1. Nabi menyebutkan balasan bagi siapa yang mau menolong orang lain dalam memenuhi kebutuhan dan meringankan beban mereka. Beliau menyebutkan bahwa barang siapa yang meringankan dan mengatasi kesulitan yang sangat berat yang dialami mukmin lainnya, niscaya Allah akan mengatasi kesulitannya yang sangat dahsyat kelak hari kiamat, sebagaimana yang dikabarkan oleh-Nya melalui firman-Nya,
“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu; sungguh, guncangan (hari) Kiamat itu adalah suatu (kejadian) yang sangat besar. (Ingatlah) pada hari ketika kamu melihatnya (guncangan itu), semua perempuan yang menyusui anaknya akan lalai terhadap anak yang disusuinya, dan setiap perempuan yang hamil akan keguguran kandungannya, dan kamu melihat manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk, tetapi azab Allah itu sangat keras.”
2. Barang siapa yang memudahkan urusan orang yang berutang dan belum mampu melunasi, dengan menangguhkan temponya sampai ia mampu, menggugurkan semua utangnya atau sebagiannya, atau memberikan sesuatu yang dapat mengatasi kesulitannya, maka pahalanya, Allah Ta’ala akan memudahkan dirinya, sehingga ia tidak akan mengalami kesempitan, dan segala musibah yang ia alami akan dimudahkan Allah, dan di akhirat, Allah Ta’ala akan memudahkan hisabnya, sehingga Allah Ta’ala akan merahmatinya dan mengampuninya. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. Dan jika kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
Nabi bersabda, “Dahulu ada seorang saudagar yang biasa meminjamkan uang kepada orang-orang, jika ia mendapati ada yang belum mampu melunasi, maka ia akan mengatakan kepada pegawainya, maafkanlah ia; semoga Allah kelak akan memaafkanku, maka Allah pun memaafkannya.” [1]
3. Barang siapa yang menutup aib sesama Muslim, niscaya Allah Ta’ala akan menutup aibnya di dunia. Dia tidak akan membuka aibnya, tidak pula menyingkap auratnya di depan manusia atau memberitahu keburukan dan kemaksiatannya kepada siapa pun. Kelak di akhirat, Dia akan meletakkan tabir dan rahmat-Nya di atas orang tersebut, sehingga tidak akan ada satu makhluk pun yang akan mendengar hisabnya sama sekali, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah mendekati seorang mukmin, lalu Dia letakkan tabir dan rahmat-Nya dan menutupinya, seraya berfirman, ‘Apakah kamu masih ingat dengan dosa ini dan dosa ini?’ Ia menjawab, ‘Iya, benar wahai tuhanku’, sampai akhirnya saat ia mengakui dosa-dosanya, dan ia merasa dirinya akan binasa. Dia berfirman, ‘Aku tutup dosamu di dunia, dan sekarang Aku ampuni dosa-dosamu.’ Lantas ia diberi catatan amal kebaikannya. Sedangkan, orang-orang kafir dan munafik, maka para saksi akan mengatakan, “Orang-orang inilah yang telah berbohong terhadap Tuhan mereka.” Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) kepada orang yang zalim.” (QS. Húd: 18) [2]
Seorang Muslim menutup aib saudara sesama Muslim ada dua macam: menutup auratnya secara fisik, ia memberikannya sesuatu yang bisa ia pakai dan menutup aurat tubuhnya; dan menutup auratnya secara maknawi, yaitu maksiatnya.
Jika seorang Muslim melihat saudaranya sedang bermaksiat maka ia wajib mengingkarinya serta menasihatinya karena Allah Ta’ala. Kemudian setelah itu, jangan sampai ia mengungkap atau menyebar kemaksiatannya tersebut, bahkan seharusnya ia menutupinya dan mendoakannya agar diberi hidayah. Allah Ta’ala
berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar perbuatan yang sangat keji itu (berita bohong) tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Núr: 19).
