaman orang yang membunuh seorang Muslim dengan azab yang pedih dalam firman-Nya,
“Dan barang siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.”
Allah juga mengharamkan membunuh kafir æimmi, kafir musta’min dan kafir mu’ahad [3] . Allah berfirman,
“Allah tiada melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
Rasulullah juga bersabda, “Barang siapa yang membunuh kafir mu’ahad, ia tidak akan mencium aroma surga. Dan sesungguhnya aroma surga dapat tercium sejauh perjalanan empat puluh tahun.” [4]
Yang keempat, memakan harta riba. Riba adalah kelebihan yang didapatkan dari barter komoditi ribawi atau dengan menunda serah terima barang yang disyaratkan harus diserahterimakan secara kontan pada komoditi ribawi.[5] Penjelasannya, misalnya seseorang menukar satu gram emas lama dengan dua gram emas baru. Atau menukar satu ÿa’ kurma bagus dengan dua ÿa’ kurma jelek. Ini disebut dengan ribá al-faðl (kelebihan), yaitu menukar barang yang termasuk dalam komoditi ribawi –emas, perak, kurma, terigu, jawawut dan garam- dengan sejenisnya tapi dengan perbedaan kadarnya. Padahal, jual beli barang-barang tersebut disyaratkan untuk sama nilainya, satu ÿa’ dengan satu ÿa’, satu gram dengan satu gram, satu dirham dengan satu dirham tanpa ada kelebihan. Jenis yang kedua disebut ribá an-nasi`ah. Ini adalah jenis transaksi riba yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat. Bentuknya, seseorang memberikan pinjaman uang kepada orang lain dengan tambahan yang disyaratkan ketika pelunasan. Seseorang meminjamkan seratus dinar dengan syarat pengutang membayar seratus sepuluh dinar setelah satu bulan.
Allah mengharamkan riba dan mengancam dengan siksa yang keras bagi orang yang memakan harta riba. Allah berfirman,
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan bergelimang dosa.”
Allah juga berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman. Jika kamu tidak melaksanakannya, maka umumkanlah perang dari Allah dan Rasul-Nya.”
(QS. Al-Baqarah: 278-279)
Jabir berkata, “Rasulullah g melaknat pemakan riba, pengutang riba, penulis transaksi riba, dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba. Beliau menambahkan, “(Dosa) mereka semua sama.” [6]
6. Yang kelima, memakan harta anak yatim. Rasulullah menyebut secara khusus harta anak yatim -walaupun memakan harta manusia secara umum termasuk dalam dosa besar-, karena anak yatim masih kecil sehingga tidak mampu menghidupi dirinya sendiri. Ia juga tidak bisa menghalangi tangan orang zalim yang merampas hartanya, berbeda dengan orang dewasa. Allah g berfirman,
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).”
Yang diharamkan bukan hanya memakan harta anak yatim, sehingga mengambil atau menggunakan hartanya tidak dianggap dosa. Yang dimaksud adalah menguasai harta anak yatim, sehingga masuk di dalamnya memakannya, mengambilnya, dan menggunakannya. Penggunaan diksi ‘memakan’ karena hal itu yang paling umum dilakukan. [7]
7. Yang keenam, lari dari medan perang. Seorang muslim tidak boleh lari dari medan pertempuran ketika memerangi orang-orang kafir, karena hal itu menunjukkan sifat penakut yang bisa menyebabkan kaum Muslimin kalah atau lemah semangat. Oleh karena itu, Allah mewajibkan kaum Mukminin untuk tegar di medan
perang dan tidak lari. Allah berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu pasukan (musuh), maka berteguh hatilah dan sebutlah (nama) Allah banyak-banyak (berzikir dan berdoa) agar kamu beruntung.”
Allah membatasi larangan itu jika jumlah kaum musyrikin dua kali lipat atau kurang dari jumlah kaum Muslimin atau lebih sedikit. Artinya, apabila jumlah kaum musyrikin dua kali lipat daripada jumlah kaum Muslimin atau sama atau bahkan lebih sedikit, maka kaum Muslimin wajib untuk teguh berperang; dan lari dari medan perang menjadi dosa besar. Dikecualikan dari hal itu, jika larinya dari medan perang untuk bergabung dengan pasukan Islam yang akan menolongnya atau memberi pertolongan kepada mereka, bukan untuk kabur. Demikian juga, apabila jumlah kaum musyrikin lebih dari dua kali lipat jumlah kaum Muslimin, maka dibolehkan untuk lari. Allah berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang akan menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Dan barang siapa mundur pada waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan lain, maka sungguh, orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah. Tempatnya ialah neraka Jahanam, dan ia seburuk-buruk tempat kembali.”
