Nabi ﷺ memberitahukan bahwa iman itu seperti pohon yang memiliki banyak cabang. Beberapa cabang tersebut lebih tinggi derajatnya daripada cabang-cabang yang lain. Beliau juga menyebutkan bahwa iman itu ada tujuh puluh sekian cabang dan rangkaian. Yang dimaksud dengan kata (al-bið’u) adalah bilangan antara tiga sampai sembilan. Seolah-olah Nabi mengatakan, “Iman itu antara tujuh puluh tiga sampai tujuh puluh sembilan rangkaian.”
Sedangkan potongan hadis, “atau enam puluh sekian,” merupakan bentuk keraguan dari perawi. Dalam hal ini, perbedaan riwayat dalam penentuan jumlah tidaklah menjadi masalah, karena yang dimaksud adalah menjelaskan banyaknya cabang iman. Sebagian ulama telah berusaha menjelaskan cabang-cabang tersebut dengan menyebutkan amalan-amalan utama dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi , kendati hal tersebut hanyalah ijtihad yang bersifat perkiraan.
2. Kemudian Nabi ﷺ menjelaskan bahwa cabang iman yang paling utama adalah merealisasikan tauhid, yaitu ucapan lā ilāha illallāh (tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi selain Allah). Yang dimaksud dengan ucapan tersebut tentu bukan sekadar pernyataan lisan saja, akan tetapi mengokohkan ucapan tersebut dengan mengamalkan kandungannya berupa ilmu, yakin, jujur, ikhlas, cinta, tunduk, menerima segala konsekuensi cabang iman tersebut, mengingkari sembahan selain Allah Ta’ala, dan menghindari lawan dari syarat iman, baik berupa syirik besar, syirik kecil, maupun syirik khafi (tersembunyi).
Cabang ini sejatinya adalah pokok iman. Sebab, semua cabang tersebut tidak akan diterima tanpa adanya cabang tersebut.
“Dan barang siapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.”
3. Cabang iman yang keutamaannya paling rendah adalah menjauhkan segala sesuatu yang dapat mengganggu orang lain di jalan mereka, seperti: duri, batu, kotoran, paku, roda-roda yang terlepas, dan lain-lain.
Apabila seseorang diperintahkan untuk menyingkirkan gangguan dari jalan meskipun bukan dia yang mendatangkan gangguan, maka mencegah timbulnya gangguan lebih diperintahkan.
4. Di antara cabang-cabang iman adalah sifat malu, yang merupakan akhlak di dalam jiwa. Akhlak ini mengajak jiwa untuk melakukan kebajikan dan menjauhi kehinaan, baik akhlak ini ada pada diri seseorang dan ia menjaganya, atau tidak ada pada dirinya dan ia berusaha keras untuk memilikinya. Sifat malu merupakan sifat yang bisa diketahui oleh seseorang dari dirinya walaupun hanya dalam kondisi tertentu. Buah dari sifat malu terhimpun pada ungkapan, “Jangan sampai Allah عز وجل melihatmu melakukan apa yang dilarang-Nya, dan jangan sampai Dia tidak mendapatimu ketika Dia memerintahkanmu.”Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa iman adalah perkataan, perbuatan, dan keyakinan. Oleh karena itu, kalimat lā ilāha illallāh (tidak ada Tuhan yang berhak diibadahi selain Allah) adalah pernyataan dengan lisan dan hati, diikuti dengan perbuatan anggota badan, menyingkirkan gangguan termasuk amalan anggota badan, dan munculnya rasa malu termasuk amalan hati, meskipun pengaruhnya terlihat di lidah dan anggota badan.
Implementasi
Abu Hurairah adalah sahabat Rasulullah ﷺ dan seorang ulama besar. Beliau pernah memegang kekuasaan beberapa kota besar. Kendati demikian, beliau adalah orang yang rendah hati, lemah lembut, dan ahli ibadah. Lalu, seberapa besar sifat rendah hati kita dibanding dengan ilmu, jabatan, dan harta yang dianugerahkan Allah عز وجل kepada kita?
Iman adalah sesuatu yang paling agung, dan inilah yang diinginkan oleh Allah عز وجل dari makhluk-Nya. Namun demikian, iman itu luas dan memiliki banyak cabang. Lalu, seberapa banyak kita mempelajarinya, dan seberapa banyak kita berusaha untuk menyempurnakan diri kita dengan cabang-cabang iman yang diinginkan oleh Allah عز وجل dari kita? Atau apakah kita membatasi diri pada beberapa cabang iman saja mengabaikan cabang-cabang lainnya?
Sebagian orang mencela orang lain karena mereka mengabaikan sejumlah cabang iman, sedangkan mereka sendiri mungkin mengabaikan cabang-cabang iman yang lain, seperti orang yang rajin beribadah puasa dan shalat, namun mengabaikan ibadah berupa akhlak yang baik dan memperhatikan kepentingan keluarga. Atau peduli dengan akhlak namun melupakan kewajiban untuk beramar makruf nahi munkar. Semua ini membawa kita kepada untuk bersikap lembut kepada orang lain dan mengintrospeksi diri kita sendiri dengan tolok ukur syariah, bukan dengan yang biasa kita lakukan.
