1. Istigfar mempunyai banyak redaksi yang ditunjukkan oleh Al-Qur`an dan As-Sunnah. Namun yang paling utama dan paling besar pengaruhnya serta paling besar kemungkinannya diterima ialah sayyidul istigfar sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi ﷺ, yaitu ucapan seorang hamba, “Allahumma anta rabbí lá iláha illá anta khalaqtaní wa ana ‘abduka (Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Engkau Yang menciptakanku dan aku adalah hamba-Mu).” Ia mengawali istigfarnya dengan pengakuan keesaan Allah Ta’ala, Dialah Tuhannya, Tuan dan Rajanya serta †at Yang Maha Mengatur dirinya, Dia menciptakannya dengan tangan-Nya, dan tidak ada yang berhak diibadahi selain Dia, karena Pencipta tidak sama dengan selain-Nya.
“Maka apakah (Allah) yang menciptakan sama dengan yang tidak dapat menciptakan (sesuatu)? Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?”
2. Kemudian ia memperbarui kembali perjanjian antara dirinya dan Tuhannya, seraya menyebutkan bahwa dirinya tetap teguh di atas janji untuk senantiasa beriman dan beribadah kepada-Nya; perjanjian yang telah diambil Tuhannya, tatkala masih berada di tulang sulbi ayahnya.
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab, ‘Betul (Engkau Tuhan kami).’” .
Ia mengatakan, “Sesungguhnya aku masih memegang janjiku kepada Tuhanku untuk taat dan tidak bermaksiat kepada-Nya, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, sesuai kemampuanku. Jika aku berbuat kurang sempurna dalam menyukuri nikmat-nikmat-Mu kepadaku atau aku berbuat dosa kepada-Mu, maka hal itu merupakan kelemahan diriku sebagai manusia, bukan lantaran tidak mengetahui kekuasaan-Mu, bukan juga karena meremehkan keagungan-Mu.” Kalimat ini mengandung pengakuan akan kelemahan dan kekurangan diri dalam menunaikan hak-hak Allah .
3. Kemudian ia memohon perlindungan kepada Tuhannya dari keburukan yang dilakukan oleh kedua tangannya; berbuat buruk berkaitan dengan hak Tuhannya atau tidak sempurna dalam mensyukuri nikmat-Nya, karena tidak ada yang layak dipersembahkan kepada Allah Ta’ala selain beribadah kepada-Nya dengan sebenar-benarnya. (Ia mengatakan), “Sedangkan bila ada perbuatan yang menyelisihi hal tersebut, maka aku memohon perlindungan kepada-Mu darinya, memohon ampunan-Mu atas hal itu.”
4. Lalu ia mengakui nikmat-nikmat Allah Ta’ala atas dirinya yang tak terhitung dan tak terhingga, dan ia mengakui dosa-dosa dan kesalahan-kesalahannya kepada-Nya.
5. Seseorang mengawali doanya dengan pengakuan tersebut yang mengandung makna sanjungan kepada Allah, pengakuan atas nikmat-nikmat-Nya, dan pengakuan dosa-dosanya, lalu beralih pada istigfar atas dosa yang telah diperbuat dan memohon kepada Allah Ta’ala agar mengampuninya, karena tidak ada yang mengampuni dosa-dosa selain Allah.
6. Kemudian Nabi ﷺ menjelaskan keutamaan doa tersebut, beliau menyebutkan bahwa barang siapa yang mengucapkannya di waktu pagi hari dengan yakin, tulus dari dalam hatinya, lalu ia meninggal sebelum tiba sore hari, niscaya ia masuk surga. Demikian pula, barang siapa yang mengucapkannya pada waktu sore hari, lalu ia meninggal sebelum tiba waktu subuh, niscaya ia masuk surga.
Doa ini disebut dengan sayyidul istigfar, sebab di dalamnya terkandung pengakuan keesaan Allah, pengakuan atas nikmat-nikmat-Nya, dan istigfar tersebut diawali dengan sanjungan kepada Allah Ta’ala yang memang Dialah yang paling berhak.
