Anas bin Málik رضي الله عنهmengabarkan bahwa ketika beliau keluar dari masjid bersama Nabi ﷺ, seorang laki-laki bertemu dengan mereka di depan masjid dekat bayang-bayang dan atap yang menaungi masjid. Lalu ia bertanya kepada Nabi ﷺ waktu terjadinya hari kiamat. Disebutkan bahwa laki-laki ini adalah orang Badui yang buang air kecil di masjid sebelum peristiwa itu. Ia adalah zul-Khuwaisirah dari Yaman.[1]
2. Lalu Nabi ﷺ mengalihkannya dari pertanyaan tersebut kepada pertanyaan yang lebih penting, yaitu, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk hari kiamat? Apakah engkau telah siap dengan kedatangannya dengan memperbanyak ketaatan dan ibadah?”
Tujuan Nabi ﷺ adalah untuk mengingatkan laki-laki tersebut pada sesuatu yang wajib dan menjadi keharusan baginya, yaitu mempersiapkan diri menghadapi hisab dan beramal untuk masuk surga. Sebab, tidak dituntut darinya untuk mengetahui waktu hari kiamat, terlebih lagi tidak seorang pun yang mengetahui kapan waktunya bahwa kecuali Allah عز وجل.
3. Ketika laki-laki tersebut mendengar pertanyaan Nabi ﷺ, seketika ia tertunduk dan terdiam, lantaran merasa rendah dengan amalnya, mengakui kekurangannya, dan meminta maaf atas pertanyaannya yang tidak pantas.
4. Kemudian ia menyebutkan bahwa ia tidak mempersiapkan diri untuk hari kiamat dengan amal yang besar, serta tidak memperbanyak amal sunnah, ibadah, dan ketaatan yang bisa mendekatkannya ke surga dan menyelamatkannya dari api neraka. Ia hanya mencukupkan diri dengan amal wajib yang harus dilakukan oleh seorang Muslim.[2]
Ucapannya itu bisa jadi sebagai bentuk kerendahan hati dan usaha untuk mengalahkan hawa nafsunya, atau dalam pandangannya ia melihat dirinya tidak melakukan banyak amal, atau ia bermaksud bahwa semua itu tidak akan ada artinya di depan kekuatan cintanya yang tulus kepada Allah dan Rasulullah ﷺ, yang tidak dapat ditandingi oleh amal apa pun.
5. Hanya saja, amal perbuatan terbesar yang dilihat oleh laki-laki tersebut yang akan mendatangkan manfaat baginya pada hari kiamat adalah kecintaannya kepada Allah عز وجلdan Rasul-Nya , yaitu cinta yang tulus yang konsekuensinya menuntut ketaatan dan amal-amal lainnya.
6. Oleh karena itu, Nabi ﷺ menyatakan bahwa jika ia memang tulus dalam cintanya, sesuai dengan syarat-syaratnya, maka kelak ia akan dikumpulkan dengan orang yang ia cintai dan bersama dengan Nabi ﷺ dan para sahabat di surga Firdaus yang tertinggi.
“Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul (Muhammad), maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang yang diberikan nikmat oleh Allah, (yaitu) para nabi, para pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.”
Itulah sebabnya, Anas berkata, “Aku mencintai Nabi, Abu Bakar, dan Umar, dan aku berharap bisa bersama mereka karena cintaku kepada mereka kendati aku tidak memiliki amalan seperti amal mereka.”[3]
Implementasi:
Keluarga Anas maupun Anas sendiri tidak keberatan untuk melayani Nabi ﷺ. Beliau adalah seorang yang merdeka dan bukan budak. Sedangkan pekerjaan melayani orang lain ketika itu diperuntukkan bagi budak, bukan bagi anak-anak para tokoh. Ibunya membawanya ketika itu kepada Nabi ﷺ untuk melayani beliau. Seorang Muslim mungkin saja mempertimbangkan kebiasaan dan omongan orang, namun hal semacam itu tidak menghalanginya untuk memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat.
Anas sangat ingin menyertai dan melayani Nabi ﷺ meskipun usianya masih muda. Beberapa hadis menyebutkan bahwa terkadang beliau bermain pada waktu itu dengan sejumlah anak laki-laki[4]. Sehingga, mendidik anak kecil dengan hal-hal baik tidak berarti harus menghalanginya dari hal-hal yang ia butuhkan seperti bermain dan semacamnya.