Iman itu memiliki beberapa tingkatan. Ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah, dan semuanya berasal dari iman yang dicintai Allah Ta’ala. Akan tetapi, tidak boleh memberikan perhatian dengan tingkatan yang lebih rendah dengan mengabaikan tingkatan yang lebih tinggi. Sebab, antara satu tingkatan dengan tingkatan yang lain ada lebih dari tujuh puluh derajat. Maka, usaha kita dan sedekah yang kita keluarkan pada derajat yang lebih tinggi tentu lebih utama dan lebih agung. Selain itu, hendaklah kita mengetahui kebutuhan kita kepada ulama. Mari pula kita tingkatkan ilmu agama dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya ﷺ, agar kita mengetahui berbagai prioritas dalam syariat.
Cabang iman yang paling utama adalah kalimat lā ilāha illallāh. Sehingga, betapa kita sangat perlu untuk mempelajari maknanya, bagaimana menyempurnakan konsekuensi ucapan tersebut, dan mengucapkannya sembari kita mengisi hati dengan cinta, tunduk, dan menerima konsekuensi dari keyakinan, ucapan, dan amal perbuatan.
Menyingkirkan gangguan dari jalan mencakup berbagai bentuk tindakan manusia dalam kehidupan sehari-hari, termasuk menyingkirkan segala sesuatu yang membahayakan pejalan kaki dan mobil, seperti: batu, paku, dan ban bekas, baik ia menyingkirkannya sendiri atau menyampaikan kepada pihak terkait untuk menyingkirkannya.
Jika menyingkirkan gangguan dari jalan termasuk bagian dari iman, maka mencegah timbulnya gangguan adalah pangkal dari perbuatan baik. Mengganggu kaum Muslimin termasuk perbuatan buruk. Gangguan bersifat umum, mencakup fisik dan non fisik, seperti membuang sisa bungkus makanan, suara yang mengganggu, bau yang tidak sedap, dan cara yang membahayakan, baik ketika mengemudi atau memarkir mobil. Apabila menimbulkan bahaya di jalan dilarang, maka lawannya adalah perkara yang diperintahkan, seperti memberikan kemudahan bagi orang lain, menyediakan fasilitas kenyamanan dan keamanan di jalan, seperti tempat berteduh dan tempat-tempat istirahat. Di antara contohnya adalah sabda Nabi ﷺ, “Janganlah duduk-duduk di jalan.” Para sahabat berkata, “Kami tidak dapat meninggalkannya, karena merupakan tempat kami untuk bercakap-cakap.” Lalu Nabi ﷺ bersabda, “Jika kalian enggan meninggalkan duduk-duduk di jalan, maka berikanlah hak jalan.” Para sahabat bertanya, “Apa hak jalan itu?” Beliau bersabda, “Menundukkan pandangan, menyingkirkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan kebaikan, dan mencegah dari kemungkaran.” [1]
Ada pahala dari menyingkirkan gangguan dari jalan, meskipun orang-orang tidak tinggal di jalan, meskipun mungkin sedikit yang melewatinya dan melintas dengan cepat. Maka, menyingkirkan gangguan dari tempat perkumpulan dan tempat tinggal orang banyak, seperti lokasi kerja, pendidikan, dan tempat tinggal lebih diutamakan. Demikian pula, membersihkan rumah sendiri memiliki pahala yang banyak, karena akan mempererat hubungan mereka dan memenuhi hak-hak mereka. Di samping itu, masjid juga memiliki keutamaan yang banyak. Sebab, masjid adalah rumah Allah عز وجل yang dimuliakan. Oleh karena itu, hendaklah kita hadirkan ibadah ini dalam setiap detail hidup kita.
Jika menyingkirkan gangguan dari jalan termasuk dari iman, maka menyingkirkan gangguan dari hati manusia lebih utama lagi, dengan mengangkat kebodohan dari mereka, menjauhkan syubhat, waswas, perasaan sedih, dan depresi.
Malu adalah salah satu cabang iman yang secara khusus disebutkan karena memiliki pengaruh yang istimewa. Malu adalah karakter yang bersemayam dalam jiwa dan mengajak pada banyak sifat terpuji dan mencegah dari banyak perilaku buruk. Terkadang malu ada pada diri seseorang namun ia tidak menyadarinya, atau bahkan sudah mati dan ia juga tidak merasakannya, terlebih lagi ketika sifat malu ini mati perlahan-lahan karena banyaknya perilaku-perilaku keji dan hina yang melemahkannya. Untuk apa kita menjaga rasa malu ini dalam jiwa kita? Apakah kita berusaha untuk menjaganya?
Sifat malu bukanlah perilaku negatif yang membuat seseorang malu untuk beramal, akan tetapi perilaku positif yang dapat mendorong untuk meninggalkan keburukan dan sekaligus berbuat baik, seperti orang yang malu ketika Allah عز وجل melihatnya dikaruniai ilmu namun ia tidak menyebarkannya, atau dikaruniai harta namun tidak menyedekahkannya, atau dikaruniai suara atau kemampuan berbicara namun tidak mengoptimalkannya. Atau seseorang yang malu membuka aurat, menampakkan suatu dosa, atau memiliki suatu perilaku yang tercela, seperti penakut, pelit, dan malas.
12. Sifat malu yang paling besar adalah malu kepada Allah. Apabila engkau ingin memahami maknanya dalam hidupmu, maka ingatlah asar, “Aku wasiatkan kepadamu untuk malu kepada Allah sebagaimana engkau malu kepada orang saleh dari kaummu.”[2]
Referensi
- HR. Al-Bukhari (2465) dan Muslim (2121) dari Abu Sa’id Al-Khudri
- HR. Ahmad dalam kitab “Az-Zuhd” (46), Al-Baihaqi dalam kitab “Syu’ab Al-Imān”, marfu’marfuk, dari hadis Sa’id bin Yazid