110 - Menghafal dan Menyampaikan Hadis

عن زيدِ بنِ ثابتٍ، قال: سمعتُ رسولَ الله ﷺ يقول: «نضَّر اللهُ امرأً سَمِعَ منَّا حديثًا، فحفِظَه حتى يُبلِّغَه؛ فرُبَّ حاملِ فِقهٍ إلى مَن هو أفقهُ منه،ورُبَّ حاملِ فِقهٍ ليس بفقيهٍ».

Dari Zaid bin Ṡabit h, beliau menuturkan, Rasulullah ﷺ bersabda

1. “Semoga Allah mengelokkan rupa orang yang mendengar hadis dari kami, lalu ia menghafalnya hingga menyampaikannya; 

2. Bisa jadi orang yang membawa fikih kepada orang yang lebih fakih darinya; dan 

3. Bisa jadi orang yang membawa fikih namun ia bukan orang yang fakih.” 


1. An-Naḍárah (keelokan): Artinya wajah yang elok dan berseri. Nabi ﷺ mendorong para sahabatnya dan umat setelah mereka untuk menghafal sunnah beliau dan menyebarluaskannya di tengah-tengah manusia. Di samping itu, beliau memotivasi mereka untuk melakukannya dengan cara berdoa kepada Allah agar Dia mengelokkan wajah orang yang melakukan hal tersebut, sebagai balasan karena mereka telah memperbaharui Sunnah. Hal itu menjadi sempurna dengan menghafal huruf demi hurufnya, yang menjadi bukti kemampuan mendengar yang baik, ketekunan, dan kejujuran dalam meriwayatkan, sehingga mereka dapat menyampaikannya kepada orang lain sebagaimana adanya.
Dalam hal ini, dibolehkan meriwayatkan hadis dengan maknanya jika diperlukan bagi orang yang mengetahui maknanya, dan haram berbohong dengan nama hadis sekalipun ia mengklaim hal tersebut untuk kebaikan.

2. Kemudian Nabi ﷺ menyebutkan alasan dari hal tersebut bisa jadi orang yang menyampaikan hadis itu kurang paham daripada orang yang mendengarkan hadis. Sekiranya setiap orang yang mendengar hadis Nabi ﷺ hanya menyampaikan Sunnah yang ia pahami tanpa menyebutkan nasnya, niscaya kita akan kehilangan banyak keutamaan. Ungkapan “rubba (bisa jadi)” di sini menunjukkan bahwa hal tersebut sering terjadi daripada yang diperkirakan.

3. Selanjutnya Nabi ﷺ mengabarkan bahwa orang yang menyampaikan tidak disyaratkan harus fakih dan alim. Yang jadi syarat hanyalah hafal dan menyampaikannya dengan benar. Sering terjadi orang yang menyampaikan hadis bukan orang yang alim, akan tetapi ia tetap mendapatkan pahala lantaran ia menyampaikannya kepada orang lain. [1]


1. Nabi ﷺ mendekatkan diri kepada Zaid bin Ṡabit meskipun usianya masih muda dikarenakan ilmu dan pikirannya yang cemerlang, sehingga beliau mengangkatnya sebagai penulis wahyu di hadapan beliau. Abu Bakar Aṣ-Ṣiddiq kemudian Uṡman k juga mengangkatnya dalam tugas mengumpulkan Al-Qur`an dan menulis mushaf. Zaid adalah sahabat yang paling tahu tentang ilmu faraid (ilmu waris). Oleh karena itu, jangan engkau pandang sebelah mata dirimu ataupun orang lain karena usianya lebih muda. 

2. Nabi ﷺ mendoakan orang yang menyampaikan sunnahnya dengan keindahan dan keelokan wajah. Maka, barang siapa yang menginginkan hal itu, hendaklah ia bersemangat untuk menyampaikan sunnah beliau dan masuk dalam jajaran para penghafal hadis, baik laki-laki ataupun perempuan. Sufyan bin Uyainah pernah mengatakan, “Engkau tidak akan menemukan seorang pun dari ahli hadis melainkan di wajahnya ada pancaran cahaya, berkat doa Nabi ﷺ.” [2]

3. Biasakan dirimu untuk biasa menghafal, terutama lafaz-lafaz yang turun dari Allah Ta’ala dan Rasul-Nya ﷺ. Sebab, dalam huruf-hurufnya terkandung pemahaman yang bisa saja hilang dari dirimu untuk sementara atau selamanya. Oleh karena itu, cukuplah engkau mengambil manfaat dari lafaz-lafaz yang engkau kuasai. Bisa jadi engkau akan mengingat-ingat kembali lafaz-lafaz tersebut dalam pikiran, sehingga pemahamanmu akan bertambah. Atau mungkin engkau akan menyampaikannya kepada orang lain, sehingga mereka mendapatkan manfaat baru yang tidak pernah engkau peroleh.

4. Jangan tertipu dengan seruan orang-orang yang enggan menghafal. Sebab, menghafal itu tidak bertentangan dengan pemahaman, bahkan membantu dalam memahami. Hafalan itu sejatinya bermanfaat bagi yang menghafal dan bagi orang lain. Ada sedikit ilmu namun mengandung banyak kaidah yang harus dihafal secara akurat dengan huruf-hurufnya.

5. Antusiaslah untuk menyampaikan seperti engkau mendengar. Berhati-hati dalam menerima dan menyampaikan adalah bukti kesempurnaan akal seseorang.

6. Tidak disyaratkan bagi seseorang yang menyampaikan As-Sunnah untuk memiliki pemahaman sempurna atau memahami semua hal yang ia sampaikan. Akan tetapi, ketika ia mendengar sebuah ayat, hadis yang sahih, atau ilmu yang diambil dari seorang ulama yang dapat dipercaya, maka ia tidak perlu malu menyampaikan As-Sunnah dan ilmu tersebut.

7. Orang yang cerdas dapat mengambil manfaat dari hikmah yang disampaikan dari Allah Ta’ala, Rasul-Nya ﷺ, dan para sahabat, sekalipun orang yang menyampaikan kepadanya lebih rendah keilmuannya. Namun ia memperoleh manfaat dari penyampaian tersebut, kendati ada kekurangan pada orang yang menyampaikan.

8. Hadis di atas menjelaskan tingginya kedudukan ahli hadis yang menyampaikan sabda Nabi ﷺ. Imam Asy-Syafi'i pernah mengatakan, “Apabila aku bertemu dengan seorang ahli hadis, seolah-olah aku bertemu dengan seorang sahabat Nabi ﷺ.”  Imam Asy-Syafi’i menyatakan hal ini karena para ahli hadis memiliki kedudukan seperti para sahabat lantaran menyampaikan hadis Nabi ﷺ. Oleh karena itu, kita harus menghormati ahli hadis dan memuliakan mereka, seperti yang dilakukan oleh para ulama.

9. Seorang penyair menuturkan,
Aku melihat ilmu menjadikan pemiliknya mulia 
Walaupun ia dilahirkan dari orang tua yang hina
Ilmu akan terus meninggikan derajatnya sampai  
orang-orang terhormat mengagungkannya
Mereka mengikutinya dalam segala hal  
Seperti pengembala domba yang diikuti oleh hewan-hewan gembalaannya
Sekiranya bukan karena ilmu, manusia tidak akan bahagia
Juga tidak akan diketahui halal dan haram.

Referensi

  1. Lihat: Tuhfah Al-Ahważi dengan Syarḥ Jāmi’ At-Tirmidzi karya Al-Mubarakfuri (7/348).
  2. Majmū’ Al-Fatāwā (1/11).


Proyek Hadis