Nabi bersabda, “Wahai sekalian yang mengaku beriman dengan lisannya namun keimanan belum merasuk ke dalam hatinya, janganlah kalian menggunjing sesama kaum Muslimin, jangan pula mencari-cari kesalahan mereka; karena siapa pun yang mencari-cari kesalahan mereka, niscaya Allah akan cari kesalahannya, dan disingkap meski ia di dalam rumahnya sendiri.” [3]
Para pelaku maksiat ada dua jenis: orang yang tertutupi dan tidak diketahui kemaksiatannya serta tidak terang-terangan melakukannya, maka jenis ini yang harus ditutupi, karena itulah Nabi berpaling dari penerapan hukuman had atas seorang laki-laki yang mengatakan, “Aku melakukan perbuatan yang layak dihukum had, terapkanlah kepadaku.” Beliau tidak bertanya lebih rinci, bahkan beliau bersabda, “Bukankah kamu shalat bersama kami?” Ia menjawab, “Iya.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengampuni dosamu -atau beliau bersabda,- “Mengampuni hukuman hadmu.” [4]
Jenis pelaku maksiat kedua: ia melakukannya secara terang-terangan, tidak peduli terhadap dosa yang ia lakukan, maka jenis ini tidak perlu ditutup-tutupi, bahkan perkaranya harus dilaporkan kepada pimpinan setempat agar berhenti dari perbuatan buruknya, sehingga orang yang semisal dirinya akan menjadi jera. [5]
4. Kemudian, Nabi mengabarkan bahwa Allah Ta’ala akan menolong seorang Muslim, selama ia mau menolong sesama Muslim lainnya, ia berusaha untuk membantu saudaranya. Rasulullah bersabda, “Dan barang siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, niscaya Allah akan memenuhi kebutuhannya.” [6] Dan beliau juga bersabda, “Manusia yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain, dan amalan yang paling dicintai Allah adalah kebahagiaan yang engkau berikan kepada seorang Muslim, mengatasi kesulitannya, atau melunasi utangnya, atau membuatnya kenyang. Dan sungguh, aku berjalan bersama seseorang guna memenuhi kebutuhannya lebih aku sukai daripada beriktikaf di masjid ini -yakni masjid Madinah- selama sebulan… dan barang siapa yang berjalan bersama saudaranya untuk memenuhi kebutuhannya, sampai terpenuhi keperluannya, niscaya Allah akan meneguhkan kedua kakinya kelak pada hari semua kaki akan bergeser.” [7]
Kemudian Nabi berpindah untuk menjelaskan keutamaan seorang penuntut ilmu. Beliau mengabarkan bahwa jika seorang hamba menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Karena ilmu itu akan menumbuhkan perasaan di dalam hati seorang hamba untuk mengagungkan Allah Ta’ala dan kuasa-Nya; dan menjadikannya paham terhadap hukum-hukum syariat terkait yang halal dan haram, lantas ia mengamalkannya sambil berharap ampunan dan rida dari Allah Ta’ala.
Nabi menggunakan kata ‘jalan’ secara nakirah (bersifat umum), agar maknanya mencakup seluruh jenis jalan fisik, berupa perpindahan dari rumah menuju masjid, sekolah, kampus, Islamic Center, dan lain sebagainya. Begitu juga mencakup makna perjalanan menuntut ilmu untuk menimba ilmu dari para ulama. Kata ‘jalan’ di sini juga bersifat maknawi, yaitu menimba ilmu dengan membaca buku-buku, membaca melalui situs-situs para ulama, serta karya tulis mereka, mempelajari dan mengkaji ilmu dari berbagai sumber, maka semua metode serta jalan tersebut termasuk jalan menuntut ilmu. [8]
Demikian juga, beliau menyebutkan kata ilmu secara nakirah, agar mencakup semua disiplin keilmuan, bukan hanya berlaku pada menuntut ilmu syar’i. Meskipun memang ilmu syar’i adalah yang tertinggi dari sisi kedudukan dan pahalanya. Hal ini supaya kedudukan keilmuan lainnya berada pada urutan di bawahnya entah ilmu itu sedikit atau banyak. Barang siapa yang berjalan pada suatu jalan, ingin menggali suatu hukum pada satu permasalahan, maka ia berhak meraih pahala tersebut. [9]
6. Kemudian beliau memberitahukan tentang keutamaan berkumpul di masjid-masjid untuk membaca Al-Qur`an dan mengkajinya; karena ketenangan akan dirasakan oleh orang-orang yang duduk di situ, mereka akan diliputi rahmat, akan dikelilingi oleh para malaikat dari setiap sudut tempatnya agar terlindung dari godaan setan, dan Allah Sang Maha Pengasih akan menyebut-nyebutnya di hadapan para malaikat. Allah Ta’ala berfirman,
“(Cahaya itu) di rumah-rumah yang di sana telah diperintahkan Allah untuk memuliakan dan menyebut nama-Nya, di sana bertasbih (menyucikan) nama-Nya pada waktu pagi dan petang, orang yang tidak dilalaikan oleh perdagangan dan jual beli dari mengingat Allah, melaksanakan salat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari Kiamat). (Mereka melakukan itu) agar Allah memberi balasan kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan, dan agar Dia menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa saja yang Dia kehendaki tanpa batas.”
