1. Tuhan kita mengabarkan bahwa Dia akan membela orang-orang. Barang siapa yang memusuhi dan menyakiti salah satu wali Allah –mereka adalah para hamba yang saleh, yang mewujudkan keimanan mereka dengan mengerjakan ketaatan, sehingga Tuhan mereka menolong semua urusan mereka-, maka Allah Ta’ala memberikan peringatan berupa peperangan sebagai balasan untuk wali-wali-Nya dan pembelaan terhadap mereka. Dan siapakah gerangan yang mampu berperang melawan Allah ?!
2. Kemudian Dia menjelaskan bahwa amal ibadah yang paling utama dari seorang hamba yang dikerjakan untuk Tuhannya adalah menunaikan ibadah-ibadah wajib, karena sesungguhnya Dia tidaklah mewajibkan berbagai macam ketaatan dan mengharamkan berbagai kemaksiatan melainkan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
3. Apabila seorang hamba antusias untuk mengerjakan amalan yang wajib, kemudian beribadah kepada Rabbnya dengan ibadah-ibadah yang tidak diwajibkan baginya, hanya disunnahkan saja –seperti: shalat-shalat sunnah, puasa, sedekah, merutinkan zikir, membaca Al-Qur`an, memenuhi kebutuhan orang-orang yang membutuhkan, dan yang semisal- niscaya Allah Ta’ala akan mencintainya.
4. Jika Dia sudah mencintainya, maka Dia akan menjaga indra-indranya; ia tidak akan mendengar kecuali yang membuat Allah Ta’ala rida, tidak membiarkan penglihatannya kepada perkara-perkara yang haram, tidak pula membiarkan tangannya untuk melakukan sesuatu yang tidak dibolehkan syariat, sehingga ia tidak akan mengambil apa-apa kecuali yang memang menjadi miliknya, tidak akan memukul kecuali atas dasar kebenaran, kakinya tidak digunakan untuk kemaksiatan. Hal ini sebagaimana tertera di dalam sabda beliau, “Jagalah Allah, niscaya Dia akan menjagamu, jagalah Allah, niscaya engkau mendapati-Nya berada di hadapanmu.” [1]
5. Di antara balasan yang besar bagi para wali yang dicintai Allah dan mereka pun mencintai-Nya adalah jika mereka berdoa, maka akan dikabulkan dan permintaan mereka akan diijabah, apa pun itu. Apabila mereka meminta perlindungan karena ketakutan dari suatu keburukan atau gangguan, maka Dia akan menghilangkan apa yang mereka takutkan tersebut dan melindungi mereka. Nabi bersabda, “Sesungguhnya ada di antara hamba-hamba Allah, jika ia bersumpah atas nama Allah, niscaya akan Dia kabulkan.” [2]
6. Kemudian Allah memberitahukan bahwa Dia menyukai apa yang disukai oleh seorang mukmin dan tidak menyukai ada sesuatu yang menimpa serta menyakitinya, sampai kematian pun yang sudah Allah Ta’ala tentukan bagi seluruh makhluk-Nya dan dikehendaki oleh-Nya, Dia tidak suka jika hal itu menimpa hamba-Nya yang mukmin, sebab hamba-Nya tersebut pun tidak suka dan takut terhadapnya, sehingga kematian itu di satu sisi memang sudah menjadi kehendak Allah Ta’ala, namun di sisi lain, Dia juga tidak menyukainya. Inilah yang disebut keraguan. Sesungguhnya Dia menetapkan kematian bagi hamba-Nya yang mukmin disertai rasa cinta kepadanya dan tidak suka menyakitinya. Berbeda dengan kondisi orang kafir yang Allah Ta’ala membencinya dan ingin menyiksanya. [3]
Rasa ketidaksukaan seorang hamba yang saleh terhadap kematian merupakan perasaan alamiah yang Allah ciptakan pada semua manusia, mereka takut dan tidak menyukai kematian. Hanya saja, jika ajalnya tiba, maka Allah Ta’ala memberikannya kabar gembira berupa kenikmatan akhirat kelak baginya, sehingga saat itu ia sama sekali tidak menyukai apa pun selain kematian itu. Nabi bersabda, “Barang siapa yang suka bertemu dengan Allah, niscaya Allah pun suka bertemu dengannya, dan barang siapa yang benci bertemu dengan Allah, maka Allah pun benci untuk bertemu dengannya.” Aisyah atau salah satu dari istri beliau berkata, “Sesungguhnya kami sangat tidak menyukai kematian.” Beliau bersabda, “Bukan itu yang dimaksud, tetapi, jika ajal seorang mukmin tiba, maka ia diberi kabar gembira berupa rida Allah dan kemuliaan-Nya. Tidak ada sesuatu yang lebih ia sukai melainkan apa yang ada di depannya, sehingga ia pun ingin bertemu dengan Allah, dan Allah juga ingin bertemu dengannya. Sementara orang kafir, jika ajalnya tiba, maka akan diberi kabar gembira berupa azab Allah dan siksaan-Nya, dan tidak ada sesuatu yang paling ia benci selain apa yang ada di hadapannya, ia tidak suka bertemu dengan Allah, dan Allah pun tidak ingin bertemu dengannya.” [4]
1. (1) Barang siapa yang ingin berlindung pada tempat yang aman, tidak akan tertimpa mara bahaya apa pun maka hendaknya dia berpegang teguh dengan agama Allah, karena sungguh †at Yang Mahakuasa yang akan langsung memberikan perlindungan bagi para wali-Nya.
