1. Orang-orang fakir dari kalangan sahabat mendatangi Nabi mengadukan tentang pahala dan derajat yang tinggi di surga yang hanya dimiliki oleh orang-orang kaya yang berlimpah harta, karena selain menunaikan ibadah fisik, seperti: shalat, puasa, dan jihad, mereka juga memiliki kelebihan dengan ibadah harta, dengan bersedekah dan berinfak di jalan-jalan kebaikan.
Hal tersebut bukan karena hasad terhadap orang-orang kaya, bukan juga karena menentang takdir Allah Ta’ala. Mereka mendatangi Nabi hanya untuk mendapatkan suatu amalan yang bisa menyamai pahala sedekah mereka, sehingga mereka mampu menyaingi amal saleh orang-orang kaya. [1]
2. Lalu Nabi mengarahkan mereka untuk mengerjakan amalan yang setara dengan sedekah, dan berhak mendapatkan pahala yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala dan merupakan amal saleh.
3. Beliau memberitahukan kepada mereka bahwa zikir itu setara dengan pahala bersedekah seperti: takbir, tahmid, tasbih, dan tahlil -yakni ucapan: lá iláha illalláh- merupakan sedekah yang seorang hamba akan diberi pahala atas amalan tersebut, bahkan ia merupakan jenis sedekah yang paling dicintai Allah Ta’ala. Hal ini berdasarkan sabda beliau, “Maukah kalian aku beritahu amalan yang paling baik dan paling suci di sisi Maharaja kalian, lebih tinggi derajatnya, dan lebih baik bagi kalian daripada berinfak dengan emas dan perak, lebih baik daripada pertemuan kalian dengan musuh kalian lalu kalian membunuhnya serta mereka pun membunuh kalian?” Para sahabat menjawab, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, ‘Zikir kepada Allah ’.” [2]
4. Memerintahkan orang lain untuk berbuat yang makruf dan menunjukkan mereka kepada kebenaran merupakan sedekah. Demikian pula, mencegah mereka dari kemungkaran merupakan sedekah, bahkan termasuk jenis ibadah yang paling tinggi, karena Allah Ta’ala memberikan keistimewaan dengan perbuatan tersebut. Allah berfirman,
“Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”
Sesungguhnya hukum amar makruf nahi mungkar adalah fardu kifayah, namun bisa menjadi fardu ain. Adapun bertasbih, bertahmid, dan bertahlil termasuk amalan sunnah, dan sudah maklum bahwa pahala amalan fardu lebih banyak daripada pahala amalan sunnah. Hal ini berdasarkan firman-Nya di dalam hadis qudsi, “Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Aku wajibkan kepadanya.” [3] [4]
Sedekah tanpa harta ada dua jenis: ibadah yang hanya berdampak pada pelakunya saja, seperti: berzikir dan menunaikan amalan-amalan sunnah; dan ibadah yang berdampak kepada orang lain, seperti: amar makruf nahi mungkar, termasuk di dalamnya menyebarkan ilmu, menebar manfaat bagi kaum Muslimin, dan mencegah marabahaya yang akan menimpa mereka. Jenis yang kedua ini lebih utama daripada jenis yang pertama, lantaran keutamaannya bersifat luas.
Sedekah tidak hanya terbatas pada amalan saleh yang tersebut di atas saja, tetapi setiap aktivitas ketaatan yang dilakukan oleh seorang Muslim termasuk sedekah. Disebutkan di dalam sebuah hadis, “Setiap perbuatan baik adalah sedekah.” [5]
5. Bahkan, seorang laki-laki yang menggauli istrinya, maka ia mendapatkan pahala sedekah. Hal itu bila ia niatkan untuk menjaga kehormatan dirinya, menjaga kehormatan istrinya dan bentuk memperlakukan istri dengan baik, niat ingin memiliki anak yang saleh, atau niat lain yang termasuk hal-hal yang baik. [6]
6. Para sahabat pun keheranan; bagaimana mungkin seseorang yang melampiaskan nafsu syahwatnya bisa mendapatkan pahala?! Lalu beliau memberitahukan kepada mereka bahwa apabila seseorang melampiaskan syahwatnya pada perkara yang haram maka dia berdosa, demikian pula sebaliknya, ia akan mendapatkan pahala tatkala melampiaskannya pada tempat yang halal.
1. (1) Semangat para sahabat untuk saling berlomba dalam kebaikan, dan gibtah terhadap saudara mereka dengan ketaatan yang dapat mereka raih. Inilah yang disebut dengan berlomba-lomba yang sesungguhnya, setiap Muslim harus termotivasi untuk melakukannya.
2. (1) Gibtah ialah seorang Muslim berharap mendapatkan kebaikan seperti yang diraih oleh saudaranya, dan mendoakan keberkahan baginya atas apa yang ia raih. Ini hukumnya sunnah dalam amalan ketaatan, berdasarkan sabda beliau , “Tidak boleh seseorang berlaku hasad, kecuali terhadap dua hal: seorang laki-laki yang dikaruniai harta oleh Allah, lalu ia gunakan dalam kebenaran, dan laki-laki yang Allah berikan hikmah (ilmu) kepadanya, lalu ia memutuskan perkara dengan itu dan mengajarkannya.”
