1. Nabi ﷺ menjelaskan beberapa akhlak mulia yang harus dimiliki seorang mukmin, di antaranya adalah memuliakan tetangga. Seorang mukmin dituntut untuk memuliakan tetangga dan menunaikan haknya. Di antaranya dengan cara berbuat bajik dan baik kepadanya, selalu memperhatikan kondisinya, berbicara kepadanya dengan lemah lembut, membantunya ketika membutuhkan, dan tidak menyakitinya dengan ucapan ataupun perbuatan.
Oleh karena itulah, Allah memberi wasiat untuk berbuat ihsan kepada tetangga dalam firman-Nya,
“ Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.”
Bahkan, Jibril berkali-kali turun menemui Nabi Muhammad , mewasiatkan beliau untuk berbuat baik kepada tetangga. Nabi ﷺ bersabda,
“Jibril senantiasa berwasiat kepadaku (untuk berbuat baik) kepada tetangga, sampai-sampai aku mengira ia akan berwasiat bahwa tetangga akan mendapat jatah warisan.” [1]
Nabi ﷺ juga bersumpah bahwa orang yang menyakiti tetangganya berarti keimanannya kurang. Nabi bersabda,
“Demi Allah, dia tidak beriman; demi Allah, dia tidak beriman; demi Allah, dia tidak beriman (tidak sempurna imannya)!” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah dia gerangan, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “(Yaitu) orang yang tetangganya tidak selamat dari keburukannya.” [2]
2. Rasulullah ﷺ juga menjelaskan tentang urgensi memuliakan tetangga dan menjadikannya sebagai tanda keimanan kepada Allahdan hari akhir. Beliau memberitahu bahwa hadiah dan pemberian terbaik yang diberikan tuan rumah kepada tamunya adalah dengan memuliakannya dan menjamunya dengan makanan yang paling enak dan menyediakan tempat tidur untuk dia bermalam selama sehari semalam. Setelah itu, ia boleh menjamunya dengan makanan yang sama dengan yang dimakan oleh keluarganya dengan tanpa memaksakan diri. Jamuan tamu yang sempurna selama tiga hari. Jika tuan rumah berkenan tamunya tinggal di rumahnya setelah itu, hal itu merupakan sedekah dan bentuk kedermawanan. Akan tetapi, ia tidak wajib untuk melakukan hal itu, karena ia sudah menyempurnakan penjamuan selama tiga hari.
Nabi ﷺ memerintahkan untuk menjamu dengan makanan terbaik dan tempat tidur yang nyaman di hari pertama karena sang tamu baru saja datang dari perjalanan yang membuatnya merasa penat dan lelah. Maka sudah selayaknya ia dimuliakan agar dapat beristirahat. Juga agar tamu merasa nyaman kepada tuan rumah, hingga timbul ikatan persaudaraan dan kasih sayang antara sesama kaum Muslimin. Untuk hari setelahnya, tuan rumah tidak perlu memaksakan diri untuk menjamu tamunya, tapi cukup memberikan apa yang dia mampu.
3. Nabi ﷺ kemudian menjelaskan akhlak yang ketiga, yaitu bahwa seorang mukmin harus memperhatikan ucapan yang keluar dari lisannya. Jika ia yakin ucapannya mengandung kebaikan atau menjadi sarana terwujudnya kebaikan, maka hendaklah ia mengutarakannya. Namun bila sebaliknya, maka lebih baik ia diam, karena diam adalah ganimah bagi seorang mukmin jika ternyata apa yang akan dikatakannya mengandung kemaksiatan atau menimbulkan terjadinya kemaksiatan. Karena setiap Muslim akan dihisab oleh Allah terkait semua perkataan yang keluar dari mulutnya. Allah Ta’ala berfirman,
“Tidak ada suatu kata yang diucapkan pun melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).”
Nabi ﷺ juga bersabda
“Sungguh, ada seorang hamba berbicara dengan perkataan yang mengundang rida Allah, meskipun dia tidak terlalu memperhatikannya, namun dengan sebab satu kalimat itu maka Allah mengangkat beberapa derajatnya. Dan sebaliknya, ada seorang hamba berbicara dengan perkataan yang mengundang murka Allah, meskipun dia tidak terlalu memperhatikannya, namun dengan sebab satu kalimat itu maka ia jatuh ke dalam neraka Jahanam.” [3]
Hadis ini termasuk salah satu hadis yang menghimpun pintu-pintu kebaikan, hingga para ulama menyatakan bahwa adab Islam berporos pada empat hadis: yang pertama, hadis ini; yang kedua, hadis, “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah ia meninggalkan hal yang tidak bermanfaat baginya”; yang ketiga, hadis Nabi ﷺ ketika beliau meringkas nasihatnya dengan mengatakan, “Jangan marah”; dan yang keempat, hadis, “Tidak sempurna iman salah seorang di antara kalian hingga mencintai suatu kebaikan untuk saudaranya seperti yang ia mencintainya untuk dirinya sendiri.” [4]
1. (1) Di antara tanda kokohnya iman dalam hati seorang mukmin adalah ia memuliakan tetangganya dan tidak menyakitinya. Periksalah tanda ini dalam dirimu.