2. (1) Apabila Allah Ta’ala bersamamu, lantas siapa yang akan berani melawanmu? Siapakah yang mampu memerangi Allah Ta’ala?!
3. (1) Status kewalian bukanlah pengakuan belaka, tetapi ia disertai dengan keimanan, takwa, dan tawakal yang baik kepada Allah Ta’ala. Jika tidak demikian maka betapa banyak orang yang sengsara mengaku sebagai wali Allah Ta’ala!
4. (1) Satu-satunya jalan untuk mencapai status kewalian adalah dengan mengikuti syariat-Nya yang dibawa oleh Rasul-Nya, kalau tidak demikian, maka bangsa Yahudi dan Nasrani mereka pun mengaku sebagai wali-wali Allah dan orang-orang dicintai-Nya, sementara mereka mendustakan Rasul-Nya serta berpaling dari syariat-Nya.
5. (1) Jangan sampai engkau memerangi para wali Allah Ta’ala, sungguh engkau tidak mempunyai kemampuan untuk memerangi Allah Ta’ala.
6. (2) Apabila engkau hendak mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala serta meraih cinta-Nya, maka tunaikanlah apa yang diperintahkan kepadamu, dan berhentilah dari apa yang dilarang oleh-Nya, karena cinta sejati adalah mencintai apa yang dicintai-Nya dan tunduk kepada perintah-Nya.
7. (2) Jangan sampai engkau mengaku cinta, sementara dirimu lalai dalam kesenangan yang memalingkan dari ketaatan kepada †at yang engkau cintai; orang yang mencintai tidak akan tenang kecuali jika ia melakukan apa yang disukai oleh kekasihnya dan rida terhadapnya.
8. (2) Umar bin Abdul Aziz berkata di dalam khotbahnya, “Ibadah yang paling utama adalah menunaikan ibadah yang wajib dan menjauhi hal-hal yang haram, karena Allah mewajibkan perkara-perkara yang wajib tersebut terhadap hamba-hamba-Nya untuk mendekatkan mereka kepada-Nya dan memberikan kepada mereka rida serta rahmat-Nya.” [5]
9. (3) Dekatkanlah dirimu kepada Allah Ta’ala dengan beragam amalan sunnah dan amalan lain yang dianjurkan. Barang siapa yang menunaikan kewajiban serta menjauhi kemaksiatan, kemudian bergegas menjalankan apa yang dicintai Allah Ta’ala, yang tidak Dia wajibkan, niscaya ia berhak mendapatkan cinta Allah Ta’ala.
10. (3) Janganlah meremehkan amalan-amalan sunnah, karena Allah Ta’ala menyanjung para nabi dan wali-Nya melalui firman-Nya,
“Sungguh, mereka selalu bersegera dalam (mengerjakan) kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka orang-orang yang khusyuk kepada Kami.”
11. (3) Pilihlah untuk dirimu salah satu dari dua kedudukan ini: kedudukan orang-orang yang mencukupkan diri mengerjakan amalan-amalan yang wajib saja dan menjauhi hal-hal yang terlarang; atau kedudukan orang-orang terdepan yang mencapai derajat kewalian dan kecintaan, dengan bersungguh-sungguh dalam menjalankan amalan-amalan sunnah, bersikap warak terhadap perkara yang makruh dan hal-hal yang melalaikan dari ketaatan kepada Allah Ta’ala.
12. (3) Jauhilah prasangka bahwa amalan-amalan sunnah saja tanpa mengerjakan amalan wajib akan bermanfaat bagimu dan dapat mendekatkan diri kepada Tuhanmu. Akan tetapi seseorang harus menjalankan amalan-amalan wajib. Abu Bakar pernah berkata kepada Umar bin Al-Khaþþab, “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak akan menerima sebuah amalan sunnah sampai engkau menunaikan amalan wajib.” [6]
13. (4) Kecintaan Allah Ta’ala adalah sesuatu yang paling agung, yang bisa diraih oleh seorang hamba. Dahulu Daud pernah berkata, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu cinta-Mu, dan cinta orang yang mencintai-Mu, dan kecintaan terhadap amalan yang bisa menghantarkanku kepada rasa cinta kepada-Mu. Ya Allah, jadikanlah rasa cinta kepada-Mu sesuatu yang lebih aku cintai daripada diriku, keluargaku, hartaku, dan air yang sejuk.” [7]
14. (4) Apabila hawa nafsumu menguasaimu sehingga sampai melakukan kemaksiatan, maka tambahkanlah kedekatanmu dengan Allah Ta’ala dengan mengerjakan amalan yang wajib dan amalan sunnah, niscaya Dia akan menjaga dirimu dan anggota tubuhmu. Janganlah engkau cenderung melakukan dosa dan janganlah tergoda dengan kemaksiatan.
