عن عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لاَ تَسْأَلِ الإِمَارَةَ؛ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ، وُكِلْتَ إِلَيْهَا، وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ، أُعِنْتَ عَلَيْهَا، وَإِذَا حَلَفْتَ عَلَى يَمِينٍ، فَرَأَيْتَ غَيْرَهَا خَيْرًا مِنْهَا، فَكَفِّرْ عَنْ يَمِينِكَ، وَأْتِ الَّذِي هُوَ خَيْرٌ».

Dari Abdurrahman bin Samurah, beliau berkata, “Nabi ﷺ bersabda, 

1. ‘Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah engkau meminta jabatan

2. Karena jika dirimu mendapatkannya karena meminta, niscaya engkau akan dibiarkan dalam mengembannya. 

3. Namun, jika engkau mendapat jabatan tanpa memintanya, niscaya engkau akan ditolong dalam mengembannya. 

4. Dan jika engkau bersumpah, kemudian engkalu melihat perkara selain itu lebih baik, maka tebuslah sumpahmu, dan kerjakan apa yang lebih baik.


1. Nabi ﷺ melarang seseorang untuk meminta jabatan memimpin urusan kaum Muslimin, –seperti jabatan sebagai pemimpin, menteri, atau yang semisal- karena itu merupakan tanggung jawab yang besar serta amanah yang berat di pundak pengampunya.

Nabi ﷺ pernah bersabda kepada Abu Zar رضي الله عنه tatkala beliau bertanya tentang jabatan kepemimpinan,

“Wahai Abu Zar رضي الله عنه, dirimu lemah, dan jabatan adalah amanah, dan kelak pada hari kiamat menjadi sebuah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi yang mengampunya dengan hak, dan menunaikan amanah yang diembannya.”[1] 

2. Kemudian beliau ﷺ mengabarkan bahwa jika seorang laki-laki meminta jabatan untuk dirinya sendiri lalu diserahkan kepadanya, niscaya akan dibiarkan mengembannya dan tidak akan ditolong oleh Allah سبحانه وتعالى dalam mengemban kesulitannya, maka kerap kali tujuannya tidak tercapai.

Karena itulah, beliau ﷺ bersabda,

 “Sesungguhnya kami, demi Allah, tidak akan menyerahkan tugas kepemimpinan ini kepada seseorang yang memintanya, tidak pula kepada seseorang yang berambisi mendapatkannya.”[2] 


Namun dikecualikan dalam hal itu adalah para nabi; mereka sosok yang maksum dari dosa, tidak berambisi terhadap tampuk kepemimpinan atau jabatan.

Oleh sebab itu, Yusuf  عليه السلام berkata,

 “Dia (Yusuf) berkata, ‘Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, dan berpengetahuan.’”[1]

(QS. Yúsuf: 55)

3. Adapun jika jabatan kepemimpinan itu didapat tanpa diminta, lantas ia memohon pertolongan kepada Allah Ta’ala, kemudian bersungguh-sungguh dalam menunaikan tanggung jawabnya, maka sungguh Allah Ta’ala akan menolongnya dalam kesulitan-kesulitan yang dihadapi, dan taufik-Nya akan menyertainya.

4. Kemudian, Nabi ﷺ mengabarkan bahwa seorang Muslim tidak dibenarkan menjadikan sumpahnya sebagai penghalang dirinya untuk berbuat kebaikan. Jika ia bersumpah atas sesuatu kemudian ia melihat ada perkara lain yang lebih baik daripada sumpahnya, hendaklah ia menebus sumpahnya, dan mengerjakan yang lebih baik.

Jika seseorang bersumpah untuk melakukan sebuah maksiat, seperti memutus tali silaturahim, menelantarkan istri, memperkarakan orang yang berutang, atau hal yang semisal, maka sebaiknya ia menebus sumpahnya, lalu tetap menyambung silaturahim kerabatnya, memperhatikan istrinya, memberi tempo kepada yang berutang, karena semua itu lebih baik daripada sumpahnya.

Implementasi

1. (1) Jangan sampai engkau meminta tampuk kepemimpinan atau jabatan, dan mohonlah kepada Allah keselamatan dan kebaikan, karena terkadang engkau diserahi jabatan tersebut namun tidak mampu menjalankannya.

2. (1) Tidak layak bagi seseorang yang antusias untuk meraih akhirat, namun ia masih berambisi terhadap jabatan.

Allah Ta’ala berfirman

“Negeri akhirat itu Kami jadikan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri dan tidak berbuat kerusakan di bumi. Dan kesudahan (yang baik) itu bagi orang-orang yang bertakwa.”