1. (1) Sayyidul istigfar dengan mengucapkan, “Allahumma anta rabbí wa ana ‘abduka (Ya Allah Engkau adalah Tuhanku dan aku adalah hamba-Mu)”. Engkau mengakui melalui lisan dan hatimu bahwa Allah adalah Tuhan dan Raja, Yang Maha Mengatur urusanmu, Yang mengawasi kondisimu, engkau adalah hamba-Nya secara wujud (keadaan) dan secara syariat. Sebagai hamba secara wujud, Dia berbuat apa saja sesuai kehendak-Nya terhadap dirimu; jika berkehendak, Dia menjadikanmu sakit atau sehat, kaya atau miskin, menjadikanmu tersesat atau memberimu petunjuk, sesuai dengan kebijaksanaan-Nya . Engkau sebagai hamba-Nya secara syariat, engkau beribadah kepada-Nya dengan apa yang diperintahkan-Nya, menjalankan segala perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya. [1]
2. (1) Usahakan untuk selalu mengawali doamu dengan memuji Allah Ta’ala. Rasulullah ﷺ pernah mendengar seorang laki-laki berdoa di dalam shalatnya, namun tidak menyebut Allah , tidak pula berselawat kepada Nabi ,
lantas Rasulullah ﷺ bersabda
“Orang ini tergesa-gesa.” Beliau memanggilnya kemudian bersabda kepadanya dan orang-orang yang berada di sekitarnya, “Apabila salah seorang di antara kalian berdoa, mulailah dengan memuji dan menyanjung Tuhannya, lalu berselawat kepada Nabi, setelah itu berdoalah sekehendaknya.” [2]
3. (1) Istigfar yang paling utama adalah ketika seorang hamba memulainya dengan memuji Tuhannya, kemudian mengakui nikmat-nikmat-Nya, kemudian mengaku kepada Tuhannya atas dosa dan keteledoran dirinya, setelah itu ia memohon ampunan kepada Tuhannya.
4. (1) Para ulama, para dai, dan para pendidik wajib menjelaskan kepada manusia bentuk ucapan pujian kepada Allah Ta’ala yang paling utama, dan istigfar yang paling baik. Lafaz yang paling baik ialah berselawat kepada Nabi dan mengajarkan kepada mereka apa yang dibutuhkan dalam sehari-hari seperti: wirid-wirid, doa-doa, dan zikir-zikir.
5. (2) Seorang hamba wajib mengungkapkan kepada Tuhannya melalui perbuatan dan ucapannya bahwa dirinya masih berpegang teguh pada janjinya untuk senantiasa mengerjakan ketaatan dan keimanan semampunya. Allah tidak akan membebani satu jiwa di luar kemampuannya.
6. (3) Seorang Muslim harus berlepas diri dari maksiat dan memohon perlindungan kepada-Nya dari perbuatan itu, karena tidak ada hak yang harus ditunaikan oleh seorang hamba kepada Allah kecuali ketaatan yang sempurna.
7. Jangan bangga dengan perbuatan maksiat dan melakukannya secara terang-terangan, sebab Allah mengampuni setiap Muslim kecuali orang yang melakukan maksiat secara terang-terangan.
“Setiap umatku akan diampuni (dosa-dosanya) kecuali orang-orang mengerjakan (dosa) secara terang-terangan, dan sungguhnya di antara bentuk mengerjakan secara terang-terangan, seorang laki-laki yang di malam harinya melakukan suatu perbuatan (dosa), kemudian pagi hari tiba Allah menutupinya, namun justru ia mengatakan, ‘Wahai fulan, tadi malam aku melakukan ini dan itu,’ padahal di malam harinya Tuhannya telah menutupinya, tetapi pada pagi harinya ia menyingkap sendiri tabir Allah dari dirinya.” [3]
8. (4) Pengakuan terhadap nikmat-nikmat yang telah Allah limpahkan kepada seorang hamba harus diiringi dengan rasa syukur, jangan sampai menggunakannya dalam kemaksiatan.
9. (4) Mengakui dosa merupakan langkah pertama untuk bertobat, jangan sekali-kali segan untuk mengakui dosa, semoga Allah mengampuni dosamu tersebut.