7. Lalu beliau menjelaskan bahwa yang menjadi tolok ukur adalah amalan, maka hubungan nasab pada hari kiamat tidak berlaku. Barang siapa yang kadar amalnya sedikit untuk menyelamatkannya dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka hubungan nasabnya tidak akan berguna, meski ia merupakan anak salah seorang nabi. Jika tidak demikian, maka seharusnya ayah Nabi Ibrahim bisa mendapatkannya, atau putra dan istri dari seorang rasul pertama, Nuh pun akan mendapatkan manfaatnya. Demikian pula istri Nabi Luþ , kedua orang tua Nabi serta paman beliau, Abu Talib juga sama, dan yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman,
“Apabila sangkakala ditiup, maka tidak ada lagi pertalian keluarga di antara mereka pada hari itu (Hari Kiamat), dan tidak (pula) mereka saling bertanya. Barang siapa berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan barang siapa ringan timbangan (kebaikan)nya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahanam. Wajah mereka dibakar api neraka, dan mereka di neraka dalam keadaan muram dengan bibir yang cacat.”
(QS. Al-Mu`minún: 101-104)
1. (1) Balasan itu sejalan dengan jenis amalannya, barang siapa yang membantu kesulitan saudaranya, niscaya Allah akan membantunya. Barang siapa yang menyayangi sesama makhluk, niscaya Allah akan menyayanginya. Barang siapa yang mempersulit urusan sesama manusia, kelak Allah akan mempersulitnya. Dan barang siapa yang menutupi aib orang lain, maka aibnya akan ditutup juga. Maka pilihlah untuk dirimu.
2. (1) Betapa banyak kesulitan yang kelak akan dihadapi pada hari kiamat! menyeberangi sirat, hisab, catatan amal dibentangkan, melewati neraka, dan lain sebagainya. Sungguh kita sangat membutuhkan untuk bisa memberikan kemudahan kepada manusia; semoga kelak Allah akan memudahkan kesulitan kita yang sangat besar!
3. (2) Mempermudah urusan orang yang berutang termasuk ibadah yang paling utama yang bisa menyelamatkan seseorang pada hari kiamat. Nabi bersabda, “Barang siapa yang ingin Allah selamatkan dari kesusahan pada hari kiamat, maka mudahkanlah urusan orang yang berutang, atau gugurkanlah utangnya.” [10]
4. (2) Membantu melunasi utang atau menggugurkan utang seseorang yang sedang dalam kesulitan ekonomi termasuk penyebab diampuninya dosa-dosa. Nabi bersabda, “Ada seorang laki-laki dari umat terdahulu sebelum kalian sedang dihisab, ia tidak memiliki kebaikan apa-apa, hanya saja ia kerap berinteraksi dengan manusia, dan ia sosok yang kaya raya, dan ia biasa memerintahkan para pegawainya agar memaafkan orang yang belum bisa melunasi utangnya.” Beliau melanjutkan, “Allah berfirman, ‘Kami lebih berhak darinya atas perbuatan tersebut, maafkanlah ia.’” [11]
5. (3) Jagalah lisan dan pandanganmu dari aib dan aurat orang lain, niscaya Allah Ta’ala akan menjaga auratmu, sehingga tidak ada seorang pun yang akan menodainya.