Allah juga berfirman,
“Sekarang Allah telah meringankan kamu karena Dia mengetahui bahwa ada kelemahan padamu. Maka jika di antara kamu ada seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus (orang musuh); dan jika di antara kamu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Allah beserta orang-orang yang sabar.”
8. Yang ketujuh, melakukan qaæaf terhadap wanita yang menjaga kehormatannya. Artinya, memfitnahnya melakukan zina, padahal ia tidak melakukannya. Yang dimaksud dengan wanita yang menjaga kehormatannya adalah wanita mukminah yang suci. [8] Maka menuduh wanita kafir yang jelas-jelas melakukan zina tidak termasuk dalam dosa besar.
Allah Ta’ala berfirman, “Sungguh, orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan baik, yang polos dan yang beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan di akhirat, dan mereka mendapat azab yang besar.”
Yang termasuk dosa besar bukan hanya menuduh wanita berzina, tetapi menuduh laki-laki juga. Sama hukumnya menuduh wanita mukminah dan lelaki mukmin, yaitu sama-sama mendapatkan hukuman had qaæaf di dunia dan siksaan di akhirat. Hal ini telah disepakati oleh para ulama. [9] Penyebutan wanita yang polos [10] bukan berarti boleh menuduh berzina wanita yang tidak polos, atau menuduhnya berzina tidak termasuk dosa besar. Penyebutan ini untuk menunjukkan besarnya dosa yang dilakukan; menuduh wanita yang polos dan tidak melakukan perbuatan yang keji. Bahkan, wanita tersebut tidak tahu apa-apa tentang hal tersebut. [11]
1. (1) Para dai dan pendidik hendaklah antusias memperingatkan manusia dari dosa-dosa besar dan hal-hal yang menyebabkan turunnya murka dan siksa Allah Ta’ala.
2. (1) Dosa-dosa manusia bisa dihapuskan dengan amal saleh, seperti shalat Jumat, mengiringi haji dengan umrah dan lain sebagainya, kecuali dosa-dosa besar. Oleh karena itu, Rasulullah bersabda, “Shalat yang lima waktu, antara Jumat yang satu dan Jumat berikutnya, antara Ramadan yang satu dan Ramadan berikutnya, adalah penghapus dosa di antara keduanya selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar.” [12] Maka jauhilah perkara yang bisa menghapuskan pahala dan jauhilah dosa yang tidak bisa dihapus dengan amal saleh.
3. (1) Jangan meremehkan dosa hanya karena tidak termasuk dosa besar, karena dosa kecil yang diremehkan bisa menjadi dosa besar. Hendaknya seorang mukmin melihat dosanya seperti gunung. Al-Fuðail bin Iyað berkata, “Jika engkau meremehkan dosa, maka dosa itu menjadi besar di sisi Allah . Sebaliknya, jika engkau menganggap besar suatu dosa, maka dosa itu menjadi kecil di sisi Allah.” [13] Ibnu Mas’ud juga berkata, “Sesungguhnya seorang mukmin itu melihat dosanya seakan-akan ia sedang duduk di bawah gunung yang akan runtuh menimpanya. Sedangkan seorang fajir melihat dosanya seperti lalat yang hinggap pada hidungnya. Maka ia menepisnya seperti ini.”[14]
4. (2) Berhati-hatilah dengan dosa syirik dan semua yang menyebabkan atau menjadi sarana yang menjerumuskan ke dalam kesyirikan, karena syirik itu menimbulkan kemurkaan dan siksa Allah Ta’ala serta menghapuskan pahala amal saleh. Syirik itu lebih samar daripada langkah kaki semut.