Laki-laki itu bertanya tentang waktu hari kiamat. Akan tetapi, Nabi tidak menjawabnya, dan mengalihkannya kepada pertanyaan lain yang berkaitan dengan kepentingan si penanya dan hal lainnya, yaitu beramal untuk waktu hari kiamat. Gaya bahasa semacam ini dikenal di kalangan ahli Balaghah dengan "Uslúb Al-ôakím" (gaya bahasa orang bijak), yaitu memberikan jawaban dari pertanyaan dengan jawaban yang lebih banyak atau lebih penting daripada yang dimaksud oleh penanya, karena suatu hikmah yang luput oleh si penanya. Seperti jawaban Nabi kepada orang yang bertanya kepada beliau tentang wudu dengan air laut, beliau menjawab, “Airnya suci dan bangkainya halal.[5]” Beliau memberikan fatwa kepada mereka secara umum tentang kesucian air laut, kemudian beliau menambahkan kepada mereka bahwa bangkai binatang laut hukumnya halal[6]. Oleh karena itu, seorang dai atau guru harus cerdas dalam memahami kebutuhan orang banyak, bijak dalam ucapan dan memberikan jawaban, dan tidak terbawa emosi dengan tekanan pertanyaan-pertanyaan mereka. Melainkan berbicara kepada orang banyak dengan sesuatu yang bermanfaat bagi mereka dalam urusan dunia dan akhirat, tanpa menimbulkan api fitnah, atau dengan ilmu yang tidak bermanfaat.
Nabi ﷺ mengubah pemikiran penanya dari pertanyaan-pertanyaan yang tidak bermanfaat baginya, atau yang tidak ada jawabannya, yaitu, “Kapan hari kiamat” dengan langkah praktis, “Apa yang telah engkau siapkan untuk itu?” Itulah sebabnya Imam Malik membenci pembicaraan kecuali pembicaraan yang melahirkan amal. Beliau meriwayatkan dari para ulama sebelum beliau bahwa mereka juga seperti itu.[7] Sebagian besar perdebatan manusia dan orang yang terlibat dalam suatu wacana adalah pada perselisihan yang tidak melahirkan amal sesudahnya. Maka, cobalah untuk beralih pada pertanyaan yang berguna, “Apa selanjutnya?”
Seorang Muslim harus meletakkan di hadapannya pertanyaan, “Apa yang telah engkau persiapkan untuk itu?” sebagai jalan hidupnya. Ia senantiasa bersegera mengevaluasi setiap hari, untuk melihat bagaimana Allah akan bertemu dengannya? Apakah Dia rida atau justru murka kepadanya?
Cinta kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, sejatinya bukan sebatas ucapan dan kecenderungan jiwa saja. Akan tetapi, ia adalah perasaan yang memenuhi hati. Lalu hal tersebut diikuti dengan kesungguhan untuk memperoleh rida dari yang dicintai dan kepadanya ketaatan dipersembahkan, sesuai dengan apa yang ada di dalam hati, hingga ia mengutamakannya daripada keluarga, harta benda, anak-anak, dan seluruh manusia. Maka, barang siapa yang mengaku cinta, hendaklah ia melihat dirinya sendiri. Apakah ia mendapati bukti cintanya? Al-Hasan Al-Baÿri berkata, “Suatu kaum mengaku bahwa mereka mencintai Allah عز وجل, lalu Dia menguji mereka dengan ayat ini,
“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kamu dan mengampuni dosa-dosa kamu[8]. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang‘.”
Sebesar apa pun maksiat menguasai hati dan waktumu, jangan sampai ia menodai pengagungan dan cintamu kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya ﷺ. Sesungguhnya kita semua tidak mampu mencapai kedudukan para nabi di surga, karena besarnya keutamaan dan amal mereka, serta karena ketulusan iman dan ketaatan mereka, terlepas dari ujian yang mereka alami. Hanya saja, kita bisa bersama mereka di akhirat dengan mencintai mereka dengan baik, memuliakan mereka, mengikuti Sunnah mereka, dan mengutamakan cinta kepada mereka daripada cinta kepada seluruh manusia. Sungguh ini adalah kabar gembira bagi mereka yang sungguh-sungguh. Oleh karena itu, Anas pernah berkata, “Aku tidak pernah melihat kaum Muslimin bergembira setelah kegembiraan dengan keislaman mereka melebihi gembira mereka mendengar informasi dari Nabi tersebut.” [9]
Berupayalah untuk meningkatkan cintamu kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya ﷺ dengan mencari jalan dan berbagai amal, seperti sering berzikir kepada Allah Ta’ala, selawat kepada Nabi ﷺ, memperbaharui hati dengan rasa cinta kepada Allah عز وجل dan Rasul-Nya ﷺ, mengingat-ingat karunia dari keduanya, dan bertekad untuk senantiasa taat kepada keduanya. Setiap kali engkau mendapati seorang kekasih meminta rida kekasih yang dicintainya, maka hendaklah cintamu kepada Allah عز وجل dan Rasul-Nya lebih besar,
“Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan, yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.”
Referensi
- Lihat: Fatñ Al-Bárí karya Ibnu ôajar (10/555).
- Lihat: Al-Mufhim karya Al-Qurthubí (6/646).
- HR. Al-Bukhari (3688) dan Muslim (2639).
- HR. Muslim (2604).
- HR. At-Tirmizi (69).
- Lihat: Al-Kawákib Ad-Darárí karya Al-Kirmaní (22/35).
- Lihat: Jámi’ baina Al-‘Ilmi wa Faðlihi karya Ibnu Abdil Barr (2/95).
- Tafsīr Ibnu Kašīr (2/32). Di dalamnya ayat itu disebutkan sampai di sini.
- HR. Ahmad (12032).