6. (3) Sebagian salaf menuturkan, “Aku pernah mendapati suatu kaum yang tidak memiliki aib, lantas mereka menceritakan aib orang lain, lantas orang-orang pun menyebutkan aib mereka. Dan aku pernah mendapati suatu kaum yang mempunyai aib, lantas mereka tidak pernah menghiraukan aib orang lain, sehingga aib mereka pun terlupakan.”
7. (3) Seseorang harus menutupi aib sesama kaum Muslimin yang tidak dikenal sebagai pelaku maksiat, dan ini setelah menasihati mereka serta mengingkarinya dengan cara terbaik. Ada beberapa menteri yang saleh berkata kepada beberapa orang yang bertugas memerintahkan kebaikan, “Berusahalah untuk menutupi identitas pelaku maksiat, karena tersebarnya kemaksiatan mereka merupakan aib bagi kaum Muslimin, dan yang terbaik adalah menutup aib mereka.” [12]
8. (3) Apabila ada seorang Muslim yang terus-menerus melakukan kemaksiatan, sampai pada kondisi tidak peduli dengan sekitarnya, maka tidak boleh menutupi aibnya, bahkan ia harus dilaporkan kepada pihak berwenang agar dijatuhi hukuman, sehingga manusia akan selamat dari kejahatannya, dan akan membuat jera orang-orang yang semisalnya.
9. (3) Apabila manusia butuh untuk menyingkap kejahatan beberapa pelaku maksiat yang tidak melakukan maksiat dengan terang-terangan, maka ini dibolehkan, sebagai contoh, pelaku maksiat tersebut sebagai saksi dalam suatu perkara atau orang yang dipercaya atas sebuah wakaf, atau yang alasan lainnya yang serupa.
10. (3) Seorang penyair menuturkan,
Jika engkau ingin hidup dan agamamu selamat
Jika engkau ingin hidup dan agamamu selamat
Hidup sejahtera dan kehormatanmu terjaga
Lisanmu tidak menyebut-nyebut aib orang lain
Dirimu punya banyak aib, dan orang-orang punya lisan
Jika ada aib suatu kaum terlihat di depanmu
Ucapkanlah, ‘Wahai mata, mereka juga punya mata’
Bergaul dengan baik dan hindari orang yang semena-mena
Dan tinggalkan, namun dengan cara yang terbaik
11. (4) Nabi senang memenuhi keperluan orang lain, dan beliau pernah bersabda, “Barang siapa yang mampu memberi manfaat bagi saudaranya, maka lakukanlah.” [13] Suatu ketika ada anak kecil perempuan menarik tangan beliau mengajak ke mana pun ia kehendaki. [14] Para sahabat pun mengikuti langkah beliau. Sebagai contoh: Abu Bakar , beliau menginfakkan hartanya di jalan Allah ; Umar bin Al-Khaþþab memenuhi kebutuhan pangan para janda di malam hari; dan Ušman bin Affan membeli sumur Rumah dan mewakafkannya untuk kaum Muslimin. Maka bagi siapa pun yang ingin meneladan seseorang, maka Nabi dan para sahabatlah teladannya.
12. (4) Al-Hasan Al-Baÿri mengutus beberapa orang kawannya untuk memenuhi kebutuhan seorang laki-laki, beliau berkata kepada mereka, “Perintahkan Šabit Al-Bunani, agar ikut bersama kalian.’ Mereka mendatangi Šabit, dan ia berkata, ‘Aku sedang beriktikaf.’ Mereka pun kembali kepada Al-Hasan dan memberitahukan hasilnya, lantas Al-Hasan berkata, ‘Katakan kepadanya, wahai A’masy (orang yang penglihatannya lemah), tahukah engkau bahwa aktivitasmu berjalan guna memenuhi kebutuhan saudaramu sesama Muslim, itu lebih baik daripada dua kali ibadah haji?! Lantas mereka kembali ke Šabit, dan ia pun meninggalkan iktikafnya, seraya pergi bersama mereka.