2. (1) Jangan sampai engkau menyakiti tetangga yang menyebabkanmu terhalang dari masuk surga. Rasulullah ﷺ bersabda,
“Tidak masuk surga orang yang tetangganya tidak selamat dari keburukannya.“ [5]
3. (1) Semakin dekat pintu tetangga maka semakin besar hak yang harus ditunaikan, dan ia lebih berhak dimuliakan. Hendaknya setiap Muslim menunaikan hak tetangganya dengan tidak mencari-cari aib dan keburukannya, selalu memberikan hadiah dan nasihat dakwah serta bertutur kata dengan lemah lembut.
4. Akhlak kepada tetangga tidak terbatas pada memuliakannya, tapi juga termasuk bersabar dengan gangguan yang tidak disengajanya. Al-Hasan Al-Baÿri berkata, “Bertetangga yang baik bukan sekadar tidak menyakiti, tapi yang lebih penting adalah bersabar terhadap gangguannya.” [6]
5. (2) Memuliakan tamu termasuk keimanan kepada Allah Ta’ala dan meneladan sikap para nabi Allah . Al-Qur`an sendiri menyebutkan kedermawanan Nabi Ibrahim Khalilurrahman . Nabi Muhammad ﷺ juga seorang yang murah hati dan dermawan. Kedermawanannya dalam bersedekah melebihi angin yang berembus. Oleh karena itu, Abdullah bin Amr bin Al-Aÿ berkata, “Barang siapa tidak menjamu tamu, maka dia bukan pengikut Nabi Muhammad ﷺ, dan bukan pengikut Nabi Ibrahim.” [7]
6. (2) Seorang Muslim harus memuliakan tamu. Tidak selayaknya bagi seorang Muslim menolak orang yang bertamu ke rumahnya apabila ia mempunyai kelapangan. Hendaknya, ia tidak hanya menjamu orang yang dikenalnya saja, tapi juga orang yang tidak ia kenal. Suatu hari, Abu Hurairah bertamu kepada suatu kaum yang tidak mengenalnya. Mereka tidak mau menerima dan menjamunya. Kemudian, Abu Hurairah membawa makanan dan mengundang mereka untuk makan. Akan tetapi mereka menolak untuk makan bersamanya. Maka Abu Hurairah berkata kepada mereka, “Kalian tidak mau menjamu tamu dan tidak mau memenuhi undangan. Sifat kalian ini bukanlah ajaran Islam.” Kemudian, salah seorang di antara mereka ternyata mengenal Abu Hurairah, lalu orang itu pun berkata, “Silakan menginap di rumah kami wahai Abu Hurairah, semoga Allah memaafkanmu.” Maka Abu Hurairah berkata, “Ini lebih buruk dan lebih buruk. Jadi kalian tidak mau menjamu tamu kecuali yang kalian kenal saja?” [8]
7. (3) Seorang Muslim hendaknya selalu memperhatikan ucapannya. Jangan sampai lisannya berbicara tanpa melihat yang halal maupun yang haram. Umar bin Al-Khaþþab pernah mengatakan, “Barang siapa yang banyak berbicara, maka banyak salahnya. Orang yang banyak salahnya, maka banyak dosanya. Dan orang yang banyak dosanya, maka api neraka lebih layak baginya.” [9]
8. (3) Muhammad bin ‘Ajlan berkata, “Ucapan yang baik itu empat jenis: engkau berzikir kepada Allah; membaca Al-Qur`an; engkau ditanya sesuatu dan kemudian menjelaskannya; atau engkau berbicara tentang masalah dunia yang ada manfaatnya.” [10]
9. (3) Seseorang berkata kepada Sulaiman , “Berilah aku nasihat!” Sulaiman berkata, “Jangan berbicara!” Orang itu menjawab, “Mana mungkin orang yang hidup dengan manusia lain tidak berbicara?” Sulaiman pun berkata, “Jika demikian, apabila engkau bicara, maka bicaralah yang benar atau diamlah!” [11]
10. (3) Abu Bakar Aÿ-Ÿiddiq pernah memegang lidahnya dan berkata, “Inilah yang membawaku kepada kebinasaan.” [12]
11. (3) Abdullah bin Mas’ud berkata, “Demi Allah yang tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Dia, tidak ada sesuatu pun di atas bumi yang lebih layak untuk dipenjara dalam waktu yang lama selain lidah.” [13]
12. (3) Jagalah lisanmu, maka engkau akan masuk surga. Nabi ﷺ bersabda,
“Siapa yang menjamin untukku apa yang ada di antara kumis dan jenggotnya (ucapannya) dan apa yang ada di antara dua kakinya (kemaluannya), maka aku akan menjaminnya masuk surga.” [14]
Referensi
- HR. Al-Bukhari (6015) dan Muslim (2625) dari Ibnu Umar .
- HR. Al-Bukhari (6016).
- HR. Al-Bukhari (6478) dan Muslim (2988) dari Ibnu Umar .
- Lihat: Syarñ Ÿañíh Muslim karya An-Nawawi (2/19).
- HR. Muslim (46).
- Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab Al-Hanbali (1/353).
- Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab Al-Hanbali (1/356).
- Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab Al-Hanbali (1/356).
- Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab Al-Hanbali (1/339).
- Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab Al-Hanbali (1/340).
- Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab Al-Hanbali (1/340).
- Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab Al-Hanbali (1/340).
- Jámi’ Al-‘Ulúm wa Al-Ôikam karya Ibnu Rajab Al-Hanbali (1/340).
- HR. Al-Bukhari (6474).