5. (2) Jika engkau ingin mendapatkan rasa aman pada hari kiamat, maka engkau harus menauhidkan Allah dan berhati-hati agar tidak melakukan syirik. Ibnu Mas’ud berkata,
“Ketika ayat ini turun, ‘Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat rasa aman dan mereka mendapat petunjuk.’ ,
kami berkata, ‘Wahai Rasulullah, siapakah di antara kita yang tidak menzalimi dirinya sendiri?’ Kemudian Nabi bersabda, ‘Bukan seperti ucapan kalian.’ (Yang dimaksud) ‘tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman’ adalah (tidak mencampurkan iman mereka) dengan kesyirikan. Bukankah kalian pernah mendengar ucapan Luqman kepada anaknya, Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, ‘Wahai anakku! Janganlah engkau menyekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.’” (QS. Luqmán: 13). [15]
6. (3) Berhati-hatilah jangan sampai engkau mendatangi tukang sihir atau tukang ramal karena perbuatan tersebut merupakan kekufuran kepada Allah yang Mahaagung. Nabi bersabda, “Barang siapa mendatangi tukang tenung dan tukang ramal kemudian ia membenarkan ucapannya, maka ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad.” [16]
7. (3) Mempelajari dan mengajarkan sihir adalah kekufuran kepada Allah Ta’ala, maka jauhilah.
8. (3) Penguasa wajib untuk menegakkan hudud (hukuman had) kepada tukang sihir, tukang tenung, dan tukang ramal agar berhenti melakukan kerusakan.
9. (4) Membunuh jiwa tanpa alasan yang benar merupakan dosa besar yang diancam oleh Allah Ta’ala dengan azab yang pedih. Bahkan, Rasulullah menegaskan bahwa semua jenis dosa berada di bawah masyí`ah (kehendak) Allah, [17] kecuali dosa syirik dan membunuh. Tujuan penegasan Rasulullah ini adalah untuk mengancam pelaku dosa tersebut. Nabi bersabda, “Semua dosa ada kemungkinan Allah mengampuninya, kecuali seseorang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, atau seseorang yang mati dalam keadaan kafir.” [18]
10. (5) Allah Ta’ala sangat murka kepada orang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja tanpa alasan yang dibenarkan. Oleh karena itu, Allah memberikan siksa yang tidak sama dengan dosa lainnya. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan barang siapa membunuh seorang yang beriman dengan sengaja, maka balasannya ialah neraka Jahanam, dia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, dan melaknatnya serta menyediakan azab yang besar baginya.”
11. (5) Allah Ta’ala memperingatkan pemakan harta riba, jika ia tidak meninggalkan perbuatannya maka berarti ia menantang Allah Ta’ala dan Rasul-Nya untuk berperang. Apakah engkau mampu berperang melawan Allah dan Rasul-Nya?
12. (5) Nabi bersabda, “Tadi malam aku bermimpi, ada dua orang menemuiku lalu keduanya membawaku keluar menuju tanah suci. Kemudian kami berangkat hingga tiba di suatu sungai yang airnya dari darah. Di sana ada seorang yang berdiri di tengah sungai dan satu orang lagi berada (di tepinya) memegang batu. Lalu laki-laki yang berada di tengah sungai menghampirinya, dan setiap kali dia hendak keluar dari sungai itu maka laki-laki yang memegang batu melemparnya dengan batu ke arah mulutnya hingga dia kembali ke tempatnya semula di tengah sungai, dan begitu seterusnya, setiap dia hendak keluar dari sungai, akan dilempar dengan batu sehingga kembali ke tempatnya semula. Aku bertanya, ‘Apa maksudnya ini?’ Lalu orang yang aku lihat dalam mimpiku itu berkata, ‘Orang yang engkau lihat dalam sungai adalah pemakan riba.’” [20]
13. (6) Jangan mengambil harta orang lain dengan cara yang batil, karena hal itu termasuk dosa besar. Apalagi jika pemilik harta tersebut adalah orang yang lemah. Misalnya anak yatim yang belum mampu menjaga hartanya.
14. (6) Berhati-hatilah terhadap bahaya memakan harta anak yatim, karena hal itu termasuk perkara yang membinasakan.