(QS. Al-Qaÿaÿ: 83)

3. (1) Waspadalah terhadap efek buruk dari jabatan,

karena Nabi ﷺ pernah bersabda

“Sungguh (pada hari kiamat) seseorang akan berangan-angan memilih untuk dijatuhkan dari bintang šurayya (bintang Kejora), dan ia tidak mengampu jabatan urusan manusia sedikit pun.”[3] 


4. (1)

Nabi ﷺ bersabda

“Tidaklah seorang laki-laki yang memimpin urusan sepuluh orang atau lebih dari itu, melainkan kelak Allah akan mendatangkan dirinya terbelenggu pada hari kiamat, tangannya pada lehernya, yang dapat melepaskan belenggu tersebut adalah amalan kebajikannya, atau justru dosanya akan membinasakannya. Awalnya celaan, pertengahannya penyesalan, dan yang akhirnya kehinaan pada hari kiamat.”[4] 

5. (1) Sa’ad bin Abi Waqas  رضي الله عنه  sedang berada di antara unta-untanya, lalu datang putranya yang bernama Umar رضي الله عنهما, tatkala Sa’ad melihatnya, beliau berdoa, “Aku berlindung kepada Allah dari keburukan penunggang kendaraan ini.’[5]  Lantas Umar pun turun, lalu berkata kepada Sa’ad, “Apakah engkau lebih nyaman berada di antara unta-unta dan kambing-kambingmu, membiarkan manusia saling berebut kekuasaan di antara mereka?” Kemudian Sa’ad menepuk dada putranya tersebut seraya berkata, “Diamlah, 

aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda

‘Sesungguhnya Allah menyukai hamba yang bertakwa, merasa cukup, dan enggan populer.’”[6] 

6. (2) Manusia hendaknya takut kepada Allah dalam hal meminta jabatan dan berambisi untuk mengampu tampuk kepemimpinan kaum Muslimin karena menuruti hawa nafsunya yang hina, serta tujuan-tujuan duniawi yang palsu nan rendah, karena Allah akan membiarkan mereka menanggung beban, mereka pun berbuat sia-sia dan menyia-nyiakan, dan mengalami kerugian di dunia dan akhirat.
7. (2) Para pemegang kekuasaan janganlah mempekerjakan orang yang meminta jabatan atau tampuk kepemimpinan, karena sungguh akibatnya adalah kehinaan.

Nabi ﷺ pernah bersabda

“Sesungguhnya kami, demi Allah, tidak akan menyerahkan tugas kepemimpinan ini kepada seseorang yang memintanya, tidak pula kepada seseorang yang berambisi mendapatkannya.” [7]

8. (3) Apabila engkau ditawari jabatan sukarela tanpa memintanya, jika engkau melihat dirimu mampu dan bisa mengemban amanah sehingga bisa menunaikan kepentingan manusia, hendaknya engkau menerimanya sambil berharap pahala, maka Allah akan menolongmu.

9. (3) Seorang pemimpin harus cakap dalam memilih para wakilnya dan petugasnya, karena ia akan dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka.

10. (4) Sumpah yang tidak serius tidak berakibat dosa, maka engkau tidak perlu menghiraukan sumpah yang tidak sengaja terucap.

11. (4) Apabila engkau bersumpah terkait suatu amalan ketaatan atau kemaksiatan atau hal-hal yang mubah, kemudian engkau melihat justru sumpah tersebut menghalangi dirimu untuk berbuat kebaikan, seperti engkau bersumpah tidak akan berbicara seharian, kemudian engkau melihat bahwa manusia membutuhkan fatwa serta nasihatmu, maka tebuslah sumpahmu, dan kedepankan kepentingan yang lebih besar.

12. (4) Hukum asal dalam sumpah adalah wajib ditunaikan sesuai dengan sumpahnya, tidak boleh melanggarnya kecuali jika ada sebab yang mengharuskannya. Jika ada seseorang bersumpah tidak akan mengenakan pakaian ini, maka menunaikan sumpah di sini lebih utama daripada menebus dan melanggarnya.

Dia  berfirman

“Dan jagalah sumpah kamu.”

(QS. Al-Má`idah: 89)

Referensi

  1. HR. Muslim (1825).
  2. HR. Muslim (1733).
  3.   HR. Ahmad (10940).
  4.   HR. Ahmad (22656).
  5. Kalimat tersebut diucapkannya karena waktu itu terjadinya berbagai fitnah kekuasaan setelah terbunuhnya khalifah Usman bin Affan, dan putranya tersebut termasuk orang yang turut serta dalam peperangan dan fitnah tersebut. (editor)
  6. HR. Muslim (2965).
  7. HR. Muslim (1733).


Proyek Hadis