3. (2) Di antara bentuk rahmat dan keadilan Allah Ta’ala, Dia menjadikan kaum fakir dapat mencapai apa yang dicapai oleh orang-orang kaya, maka seyogianya setiap Muslim bergegas dalam menjalankan ketaatan kepada Allah sesuai dengan kemampuannya.
4. (3) Merutinkan zikir kepada Allah Ta’ala termasuk pintu amal kebaikan yang paling utama. Seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat Islam cukup banyak bagiku, beritahukanlah kepadaku sesuatu yang bisa aku pegang teguh,” beliau bersabda, “Basahilah selalu lisanmu dengan zikir kepada Allah.” [7]
5. (3) Tidak ada kelezatan yang dirasakan oleh seseorang melebihi kelezatan berzikir kepada Allah. Tidak ada amalan yang lebih ringan, lebih nikmat, lebih menyenangkan, dan lebih menenteramkan hati daripada zikir kepada Allah. [8]
6. (4) Semangatlah untuk melakukan amar makruf nahi mungkar. Hal itu merupakan keistimewaan yang Allah Ta’ala khususkan bagi makhluk pilihan-Nya, dan menyanjung umat tersebut, serta menjadikannya umat terbaik dengan sebab amalan tersebut.
7. (4) Di antara bentuk amar makruf ialah seluruh amal ketaatan yang berdampak luas, seperti mengajarkan Al-Qur`an, mengajarkan ilmu yang bermanfaat, berupaya untuk mencurahkan kebaikan orang lain, dan mencegah keburukan agar tidak menimpa mereka.
8. (5) Seseorang akan meraih pahala melalui niat baiknya yang ingin mengerjakan ketaatan, maka manfaatkanlah hal itu dalam seluruh aktivitas kehidupanmu. Ketika makan niatkanlah untuk mengisi kekuatan guna mengerjakan ketaatan; ketika hendak tidur niatkanlah untuk mengambil bagian waktu untuk beristirahat guna melanjutkan ibadah-ibadah lainnya nanti; ketika bersenang-senang dengan istri dan anak, niatkanlah untuk menunaikan hak-hak mereka dan memperlakukan mereka dengan baik; ketika mengkaji suatu ilmu, niatkan untuk menuntut ilmu guna memberikan manfaat bagi kaum Muslimin; dan ketika bekerja, niatkanlah untuk menyejahterakan kaum Muslimin. Demikianlah dalam setiap perkara mubah yang dapat berubah menjadi sebuah amalan yang bernilai pahala. Mu’aæ bin Jabal pernah mengatakan, “Aku berharap pahala dari tidurku sebagaimana aku berharap pahala dalam kondisi terjaga.” [9]
9. (6) Di antara bentuk kemuliaan Allah Ta’ala, Dia memberikan kebaikan kepada seorang Muslim atas seluruh aktivitasnya yang mubah apabila ia menahan dirinya untuk tidak berbuat maksiat; Dia memberikan pahala atas makanan halal yang dimakan seseorang lantaran ia meninggalkan yang haram, dan melampiaskan nafsu syahwatnya pada tempat yang halal sebab ia meninggalkan yang haram, dan tatkala mencari rezeki dari yang halal bukan yang haram.
10. (6) Di dalam hadis ini terkandung faedah bahwa orang yang meminta fatwa boleh bertanya tentang beberapa permasalahan yang tersembunyi (tidak jelas) dalilnya. Hal itu boleh dilakukan ketika penyanya melihat bahwa orang yang ditanya tidak mempermasalahkannya dan dalam pertanyaan tersebut tidak terkandung adab yang buruk. [10]
11. Seorang penyair menuturkan,
Berzikirlah kepada Allah, wahai pencari pahala
Wahai pengharap kebaikan, keutamaan, dan kebajikan
Berzikirlah, semua kebutuhanmu akan terpenuhi
Akan dicukupkan semua beban dan (dilindungi dari) bahaya
Siapa berzikir kepada Ar-Rahmán, Dia dekat
Siapa yang berzikir kepada Allah, dia disebut-sebut oleh-Nya
Siapa yang berpaling dari zikir kepada Tuhannya,
Sungguh kawannya adalah setan di dalam dadanya
Siapa yang melupakan Al-Karím, maka Tuhannya pun
Akan melupakannya, sungguh itu merupakan kesedihan terbesar
Setan menguasainya dengan menjadikannya lupa berzikir
Kepada †at yang telah menciptakannya pertama kali
1. Lihat: Syarñ Riyað Aÿ-Ÿáliñín karya Ibnu Ušaimin (2/161).
2. HR. Ahmad (21702) dan At-Tirmiæi (3377).
3. HR. Al-Bukhari (6502).
4. Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawí (7/92).
5. HR. Al-Bukhari (6021) dan Muslim (1005).
6. Syarñ Ÿañíñ Muslim karya An-Nawawí (7/92).
7. HR. Ahmad (18167), Ibnu Majah (3793), dan At-Tirmiæi (3375).
8. Al-Wábil Aÿ-Ÿayyib min Al-Kalim Aþ-±ayyib karya Ibn Al-Qayyim (hal. 81)
9. HR. Al-Bukhari (4341) dan Muslim (1733).