15. (4) Balasan itu sesuai dengan perbuatan. Apabila engkau sudah menjaga batasan-batasan Allah Ta’ala, memenuhi perintah-Nya, niscaya Dia akan menjaga indramu. Namun bila engkau menyia-nyiakan syariat-Nya, niscaya engkau akan binasa dan Dia akan meninggalkanmu sendiri bersama hawa nafsu.
16. (4) Di antara manfaat yang paling besar dari rasa cinta Allah terhadap hamba-Nya adalah Dia akan memerintahkan segenap makhluk agar menyukainya. Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah, jika Dia mencintai seorang hamba, maka Dia menyeru kepada Jibril, ‘Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah ia, maka Jibril pun mencintainya. Kemudian Jibril menyeru di langit, ‘Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah ia’, sehingga penghuni langit pun mencintainya, dan ia pun dicintai oleh segenap penduduk bumi.’” [8]
17. (5) Apabila engkau ingin doamu dikabulkan, maka lakukanlah faktor-faktor penyebabnya, yaitu penuhilah hak cinta kepada Allah Ta’ala dengan mendekatkan diri kepada-Nya melalui amalan-amalan ketaatan.
18. (5) Jika engkau melihat bahwa doamu masih menggantung, belum kunjung dikabulkan, padahal sudah terus-menerus memohon kepada Rabbmu, maka doronglah doamu dengan menambah amalan ibadah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa engkau belum mencapai kedudukan wali.
19. (5) Barang siapa yang memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala, menjaga diri dengan amalan ketaatan dan ibadah kepada-Nya, niscaya Dia akan melindunginya dari segala mara bahaya dan menepis dari segala keburukan.
20. (5) Allah Ta’ala berfirman, “Ingatlah! Wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.”
. Selama Allah Ta’ala bersamanya, lantas apa yang membuatnya sedih dan takut?! Tidakkah engkau mendengar sabda Nabi kepada sahabatnya Abu Bakar, “Jangan engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita.” (QS. At-Taubah: 40)
21. (6) Allah tidak menyukai bila hamba-Nya yang mukmin tertimpa musibah, lantas bagaimana mungkin seseorang memperlihatkan kepada Tuhannya kemaksiatan yang Dia benci?!
22. (6) Keraguan merupakan sifat kekurangan, tidak layak Allah disifati semacam ini, hanya saja maksudnya di sini adalah bahwa sesuatu di sisi-Nya mempunyai dua sisi; di satu sisi sudah dikehendaki-Nya namun di sisi lain dibenci-Nya, tanpa disertai kebimbangan sedikit pun, sebagaimana yang dialami manusia yang sedang ragu. Maka jangan sampai kita menyematkan kepada Allah Ta’ala sesuatu yang tidak pantas, yang merupakan sifat-sifat kekurangan.
23. Hadis tersebut berisi penetapan dua sifat Allah : cinta dan benci, maka kita meyakini kedua sifat itu bagi Allah Ta’ala tanpa memikirkan bagaimana bentuknya, atau menakwil, atau meniadakan maknanya.
24. Seorang penyair menuturkan,
Kau bermaksiat kepada Tuhan, tapi kau tampakkan rasa cinta
Ini merupakan analogi yang mustahil dan mengherankan
Sekiranya cintamu tulus, maka kau akan mematuhi-Nya
orang yang mencintai akan tunduk kepada yang ia cintai
Setiap hari kau meraih nikmat dari-Nya
Sedangkan dirimu tak tahu berterima kasih
HR. Ahmad (2669) dan At-Tirmizi (2516).
HR. Al-Bukhari (2703) dan Muslim (1675).
Majmú’ Al-Fatāwā karya Ibnu Taimiyah (18/130).
4. HR. Al-Bukhari (6507) dan Muslim (2683).
5. Jāmi’ Al-‘Ulúm wa Al-ôikam karya Ibnu Rajab (2/336).
6. Az-Zuhd karya Hannad bin As-Surri (1/284).
7. Jāmi’ Al-‘Ulúm wa Al-ôikam karya Ibnu Rajab (2/340).
8. HR. Al-Bukhari (7485) dan Muslim (2637).