13. (5) Nabi memberikan perhatian untuk mempermudah seorang penuntut ilmu masuk surga. Barang siapa yang ingin masuk ke dalam surga, maka tempuhlah jalan para ulama.
14. (6) Allah akan memberikan pahala kepada orang-orang yang berkumpul di rumah-Nya untuk berzikir; ketenangan turun kepada mereka, dikelilingi para malaikat, diliputi rahmat, dan disebut-sebut oleh Allah Ta’ala di sisi-Nya. Apakah ada pahala yang lebih besar daripada ini?!
15. (6) Bayangkan dirimu disebut-sebut oleh Tuhanmu dengan nama dan sifatmu, dan dibanggakan di hadapan para malaikat-Nya, seraya berfirman, “Hamba-Ku bernama Fulan berzikir kepada-Ku.” Ini merupakan keutamaan yang luar biasa dan kedudukan yang mulia sebagai balasan atas amalan yang ringan yang bisa dilakukan oleh setiap Muslim.
16. Seorang penyair menuturkan, Jika ilmumu tidak menjadikanmu baik Maka lebih baik, seandainya dirimu bodoh Jika pemahamanmu menjerumuskanmu ke dalam jurang Sekiranya dirimu dan sekiranya dirimu tidak memahaminya Engkau akan petik kebodohan dari buah kemalasan Dan saat menua engkau akan dipandang remeh
17. (7) Jauhilah prasangka bahwa hubungan nasabmu kelak bermanfaat di akhirat, karena pilihannya hanya antara beramal baik, engkau akan selamat; atau beramal buruk, engkau akan binasa. Ini berdasarkan firman Allah Ta’ala yang diturunkan-Nya,
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat.”
. Nabi berdiri seraya bersabda, “Wahai sekalian kaum Quraisy, tebuslah diri kalian, sungguh aku tidak bisa memberikan manfaat apa-apa kepada kalian di sisi Allah. Wahai Bani Abdu Manaf aku tidak mampu memberi manfaat apa pun bagi kalian di sisi Allah. Wahai Abbas bin Abdul Muþþalib aku tidak bisa memberikan manfaat apa-apa untukmu di sisi Allah. Wahai Ÿafiyah bibi Rasulullah, aku tidak bisa membantumu sama sekali di sisi Allah. Wahai Fatimah binti Muhammad, minta apa saja kepadaku sekehendakmu dari hartaku, karena sungguh aku sama sekali tidak bisa memberi manfaat apa-apa kepadamu di sisi Allah.” [15]
18.Seorang penyair menuturkan,
Demi Allah, manusia mulia karena agamanya
Jangan kau tinggalkan takwa karena bersandar pada nasab
Islam telah mengangkat derajat Salman orang Persia
Kesyirikan menjadikan Abu Lahab dalam kesengsaraan
1. HR. Al-Bukhari (2078) dan Muslim (1562).
2. HR. Al-Bukhari (2441) dan Muslim (2768).
3. HR. Ahmad (20014) dan Abu Daud (4880).
4. HR. Al-Bukhari (6823) dan Muslim (2764).
5.
6. HR. Al-Bukhari (2442) dan Muslim (2580).
7. HR. Aþ-±abarání di dalam Al-Mu’jam Al-Ausaþ (6026).
8. Syarñ Riyáð Aÿ-Ÿáliñín karya Ibnu Ušaimin (5/433-434).
9. Fatñ Al-Bári karya Ibnu ôajar (1/160).
10. HR. Muslim (1563).
11. HR. Muslim (1561).
12. Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab (2/291-293).
HR. Muslim (2199).
14. HR. Al-Bukhari (6072).
15. HR. Al-Bukhari (2753) dan Muslim (204).