10. (4) Jangan sampai engkau meremehkan dosa, karena meremehkan dan menyepelekannya bisa menghantarkan dirimu untuk semakin banyak melakukan dosa, tidak memotivasimu untuk bertobat. Karena itulah, Al-Fuðail bin Iyað menuturkan, “Jika engkau meremehkan dosa, maka dosa itu menjadi besar di sisi Allah. Dan sebaliknya, jika engkau menganggap besar suatu dosa, maka dosa itu menjadi kecil di sisi Allah.” [4]
11. Seorang mukmin melihat dosa-dosanya sangat besar walaupun hakikatnya kecil, sehingga ia pun menyesalinya, lantas memohon perlindungan kepada Tuhannya dengan istigfar dan bertobat. Abdullah bin Mas’ud mengatakan, “Sesungguhnya seorang mukmin itu melihat dosa-dosanya seolah-olah ia sedang duduk di bawah gunung, khawatir akan menimpanya. Dan seorang pelaku maksiat, ia melihat dosa-dosanya seperti lalat yang hinggap dihidungnya, lalu ia menghalaunya.” [5]
12. (5) Tidak ada yang bisa mengampuni dosa kecuali Allah Ta’ala, maka kembalilah kepada-Nya dengan beristigfar dan memohon rahmat, dan jangan sampai engkau meminta kepada orang-orang yang sudah mati dan bertawasul kepada mereka.
13. (5) Barang siapa yang Allah inginkan kebaikan untuknya, maka Allah mudahkan baginya untuk merasa dirinya hina dan tak berdaya, serta selalu memohon perlindungan kepada Allah Ta’ala. Demikian juga, ia merasa sangat butuh kepada-Nya, melihat aib dirinya sendiri, merasa bodoh dengan aib-aibnya dan tidak menyukainya. Selain itu, ia menyaksikan keagungan Tuhannya, kebaikan-Nya, rahmat-Nya, kedermawanan-Nya, kebajikan-Nya, kekayaan-Nya, dan pujian-Nya. [6]
14. (6) Bersemangatlah untuk menghafal doa sayyidul istigfar, bacalah secara rutin pada pagi dan sore hari, karena jika engkau meninggal di pagi hari itu, maka engkau termasuk ahli surga, dan jika engkau meninggal di malam itu, maka engkau termasuk ahli surga.
15. (6) Manfaatkanlah doa-doa dan zikir-zikir yang keutamaannya disebutkan oleh Nabi ﷺ, seperti doa ini, keutamaannya memberikan jaminan surga bagi seorang hamba.
16. (6) Para dai, pendidik, dan ulama harus menjelaskan kepada masyarakat pahala zikir dan doa yang ma`šur (bersumber dari As-Sunnah), karena hal itu bisa mendorong seseorang untuk merutinkannya.
17. Seorang penyair menuturkan,
Wahai Tuhanku, jika memang terlalu banyak dosaku
Namun aku tahu bahwa ampunan-Mu lebih besar
Jika tak ada yang boleh berharap kepada-Mu kecuali muhsin
Lantas, kepada siapa seorang pendosa ini berdoa dan memohon
Kuberdoa kepada-Mu, tunduk seperti perintah-Mu
Jika Kau tolak doaku, siapa yang akan mengasihiku?!
Aku tak mempunyai perantara apa pun kecuali harapanku
Kemudian aku berserah diri pada luasnya ampunan-Mu.
18. Penyair lain menuturkan,
Ilahi, jangan Kau siksa aku sebab aku
Mengakui dosa yang ada pada diriku
Aku tidak punya cara lain kecuali harapanku
Pada ampunan-Mu, dan itulah prasangka baikku
Betapa banyak kekeliruan yang kulakukan terhadap sesama
Sedangkan Engkau tetap memberiku kenikmatan dan karunia
Manusia mengiraku baik, namun sungguh aku
Manusia terburuk, jika Engkau tak mengampuniku
Referensi
- Syarñ Riyað Aÿ-Ÿáliñín karya Ibnu Ušaimin (6/717).
- HR. Ahmad (23937), Abu Daud (1481), dan At-Tirmiæi (3476).
- HR. Al-Bukhari (6069) dan Muslim (2990).
- Siyar A’lám An-Nubalá` karya Aæ-†ahabi (8/427).
- HR. Al-Bukhari (6308).
- Al-Wábil Aÿ-Ÿayyib min Al-Kalim Aþ-±ayyib karya Ibn Al-Qayyim (hal. 7).