15. (7) Jika engkau berperang bersama kaum Muslimin untuk memerangi orang kafir maka yakinlah kepada Allah dan bertawakallah kepada-Nya. Ketahuilah, engkau sedang menjaga salah satu tapal batas Islam yang bisa dimasuki musuh. Katakan dalam hatimu, “Jangan sampai Islam dikalahkan dari sisiku.” Tetap teguhlah seraya memohon pertolongan dari Allah Ta’ala.
16. (7) Jangan sampai engkau menjadi sebab kekalahan kaum Muslimin karena menampakkan kelemahan dan kekalahan hingga berpengaruh kepada seluruh pasukan.
17. (8) Jaga lisanmu, jangan sampai menyakiti orang lain, karena lisan adalah anggota tubuh yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam neraka.
18. (8) Allah Ta’ala sangat menjaga kehormatan umat Islam dengan mewajibkan orang yang menuduh orang lain berzina untuk mendatangkan empat saksi. Jika tidak mampu, maka tuduhan tersebut termasuk dalam kategori qaæaf dan kedustaan yang pelakunya wajib untuk dijatuhi hukuman cambuk sebanyak delapan puluh kali. Jangan sampai lidahmu menjerumuskanmu dalam kebinasaan.
19. (8) Mencaci antara sesama kaum Muslimin pada masa sekarang termasuk ke dalam qaæaf, walaupun dengan niat bercanda. Jauhilah bentuk candaan seperti itu. Ketahuilah bahwa semua kata yang kau ucapkan akan dihisab.
20. Seorang penyair menuturkan,
Tinggalkan dosa yang kecil
juga yang besar, itulah ketakwaan
Jadilah seperti orang yang berjalan di atas tanah
penuh duri, ia berhati-hati dengan apa yang dilihatnya
Jangan pernah meremehkan dosa kecil
karena sungguh gunung itu hanyalah tumpukan kerikil
21. Penyair lain menuturkan,
Di antara manusia ada yang kebiasaannya menzalimi orang lain
dengan berbagai alasan yang ia kemukakan
Ia berani memakan yang haram dan mengklaim
ada kemungkinan kehalalan pada harta benda itu
Wahai orang yang memakan harta yang haram terangkan kepada kami
dengan dalil kitab mana engkau menghalalkan yang kau makan
Tidak tahukah engkau bahwa Allah mengetahui apa yang terjadi
Dia akan memutuskan seluruh perkara manusia di hari kiamat
HR. Al-Bukhari (4477) dan Muslim (86).
HR. Al-Bukhari (67) dan Muslim (1679).
Kafir æimmi adalah orang kafir yang hidup di bawah pemerintahan Islam. Kafir musta’min adalah orang kafir yang meminta suaka kepada kaum Muslimin. Dan kafir mua’had orang kafir yang mempunyai perjanjian damai dengan kaum Muslimin.
HR. Al-Bukhari (3166).
Lihat: Muntahá Al-Irádát karya Ibn An-Najjar (2/347).
HR. Muslim (1598).
Yaitu bahwa orang mengambil harta orang lain biasanya dengan tujuan bisa memenuhi kebutuhan primernya, di antaranya adalah makan (penerjemah).
Suci bermakna tidak pernah berzina (penerjemah).
Lihat: At-Tauðíh Lisyarñ Al-Jámi’ Aÿ-Ÿañíñ karya Ibn Al-Mulaqqin (31/284).
Yaitu yang tidak pernah terlintas dalam benak untuk melakukan zina dan perbuatan keji lainnya (penerjemah).
Lihat: Fatñ Al-Mun’im Syarñ Ÿañíñ Muslim karya Musa Syahin Lasyin (1/291).
HR. Muslim (233).
Siyar A’lám An-Nubalá` karya Aæ-†ahabi (8/427).
14.HR. Al-Bukhari (6308).
15. HR. Al-Bukhari (3360) dan Muslim (124).
16. HR. Abu Dawud (3904), At-Tirmizi (135), An-Nasá`í (9017), dan Ibnu Majah (639).
Yang dimaksud berada di bawah kehendak Allah yakni jika Allah berkehendak, pelaku dosa tersebut diampuni di akhirat, walaupun belum bertobat. (penerjemah)
HR. An-Nasá`í(3984).
19. HR. Al-Bukhari (3360) dan Muslim (124).
HR. Al-Bukhari (2085).
.